ARSITEKTUR JOGLO:
EKSPRESI RUANG KESADARAN MANUSIA JAWA, KEARIFAN LOKAL
JAWA, DAN SARANA KOMUNIKASI VISUAL
Oleh
Dr. Titis
Srimuda Pitana, S.T., M.Trop.Arch.*
Abstrak
Secara sederhana, arsitektur sering diartikan sebagai
ruang
hidup material yang mengekspresikan kesadaran, kehendak, dan kekuasaan manusia. Arsitektur Joglo
merupakan salah satu perwujudan ruang hidup material Jawa yang paling populer. Dalam
ruang kesadaran manusia, kehendak dan kekuasaan adalah refleksi dari hasrat
manusia. Manusia dengan hasratnya telah mengembangkan arsitektur menjadi ilmu
rancang bangun tidak hanya dibatasi oleh ruang dan gatra (sesuatu yang tampak terwujud) atau garis dan bidang. Akan
tetapi, arsitektur telah berkembang menjelajahi ruang kesadaran manusia jauh ke
relung-relung keindahan yang kemudian, diposisikan menjadi nilai ideal.
Kearifan lokal lazim dimaknai sebagai bangun pengetahuan yang
bersumber dari nilai-nilai dan potensi lokal yang diwacanakan secara lisan dari generasi
ke generasi yang akhirnya disebut kebudayaan tradisional. Pengandaian
perwujudan arsitektur Jawa sebagai bahasa (sarana komunikasi visual) dalam
membangun kesadaran kolektif masyarakatnya memerlukan bahasa yang dikuasai dan
dipahami oleh masyarakat itu sendiri yang lazim disebut “bahasa ibu”. Apabila
kearifan lokal menjadi dasar pengembangan arsitektur Jawa, maka kearifan lokal
dapat dianggap sebagai bahasa ibu arsitektur Jawa.
Kata kunci: joglo, kearifan lokal, arsitektur Jawa
1. Pendahuluan
Arsitektur
Joglo merupakan salah satu bentuk arsitektur Jawa yang paling populer dan begitu
lazim diposisikan menjadi arsitektur tradisional Jawa yang adi luhung. Popuparitas
tersebut karena bentuk arsitektur Joglo ini merupakan bentuk dominan yang
digunakan pada bangunan yang ada di kawasan keraton-keraton di Jawa, selain
pada bangunan-bangunan milik para bangsawan di Jawa. Sebagai produk budaya yang
lazim diposisikan menjadi arsitektur tradisional, arsitektur Joglo harus
berhadapan dengan arsitektur modern yang selalu diwacanakan oleh dunia Barat,
sebagaimana positivisme mengafirmasi kebenaran sebagai ‘paradoksal’. Realitas
ini pada kenyataan telah merebut kesadaran bahwa arsitektur Joglo sebagai
produk budaya Jawa eksistensinya sangat terikat pada masa lalu dan tidak mampu
mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya, arsitektur modern karena sifat
kebaruannya sehingga selalu sejalan dengan selera dan kodrat manusia yang
selalu menghendaki yang serba baru dan bergerak ke masa depan termasuk dalam
bidang seni rancang bangun. Dengan demikian, arsitektur modern berhasil
membangun kesadaran baru dan mendominasi kesadaran manusia Jawa dalam berarsitektur
dengan terjebak stereo-type ‘tradisional’.
Akibatnya, hampir seluruh aktivitas kearsitekturan Jawa berorientasi ke dunia
Barat, tempat budaya modern berasal. Apabila dominasi kesadaran arsitektur
modern ini dibiarkan berkembang semakin dalam di benak manusia Jawa, maka Joglo
sebagai produk arsitektur Jawa akan mengalami kesulitan mengelola kelangsungan
hidupnya karena dianggap tidak mampu mengembangkan diri dan telah mati sebagai
artefak kebanggaan masa lalu.
Nilai-seni
intinya bersumber pada nilai-kebaikan; dan nilai-kebaikan sejatinya berasal
dari nilai-kebenaran, sebagaimana yang terjadi pada arsitektur. Patut disadari
bahwa kebenaran tidak melulu terdapat pada yang baru, tetapi juga pada yang
tradisional, bahkan kebenaran tersebar pada sepanjang pengalaman manusia, bukan
hanya ditentukan berdasarkan akal dan rasional, sebagaimana manusia modern
menakar kebenaran itu sendiri. Oleh karena itu, makalah ini ingin mengajak para
akademisi dan praktisi yang bergelut dalam bidang seni rancang bangun untuk
memberikan porsi dan posisi yang seimbang antara arsitektur Joglo yang
merupakan produk arsitektur Jawa dan arsitektur Modern yang lazim disematkan
untuk arsitektur Barat. Dalam konteks ini dipandang penting dan relevan
mengetengahkan perbincangan tentang arsitektur Joglo sebagai ekspresi ruang
kesadaran manusia Jawa; arsitektur Joglo sebagai ekspresi kearifan lokal Jawa;
dan arsitektur Joglo sebagai sarana
komunikasi visual.
2. Arsitektur Joglo Sebagai Ekspresi Ruang Kesadaran Manusia
Jawa
Dalam dunia
arsitektur, secara sederhana, ruang sering diartikan sebagai wadah tempat
berlangsungnya suatu kegiatan. Artinya, manusia dalam berkegiatan
(beraktivitas) tidak akan pernah lepas dari keberadaan ruang sebagai wadah
kegiatannya. Persoalannya, seberapa jauh manusia menyadari eksistensi dan
memaknai ruang tersebut dalam kehidupannya agar segala tindakan atau
keputusannya adalah dianggap tepat? Ketepatan suatu tindakan oleh manusia Jawa
sering diungkapkan dalam terminologi bener
iku kudu pener, lire jumbuh klawan
empan papan (benar itu harus tepat, artinya sesuai dengan ruang dan waktu).
Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa kebenaran, bagi manusia Jawa, adalah
sesuatu yang terfragmentasi, yaitu terpenggal-penggal sesuai dengan ruang dan
waktu, sehingga manusia harus tetap menjalin keselarasan dengan ruangnya untuk
selalu mendekatkan pada kebenaran. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran terhadap
ruang menjadi suatu yang sangat penting bagi manusia.
