Rabu, 25 Maret 2015

Arsitektur Joglo



ARSITEKTUR JOGLO:
EKSPRESI RUANG KESADARAN MANUSIA JAWA, KEARIFAN LOKAL JAWA, DAN SARANA KOMUNIKASI VISUAL


Oleh
Dr. Titis Srimuda Pitana, S.T., M.Trop.Arch.*

Abstrak
Secara sederhana, arsitektur sering diartikan sebagai ruang hidup material yang mengekspresikan kesadaran, kehendak, dan kekuasaan manusia. Arsitektur Joglo merupakan salah satu perwujudan ruang hidup material Jawa yang paling populer. Dalam ruang kesadaran manusia, kehendak dan kekuasaan adalah refleksi dari hasrat manusia. Manusia dengan hasratnya telah mengembangkan arsitektur menjadi ilmu rancang bangun tidak hanya dibatasi oleh ruang dan gatra (sesuatu yang tampak terwujud) atau garis dan bidang. Akan tetapi, arsitektur telah berkembang menjelajahi ruang kesadaran manusia jauh ke relung-relung keindahan yang kemudian, diposisikan menjadi nilai ideal.
Kearifan lokal lazim dimaknai sebagai bangun pengetahuan yang bersumber dari nilai-nilai dan potensi lokal yang diwacanakan secara lisan dari generasi ke generasi yang akhirnya disebut kebudayaan tradisional. Pengandaian perwujudan arsitektur Jawa sebagai bahasa (sarana komunikasi visual) dalam membangun kesadaran kolektif masyarakatnya memerlukan bahasa yang dikuasai dan dipahami oleh masyarakat itu sendiri yang lazim disebut “bahasa ibu”. Apabila kearifan lokal menjadi dasar pengembangan arsitektur Jawa, maka kearifan lokal dapat dianggap sebagai bahasa ibu arsitektur Jawa.

Kata kunci: joglo, kearifan lokal, arsitektur Jawa


1. Pendahuluan
Arsitektur Joglo merupakan salah satu bentuk arsitektur Jawa yang paling populer dan begitu lazim diposisikan menjadi arsitektur tradisional Jawa yang adi luhung. Popuparitas tersebut karena bentuk arsitektur Joglo ini merupakan bentuk dominan yang digunakan pada bangunan yang ada di kawasan keraton-keraton di Jawa, selain pada bangunan-bangunan milik para bangsawan di Jawa. Sebagai produk budaya yang lazim diposisikan menjadi arsitektur tradisional, arsitektur Joglo harus berhadapan dengan arsitektur modern yang selalu diwacanakan oleh dunia Barat, sebagaimana positivisme mengafirmasi kebenaran sebagai ‘paradoksal’. Realitas ini pada kenyataan telah merebut kesadaran bahwa arsitektur Joglo sebagai produk budaya Jawa eksistensinya sangat terikat pada masa lalu dan tidak mampu mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya, arsitektur modern karena sifat kebaruannya sehingga selalu sejalan dengan selera dan kodrat manusia yang selalu menghendaki yang serba baru dan bergerak ke masa depan termasuk dalam bidang seni rancang bangun. Dengan demikian, arsitektur modern berhasil membangun kesadaran baru dan mendominasi kesadaran manusia Jawa dalam berarsitektur dengan terjebak stereo-type ‘tradisional’. Akibatnya, hampir seluruh aktivitas kearsitekturan Jawa berorientasi ke dunia Barat, tempat budaya modern berasal. Apabila dominasi kesadaran arsitektur modern ini dibiarkan berkembang semakin dalam di benak manusia Jawa, maka Joglo sebagai produk arsitektur Jawa akan mengalami kesulitan mengelola kelangsungan hidupnya karena dianggap tidak mampu mengembangkan diri dan telah mati sebagai artefak kebanggaan masa lalu.
Nilai-seni intinya bersumber pada nilai-kebaikan; dan nilai-kebaikan sejatinya berasal dari nilai-kebenaran, sebagaimana yang terjadi pada arsitektur. Patut disadari bahwa kebenaran tidak melulu terdapat pada yang baru, tetapi juga pada yang tradisional, bahkan kebenaran tersebar pada sepanjang pengalaman manusia, bukan hanya ditentukan berdasarkan akal dan rasional, sebagaimana manusia modern menakar kebenaran itu sendiri. Oleh karena itu, makalah ini ingin mengajak para akademisi dan praktisi yang bergelut dalam bidang seni rancang bangun untuk memberikan porsi dan posisi yang seimbang antara arsitektur Joglo yang merupakan produk arsitektur Jawa dan arsitektur Modern yang lazim disematkan untuk arsitektur Barat. Dalam konteks ini dipandang penting dan relevan mengetengahkan perbincangan tentang arsitektur Joglo sebagai ekspresi ruang kesadaran manusia Jawa; arsitektur Joglo sebagai ekspresi kearifan lokal Jawa; dan  arsitektur Joglo sebagai sarana komunikasi visual.

2. Arsitektur Joglo Sebagai Ekspresi Ruang Kesadaran Manusia Jawa
Dalam dunia arsitektur, secara sederhana, ruang sering diartikan sebagai wadah tempat berlangsungnya suatu kegiatan. Artinya, manusia dalam berkegiatan (beraktivitas) tidak akan pernah lepas dari keberadaan ruang sebagai wadah kegiatannya. Persoalannya, seberapa jauh manusia menyadari eksistensi dan memaknai ruang tersebut dalam kehidupannya agar segala tindakan atau keputusannya adalah dianggap tepat? Ketepatan suatu tindakan oleh manusia Jawa sering diungkapkan dalam terminologi bener iku kudu pener, lire jumbuh klawan empan papan (benar itu harus tepat, artinya sesuai dengan ruang dan waktu). Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa kebenaran, bagi manusia Jawa, adalah sesuatu yang terfragmentasi, yaitu terpenggal-penggal sesuai dengan ruang dan waktu, sehingga manusia harus tetap menjalin keselarasan dengan ruangnya untuk selalu mendekatkan pada kebenaran. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran terhadap ruang menjadi suatu yang sangat penting bagi manusia.
Apabila manusia dianggap sebagai animal symbolicum, yaitu makhluk seperti binatang yang mampu menciptakan simbol, seperti yang dikatakan oleh Ernst Cassier (1987:41-42) dalam bukunya An Essay on Man, dan ruang diartikan sebagai wadah suatu kegiatan, maka kesadaran manusia terhadap ruang itu sendiri dalam berkegiatan adalah sebagai dasar munculnya respon terhadap situasi yang melingkupinya. Artinya, apakah suatu kegiatan manusia yang terjadi telah sesuai dengan kesadaran pelakunya ataukah tidak adalah bergantung pada kesadaran pelakunya terhadap keberadaan ruang yang melingkupinya. Dalam pemahaman manusia Jawa kesesuaian antara kesadaran dan respon ini diartikan sebagai keselarasan antara wadah dan isi. Begitu pentingnya keselarasan tersebut seperti tertuang dalam Serat Dewa Ruci yang merupakan wejangan Dewa Ruci pada Bima, sebagai berikut.
“Kang ingaran urip mono mung jumbuhing badan wadaq lan batine,
pepindhane wadhah lan isine…
Jeneng wadah yen tanpa isi, alah dene arane wadhah, tanpa tanja tan ana pigunane
semono uga isi tanpa wadhah,  yekti barang mokal…
Tumrap urip kang utama tertamtu ambutuhake wadhah lan isi,
kang utama karo-karone.”
(Kutipan dari salah satu Serat Dewa Ruci)

