Jumat, 29 Maret 2013

Green Campus



DISKURSUS ESTETIKA ARSITEKTUR BERBASIS GREEN CAMPUS DALAM RANCANG BANGUN PERPUSTAKAAN PERGURUAN TINGGI[1]

Oleh:
Titis Srimuda Pitana[2]



A.                 Pendahuluan
Estetika arsitektur merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut keindahan yang dipancarkan dari karya arsitektur yang mengekspresikan perpaduan ‘wadah’ dan ‘isi’ yang dikomunikasikan secara visual melalui simbol-simbol yang merupakan penghantaran pemaknaan atas suatu objek. Apabila ‘wadah’ dan ‘isi’ dapat dimaknai sebagai ‘bentuk’ dan ‘fungsi’, maka estetika arsitektural yang terpancar dan tertangkap oleh subjek dapat dimaknai sebagai ‘makna’ dari suatu karya arsitektur. Kehadiran estetika arsitektur berbasis green campus dalam rancang bangun perpustakaan perguruan tinggi, sebagaimana judul tulisan ini, merupakan sarana komunikasi visual yang menjadikannya sebagai teks budaya atau objek interpretasi yang harus dibaca untuk dapat diungkap makna dan diskursus (wacana) yang dikandungnya.
Menurut Foucault (2002:9) diskursus adalah cara menghasilkan pengetahuan beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua aspek ini. Lebih detail Lubis (2004:148) menjelaskan bahwa diskursus merupakan kategori manusia yang diproduksi dan direproduksi dengan berbagai aturan, sistem, dan prosedur yang membuatnya terpisah dari kenormalan. Aturan, sistem, dan prosedur itulah yang disebutnya dengan istilah “tata-wacana”, yaitu keseluruhan wilayah konseptual tempat pengetahuan itu dikonstruksi, dibentuk, dan dihasilkan. Ini berarti bahwa ketika sebuah wacana dilahirkan, maka wacana/diskursus sebenarnya sudah dikontrol, diseleksi, diorganisasi, dan didistribusikan kembali menurut kemauan pembuatnya karena wacana tersebut dikonstruksikan berdasarkan tata-aturan (episteme) tertentu. Oleh karena itu, kebenaran memiliki mata rantai dengan sistem kekuasaan.  
Sebagai realitas ciptaan, kebenaran estetika arsitektur berbasis green campus dalam rancang bangun kampus perguruan tinggi merupakan konsep yang memiliki “tata-wacana”, yaitu keseluruhan wilayah konseptual tempat pengetahuan arsitektur yang merupakan gabungan lingkungan (eco) dan budaya (culture) yang dikonstruksi, dibentuk, dan dihasilkan melalui kaidah-kaidah keseimbangan antara fungsi dan konstruksi, klimatologi, kepadatan pengguna dan area, komposisi bahan, proporsi, tampilan, garis tegas ornamen, sampai makna warna. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa mengembangkan estetika arsitektur dalam rancang bangun perpustakaan perguruan tinggi dan memadukannya dengan arsitektur hijau untuk mewujudkan eco culture campus adalah sebuah keniscayaan dari sebuah cita-cita. Dalam konteks ini dipandang penting dan relevan mengetengahkan perbincangan tentang dua hal, yaitu: 1) konsep dan wacana estetika arsitektur menuju eco culture campus; dan 2) green architecture aesthetic dalam rancang bangun perpustakaan UNS.

B.        Konsep dan Wacana Estetika Arsitektur Menuju Eco Culture Campus
Manusia pada dasarnya adalah makhluk berkesadaran yang berfikir dan dijajah oleh pengetahuannya. Segala keputusan dan tindakannya selalu dilandasi oleh bangun pengetahuan yang dimiliki dan diyakini kebenarannya. Bangun pengetahuan inilah yang selanjutnya disebut konsep. Sementara itu, wacana atau diskursus dalam ilmu dan praktek sosial merupakan jaringan praktek pengetahuan dan kekuasaan. White (Foucault, 2007:xiv) mengatakan bahwa apa yang dilakukan atau dibahas dalam diskursus, seperti yang terjadi dengan yang lain adalah selalu kehendak dan kekuasaan.