Apabila manusia dianggap sebagai animal
symbolicum, yaitu makhluk seperti binatang yang mampu menciptakan simbol,
seperti yang dikatakan oleh Ernst Cassier (1987:41-42) dalam
bukunya An Essay on Man, dan
ruang diartikan sebagai wadah suatu kegiatan, maka kesadaran manusia terhadap
ruang itu sendiri dalam berkegiatan adalah sebagai dasar munculnya respon
terhadap situasi yang melingkupinya. Artinya, apakah suatu kegiatan manusia
yang terjadi telah sesuai dengan kesadaran pelakunya ataukah tidak adalah
bergantung pada kesadaran pelakunya terhadap keberadaan ruang yang
melingkupinya. Dalam pemahaman manusia Jawa kesesuaian antara kesadaran dan
respon ini diartikan sebagai keselarasan antara wadah dan isi. Begitu
pentingnya keselarasan tersebut seperti tertuang dalam Serat Dewa Ruci yang
merupakan wejangan Dewa Ruci pada Bima, sebagai berikut.
“Kang ingaran urip mono mung jumbuhing badan wadaq lan batine,
pepindhane wadhah lan isine…
Jeneng wadah yen tanpa isi, alah dene arane wadhah, tanpa tanja tan ana
pigunane
semono uga isi tanpa wadhah, yekti
barang mokal…
Tumrap urip kang utama tertamtu ambutuhake wadhah lan isi,
kang utama karo-karone.”
(Kutipan dari salah satu Serat
Dewa Ruci)
Yang disebut hidup adalah
manunggalnya tubuh dan batin (raga dan jiwa),
ibarat wadah dan isinya…
Wadah tanpa isi, adalah sia-sia
disebut wadah,
tidak akan berarti dan berguna.
Demikian juga isi tanpa wadah,
adalah sesuatu yang mustahil…
Untuk hidup yang sempurna
membutuhkan wadah dan isi,
yang utama adalah kedua-duanya.
Subjektifitas dan interpretasi bebas mengenai kutipan Serat Dewa Ruci di
atas mengarahkan tulisan ini untuk menjadikannya sebagai suatu analogi
pandangan manusia Jawa yang archaic
mengenai keberadaan jagad gede
(makrokosmos/jagad raya) dan jagad cilik
(mikrokosmos/diri manusia) yang akhirnya menghasilkan empat asumsi dasar untuk
dijadikan pijakan argumen dalam pembahasan mengenai kesadaran manusia terhadap
ruang hidupnya. Pertama, pandangan
manusia Jawa terhadap kosmosnya adalah merupakan bentuk nilai tetap yang selalu
hadir dalam kehidupannya. Kedua,
norma dan etika hidup manusia Jawa dalam interaksi sosial diatur melalui
prinsip kerukunan, hormat, dan keselarasan. Ketiga,
prinsip kerukunan, hormat, dan kesalaran dalam interaksi sosial tersebut
menjadikan manusia Jawa sangat terbuka dalam menerima suatu perubahan.
Perubahan yang paling banyak terjadi adalah pada sistem nilai, sedangkan untuk
norma yang diwujudkan pada perilaku relatif tidak berubah. Keempat, identitas diri yang terbentuk diungkapkan melalui pikiran
dan perbuatan yang total, berlandasan dan beralasan. Dalam ruang hidup
materialnya, hal tersebut dikomunikasikan secara tidak langsung, tetapi diungkapkan
dengan menggunakan simbol.
Istilah arkhais di atas, pada awalnya adalah istilah yang
dikemukakan oleh Mircea Eliade untuk menggantikan istilah primitif. Menurutnya
sebutan primitif bagi suatu masyarakat akan menimbulkan kesan kebodohan
primodial atau taraf mental yang rendah. Selanjutnya, yang dikatagorikan
sebagai masyarakat arkhais adalah masyarakat yang menurut Mircea Eliade memiliki
karakter-karakter sebagai berikut (Susanto, 1987:43-44).
(1)
Setiap keberadaan dan tindakan hanya bermakna
dan efektif sejauh keberadaan itu mempunyai prototipe Ilahi atau tindakan itu
mereproduksikan tindakan kosmologis awal mula (arketipe penciptaan dan kehidupan Ilahi yang suci).
(2)
Kosmologi menduduki tempat utama dalam
kehidupan kesehariannya.
(3)
Pemikiran-pemikirannya pertama-tama diungkapkan
dalam bentuk simbol-simbol.
(4)
Tidak membedakan antara sejarah dengan mitos,
karena sejarah selalu dianggap sejarah suci dan menganggap dirinya sebagai
produk akhir dari suatu sejarah mistis.
(5)
Tingkah lakunya bersifat eksistensial,
artinya praktek-praktek dan keperayaan religius mereka selalu berpusat pada
masalah-masalah fundamental manusia; tidak mengenal aktivitas profan; alam
tidak hanya dipandang sebagai natural murni, tetapi sekaligus natural dan
supra-natural.
(6)
Kehidupan mereka sangat religius.
Dalam konteks kosmologi, manusia Jawa memiliki panduan
petunjuk arah yang disebut dengan konsep Pajupat.
Konsep ini berdasarkan dua hal penting yang berkaitan dengan pengetahuan
manusia Jawa tentang penciptaan dan kekuasaan Sang Pencipta yang dapat
dijelaskan sebagai berikut.
(1)
Tentang penciptaan, sebelum ada dunia, belum
ada apa-apa, yang ada hanyalah Tuhan. Kemudian diciptakanlah cahaya, api, bumi,
air, dan laut. Sebelum ada cahaya, telah ada suara terlebih dahulu, yaitu suara
gaib (tak berwujud dan tak jelas warnanya). Kemudian diciptakanlah cahaya rukyati (cahaya kehidupan) dan cahaya
inilah yang menciptakan anasir manusia berupa api, tanah, angin, dan air. Api
menjadi nafsu yang menyebabkan cahaya merah, hitam, kuning, dan putih. Tanah
menjadi badan, yaitu kulit, daging, tulang, sumsum. Angin menjadi napas yang
bertempat di lisan (mulut), hidung,
telinga, dan mata. Air menjadi roh, yaitu roh jasmani, hewani, nabati, dan
nurani. Pengetahuan ini melahirkan keyakinan bahwa
alam semesta ini diciptakan Tuhan untuk manusia. Agar hidup manusia selamat,
manusia harus bisa memahami alam semesta ini sebagai simbol kekuasaan Tuhan.
Dengan alam Tuhan telah memberikan petunjuk arah (kiblat) agar orang tidak
salah arah dalam menjalani kehidupannya. Kiblat alam semesta diawali dari arah
Timur (wetan atau witan), artinya kawitan (awal mula). Arah Timur adalah awal kiblat, sebagai simbol
saudara manusia yang disebut kawah.