Yang disebut hidup adalah manunggalnya tubuh dan batin (raga dan jiwa),
ibarat wadah dan isinya…
Wadah tanpa isi, adalah sia-sia disebut wadah,
tidak akan berarti dan berguna.
Demikian juga isi tanpa wadah, adalah sesuatu yang mustahil…
Untuk hidup yang sempurna membutuhkan wadah dan isi,
yang utama adalah kedua-duanya.

Subjektifitas dan interpretasi bebas mengenai kutipan Serat Dewa Ruci di atas mengarahkan tulisan ini untuk menjadikannya sebagai suatu analogi pandangan manusia Jawa yang archaic mengenai keberadaan jagad gede (makrokosmos/jagad raya) dan jagad cilik (mikrokosmos/diri manusia) yang akhirnya menghasilkan empat asumsi dasar untuk dijadikan pijakan argumen dalam pembahasan mengenai kesadaran manusia terhadap ruang hidupnya. Pertama, pandangan manusia Jawa terhadap kosmosnya adalah merupakan bentuk nilai tetap yang selalu hadir dalam kehidupannya. Kedua, norma dan etika hidup manusia Jawa dalam interaksi sosial diatur melalui prinsip kerukunan, hormat, dan keselarasan. Ketiga, prinsip kerukunan, hormat, dan kesalaran dalam interaksi sosial tersebut menjadikan manusia Jawa sangat terbuka dalam menerima suatu perubahan. Perubahan yang paling banyak terjadi adalah pada sistem nilai, sedangkan untuk norma yang diwujudkan pada perilaku relatif tidak berubah. Keempat, identitas diri yang terbentuk diungkapkan melalui pikiran dan perbuatan yang total, berlandasan dan beralasan. Dalam ruang hidup materialnya, hal tersebut dikomunikasikan secara tidak langsung, tetapi diungkapkan dengan menggunakan simbol.
Istilah arkhais di atas, pada awalnya adalah istilah yang dikemukakan oleh Mircea Eliade untuk menggantikan istilah primitif. Menurutnya sebutan primitif bagi suatu masyarakat akan menimbulkan kesan kebodohan primodial atau taraf mental yang rendah. Selanjutnya, yang dikatagorikan sebagai masyarakat arkhais adalah masyarakat yang menurut Mircea Eliade memiliki karakter-karakter sebagai berikut (Susanto, 1987:43-44).
(1)   Setiap keberadaan dan tindakan hanya bermakna dan efektif sejauh keberadaan itu mempunyai prototipe Ilahi atau tindakan itu mereproduksikan tindakan kosmologis awal mula (arketipe penciptaan dan kehidupan Ilahi yang suci).
(2)   Kosmologi menduduki tempat utama dalam kehidupan kesehariannya.
(3)   Pemikiran-pemikirannya pertama-tama diungkapkan dalam bentuk simbol-simbol.
(4)   Tidak membedakan antara sejarah dengan mitos, karena sejarah selalu dianggap sejarah suci dan menganggap dirinya sebagai produk akhir dari suatu sejarah mistis.
(5)   Tingkah lakunya bersifat eksistensial, artinya praktek-praktek dan keperayaan religius mereka selalu berpusat pada masalah-masalah fundamental manusia; tidak mengenal aktivitas profan; alam tidak hanya dipandang sebagai natural murni, tetapi sekaligus natural dan supra-natural.
(6)   Kehidupan mereka sangat religius.
Dalam konteks kosmologi, manusia Jawa memiliki panduan petunjuk arah yang disebut dengan konsep Pajupat. Konsep ini berdasarkan dua hal penting yang berkaitan dengan pengetahuan manusia Jawa tentang penciptaan dan kekuasaan Sang Pencipta yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
(1)   Tentang penciptaan, sebelum ada dunia, belum ada apa-apa, yang ada hanyalah Tuhan. Kemudian diciptakanlah cahaya, api, bumi, air, dan laut. Sebelum ada cahaya, telah ada suara terlebih dahulu, yaitu suara gaib (tak berwujud dan tak jelas warnanya). Kemudian diciptakanlah cahaya rukyati (cahaya kehidupan) dan cahaya inilah yang menciptakan anasir manusia berupa api, tanah, angin, dan air. Api menjadi nafsu yang menyebabkan cahaya merah, hitam, kuning, dan putih. Tanah menjadi badan, yaitu kulit, daging, tulang, sumsum. Angin menjadi napas yang bertempat di lisan (mulut), hidung, telinga, dan mata. Air menjadi roh, yaitu roh jasmani, hewani, nabati, dan nurani. Pengetahuan ini melahirkan keyakinan bahwa alam semesta ini diciptakan Tuhan untuk manusia. Agar hidup manusia selamat, manusia harus bisa memahami alam semesta ini sebagai simbol kekuasaan Tuhan. Dengan alam Tuhan telah memberikan petunjuk arah (kiblat) agar orang tidak salah arah dalam menjalani kehidupannya. Kiblat alam semesta diawali dari arah Timur (wetan atau witan), artinya kawitan (awal mula). Arah Timur adalah awal kiblat, sebagai simbol saudara manusia yang disebut kawah. Selanjutnya, menyusul Selatan sebagai simbol darah, Barat sebagai simbol pusar (plasenta), dan Utara sebagai simbol adhi ari-ari. Pemahaman ini akhirnya melahirkan terminologi kakang kawah adhi ari-ari, yaitu empat unsur yang diyakini sebagai saudara kembar manusia yang lahir pada hari yang sama tetapi berbeda tempat. Keempat arah kiblat tersebut oleh orang Jawa senantiasa disatukan dan diseimbangkan. Apabila tercapai keseimbangan, dalam membina hubungan dengan empat saudara tersebut, keempatnya mau membantu pancer (manusia yang terlahir) (Endraswara, 2006a:7).
(2)   Tentang Sang Pencipta, kepercayaan adanya kekuatan di luar diri manusia, bukan saja kekuatan yang datang dari Tuhan sang kuasa mutlak, tetapi juga kekuatan-kekuatan supranatural yang ada di jagad raya ini. Kepercayaan ini selalu menempatkan manusia sebagai pusat (pancer) yang dikelilingi kekuatan empat penjuru mata angin (keblat papat) bersifat tidak bergerak (mantap), tetapi menggerakkan (kuasa dinamis) (Gambar 1). Kepercayaan Jawa inilah yang akhirnya, melahirkan terminologi papat keblat kalima pancer (Prijotomo, 1992:29-31).