Bahasa sebagai alat untuk memproduksi diskursus, bukan semata-mata mempersoalkan ucapan dan/atau tulisan, tetapi semua pernyataan kultural karena keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks yang mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan tertentu. Sebagaimana bahasa arsitektural yang bukan hanya mempersoalkan garis dan bidang, bahkan bukan hanya mempersoalkan kaidah trinitas Marcus Vitruvius Pollio yang merupakan sintesa antara kekuatan (durability atau firmitas), kegunaan (convinience atau utilitas), dan keindahan (beauty atau venustas), melainkan lebih pada ekspresi kehendak dan kekuasaan yang berada di dalam ruang kesadaran manusia.
Dalam ruang kesadaran manusia, kehendak dan kekuasaan ini adalah refleksi dari hasrat manusia. Manusia dengan hasratnya telah mengembangkan arsitektur menjadi ilmu rancang bangun tidak hanya dibatasi oleh ruang dan gatra (sesuatu yang tampak terwujud) atau garis dan bidang. Akan tetapi, arsitektur telah berkembang menjelajahi ruang kesadaran manusia jauh ke relung-relung keindahan yang kemudian, diposisikan menjadi nilai ideal. Nilai keindahan inilah bahasa manusia yang disampaikan dengan media arsitektur. Malahan Merleau-Ponty mengatakan bahwa berarsitektur adalah berbahasa manusia dengan citra unsur-unsurnya, baik dengan bahan material maupun bentuk dan komposisinya. Begitulah bahasa arsitektur selalu menghadirkan nilai keindahan dengan penuh kejujuran dan kewajaran, sebagaimana diungkapkan oleh Thomas Aquinas, 'pulchrum splendor est veritatis', 'keindahan adalah pancaran kebenaran' (Mangunwijaya, 1992:9-10). Demikianlah seharusnya perwujudan arsitektur hijau (green architecture) dengan bahasa keindahan dan pancaran kebenarannya hadir dan diterima dengan suka cita oleh masyarakat perguruan tinggi, khususnya UNS yang berada dalam lingkup budaya Jawa.
Pararelitas di atas setidak-tidaknya mampu menunjukkan bahwa estetika yang dikandung dalam arsitektur kampus UNS merupakan wujud budaya yang memiliki metafisikanya sendiri yang dibangun atas kesadaran dan diskursus pemilikinya. Artinya, arsitektur kampus UNS yang berada dalam lingkup budaya Jawa memiliki bahasa ibu sendiri dalam mengungkapkan estetikanya, yaitu  kearifan lokal. Inilah yang selanjutnya menjelma dalam dunia sosial-budaya menjadi nilai-nilai. Sistem nilai, baik sebagai pedoman hidup maupun perilaku hidup tidak pernah final karena senantiasa mengalami perkembangan inheren dalam perubahan zaman. Faktanya manusia tidak bisa menjalankan kehidupannya sendiri tanpa terlibat dalam kehidupan sosial berupa kegiatan kemasyarakatan. Malahan dalam kehidupan sosialnya manusia tidak jarang harus membangun toleransi sehingga dimungkinkan terjadinya proses saling menerima dan memberi nilai. Begitulah dalam dunia global masyarakat UNS tidak dapat menutup diri dari pengaruh lain. Oleh karenanya, membangun identitas menuju eco culture campus menjadi penting untuk diwacanakan bagi UNS agar tetap terjaga keselarasan antara wadah (bentuk) dan isi (fungsi) sehingga makna arsitektur sebagai ruang hidup material manusia dalam meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya dapat terwujud.
Dalam budaya Jawa, manusia meyakini bahwa antara ”wadah” dengan ”isi” diperlukan adanya keseimbangan, kesejajaran, bahkan keterpaduan sehingga tercipta ketenteraman batin, kesejahteraan, dan kemakmuran dalam hidup dan kehidupan. Kesesuaian antara kesadaran dan respons yang dimiliki manusia Jawa atas tempatnya diartikan sebagai keselarasan antara wadah dan isi. Keselarasan ini merupakan bagian dari upaya pengkondisian untuk mencapai kesempurnaan hidup (bahagia dan selamat dunia akhirat) yang direfleksikan melalui pandangan hidupnya terhadap alam tempatnya berpijak. Mereka mempercayai bahwa apa yang telah mereka bangun adalah hasil dari adaptasi pergulatan dengan alam. Kekuatan alam disadari merupakan penentuan dari kehidupan seluruhnya. Keyakinan ini seperti yang terkandung dalam wejangan Sang Dewa Ruci pada Bima dalam Serat Dewa Ruci yang dikutip Mangunwijaya (1992:3) berikut ini.