Selanjutnya, menyusul Selatan sebagai simbol darah, Barat sebagai simbol pusar
(plasenta), dan Utara sebagai simbol adhi ari-ari. Pemahaman ini akhirnya
melahirkan terminologi kakang kawah adhi
ari-ari, yaitu empat unsur yang diyakini sebagai saudara kembar manusia
yang lahir pada hari yang sama tetapi berbeda tempat. Keempat arah kiblat
tersebut oleh orang Jawa senantiasa disatukan dan diseimbangkan. Apabila
tercapai keseimbangan, dalam membina hubungan dengan empat saudara tersebut,
keempatnya mau membantu pancer
(manusia yang terlahir) (Endraswara, 2006a:7).
(2)
Tentang Sang Pencipta, kepercayaan adanya
kekuatan di luar diri manusia, bukan saja kekuatan yang datang dari Tuhan sang
kuasa mutlak, tetapi juga kekuatan-kekuatan supranatural yang ada di jagad raya
ini. Kepercayaan ini selalu menempatkan manusia sebagai pusat (pancer) yang dikelilingi kekuatan empat
penjuru mata angin (keblat papat)
bersifat tidak bergerak (mantap), tetapi menggerakkan (kuasa dinamis) (Gambar 1). Kepercayaan Jawa inilah yang akhirnya, melahirkan
terminologi papat keblat kalima pancer
(Prijotomo, 1992:29-31).
![]() |
Gambar 1. Skema Pajupat
(Papat Keblat Lima Pancer) (Modifikasi dari skema Pajupat Pitana, 2001a).
Di dalam praktik kehidupan masyarakat Jawa konsep Pajupat dapat ditemukan dalam dua versi.
Pertama, konsep Pajupat Hindu-Jawa, yaitu adanya keyakinan bahwa setiap arah mata
angin dijaga oleh para dewa dengan segala kesaktian dan perannya masing masing
sehingga lokasi di tengah perpotongan arah mata angin diartikan sebagai lokasi
yang mengandung getaran magis yang amat tinggi. Kesaktian dan peran dewa-dewa
yang dimaksud, yakni sebagai berikut (Frick, 1997:85).
(1)
Arah Utara dijaga oleh Dewa Wisnu, yang
merupakan dewa pemelihara hidup dan kehidupan di bumi.
(2)
Arah Selatan dijaga oleh Dewa Anantaboga,
ialah dewa kesabaran dan kebahagiaan.
(3)
Arah Barat dijaga oleh Dewa Yamadipati, yang
merupakan dewa kematian.
(4)
Arah Timur, dijaga oleh Dewa Mahadewa, yang
merupakan dewa kebersamaan dan keseragaman (kesatuan dan persatuan) (Gambar 2).
Kedua, konsep Pajupat Kejawen, yaitu adanya petunjuk
lengkap cara pelaksanaan laku bila seseorang akan menggunakan arah keblat papat kalima pancer tersebut
dalam rangka mencapai suatu maksud tertentu. Sebagai contoh, bila seseorang
menginginkan kelancaran sandang pangan dalam kehidupannya petunjuk yang didapat
adalah yang bersangkutan menghadap ke Timur untuk melakukan meditasi atau
samadi dengan memakai pakaian serba putih (Gambar 3) (Miksic, 2004:102).
![]() |
Gambar 2. Pedoman Sumbu Kosmis Pajupat Hindu-Jawa (Frick, 1997:85).
![]() |
Gambar 3. Pedoman Sumbu Kosmis Pajupat Kejawen (Pitana dan Kuntjoro, 2001:5).
Berdasarkan perwujudannya, ruang dapat dikelompokkan menjadi dua macam,
yaitu (1) ruang hidup material, yaitu ruang yang secara visual memiliki
perwujudan fisik, keberadaannya adalah diidentifikasikan dengan adanya
batas-batas fisik yang dimilikinya, teramati secara visual; dan (2) ruang hidup
immaterial, yaitu ruang yang secara visual tidak memiliki perwujudan fisik atau
keberadaannya hanya dapat dirasakan melalui suatu kesadaran manusia karena
tidak memiliki batas-batas yang dapat teramati secara visual.
Dalam
ruang kesadaran manusia, kehendak dan kekuasaan adalah refleksi dari hasrat
manusia. Manusia dengan hasratnya telah mengembangkan arsitektur menjadi ilmu
rancang bangun tidak hanya dibatasi oleh ruang dan gatra (sesuatu yang tampak terwujud) atau garis dan bidang. Akan
tetapi, arsitektur telah berkembang menjelajahi ruang kesadaran manusia jauh ke
relung-relung keindahan yang kemudian, diposisikan menjadi nilai ideal. Nilai
keindahan inilah bahasa manusia yang disampaikan dengan media arsitektur.
Malahan Merleau-Ponty mengatakan bahwa berarsitektur adalah berbahasa manusia
dengan citra unsur-unsurnya, baik dengan bahan material maupun bentuk dan
komposisinya. Begitulah bahasa arsitektur selalu menghadirkan nilai keindahan
dengan penuh kejujuran dan kewajaran, sebagaimana diungkapkan oleh Thomas
Aquinas, 'pulchrum splendor est
veritatis', 'keindahan adalah pancaran kebenaran' (Mangunwijaya,
1992:9-10).
Pada
saat revolusi arsitektur yang dipelopori oleh pengikut Bauhaus (1919) di
Jerman, bahkan keindahan arsitektur dipandang bukan lagi bersifat insidental
atau sebagai suplemen terhadap fungsinya. Akan tetapi, keindahan arsitektur
identik dengan fungsinya. Malahan pada era posmodern, Charles Jencks dan
Venturi memberikan rambu-rambu bahwa keindahan arsitektur yang tertuang dalam
bangunan haruslah bersifat komunikatif (Ali, 2004:154-155).
Himbauan ini lebih merupakan bentuk kritik atas arsitektur modern
yang cenderung hanya merupakan permainan konotasi dan makna).
Dalam
konteks ruang kesadaran manusia Jawa, pararel dengan diskursus Foucault adalah
kata “pengertian”, seperti dijelaskan oleh Frans Magnis-Suseno (1999:200) bahwa
pengertian bagi manusia Jawa dekat dengan "kekuatan batin" (kesakten — pemusatan kekuatan kosmis, pembenaran-diri), sebagaimana
terungkap dalam kata “ngelmu”.