 








Gambar 1.  Skema Pajupat (Papat Keblat Lima Pancer) (Modifikasi dari skema Pajupat Pitana, 2001a).

Di dalam praktik kehidupan masyarakat Jawa konsep Pajupat dapat ditemukan dalam dua versi. Pertama, konsep Pajupat Hindu-Jawa, yaitu adanya keyakinan bahwa setiap arah mata angin dijaga oleh para dewa dengan segala kesaktian dan perannya masing masing sehingga lokasi di tengah perpotongan arah mata angin diartikan sebagai lokasi yang mengandung getaran magis yang amat tinggi. Kesaktian dan peran dewa-dewa yang dimaksud, yakni sebagai berikut (Frick, 1997:85).
(1)   Arah Utara dijaga oleh Dewa Wisnu, yang merupakan dewa pemelihara hidup dan kehidupan di bumi.
(2)   Arah Selatan dijaga oleh Dewa Anantaboga, ialah dewa kesabaran dan kebahagiaan.
(3)   Arah Barat dijaga oleh Dewa Yamadipati, yang merupakan dewa kematian.
(4)   Arah Timur, dijaga oleh Dewa Mahadewa, yang merupakan dewa kebersamaan dan keseragaman (kesatuan dan persatuan) (Gambar 2).
Kedua, konsep Pajupat Kejawen, yaitu adanya petunjuk lengkap cara pelaksanaan laku bila seseorang akan menggunakan arah keblat papat kalima pancer tersebut dalam rangka mencapai suatu maksud tertentu. Sebagai contoh, bila seseorang menginginkan kelancaran sandang pangan dalam kehidupannya petunjuk yang didapat adalah yang bersangkutan menghadap ke Timur untuk melakukan meditasi atau samadi dengan memakai pakaian serba putih (Gambar 3) (Miksic, 2004:102).
  



Gambar 2. Pedoman Sumbu Kosmis Pajupat Hindu-Jawa (Frick, 1997:85).




Gambar 3. Pedoman Sumbu Kosmis Pajupat Kejawen (Pitana dan Kuntjoro, 2001:5).
Berdasarkan perwujudannya, ruang dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu (1) ruang hidup material, yaitu ruang yang secara visual memiliki perwujudan fisik, keberadaannya adalah diidentifikasikan dengan adanya batas-batas fisik yang dimilikinya, teramati secara visual; dan (2) ruang hidup immaterial, yaitu ruang yang secara visual tidak memiliki perwujudan fisik atau keberadaannya hanya dapat dirasakan melalui suatu kesadaran manusia karena tidak memiliki batas-batas yang dapat teramati secara visual.
Dalam ruang kesadaran manusia, kehendak dan kekuasaan adalah refleksi dari hasrat manusia. Manusia dengan hasratnya telah mengembangkan arsitektur menjadi ilmu rancang bangun tidak hanya dibatasi oleh ruang dan gatra (sesuatu yang tampak terwujud) atau garis dan bidang. Akan tetapi, arsitektur telah berkembang menjelajahi ruang kesadaran manusia jauh ke relung-relung keindahan yang kemudian, diposisikan menjadi nilai ideal. Nilai keindahan inilah bahasa manusia yang disampaikan dengan media arsitektur. Malahan Merleau-Ponty mengatakan bahwa berarsitektur adalah berbahasa manusia dengan citra unsur-unsurnya, baik dengan bahan material maupun bentuk dan komposisinya. Begitulah bahasa arsitektur selalu menghadirkan nilai keindahan dengan penuh kejujuran dan kewajaran, sebagaimana diungkapkan oleh Thomas Aquinas, 'pulchrum splendor est veritatis', 'keindahan adalah pancaran kebenaran' (Mangunwijaya, 1992:9-10).
Pada saat revolusi arsitektur yang dipelopori oleh pengikut Bauhaus (1919) di Jerman, bahkan keindahan arsitektur dipandang bukan lagi bersifat insidental atau sebagai suplemen terhadap fungsinya. Akan tetapi, keindahan arsitektur identik dengan fungsinya. Malahan pada era posmodern, Charles Jencks dan Venturi memberikan rambu-rambu bahwa keindahan arsitektur yang tertuang dalam bangunan haruslah bersifat komunikatif (Ali, 2004:154-155). Himbauan ini lebih merupakan bentuk kritik atas arsitektur modern yang cenderung hanya merupakan permainan konotasi dan makna).
Dalam konteks ruang kesadaran manusia Jawa, pararel dengan diskursus Foucault adalah kata “pengertian”, seperti dijelaskan oleh Frans Magnis-Suseno (1999:200) bahwa pengertian bagi manusia Jawa dekat dengan "kekuatan batin" (kesakten — pemusatan kekuatan kosmis, pembenaran-diri), sebagaimana terungkap dalam kata “ngelmu. Ngelmu sekaligus berarti ilmu pengetahuan, pengertian (lebih-lebih dalam arti mistik), dan kekuatan magis misalnya, dalam arti suatu kemampuan khusus untuk pembelaan diri secara fisik. Dalam kata "pengertian" itu terdapat makna perluasan kekuasaan pada manusia sendiri yang bersifat tetap, yaitu manusia yang memiliki rasa-sejati. Kata “pengertian” dapat dipahami sebagai proses pembebasan dari keterikatan dalam bayang-bayang yang sementara dan lahiriah. Pembebasan itu berkaitan dengan satu proses penghalusan dan pembatinan daya persepsi batin. Dengan begitu, pengertian adalah suatu proses perkembangan pada subjek yang mengerti itu sendiri. Pengertian subjek yang mengerti sendiri itu akan mengalami pertumbuhan. Jadi, tekanan terletak pada subjek yang mengerti, bukan pada objek pengertian yang harus diketahui — sebagaimana ajaran etika Sokrates. Orang Jawa dalam ruang kesadarannya memahami pengertian semacam ini sebagai rasa yang secara inderawi dapat diartikan sebagai kepekaan terhadap lingkungan fisik (termasuk ruang arsitektur).