“Kang ingaran urip mono mung jumbuhing badan wadaq lan batine,
pepindhane wadhah lan isine…
Jeneng wadah yen tanpa isi, alah dene arane wadhah,
tanpa tanja tan ana pigunane
semono uga isi tanpa wadhah,  yekti barang mokal…
Tumrap urip kang utama tertamtu ambutuhake wadhah lan isi,
kang utama karo-karone.”

Yang disebut hidup adalah manunggalnya tubuh dan batin (raga dan jiwa),
ibarat wadah dan isinya…
Wadah tanpa isi, adalah sia-sia disebut wadah,
tidak akan berarti dan berguna.
Demikian juga isi tanpa wadah, adalah sesuatu yang mustahil…
Untuk hidup yang sempurna membutuhkan wadah dan isi,
yang utama adalah kedua-duanya
Subjektifitas dan interpretasi bebas mengenai kutipan Serat Dewa Ruci di atas mengarahkan tulisan ini untuk menjadikannya sebagai suatu analogi pandangan manusia Jawa yang arkais[3] mengenai keberadaan makrokosmos (jagad gede = jagad raya) dan mikrokosmos (jagad cilik = diri manusia) yang akhirnya menghasilkan empat asumsi dasar untuk dijadikan pijakan argumen dalam pembahasan mengenai pentingnya mengembangkan spiritualitas dan kesadaran manusia Jawa terhadap ruang hidupnya (eco culture architecture) dalam upaya mewujudkan arsitektur hijau (green architecture) yang berkelanjutan.
Pertama, pandangan masyarakat Islam-Jawa terhadap kosmosnya merupakan bentuk nilai tetap yang selalu hadir dalam kehidupannya. Kesejajaran antara wadah dan isi tersebut dilambangkan dengan adanya suatu konsep kesatuan makrokosmos (alam raya) dengan mikrokosmos (manusia). Konsep kemanunggalan makrokosmos dan mikrokosmos diartikan bahwa manusia telah menjalin hubungan dengan kekuatan di  luar dirinya yang jauh lebih besar (Tuhan) sehingga manusia bersangkutan akan terjaga dan mampu meningkatkan kekuatannya menjadi lebih besar yang pada akhirnya, akan mampu mendatangkan kesejahteraan, kesuburan, dan hal-hal positif lainnya bagi hidup dan kehidupan manusia.  
Kedua, etika hidup manusia Jawa dalam interaksi sosial diatur melalui prinsip rukun dan hormat dalam menjaga keselarasan hidup. Kesadaran keberadaan manusia sebagai makhluk individu dan sosial dapat dilihat dari sistem moral dalam hidup kesehariannya. Dengan etika ini anggota masyarakat sangat menghargai adanya perbedaan. Perbedaan jenjang kedudukan yang ada dalam masyarakat dimaknai sebagai perbedaan peran dan tanggung jawab. Malahan kesadaran akan perbedaan ini merupakan salah satu bentuk cara masyarakat dalam menciptakan keseimbangan dan keselarasan hidupnya. Mereka mengenal adanya tiga tingkatan etika sebagai pengatur kehidupan sosialnya dengan tidak mengabaikan keberadaannya sebagai makhluk pribadi, yang dapat diuraikan sebagai berikut.
1)        Etika keluarga, yaitu etika yang digunakan dalam kelompok terkecil yang disebut lingkup keluarga.
2)        Etika antarkeluarga, yaitu etika yang digunakan dalam kehidupan lebih luas daripada lingkup keluarga, tepatnya antarkelompok (keluarga).
3)        Etika umum, yaitu etika yang digunakan dalam lingkup masyarakat luas. Pada kesehariannya, manusia Jawa lebih mengutamakan etika yang lebih luas, atau lebih mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi atau kelompok yang lebih kecil.
Ketiga, rukun dan hormat sebagai upaya menjaga keselarasan hidup merupakan ”prinsip pencegahan konflik”. Artinya, masyarakat Islam-Jawa sangat terbuka dalam menerima suatu perubahan akibat interaksi sosial yang dijalani demi terjaganya keselarasan. Perubahan yang paling banyak terjadi adalah pada sistem nilai terutama pada produk-produk budayanya, sedangkan untuk norma yang diwujudkan pada perilaku relatif tidak berubah, sehingga nilai-nilai dari luar yang dianggap baik dan sesuai dijadikan sebagai sumber pengkayaan budaya Jawa.
Keempat, identitas diri yang terbentuk diungkapkan melalui pikiran dan perbuatan yang total, berlandasan dan beralasan. Dalam ruang hidup materialnya, hal tersebut dikomunikasikan secara tidak langsung, diungkapkan dengan menggunakan simbol sehingga pembacaan ulang terhadap simbol tersebut (pemaknaan ulang) dapat dilakukan sesuai dengan semangat zamannya. 