Ngelmu sekaligus berarti ilmu pengetahuan, pengertian (lebih-lebih dalam
arti mistik), dan kekuatan magis misalnya, dalam arti suatu kemampuan khusus
untuk pembelaan diri secara fisik. Dalam kata "pengertian" itu
terdapat makna perluasan kekuasaan pada manusia sendiri yang bersifat tetap,
yaitu manusia yang memiliki rasa-sejati.
Kata “pengertian” dapat dipahami sebagai proses pembebasan dari keterikatan
dalam bayang-bayang yang sementara dan lahiriah. Pembebasan itu berkaitan
dengan satu proses penghalusan dan pembatinan daya persepsi batin. Dengan
begitu, pengertian adalah suatu proses perkembangan pada subjek yang mengerti
itu sendiri. Pengertian subjek yang mengerti sendiri itu akan mengalami
pertumbuhan. Jadi, tekanan terletak pada subjek yang mengerti, bukan pada objek
pengertian yang harus diketahui — sebagaimana ajaran etika Sokrates. Orang Jawa
dalam ruang kesadarannya memahami pengertian semacam ini sebagai rasa yang secara inderawi dapat
diartikan sebagai kepekaan terhadap lingkungan fisik (termasuk ruang
arsitektur).
3. Arsitektur Joglo Sebagai Ekspresi Kearifan Lokal Jawa
Kearifan
lokal lazim dimaknai sebagai bangun
pengetahuan yang bersumber dari nilai-nilai dan potensi lokal yang diwacanakan secara lisan dari generasi
ke generasi yang akhirnya disebut kebudayaan tradisional. Namun demikian, harus
diakui bahwa kebenaran tidak selalu terdapat pada yang baru (modern), tetapi
juga pada yang tradisional, bahkan kebenaran tersebar pada sepanjang pengalaman
manusia, terfragmentasi sesuai dengan ruang dan waktu realitas berada, dan
bukan hanya ditentukan berdasarkan akal dan rasional. Sebagaimana perwujudan
arsitektur Joglo yang secara semiotik dikatakan sebagai sarana komunikasi
visual. Ini berarti bahwa arsitektur Joglo memiliki bahasa tersendiri dalam membangun
komunikasi yang baik dengan subjek-subjek pemakna di luar dirinya.
Tidak
dapat dimungkiri bahwa arsitektur Joglo dengan kearifan lokalnya adalah
realitas ciptaan yang lazimnya dianggap produk kebudayaan masa lalu.
Kecanggihan visi budaya kearsitekturan Jawa telah menjadikannya sebagai puncak
perwujudan arsitektur tradisional yang membanggakan. Akan tetapi, kebanggaan
terhadap karya arsitektur tradisional seperti ini terkadang menjadi sumber
malapetaka arsitektur tradisional itu sendiri. Dengan kebanggaan itu, bisa saja
tanpa disadari kemudian, masyarakat Jawa membangun sebuah konstruksi mental
yang menerima pengetahuan arsitektur tradisional ini sebagai kebenaran. Yang
dapat dilakukan terhadap sosok kebenaran, tentu seperti menangani sebuah
pusaka, yakni merawat dan menghindarkan pusaka itu dari perubahan. Keajegan
selalu diupayakan dan diperjuangkan, bahkan sampai pada pemaknaan simbol yang
melekat. Kondisi ini pada akhirnya menjadikan arsitektur Jawa tidak dipandang
sebagai simbol yang hidup karena keberadaannya telah dilingkupi dan dimatikan
oleh mitos-mitos yang diajegkan.
Oleh
karenanya muncul sikap yang salah, bila memandang kebudayaan sebagai sistem
pengetahuan kemudian, menempatkan arsitektur Jawa dengan kearifan lokalnya
hanya ke dalam wilayah arsitektur tradisional yang dibekukan dalam mitos, tanpa
boleh dimaknai sebagai ilmu yang bisa dikembangkan sesuai dengan tuntutan
zaman. Ini sejalan dengan usulan Prijotomo (2008:1) yang mengusulkan untuk
menyebut arsitektur tradisional di wilayah Jawa sebagai "arsitektur
Jawa". Hal ini lebih dimaksudkan sebagai tandingan terhadap munculnya istilah
“arsitektur Barat” yang dianggap lebih modern. Dengan kata lain, arsitektur
tradisional di wilayah Jawa, termasuk Joglo, adalah arsitektur liyan (the other) bagi arsitektur Barat. Menurut Pangarsa (2008:3) dalam
kaitannya dengan dunia pendidikan arsitektur dan perkembangan dunia arsitektur
yang mengedepankan kearifan lokal, arsitektur Jawa adalah arsitektur masa
depan. Artinya, sudah saatnya arsitektur Jawa dilepaskan dari bungkus dan label
“arsitektur tradisional” untuk membangun wacana baru sebagai “arsitektur masa
depan” yang memiliki bahasa ibu berupa kearifan lokal dan yang sejajar atau
bahkan berani bersaing dengan arsitektur Barat. Sebagai contohnya, manusia
Jawa menyebut tempat tinggalnya dengan istilah omah. Kata omah merupakan
bentukan dari dua kata om, yang
diartikan sebagai angkasa dan bersifat laki-laki (kebapakan), dan mah yang diartikan lemah (tanah) dan bersifat perempuan (keibuan). Sehingga omah (rumah) dimaknai sebagai miniatur
dari jagad manusia yang terdiri Bapa
Angkasa dan Ibu Pertiwi (Pitana,
2001:40). Realitas ini menunjukkan pada kita tentang pemahaman
manusia Jawa mengenai dualitas, yaitu adanya dua unsur yang dikotomis, dua
unsur yang bertolak belakang yang harus selalu diselaraskan. Hal ini merupakan
fenomena wajar dalam budaya Jawa yang memasukkan unsur jender ke dalam sistem
simbol dualitas, lingga dan yoni, bersifat maskulin dan feminim (Muqoffa, 1998:62).
Kesungguhan manusia Jawa dalam menjaga keseimbangan dan keselarasan antara
mikrokosmos dan makrokosmos dalam penentuan ruang hidup materialnya tidak hanya
diwujudkan dalam pemakaian istilah omah
untuk rumah, tetapi lebih pada pemakaian simbol pada hampir seluruh bagian yang
berkaitan dengan rumah itu sendiri, baik pada simbol materi maupun simbol
perilakunya. Simbol materi yang dimaksud di sini adalah untuk hal-hal yang
bersifat fisik dan dapat ditangkap secara inderawi, diantaranya adalah: pola
tata ruang dan tata massa bangunan, pola perwujudan bentuk bangunan, penggunaan
material bangunan, dan desain ornamen-ornamen yang melekat. Sedangkan untuk
simbol perilaku yang dimaksud adalah untuk hal-hal yang berkaitan dengan
tindakan dari manusia Jawa berkaitan dengan pembangunan rumahnya, diantaranya
adalah mengenai ritual-ritual, laku batin, dan gugon tuhon yang menyertai proses pembangunan sebuah rumah.