3. Arsitektur Joglo Sebagai Ekspresi Kearifan Lokal Jawa
Kearifan lokal lazim dimaknai sebagai bangun pengetahuan yang bersumber dari nilai-nilai dan potensi lokal yang diwacanakan secara lisan dari generasi ke generasi yang akhirnya disebut kebudayaan tradisional. Namun demikian, harus diakui bahwa kebenaran tidak selalu terdapat pada yang baru (modern), tetapi juga pada yang tradisional, bahkan kebenaran tersebar pada sepanjang pengalaman manusia, terfragmentasi sesuai dengan ruang dan waktu realitas berada, dan bukan hanya ditentukan berdasarkan akal dan rasional. Sebagaimana perwujudan arsitektur Joglo yang secara semiotik dikatakan sebagai sarana komunikasi visual. Ini berarti bahwa arsitektur Joglo memiliki bahasa tersendiri dalam membangun komunikasi yang baik dengan subjek-subjek pemakna di luar dirinya.
Tidak dapat dimungkiri bahwa arsitektur Joglo dengan kearifan lokalnya adalah realitas ciptaan yang lazimnya dianggap produk kebudayaan masa lalu. Kecanggihan visi budaya kearsitekturan Jawa telah menjadikannya sebagai puncak perwujudan arsitektur tradisional yang membanggakan. Akan tetapi, kebanggaan terhadap karya arsitektur tradisional seperti ini terkadang menjadi sumber malapetaka arsitektur tradisional itu sendiri. Dengan kebanggaan itu, bisa saja tanpa disadari kemudian, masyarakat Jawa membangun sebuah konstruksi mental yang menerima pengetahuan arsitektur tradisional ini sebagai kebenaran. Yang dapat dilakukan terhadap sosok kebenaran, tentu seperti menangani sebuah pusaka, yakni merawat dan menghindarkan pusaka itu dari perubahan. Keajegan selalu diupayakan dan diperjuangkan, bahkan sampai pada pemaknaan simbol yang melekat. Kondisi ini pada akhirnya menjadikan arsitektur Jawa tidak dipandang sebagai simbol yang hidup karena keberadaannya telah dilingkupi dan dimatikan oleh mitos-mitos yang diajegkan.
Oleh karenanya muncul sikap yang salah, bila memandang kebudayaan sebagai sistem pengetahuan kemudian, menempatkan arsitektur Jawa dengan kearifan lokalnya hanya ke dalam wilayah arsitektur tradisional yang dibekukan dalam mitos, tanpa boleh dimaknai sebagai ilmu yang bisa dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman. Ini sejalan dengan usulan Prijotomo (2008:1) yang mengusulkan untuk menyebut arsitektur tradisional di wilayah Jawa sebagai "arsitektur Jawa". Hal ini lebih dimaksudkan sebagai tandingan terhadap munculnya istilah “arsitektur Barat” yang dianggap lebih modern. Dengan kata lain, arsitektur tradisional di wilayah Jawa, termasuk Joglo, adalah arsitektur liyan (the other) bagi arsitektur Barat. Menurut Pangarsa (2008:3) dalam kaitannya dengan dunia pendidikan arsitektur dan perkembangan dunia arsitektur yang mengedepankan kearifan lokal, arsitektur Jawa adalah arsitektur masa depan. Artinya, sudah saatnya arsitektur Jawa dilepaskan dari bungkus dan label “arsitektur tradisional” untuk membangun wacana baru sebagai “arsitektur masa depan” yang memiliki bahasa ibu berupa kearifan lokal dan yang sejajar atau bahkan berani bersaing dengan arsitektur Barat. Sebagai contohnya, manusia Jawa menyebut tempat tinggalnya dengan istilah omah. Kata omah merupakan bentukan dari dua kata om, yang diartikan sebagai angkasa dan bersifat laki-laki (kebapakan), dan mah yang diartikan lemah (tanah) dan bersifat perempuan (keibuan). Sehingga omah (rumah) dimaknai sebagai miniatur dari jagad manusia yang terdiri Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi (Pitana, 2001:40). Realitas ini menunjukkan pada kita tentang pemahaman manusia Jawa mengenai dualitas, yaitu adanya dua unsur yang dikotomis, dua unsur yang bertolak belakang yang harus selalu diselaraskan. Hal ini merupakan fenomena wajar dalam budaya Jawa yang memasukkan unsur jender ke dalam sistem simbol dualitas, lingga dan yoni, bersifat maskulin dan feminim (Muqoffa, 1998:62).
Kesungguhan manusia Jawa dalam menjaga keseimbangan dan keselarasan antara mikrokosmos dan makrokosmos dalam penentuan ruang hidup materialnya tidak hanya diwujudkan dalam pemakaian istilah omah untuk rumah, tetapi lebih pada pemakaian simbol pada hampir seluruh bagian yang berkaitan dengan rumah itu sendiri, baik pada simbol materi maupun simbol perilakunya. Simbol materi yang dimaksud di sini adalah untuk hal-hal yang bersifat fisik dan dapat ditangkap secara inderawi, diantaranya adalah: pola tata ruang dan tata massa bangunan, pola perwujudan bentuk bangunan, penggunaan material bangunan, dan desain ornamen-ornamen yang melekat. Sedangkan untuk simbol perilaku yang dimaksud adalah untuk hal-hal yang berkaitan dengan tindakan dari manusia Jawa berkaitan dengan pembangunan rumahnya, diantaranya adalah mengenai ritual-ritual, laku batin, dan gugon tuhon yang menyertai proses pembangunan sebuah rumah. Misalnya, ritual bedah bumi untuk pertanda memulainya penggalian tanah untuk pondasi rumah, atau ritual munggah penuwun untuk memulai memasang balok kayu paling atas dari sebuah atap bangunan.
Kearifan lokal yang dikandung dalam arsitektur Jawa sebagai wujud budaya memiliki metafisikanya sendiri yang dibangun atas kesadaran dan diskursus pemiliknya. Dalam hal ini kesadaran masyarakat Jawa dapat dicermati secara mendalam dari alat kesadarannya, yaitu bahasa ibu. Mengingat bahasa ibu merupakan sumber moralitas masyarakat dan sekaligus sebagai pembangun wacana, bahkan sebagai pantulan falsafah hidup, yaitu pedoman hidup dan perilaku hidup. Dalam konteks arsitektur Joglo sebagai salah satu bentuk arsitektur Jawa, bahasa ibu arsitektur adalah kearifan lokal. Inilah yang menjelma dalam dunia sosial-budaya menjadi nilai-nilai. Sistem nilai, baik sebagai pedoman hidup maupun perilaku hidup tidak pernah final karena senantiasa mengalami perkembangan inheren dalam perubahan zaman. Faktanya manusia tidak bisa menjalankan kehidupannya sendiri tanpa terlibat dalam kehidupan sosial berupa kegiatan kemasyarakatan. Malahan dalam kehidupan sosialnya manusia tidak jarang harus membangun toleransi sehingga dimungkinkan terjadinya proses saling menerima dan memberi nilai. Begitulah dalam dunia global manusia Jawa tidak dapat menutup diri dari pengaruh bangsa lain sehingga identitas menjadi begitu penting. Dalam konteks identitas inilah penting dan relevan membangun wacana arsitektur Jawa di tengah-tengah derasnya pengaruh nilai seni. Dengan demikian, pemaknaan arsitektur Joglo seharusnya diwacanakan berdasarkan metafisika yang dimilikinya karena apabila tidak demikian, maka yang terjadi adalah kematian metafisika arsitektur Joglo akibat mengalami kekalahan wacana.
Pentingnya kearifan lokal dalam membangun identitas arsitektur Jawa, termasuk Joglo, menurut metafisikanya sendiri, juga karena terdapat perbedaan filosofis antara arsitektur Jawa dan arsitektur lainnya. Arsitektur Barat misalnya, begitu lazim dimaknai sebagai “arsitektur perlindungan”, sedangkan arsitektur Jawa sebagai “arsitektur pernaungan”. Perbedaan ini bermula dari cara pandang masyarakat terhadap kosmosnya. Masyarakat Barat cenderung mengekplorasi dan menguasai alam untuk meningkatkan kualitas proses hidup dan kelangsungan kehidupannya. Sementara itu, masyarakat Jawa lebih mengutamakan hidup seimbang dan selaras dengan kosmosnya untuk mencapai keharmonisan kehidupannya. 
Dalam konteks sebagai bangunan tempat tinggal, Prijotomo (2008:3) berpendapat bahwa pada dasarnya arsitektur rumah Jawa merupakan perwujudan dari arsitektur pernaungan. Pendapat ini tampaknya didasarkan atas informasi yang terdapat di dalam sumber tradisional Jawa, yakni Kawruh Kalang yang mengatakan, "tiyang sumusup ing griya punika saged kaupamekaken ngaub ing sangandhaping kajeng ageng” yang berarti, 'orang yang masuk ke dalam bangunan rumah bagaikan bernaung (berteduh) di bawah pohon (niatan) yang besar'.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dikatakan bahwa apabila fungsi utama bangunan tempat tinggal adalah "pernaungan" maka konsep arsitektur yang mendasarinya adalah "arsitektur pernaungan". Aktivitas "bernaung" adalah aktivitas yang bersifat sementara. Aktivitas ini lazim dilakukan oleh seseorang yang sedang melakukan perjalanan panjang, berhenti sejenak untuk beristirahat dengan mengambil tempat yang teduh sambil makan dan minum untuk dapat kembali meneruskan perjalan panjangnya hingga sampai tempat tujuan. Tampaknya ungkapan ini merupakan gambaran dari pandangan manusia Jawa mengenai perjalanan hidupnya hingga sampai tujuan akhir dari kehidupan. Berkenaan dengan perjalanan hidup ini manusia Jawa memiliki ungkapan tradisional “urip iku sak drema mampir ngombe” (hidup itu hanya sekadar mampir minum). Artinya, bagi manusia Jawa, rumah tinggal (griya) adalah ruang hidup material yang merupakan miniatur dari kehidupan duniawi yang bersifat sementara, sekadar untuk bernaung dan beristirahat, untuk menuju “niatan besar” (tujuan akhir perjalanan hidup manusia dalam kesempurnaan) manunggaling kawula Gusti.
Pemahaman manusia Jawa mengenai rumahnya yang dipadukan dengan  konsep Pajupat di atas dapat digambarkan melalui ilustrasi berikut (Gambar 4).
Gambar 4. Gambaran rumah sebagai miniatur kosmos (dokumen Pitana, 2009).