Kearifan lokal lazim dimaknai sebagai bangun pengetahuan yang bersumber dari nilai-nilai dan potensi lokal yang diwacanakan secara lisan dari generasi ke generasi yang akhirnya disebut kebudayaan tradisional. Namun demikian, harus diakui bahwa kebenaran tidak selalu terdapat pada yang baru (modern), tetapi juga pada yang tradisional, bahkan kebenaran tersebar pada sepanjang pengalaman manusia, terfragmentasi sesuai dengan ruang dan waktu realitas berada, dan bukan hanya ditentukan berdasarkan akal dan rasional. Sebagaimana perwujudan arsitektur kampus UNS yang secara semiotik dikatakan sebagai sarana komunikasi visual. Ini berarti bahwa arsitektur kampus UNS yang eco culture memiliki bahasa tersendiri dalam membangun komunikasi yang baik dengan subjek-subjek pemakna di luar dirinya.
Penerimaan masyarakat atas kehadiran eco culture architecture dengan simbol kearifan lokalnya ini menunjukkan bahwa arsitektur mampu membangun komunikasi dengan lingkungan dan budayanya. Oleh karenanyalah interaksi yang terjalin melalui sarana komunikasi visual ini melahirkan bahasa arsitektur baru untuk arsitektur kampus UNS yang disebut eco culture architecture, yaitu arsitektur yang sarat dengan kearifan lokal  budaya Jawa yang berusaha menjaga keseimbangan dan keselarasan alam dan lingkungan untuk menuju keharmonian hidup. Konsep keseimbangan dan keselarasan untuk mencapai keharmonian inilah yang menjadikan ekologi dan budaya dapat dengan mudah diterima dan dipadukan dalam konsep eco culture architecture untuk diwujudkan pada arsitektur kampus UNS yang secara visual tampak sebagai kampus ijo royo-royo.

C.        Green Architecture Aesthetic Dalam Rancang Bangun Perpustakaan UNS
Menurut Umberto Eco, perwujudan ruang dan bentuk arsitektur merupakan sarana komunikasi visual yang pemaknaannya tidak akan pernah berhenti. Tidak sekedar ada, tetapi selalu mengada. Ini berarti persoalan arsitektur bukan hanya berhenti pada persoalan geometris, penciptaan ruang, dan menghuninya, melainkan lebih pada dimensi "kekinian" yang dalam istilah Derrida disebut dengan "kemenjadian" (becoming). Bukan hanya ada (being), tetapi juga mengada (beings). Malahan dengan mengikuti logika resepsi Jauss yang memahami sebuah teks atau kejadian meliputi proses mediasi terus-menerus antara kini dan masa lampau, informasi yang diberikan oleh simbol komunikasi visual tersebut menuntut penafsir (subjek) selalu dikondisikan secara historis dan konteks kekiniannya (Cavallaro, 2004:97). Ada dimensi kini dan masa depan yang dalam resepsi Jauss disebut dengan "horizon harapan" yang bersifat kolektif. Sebagaimana estetika arsitektur yang selalu dikembangkan untuk menjawab setiap tantangan/tuntutan zaman, termasuk menjawab tuntutan penerapan arsitektur berkelanjutan atau lazim disebut arsitektur hijau pada bangunan perpustakaan UNS. 
Gerakan hijau sebagai wujud kesadaran manusia dalam upaya menyelamatkan bumi tidak boleh hanya berada di wilayah wacana/diskursus, namun harus diikuti tindakan nyata. Langkah ini sudah mulai banyak dilakukan oleh beberapa kampus perguruan tinggi di dunia, seperti Universitas Nottingham di Inggris, Universitas Connecticut di Amerika Serikat, Universitas College Cork di Irlandia, dan masih banyak lagi. Beberapa kampus perguruan tinggi di Indonesia pun telah secara sadar dan terencana melakukan langkah nyata dalam upaya mewujudkan green campus, yaitu lingkungan kampus yang sehat, nyaman, dan ramah lingkungan, seperti Universitas Indonesia dan UNS saat ini.