Misalnya, ritual bedah bumi untuk
pertanda memulainya penggalian tanah untuk pondasi rumah, atau ritual munggah penuwun untuk memulai memasang
balok kayu paling atas dari sebuah atap bangunan.
Kearifan
lokal yang dikandung dalam arsitektur Jawa sebagai wujud budaya memiliki
metafisikanya sendiri yang dibangun atas kesadaran dan diskursus pemiliknya.
Dalam hal ini kesadaran masyarakat Jawa dapat dicermati secara mendalam dari
alat kesadarannya, yaitu bahasa ibu. Mengingat bahasa ibu merupakan sumber
moralitas masyarakat dan sekaligus sebagai pembangun wacana, bahkan sebagai
pantulan falsafah hidup, yaitu pedoman hidup dan perilaku hidup. Dalam konteks
arsitektur Joglo sebagai salah satu bentuk arsitektur Jawa, bahasa ibu
arsitektur adalah kearifan lokal. Inilah yang menjelma dalam dunia
sosial-budaya menjadi nilai-nilai. Sistem nilai, baik sebagai pedoman hidup
maupun perilaku hidup tidak pernah final karena senantiasa mengalami
perkembangan inheren dalam perubahan zaman. Faktanya manusia tidak bisa
menjalankan kehidupannya sendiri tanpa terlibat dalam kehidupan sosial berupa
kegiatan kemasyarakatan. Malahan dalam kehidupan sosialnya manusia tidak jarang
harus membangun toleransi sehingga dimungkinkan terjadinya proses saling menerima
dan memberi nilai. Begitulah dalam dunia global manusia Jawa tidak dapat
menutup diri dari pengaruh bangsa lain sehingga identitas menjadi begitu
penting. Dalam konteks identitas inilah penting dan relevan membangun wacana
arsitektur Jawa di tengah-tengah derasnya pengaruh nilai seni. Dengan demikian,
pemaknaan arsitektur Joglo seharusnya diwacanakan berdasarkan metafisika yang
dimilikinya karena apabila tidak demikian, maka yang terjadi adalah kematian
metafisika arsitektur Joglo akibat mengalami kekalahan wacana.
Pentingnya
kearifan lokal dalam membangun identitas arsitektur Jawa, termasuk Joglo,
menurut metafisikanya sendiri, juga karena terdapat perbedaan filosofis antara
arsitektur Jawa dan arsitektur lainnya. Arsitektur Barat misalnya, begitu lazim
dimaknai sebagai “arsitektur perlindungan”, sedangkan arsitektur Jawa sebagai
“arsitektur pernaungan”. Perbedaan ini bermula dari cara pandang masyarakat
terhadap kosmosnya. Masyarakat Barat cenderung mengekplorasi dan menguasai alam
untuk meningkatkan kualitas proses hidup dan kelangsungan kehidupannya.
Sementara itu, masyarakat Jawa lebih mengutamakan hidup seimbang dan selaras
dengan kosmosnya untuk mencapai keharmonisan kehidupannya.
Dalam konteks sebagai bangunan tempat tinggal, Prijotomo (2008:3)
berpendapat bahwa pada dasarnya arsitektur rumah Jawa merupakan perwujudan dari
arsitektur pernaungan. Pendapat ini tampaknya didasarkan atas informasi yang
terdapat di dalam sumber tradisional Jawa, yakni Kawruh Kalang yang mengatakan, "tiyang sumusup ing griya
punika saged kaupamekaken ngaub ing sangandhaping kajeng ageng” yang
berarti, 'orang yang masuk ke dalam bangunan rumah bagaikan bernaung (berteduh)
di bawah pohon (niatan) yang besar'.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dikatakan bahwa apabila
fungsi utama bangunan tempat tinggal adalah "pernaungan" maka konsep
arsitektur yang mendasarinya adalah "arsitektur pernaungan". Aktivitas
"bernaung" adalah aktivitas yang bersifat sementara. Aktivitas ini
lazim dilakukan oleh seseorang yang sedang melakukan perjalanan panjang, berhenti
sejenak untuk beristirahat dengan mengambil tempat yang teduh sambil makan dan
minum untuk dapat kembali meneruskan perjalan panjangnya hingga sampai tempat
tujuan. Tampaknya ungkapan ini merupakan gambaran dari pandangan manusia Jawa
mengenai perjalanan hidupnya hingga sampai tujuan akhir dari kehidupan.
Berkenaan dengan perjalanan hidup ini manusia Jawa memiliki ungkapan
tradisional “urip iku sak drema mampir
ngombe” (hidup itu hanya sekadar mampir minum). Artinya, bagi manusia Jawa,
rumah tinggal (griya) adalah ruang
hidup material yang merupakan miniatur dari kehidupan duniawi yang bersifat
sementara, sekadar untuk bernaung dan beristirahat, untuk menuju “niatan besar”
(tujuan akhir perjalanan hidup manusia dalam kesempurnaan) manunggaling kawula Gusti.
Pemahaman manusia Jawa mengenai rumahnya yang dipadukan
dengan konsep Pajupat di atas dapat digambarkan melalui ilustrasi berikut (Gambar 4).

Gambar 4. Gambaran rumah sebagai miniatur kosmos (dokumen Pitana, 2009).
Untuk menghadirkan arsitektur yang berkaitan dengan
kesadaran ruang hidup materialnya, manusia Jawa mengambil titik tolak
perwujudan arsitektur dengan menetapkan ukuran dari balandar dan pangeret
yang lazim disebut pamidhangan. Balandar dan pangeret adalah rangkaian balok yang ditempatkan di pucuk saka (tiang kolom) (Prijotomo, 2008:2).