Untuk menghadirkan arsitektur yang berkaitan dengan kesadaran ruang hidup materialnya, manusia Jawa mengambil titik tolak perwujudan arsitektur dengan menetapkan ukuran dari balandar dan pangeret yang lazim disebut pamidhangan. Balandar dan pangeret adalah rangkaian balok yang ditempatkan di pucuk saka (tiang kolom) (Prijotomo, 2008:2). Artinya, manusia Jawa tidak menetapkan ukuran bangunan dengan menunjuk bagian bangunan yang ada di bawah, melainkan yang ada di atas kepala sebagai titik berangkatnya. Dengan demikian, saka lalu menjadi tumpuan duduk bagi balandar-pangeret, bukan menjadi perangkai saka-saka yang berjejer dalam dua baris menyamping, bukan pula merupakan bagian struktural dari rangkaian struktural balok-tiang. Di atas balandar-pangeret bertenggerlah atap yang dapat bertipe tajug, juglo (lebih dikenal dengan joglo), limansap (lebih dikenal dengan limasan) atau kapung (lebih dikenal dengan kampung) yang selanjutnya menjadi sebutan atau nama bagi bentuk bangunan Jawa. Atap ini pula yang menyandang tugas utama menjadi penaung dan peneduh bagi balandar-pangeret. Atap pertama-tama adalah penaung dan peneduh balandar-pangeret, bukan penaung dan peneduh rongga yang terbangun dari deretan saka. Menurut Prijotomo (2008:3), di atap ini pulalah digantungkan kebutuhan dari pemilik mengenai penggunaan bangunan yang akan dia miliki misalnya, penggunaan sebagai dalem dan gandhok.
Di atap tidak hanya digantungkan kebutuhan dari pemilik mengenai penggunaan bangunan, tetapi juga hasrat pemilik menjadi unsur perwujudannya. Oleh karena itu, empat tipe atap bangunan tersebut dalam penggunaanya telah mengalami variasi pengembangan mengikuti kebutuhan dan hasrat dari pemilik bangunan. Bentuk atap menjadi simbol status sosial, bangsawan atau rakyat biasa. Para bangsawan cenderung mengutamakan kepuasan (hasrat) dan rakyat biasa cenderung mengutamakan fungsi (kebutuhan) (Frick, 1997:131). Hal ini dengan mudah diamati pada perwujudan arsitektur nDalem Kepangeranan. Hampir keseluruhan bangunan nDalem Kepangeranan memiliki dimensi ukuran yang rata-rata lebih besar daripada rumah orang Jawa pada umumnya. Bahan-bahan bangunan sebagai unsur perwujudan fisik dipilih dengan perhitungan yang rumit dan memiliki kualitas yang sangat bagus. Ragam hias sebagai unsur estetika bangunan dibuat dengan teknik dan bahan-bahan yang berkualitas tinggi. Semuanya itu adalah sebagai suatu pemenuhan atas kepuasan hasrat untuk memunculkan kesan kemegahan, kemewahan, dan kewibawaan penghuninya.