 Lingkungan kampus yang sehat, nyaman, dan ramah lingkungan yang lazim dikenal dengan konsep green ini sering terlalu sederhana dimaknai sebagai sesuatu yang serba hijau. Oleh karenanya tidak terlalu salah ketika kebanyakan orang beranggapan bahwa green campus yang dicanangkan UNS sering diartikan sebagai kampus yang ijo royo-royo. Apabila ijo royo-royo dapat diartikan sebagai perwujudan green campus, maka UNS sudah pasti dapat dikatagorikan sebagai green campus. Namun sayangnya, konsep green yang dimaksud tidak sesederhana itu karena sebenarnya green campus yang semestinya hendak diwujudkan oleh UNS mencakup beberapa hal, yakni green planning dan design, green open space, green waste, green transportation, green water, green energy, green building, bahkan green community.
Pertama, green planning dan design, yaitu suatu langkah awal dalam upaya mewujudkan green campus yang berisi konsep perencanaan dan perancangan dari suatu kampus yang berorientasi kepada ruang hidup material yang berkelanjutan. Artinya, sejak awal keramahan lingkungan untuk menyelamatkan bumi sudah direncanakan dan dirancang melalui konsep-konsep green yang lain, yakni green open space, green waste, green transportation, green water, green energy, green building, dan green community.
Kedua, green open space, yaitu ruang terbuka yang mampu menjadi ruang publik yang sehat dan nyaman, serta mampu menjaga keseimbangan dan keselarasan ruang sosial dan individu masyarakat kampus. Sehat dan nyaman di sini lebih dapat diidentifikasikan dari terjaganya suatu ekosistem. Hal ini dapat tercapai dengan satu strategi, misalnya pemilihan pohon perindang yang sedikit menghasilkan karbon, larangan berburu di lingkungan kampus, dan larangan mencari kroto di lingkungan kampus agar tidak terputus rantai makanan untuk burung.
Ketiga, green waste, yaitu sikap cerdas dalam manajemen pengolahan sampah. Hal ini sangat erat hubungannya dengan prilaku manusia, misalnya kebiasaan membuang sampah pada tempatnya, memisahkan sampah organik dan non-organik, pengolahan sampah organik menjadi produk kreatif berupa pupuk, pengolahan limbah cair yang tepat agar tidak mencemari lingkungan dan dapat dikembalikan ke bumi, dan lain sebagainya.
Keempat, green transportation, yaitu kebijakan dan sikap cerdas dalam pengelolaan transportasi yang berorientasi untuk menekan pengunaan alat-alat transportasi dengan bahan bakar minyak (BBM) dan penghasil karbon di lingkungan kampus. Artinya, berjalan kaki dan menggunakan sepeda kayuh di dalam kawasan kampus menjadi solusi yang paling tepat. Oleh karenanya, perlu dipikirkan pemusatan tempat parkir pada akes-akses utama ke dalam kampus bagi kendaraan bermotor sehingga tingkat produksi karbon dari kendaraan bermotor di dalam kawasan kampus dapat ditekan.
Kelima, green water,  sikap cerdas dalam pengelolaan air dalam kawasan kampus. Sebagai contohnya, yaitu: 1) air hujan sedapat mungkin diresapkan kembali ke tanah melalui sumur-sumur resapan agar kondisi kandungan air tanah dapat terjaga dengan baik; 2) pembuatan saluran biofori agar air dapat dikembalikan ke dalam tanah seoptimal mungkin; 3) daur ulang air buangan dari kamar mandi dan/atau toilet agar dapat digunakan kembali untuk menyiram tanaman; dan 4) menggunakan air bersih seperlunya.
Keenam, green energy, yaitu kebijakan dan sikap cerdas untuk menekan penggunaan energi terbarukan maupun tak terbarukan dalam lingkungan kampus. Sebagai contoh, di antaranya: 1) mematikan lampu yang tidak sedang digunakan; 2) tidak menggunakan AC apabila penghawaan alami masih bisa diupayakan; 3) memanfaatkan limbah yang ada di dalam kawasan kampus untuk diubah menjadi sumber energi baru, seperti biogas; 4) dan lain sebagainya.
Ketujuh, green building, yaitu suatu konsep bangunan di dalam kawasan kampus, termasuk perpustakaan, yang direncanakan, dirancang, dibangun, dan digunakan sebagai bangunan ramah lingkungan. Sebagai contoh, di antaranya: 1) vegetasi penghasil oksigen yang cukup dan dapat berfungsi sebagai elemen estetika; 2) penerapan penghawaan dan pencahayaan alami seoptimal mungkin; 3) tersedianya tempat sampah yang jelas; 4) dan lain sebagainya.