Artinya, manusia Jawa tidak menetapkan ukuran bangunan dengan menunjuk bagian
bangunan yang ada di bawah, melainkan yang ada di atas kepala sebagai titik
berangkatnya. Dengan demikian, saka
lalu menjadi tumpuan duduk bagi balandar-pangeret,
bukan menjadi perangkai saka-saka
yang berjejer dalam dua baris menyamping, bukan pula merupakan bagian
struktural dari rangkaian struktural balok-tiang. Di atas balandar-pangeret bertenggerlah atap yang dapat bertipe tajug, juglo (lebih dikenal dengan joglo), limansap (lebih dikenal dengan limasan) atau kapung
(lebih dikenal dengan kampung) yang
selanjutnya menjadi sebutan atau nama bagi bentuk bangunan Jawa. Atap ini pula
yang menyandang tugas utama menjadi penaung dan peneduh bagi balandar-pangeret. Atap pertama-tama
adalah penaung dan peneduh balandar-pangeret,
bukan penaung dan peneduh rongga yang terbangun dari deretan saka. Menurut Prijotomo (2008:3), di
atap ini pulalah digantungkan kebutuhan dari pemilik mengenai penggunaan
bangunan yang akan dia miliki misalnya, penggunaan sebagai dalem dan gandhok.
Di atap tidak hanya digantungkan kebutuhan dari pemilik
mengenai penggunaan bangunan, tetapi juga hasrat pemilik menjadi unsur
perwujudannya. Oleh karena itu, empat tipe atap bangunan tersebut dalam
penggunaanya telah mengalami variasi pengembangan mengikuti kebutuhan dan
hasrat dari pemilik bangunan. Bentuk atap menjadi simbol status sosial,
bangsawan atau rakyat biasa. Para bangsawan cenderung mengutamakan kepuasan (hasrat)
dan rakyat biasa cenderung mengutamakan fungsi (kebutuhan) (Frick, 1997:131).
Hal ini dengan mudah diamati pada perwujudan arsitektur nDalem Kepangeranan.
Hampir keseluruhan bangunan nDalem Kepangeranan memiliki dimensi ukuran yang
rata-rata lebih besar daripada rumah orang Jawa pada umumnya. Bahan-bahan
bangunan sebagai unsur perwujudan fisik dipilih dengan perhitungan yang rumit
dan memiliki kualitas yang sangat bagus. Ragam hias sebagai unsur estetika
bangunan dibuat dengan teknik dan bahan-bahan yang berkualitas tinggi. Semuanya
itu adalah sebagai suatu pemenuhan atas kepuasan hasrat untuk memunculkan kesan
kemegahan, kemewahan, dan kewibawaan penghuninya.
4. Arsitektur Joglo Sebagai Sarana Komunikasi Visual
Rasionalisasi
arsitektur Joglo sebagai ekspresi komunikasi visual bisa berangkat dari suatu
pemahaman manusia sebagai makhluk berkesadaran, yaitu manusia tahu bahwa ia
mengetahui sesuatu tentang sesuatu. Ini dibuktikan dengan kemampuan berpikir
dan berkomunikasi yang dimiliki. Berpikir adalah berkata-kata dalam hati
sendiri dan berkomunikasi adalah berkata-kata antarsubjek. Mengingat kedua
kegiatan ini merupakan tindak tutur dengan menekankan pada penggunaan kata-kata
sehingga kegiatan semacam ini tidak dimungkinkan tanpa bahasa. Begitulah dengan
bahasa, manusia bisa saling memahami dan mewujudkan pengertian di antara
sesamanya. Kesalingpengertian dan pemahaman inilah yang dimaksud dengan
kesadaran dan di dalamnya bahasa menjadi alat dan wujud kesadaran itu sendiri.
Ketika bahasa diterima menjadi wujud kesadaran kolektif masyarakat manusia,
maka manusia sudah menciptakan wacana di dalam dunianya sendiri. Sebagaimana
arsitektur Joglo yang telah diidentikkan dengan arsitektur Jawa, perwujudannya
merupakan respon manusia Jawa terhadap kebutuhan ruang hidup materialnya yang
didasarkan pada kosmologi Jawa.
Pengandaian
perwujudan arsitektur sebagai bahasa (sarana komunikasi visual) dalam membangun
kesadaran kolektif masyarakatnya memerlukan bahasa yang dikuasai dan dipahami
oleh masyarakat itu sendiri yang lazim disebut “bahasa ibu”. Apabila kearifan
lokal menjadi dasar pengembangan arsitektur Jawa, maka kearifan lokal dapat
dianggap sebagai bahasa ibu arsitektur Jawa. Oleh karenanya, arsitektur Joglo
secara tekstual dianggap sebagai karya adiluhung budaya Jawa. Fungsi pewadahan
dan pernaungan menempatkannya bukan hanya sebagai wujud karya arsitektur Jawa yang
bersumber pada kearifan lokal, tetapi juga dimaknai sebagai pusat kosmos dan
magi budaya Jawa. Dalam hal ini magi budaya adalah nilai-nilai sakral dan
simbolisasi tuntunan hidup manusia untuk mencapai keselamatan. Sebaliknya,
secara kontekstual arsitektur Joglo dipandang sebagai simbol yang telah
menjadikannya sebagai objek interpretasi yang melahirkan multimakna. Sakralitas
makna simbolik yang diberikan dan diyakini oleh internal masyarakat Jawa telah
mengalami pembongkaran dan pemaknaan ulang oleh berbagai pihak yang bertindak
sebagai subjek. Artinya, makna simbolik arsitektur Joglo telah didekonstruksi
oleh sejumlah pihak dengan caranya sendiri-sendiri untuk menemukan
konstruksinya yang baru. Di titik ini, sakralitas dan profanitas menjadi
permainan wacana yang dapat diurai dari relasi-relasi kuasa dan pengetahuan
yang terkandung di dalamnya. Misalnya, Magnis-Suseno (1999:150) menjelaskan
bahwa seluruh kebijaksanaan hidup Jawa dapat dirangkum dalam tuntutan dasar
untuk selalu menempati tempat yang tepat. Demikian juga epistemologi dengan
mengutamakan kategori tempat, agar kehidupan terus berjalan; sistem etika Jawa
yang lebih menonjolkan kategori tempat; bahkan apa yang harus dilakukan
masing-masing ditentukan oleh tempatnya dalam masyarakat. Konsekuensi dari
pandangan ini adalah penerimaan orang Jawa terhadap misteri kehidupan yang
selanjutnya disebut dengan kearifan lokal.