4. Arsitektur Joglo Sebagai Sarana Komunikasi Visual
Rasionalisasi arsitektur Joglo sebagai ekspresi komunikasi visual bisa berangkat dari suatu pemahaman manusia sebagai makhluk berkesadaran, yaitu manusia tahu bahwa ia mengetahui sesuatu tentang sesuatu. Ini dibuktikan dengan kemampuan berpikir dan berkomunikasi yang dimiliki. Berpikir adalah berkata-kata dalam hati sendiri dan berkomunikasi adalah berkata-kata antarsubjek. Mengingat kedua kegiatan ini merupakan tindak tutur dengan menekankan pada penggunaan kata-kata sehingga kegiatan semacam ini tidak dimungkinkan tanpa bahasa. Begitulah dengan bahasa, manusia bisa saling memahami dan mewujudkan pengertian di antara sesamanya. Kesalingpengertian dan pemahaman inilah yang dimaksud dengan kesadaran dan di dalamnya bahasa menjadi alat dan wujud kesadaran itu sendiri. Ketika bahasa diterima menjadi wujud kesadaran kolektif masyarakat manusia, maka manusia sudah menciptakan wacana di dalam dunianya sendiri. Sebagaimana arsitektur Joglo yang telah diidentikkan dengan arsitektur Jawa, perwujudannya merupakan respon manusia Jawa terhadap kebutuhan ruang hidup materialnya yang didasarkan pada kosmologi Jawa.
Pengandaian perwujudan arsitektur sebagai bahasa (sarana komunikasi visual) dalam membangun kesadaran kolektif masyarakatnya memerlukan bahasa yang dikuasai dan dipahami oleh masyarakat itu sendiri yang lazim disebut “bahasa ibu”. Apabila kearifan lokal menjadi dasar pengembangan arsitektur Jawa, maka kearifan lokal dapat dianggap sebagai bahasa ibu arsitektur Jawa. Oleh karenanya, arsitektur Joglo secara tekstual dianggap sebagai karya adiluhung budaya Jawa. Fungsi pewadahan dan pernaungan menempatkannya bukan hanya sebagai wujud karya arsitektur Jawa yang bersumber pada kearifan lokal, tetapi juga dimaknai sebagai pusat kosmos dan magi budaya Jawa. Dalam hal ini magi budaya adalah nilai-nilai sakral dan simbolisasi tuntunan hidup manusia untuk mencapai keselamatan. Sebaliknya, secara kontekstual arsitektur Joglo dipandang sebagai simbol yang telah menjadikannya sebagai objek interpretasi yang melahirkan multimakna. Sakralitas makna simbolik yang diberikan dan diyakini oleh internal masyarakat Jawa telah mengalami pembongkaran dan pemaknaan ulang oleh berbagai pihak yang bertindak sebagai subjek. Artinya, makna simbolik arsitektur Joglo telah didekonstruksi oleh sejumlah pihak dengan caranya sendiri-sendiri untuk menemukan konstruksinya yang baru. Di titik ini, sakralitas dan profanitas menjadi permainan wacana yang dapat diurai dari relasi-relasi kuasa dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya. Misalnya, Magnis-Suseno (1999:150) menjelaskan bahwa seluruh kebijaksanaan hidup Jawa dapat dirangkum dalam tuntutan dasar untuk selalu menempati tempat yang tepat. Demikian juga epistemologi dengan mengutamakan kategori tempat, agar kehidupan terus berjalan; sistem etika Jawa yang lebih menonjolkan kategori tempat; bahkan apa yang harus dilakukan masing-masing ditentukan oleh tempatnya dalam masyarakat. Konsekuensi dari pandangan ini adalah penerimaan orang Jawa terhadap misteri kehidupan yang selanjutnya disebut dengan kearifan lokal.
Manusia Jawa meyakini bahwa antara ”wadah” dengan ”isi” diperlukan adanya keseimbangan, kesejajaran, bahkan keterpaduan sehingga tercipta ketenteraman batin, kesejahteraan, dan kemakmuran dalam hidup dan kehidupan. Kesejajaran antara wadah dan isi tersebut dilambangkan dengan adanya suatu konsep kesatuan mikrokosmos (manusia) dengan makrokosmos (alam raya) (Nugroho, 1996: 18-20). Konsep kemanunggalan makrokosmos dan mikrokosmos ini diartikan bahwa manusia telah menjalin hubungan dengan kekuatan di  luar dirinya yang jauh lebih besar sehingga manusia bersangkutan akan terjaga dan mampu meningkatkan kekuatannya menjadi lebih besar yang pada akhirnya, akan mampu mendatangkan kesejahteraan, kesuburan, dan hal-hal positif lainnya bagi hidup dan kehidupan manusia (Ronald, 1993:30). Kepercayaan adanya kekuatan di luar diri manusia, bukan saja kekuatan yang datang dari Tuhan sang kuasa mutlak, akan tetapi juga kekuatan-kekuatan supra-natural yang ada di jagad raya ini. Kepercayaan ini selalu menempatkan manusia sebagai pusat (pancer) yang dikelilingi kekuatan empat penjuru mata angin (keblat papat) bersifat tidak bergerak (mantap), akan tetapi menggerakkan (kuasa dinamis). Kepercayaan Jawa inilah yang akhirnya, melahirkan terminologi papat keblat kalima pancer yang disebut Pajupat (Prijotomo, 1992:29-31).
Sebagai realitas ciptaan, arsitektur Joglo merupakan karya masterpiece, adiluhung, dan sophisticated jika dipandang dari aspek filosofis, kaidah-kaidah keseimbangan antara fungsi dan konstruksi, klimatologi, kepadatan pengguna dan area, komposisi bahan, proporsi, tampilan, garis tegas ornamen, sampai makna warna. Hal ini menunjukkan bahwa arsitektur Jawa menjadi produk kebudayaan yang sarat kearifan lokal, bersifat objektif, dan karenanya teramati. Ini juga sebabnya arsitektur Jawa memiliki kemampuan berkomunikasi melalui tanda grafis (sign) yang melekat padanya. Dalam artian bahwa tanda-tanda grafis (sign) arsitektural yang membangun arsitektur Joglo adalah makna denotatif dan konotatif menurut sandi-sandi (codes). Apabila nilai simbolisme arsitektur Joglo terletak pada caranya menyampaikan makna dari wujud suatu bangunan yang mengandung bobot ekspresi (signifer) dan bobot makna (signified), maka bobot ekspresi yang dimaksudkan tercermin pada perwujudan arsitekturnya. Bobot ekspresi ini meliputi ruang dan permukaannya (facade), sedangkan bobot makna yang dimaksud adalah media yang berisi muatan atau pesan yang hendak disampaikan.
Sebagai contoh, bangunan rumah tinggal di Jawa yang lazim dimaknai sebagai miniatur kosmos penghuninya. Bobot ekspresi dari arsitektur Jawa ini terkandung pada struktur tata ruang dan (facade) beserta ornamental designnya. Sementara itu, bobot maknanya terdapat pada makna simbolik dari perwujudan fisik bangunan tersebut yang meliputi struktur tata ruang, konstruksi, dan ornamental design. Pertama, makna simbolik dari typologi struktur tata ruang bangunan rumah Jawa yang cenderung dimaknai berkarakter feminim dapat diuraikan sebagai berikut. 
1)      Topengan (kuncungan), bagian bangunan ini berada di paling depan yang bersifat publik dan keberadaannya bisa ada atau dihilangkan. Artinya, bagian ini merupakan bukan wajah sebenarnya dari penghuninya yang lazim ditempatkan di bagian paling depan, sebagaimana topeng yang berfungsi sebagai kamlufase wajah sebenarnya.
2)      Pendapa, ruang ini berada di balik topengan (apabila ada) yang bersifat publik dan berfungsi untuk menerima tamu. Bagian ini dapat dianalogikan sebagai wajah asli dari penghuninya. Artinya, keramahan atau karakter penghuninya dapat dilihat dari tampilan ruang pendapa ini.
3)      Pringgitan, ruang ini berada di antara pendapa dan dalem ageng. Sesuai dengan namanya, ruang ini difungsikan sebagai tempat untuk menggelar ringgit (wayang kulit/wayang purwa). Keberadaan ruang ini dapat dianalogikan sebagai leher seorang perempuan yang tampak pantas dan lebih indah ketika diberi perhiasan. Lazimnya, semakin bagus dan mahal perhiasan yang dikenakan, status sosialnya akan semakin naik. Demikian pula status sosial dari penghuni rumah, apabila semakin sering menggelar ringgit, maka status sosialnya di mata masyarakat sekitarnya semakin naik.
4)      Dalem ageng, ruang ini bersifat privat, tertutup, dan sakral yang berada di belakang pringgitan. Keberadaan ruang ini dapat dianalogikan seperti tubuh perempuan yang harus tertutup (dibungkus baju) karena bersifat sakral. Namun demikian, di dalam ruang sakral ini ada yang lebih sakral lagi, yaitu keberadaan senthong (senthong kiwa, senthong tengah, dan senthong tengen). Oleh karenanya, selain mengenakan pakain untuk menutup tubuhnya, seorang perempuan juga mengenakan pakaian dalam karena ada yang lebih privat dan sakral untuk ditutupi dan dilindungi.
5)      Senthong kiwa, senthong tengen, dan senthong tengah. Tiga ruang yang berjajar di sisi belakang dalem ageng. Senthong kiwa dan tengen, kedua ruang ini berada berjajar simetris mengapit senthong tengah. Kedua ruang ini difungsikan sebagai ruang tidur. Secara fisik ruang ini tertutup dan memiliki daun pintu. Keberadaan ruang ini dapat dianalogikan seperti paha perempuan yang harus kokoh dan tertutup. Apabila tidak kokoh dan tertutup rapat, maka kebaradaan senthong tengah yang difungsikan untuk menyimpan benih-benih unggul pertanian dan hanya tertutup sehelai tirai putih akan sangat terancam. Keberadaan senthong tengah ini dapat dianalogikan sebagai rahim perempuan yang hanya dilindungi oleh selaput keperawanan. Oleh karenanya, secara simbolik pesan yang hendak disampaikan bahwa seorang perempuan akan dapat menjaga dan melahirkan bibit-bibit unggul apabila “senthong kiwa dan tengen” kokoh dan terlindungi agar “senthong tengahnya” tidak mudah terkoyak dan benih-benih yang tersimpan di dalamnya dapat terjaga dan tidak diambil oleh “burung-burung liar” yang pada saatnya dapat “disemaikan, dirawat, dan memberikan hasil yang sebaik-baiknya”. 
Konsekuensi dari pemahaman bahwa kebudayaan Jawa lebih condong pada kehidupan dan karenanya mengakomodasi jiwa-jiwa tangguh, mempunyai sifat plastik dibandingkan dengan pengetahuan. Hal ini dapat dilihat pada pemahaman mengenai ruang dalam pengertian arsitektural, yakni bahwa ruang merepresentasikan kejadian atau suatu ikatan ingatan kolektif. Menurut Umberto Eco, ruang-ruang arsitektural merupakan sarana komunikasi visual yang pemaknaannya tidak akan pernah berhenti. Tidak sekedar ada, tetapi selalu mengada. Ini berarti persoalan arsitektur bukan hanya berhenti pada persoalan geometris, penciptaan ruang, dan menghuninya, melainkan lebih pada dimensi "kekinian" yang dalam istilah Derrida disebut dengan "kemenjadian" (becoming). Bukan hanya ada (being), tetapi juga mengada (beings). Malahan dengan mengikuti logika resepsi Jauss yang memahami sebuah teks atau kejadian meliputi proses mediasi terus-menerus antara kini dan masa lampau, informasi yang diberikan oleh simbol komunikasi visual tersebut menuntut penafsir (subjek) selalu dikondisikan secara historis dan konteks kekiniannya (Cavallaro, 2004:97). Ada dimensi kini dan masa depan yang dalam resepsi Jauss disebut dengan "horizon harapan" yang bersifat kolektif.

5. Simpulan
Berdasarkan paparan di atas dapat ditarik tiga simpulan. Pertama, sebagai ekspresi ruang kesadaran manusia Jawa, arsitektur Joglo merupakan ekspresi kehendak dan kekuasaan yang merupakan refleksi dari hasrat manusia Jawa. Manusia Jawa dengan hasratnya telah mengembangkan arsitektur Joglo menjadi ilmu rancang bangun yang tidak hanya dibatasi oleh ruang dan gatra (sesuatu yang tampak terwujud) atau garis dan bidang, tetapi arsitektur Joglo telah berkembang menjelajahi ruang kesadaran manusia jauh ke relung-relung keindahan yang kemudian, diposisikan menjadi nilai ideal.
Kedua, ruang kesadaran manusia Jawa yang menempatkan kearifan lokal menjadi bagian penting dalam membangun identitas arsitektur Jawa menjadikan arsitektur Joglo berkembang menurut metafisikanya sendiri dan memiliki perbedaan filosofis yang jelas antara arsitektur Joglo dan arsitektur lainnya.
Ketiga, diskursus kearifan lokal sebagai bahasa ibu arsitektur Jawa sepatutnya diarahkan kepada upaya membangun ruang kesadaran baru masyarakat Jawa untuk dapat melepaskan arsitektur Jawa, termasuk arsitektur Joglo, dari bungkus dan label “arsitektur tradisional” untuk membangun wacana baru sebagai “arsitektur masa depan” yang sejajar atau bahkan berani bersaing dengan arsitektur Barat