Manusia Jawa
meyakini bahwa antara ”wadah” dengan ”isi” diperlukan adanya keseimbangan,
kesejajaran, bahkan keterpaduan sehingga tercipta ketenteraman batin,
kesejahteraan, dan kemakmuran dalam hidup dan kehidupan. Kesejajaran
antara wadah dan isi tersebut dilambangkan dengan adanya suatu konsep kesatuan
mikrokosmos (manusia) dengan makrokosmos (alam raya) (Nugroho, 1996:
18-20). Konsep kemanunggalan makrokosmos dan mikrokosmos ini
diartikan bahwa manusia telah menjalin hubungan dengan kekuatan di luar
dirinya yang jauh lebih besar sehingga manusia bersangkutan akan terjaga dan
mampu meningkatkan kekuatannya menjadi lebih besar yang pada akhirnya, akan
mampu mendatangkan kesejahteraan, kesuburan, dan hal-hal positif lainnya bagi
hidup dan kehidupan manusia (Ronald, 1993:30). Kepercayaan adanya kekuatan di
luar diri manusia, bukan saja kekuatan yang datang dari Tuhan sang kuasa
mutlak, akan tetapi juga kekuatan-kekuatan supra-natural yang ada di jagad raya
ini. Kepercayaan ini selalu menempatkan manusia sebagai pusat (pancer) yang dikelilingi kekuatan empat
penjuru mata angin (keblat papat)
bersifat tidak bergerak (mantap), akan tetapi menggerakkan (kuasa dinamis).
Kepercayaan Jawa inilah yang akhirnya, melahirkan terminologi papat keblat kalima pancer yang disebut Pajupat (Prijotomo, 1992:29-31).
Sebagai
realitas ciptaan, arsitektur Joglo merupakan karya masterpiece, adiluhung,
dan sophisticated jika dipandang dari
aspek filosofis, kaidah-kaidah keseimbangan antara fungsi dan konstruksi,
klimatologi, kepadatan pengguna dan area, komposisi bahan, proporsi, tampilan,
garis tegas ornamen, sampai makna warna. Hal ini menunjukkan bahwa arsitektur Jawa menjadi produk
kebudayaan yang sarat kearifan lokal, bersifat objektif, dan karenanya
teramati. Ini juga sebabnya arsitektur Jawa memiliki kemampuan berkomunikasi
melalui tanda grafis (sign) yang
melekat padanya. Dalam artian bahwa tanda-tanda grafis (sign) arsitektural yang membangun arsitektur Joglo adalah makna
denotatif dan konotatif menurut sandi-sandi (codes). Apabila nilai simbolisme arsitektur Joglo terletak pada
caranya menyampaikan makna dari wujud suatu bangunan yang mengandung bobot
ekspresi (signifer) dan bobot makna (signified), maka bobot ekspresi yang
dimaksudkan tercermin pada perwujudan arsitekturnya. Bobot ekspresi ini
meliputi ruang dan permukaannya (facade),
sedangkan bobot makna yang dimaksud adalah media yang berisi muatan atau pesan
yang hendak disampaikan.
Sebagai
contoh, bangunan rumah tinggal di Jawa yang lazim dimaknai sebagai miniatur
kosmos penghuninya. Bobot ekspresi dari arsitektur Jawa ini terkandung pada
struktur tata ruang dan (facade)
beserta ornamental designnya.
Sementara itu, bobot maknanya terdapat pada makna simbolik dari perwujudan
fisik bangunan tersebut yang meliputi struktur tata ruang, konstruksi, dan
ornamental design. Pertama, makna
simbolik dari typologi struktur tata ruang bangunan rumah Jawa yang cenderung
dimaknai berkarakter feminim dapat diuraikan sebagai berikut.
1)
Topengan (kuncungan), bagian bangunan ini
berada di paling depan yang bersifat publik dan keberadaannya bisa ada atau
dihilangkan. Artinya, bagian ini merupakan bukan wajah sebenarnya dari
penghuninya yang lazim ditempatkan di bagian paling depan, sebagaimana topeng
yang berfungsi sebagai kamlufase wajah sebenarnya.
2)
Pendapa, ruang ini berada di
balik topengan (apabila ada) yang
bersifat publik dan berfungsi untuk menerima tamu. Bagian ini dapat
dianalogikan sebagai wajah asli dari penghuninya. Artinya, keramahan atau
karakter penghuninya dapat dilihat dari tampilan ruang pendapa ini.
3)
Pringgitan, ruang ini berada di
antara pendapa dan dalem ageng. Sesuai dengan namanya,
ruang ini difungsikan sebagai tempat untuk menggelar ringgit (wayang kulit/wayang purwa).
Keberadaan ruang ini dapat dianalogikan sebagai leher seorang perempuan yang
tampak pantas dan lebih indah ketika diberi perhiasan. Lazimnya, semakin bagus
dan mahal perhiasan yang dikenakan, status sosialnya akan semakin naik.
Demikian pula status sosial dari penghuni rumah, apabila semakin sering menggelar
ringgit, maka status sosialnya di
mata masyarakat sekitarnya semakin naik.
4)
Dalem ageng, ruang ini bersifat
privat, tertutup, dan sakral yang berada di belakang pringgitan. Keberadaan ruang ini dapat dianalogikan seperti tubuh
perempuan yang harus tertutup (dibungkus baju) karena bersifat sakral. Namun
demikian, di dalam ruang sakral ini ada yang lebih sakral lagi, yaitu
keberadaan senthong (senthong kiwa,
senthong tengah, dan senthong tengen).
Oleh karenanya, selain mengenakan pakain untuk menutup tubuhnya, seorang
perempuan juga mengenakan pakaian dalam karena ada yang lebih privat dan sakral
untuk ditutupi dan dilindungi.
5)
Senthong kiwa, senthong tengen, dan senthong
tengah. Tiga ruang yang berjajar di sisi belakang dalem ageng. Senthong kiwa
dan tengen, kedua ruang ini berada
berjajar simetris mengapit senthong
tengah. Kedua ruang ini difungsikan sebagai ruang tidur. Secara fisik ruang
ini tertutup dan memiliki daun pintu. Keberadaan ruang ini dapat dianalogikan
seperti paha perempuan yang harus kokoh dan tertutup. Apabila tidak kokoh dan
tertutup rapat, maka kebaradaan senthong
tengah yang difungsikan untuk menyimpan benih-benih unggul pertanian dan
hanya tertutup sehelai tirai putih akan sangat terancam. Keberadaan senthong tengah ini dapat dianalogikan sebagai
rahim perempuan yang hanya dilindungi oleh selaput keperawanan. Oleh karenanya,
secara simbolik pesan yang hendak disampaikan bahwa seorang perempuan akan
dapat menjaga dan melahirkan bibit-bibit unggul apabila “senthong kiwa dan tengen”
kokoh dan terlindungi agar “senthong
tengahnya” tidak mudah terkoyak dan benih-benih yang tersimpan di dalamnya
dapat terjaga dan tidak diambil oleh “burung-burung liar” yang pada saatnya
dapat “disemaikan, dirawat, dan memberikan hasil yang sebaik-baiknya”.