Daftar Pustaka

Ali, Matius. 2004. Estetika: Sebuah Pengantar Filsafat Keindahan dari Yunani Kuno Sampai Zen Buddhisme. Tangerang: Sanggar Luxor.
Broadbent, G., Bunt, R., and Jencks, C. 1980. Sign, Symbols, and Architecture. New York: John Wiley & Sons Ltd.
Cassirer, Ernst 1987. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia (terjemahan oleh Alois A. Hugroho). Jakarta: Gramedia.
Cavallaro, Dani. 2004. Teori Kritis dan Teori Budaya. Yogyakarta: Niagara.
Copleston, Frederick. 1975. Friederich Nietzsche: Philosopher of Culture. USA: Harper & Row.
Foucault, Michel. 2002. Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Michel Foucault. Yogyakarta: Jalasutra.
Foucault, Michel. 2007. Order of Thing: Arkeologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lubis, Akhyar Yusuf.  2004.  Setelah Kebenaran dan Kepastian Dihancurkan Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan: Sebuah Uraian Filsafat Ilmu Pengetahuan Kaum Posmodernis.  Bogor: Akademia.
Magnis-Suseno, F. 1999. Etika Jawa : Sebuah Analisa Fasafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Mangunwijaya, Y.B. 1992. Wastu Citra, Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis, 2nd edn. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Muqoffa, Mohamad 1998. Aspek Jender Pada Dalem Bangsawan Di Surakarta Dalam Dinamika Perubahan Sosial (tesis). Bandung: Program Pascacarjana Institut Teknologi Bandung.
Muzir, Inyiak Ridwan. 2008. Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gademer. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Norris, Christopher. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Terj. Inyiak Ridwan Muzir. Jogjakarta: Ar-Ruzz.
Nugroho, A. 1996. Menguak Hong Shui Kejawen, 2nd edn.  Solo: Aneka.
Pangarsa, Galih W. 2008. "Membaca Buku Teles dan Buku Garing". Makalah dipresentasikan pada Diskusi Ilmiah Arsitektur UNS, 12 Agustus 2008, di Jurusan Arsitektur UNS.
Pitana, T.S. 2001. The Javanese Cosmology and Its Influence on Javanese Architecture (tesis). Australia: James Cook University.
Prijotomo, J.  2008. "Cerlangtara, Bukan Kearifan Lokal: Catatan Bagi Ke-liya-an Arsitektur Nusantara". Makalah dipresentasikan pada Diskusi Ilmiah Arsitektur UNS, 12 Agustus 2008.
Prijotomo, J. 1992. Ideas and Form of Javanese Arcitecture. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ratna, Kutha.  2005.  Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 
Ronald, Arya 1993. Transformasi Nilai-nilai Mistik dan Simbolik Dalam Ekspresi Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Yogyakarta: Lembaga Javanologi Panunggalan.
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.




* Staf Pengajar Program Studi Arsitektur, Jurusan Arsitektur, Fak. Teknik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Indonesia. Alamat e-mail: titis_pitana@yahoo.com.