Konsekuensi
dari pemahaman bahwa kebudayaan Jawa lebih condong pada kehidupan dan karenanya
mengakomodasi jiwa-jiwa tangguh, mempunyai sifat plastik dibandingkan dengan
pengetahuan. Hal ini dapat dilihat pada pemahaman mengenai ruang dalam
pengertian arsitektural, yakni bahwa ruang merepresentasikan kejadian atau
suatu ikatan ingatan kolektif. Menurut Umberto Eco, ruang-ruang arsitektural
merupakan sarana komunikasi visual yang pemaknaannya tidak akan pernah
berhenti. Tidak sekedar ada, tetapi selalu mengada. Ini berarti persoalan
arsitektur bukan hanya berhenti pada persoalan geometris, penciptaan ruang, dan
menghuninya, melainkan lebih pada dimensi "kekinian" yang dalam
istilah Derrida disebut dengan "kemenjadian" (becoming). Bukan hanya ada (being),
tetapi juga mengada (beings). Malahan
dengan mengikuti logika resepsi Jauss yang memahami sebuah teks atau kejadian
meliputi proses mediasi terus-menerus antara kini dan masa lampau, informasi
yang diberikan oleh simbol komunikasi visual tersebut menuntut penafsir (subjek)
selalu dikondisikan secara historis dan konteks kekiniannya (Cavallaro,
2004:97). Ada dimensi kini dan masa depan yang dalam resepsi Jauss disebut
dengan "horizon harapan" yang bersifat kolektif.
5.
Simpulan
Berdasarkan
paparan di atas dapat ditarik tiga simpulan. Pertama, sebagai ekspresi ruang kesadaran manusia Jawa, arsitektur
Joglo merupakan ekspresi kehendak dan kekuasaan yang merupakan refleksi dari
hasrat manusia Jawa. Manusia Jawa dengan hasratnya telah mengembangkan
arsitektur Joglo menjadi ilmu rancang bangun yang tidak hanya dibatasi oleh
ruang dan gatra (sesuatu yang tampak terwujud)
atau garis dan bidang, tetapi arsitektur Joglo telah berkembang menjelajahi
ruang kesadaran manusia jauh ke relung-relung keindahan yang kemudian,
diposisikan menjadi nilai ideal.
Kedua, ruang kesadaran manusia Jawa yang menempatkan kearifan
lokal menjadi bagian penting dalam membangun identitas arsitektur Jawa
menjadikan arsitektur Joglo berkembang menurut metafisikanya sendiri dan
memiliki perbedaan filosofis yang jelas antara arsitektur Joglo dan arsitektur
lainnya.
Ketiga, diskursus kearifan lokal sebagai bahasa ibu arsitektur
Jawa sepatutnya diarahkan kepada upaya membangun ruang kesadaran baru
masyarakat Jawa untuk dapat melepaskan arsitektur Jawa, termasuk arsitektur
Joglo, dari bungkus dan label “arsitektur tradisional” untuk membangun wacana
baru sebagai “arsitektur masa depan” yang sejajar atau bahkan berani bersaing
dengan arsitektur Barat
Daftar
Pustaka
Ali, Matius.
2004. Estetika: Sebuah Pengantar Filsafat
Keindahan dari Yunani Kuno Sampai Zen Buddhisme. Tangerang: Sanggar Luxor.
Broadbent, G.,
Bunt, R., and Jencks, C. 1980. Sign,
Symbols, and Architecture. New York: John Wiley
& Sons Ltd.
Cassirer, Ernst
1987. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei
Tentang Manusia (terjemahan oleh Alois A. Hugroho). Jakarta: Gramedia.
Cavallaro, Dani. 2004. Teori Kritis dan Teori Budaya. Yogyakarta: Niagara.
Copleston, Frederick. 1975. Friederich Nietzsche: Philosopher of Culture.
USA: Harper & Row.
Foucault, Michel.
2002. Pengetahuan dan Metode: Karya-karya
Penting Michel Foucault. Yogyakarta: Jalasutra.
Foucault,
Michel. 2007. Order of Thing: Arkeologi
Ilmu-ilmu Kemanusiaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lubis, Akhyar
Yusuf. 2004. Setelah
Kebenaran dan Kepastian Dihancurkan Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan:
Sebuah Uraian Filsafat Ilmu Pengetahuan Kaum Posmodernis. Bogor: Akademia.
Magnis-Suseno,
F. 1999. Etika Jawa : Sebuah Analisa
Fasafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Mangunwijaya,
Y.B. 1992. Wastu Citra, Pengantar ke Ilmu
Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis,
2nd edn. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Muqoffa, Mohamad 1998. Aspek Jender Pada Dalem Bangsawan Di Surakarta Dalam Dinamika
Perubahan Sosial (tesis). Bandung: Program Pascacarjana Institut Teknologi Bandung.
Muzir, Inyiak
Ridwan. 2008. Hermeneutika Filosofis
Hans-Georg Gademer. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Norris, Christopher. 2003. Membongkar
Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Terj. Inyiak Ridwan Muzir. Jogjakarta:
Ar-Ruzz.
Nugroho, A.
1996. Menguak Hong Shui Kejawen, 2nd
edn.
Solo: Aneka.
Pangarsa, Galih
W. 2008. "Membaca Buku Teles dan Buku Garing". Makalah
dipresentasikan pada Diskusi Ilmiah Arsitektur UNS, 12 Agustus 2008, di Jurusan
Arsitektur UNS.
Pitana, T.S.
2001. The Javanese Cosmology and Its
Influence on Javanese Architecture (tesis). Australia: James Cook
University.
Prijotomo, J. 2008.
"Cerlangtara, Bukan Kearifan Lokal: Catatan Bagi Ke-liya-an Arsitektur
Nusantara". Makalah dipresentasikan pada Diskusi Ilmiah Arsitektur UNS, 12
Agustus 2008.
Prijotomo, J. 1992. Ideas and Form of Javanese Arcitecture.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ratna,
Kutha. 2005. Sastra
dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ronald, Arya
1993. Transformasi Nilai-nilai Mistik dan
Simbolik Dalam Ekspresi Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Yogyakarta: Lembaga
Javanologi Panunggalan.
Sumaryono, E.
1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius.
* Staf
Pengajar Program Studi Arsitektur, Jurusan Arsitektur, Fak. Teknik, Universitas
Sebelas Maret Surakarta, Indonesia. Alamat e-mail: titis_pitana@yahoo.com.