Kedelapan, green community, yaitu kondisi masyarakat yang mengerti dan sadar dalam menjaga keramahan lingkungan dan keselamatan bumi. Hal ini sudah pasti harus diikuti tindakan nyata yang mencerminkan prilaku yang green. Sebagai contoh, di antaranya: 1) membuang sampah organik dan/atau non-organik pada tempat yang telah tersedia; 2) mematikan lampu dan/atau AC yang tidak sedang diperlukan; 3) mematikan kran air bersih yang sedang tidak digunakan; 4) tidak merusak ekosistem di kawasan kampus; 5) dan lain-lain.             
Delapan konsep green tersebut menjadi suatu syarat yang harus dijalani dan diterapkan secara berkesinambungan untuk meuju terwujudnya green campus, termasuk konsep estetika arsitektural yang digunakan dalam rancang bangun perpustakaan UNS yang diharapkan mampu menjadi unit layanan yang memiliki fasilitas yang sehat, nyaman, dan ramah lingkungan. Apabila semua ini dapat diwujudkan, maka keselarasan antara wadah dan isi sebagai bagian dari upaya pengkondisian untuk mencapai hidup dan kehidupan yang berkualitas dapat dicapai dan direfleksikan melalui sikap dari hasil adaptasi pergulatan dengan alam yang telah dibangun.

D.        Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik dua simpulan, yakni sebagai berikut.
1)      Kearifan lokal budaya Jawa yang berusaha menjaga keseimbangan dan keselarasan alam dan lingkungan untuk menuju keharmonian hidup menjadikan ekologi dan budaya dapat dengan mudah diterima dan dipadukan dalam konsep eco culture architecture untuk diwujudkan pada arsitektur kampus UNS yang secara visual tampak sebagai kampus ijo royo-royo.
2)      Rancang bangun perpustakaan UNS dengan berbasis pada green campus tidak bisa tidak harus mengacu pada keseluruhan konsep green yang meliputi green planning dan design, green open space, green waste, green transportation, green water, green energy, green building, bahkan green community.

Referensi
Cavallaro, Dani. 2004. Teori Kritis dan Teori Budaya. Yogyakarta: Niagara.
Foucault, Michel. 2007. Order of Thing: Arkeologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
________. 2002. Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Michel Foucault. Yogyakarta: Jalasutra.
Lubis, Akhyar Yusuf.  2004.  Setelah Kebenaran dan Kepastian Dihancurkan Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan: Sebuah Uraian Filsafat Ilmu Pengetahuan Kaum Posmodernis.  Bogor: Akademia.
Magnis-Suseno, F. 1999. Etika Jawa : Sebuah Analisa Fasafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Mangunwijaya, Y.B. 1992. Wastu Citra, Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis, 2nd edn. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Pitana, Titis S. 2010. “Dekonstruksi Makna Simbolik Arsitektur Keraton Surakarta” (disertasi). Denpasar: Program Doktor Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.
Susanto, Hary. 1987. Mitos, Menurut Pemikiran Mircea Aliade. Yogyakarta: Kanisius.



[1] Disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema “Be A Trust University Library Based On Aesthetic, Architecture and Green Campus”; 6 Maret 2013 di Ruang Seminar UPT Perpustakaan UNS.
[2] Staf pengajar pada Program Studi Arsitektur, Jurusan Arsitektur UNS. Alamat e-mail: titis_pitana@yahoo.com.
[3] Istilah arkhais di atas, pada awalnya adalah istilah yang dikemukakan oleh Mircea Eliade untuk menggantikan istilah primitif. Menurutnya sebutan primitif bagi suatu masyarakat akan menimbulkan kesan kebodohan primodial atau taraf mental yang rendah. Selanjutnya, yang dikatagorikan sebagai masyarakat arkhais adalah masyarakat yang menurut Mircea Eliade memiliki karakter-karakter sebagai berikut (Susanto, 1987:43-44).
1)    Setiap keberadaan dan tindakan hanya bermakna dan efektif sejauh keberadaan itu mempunyai prototipe Ilahi atau tindakan itu mereproduksikan tindakan kosmologis awal mula (arketipe penciptaan dan kehidupan Ilahi yang suci).
2)    Kosmologi menduduki tempat utama dalam kehidupan kesehariannya.
3)    Pemikiran-pemikirannya pertama-tama diungkapkan dalam bentuk simbol-simbol.
4)    Tidak membedakan antara sejarah dengan mitos, karena sejarah selalu dianggap sejarah suci dan menganggap dirinya sebagai produk akhir dari suatu sejarah mistis.
5)    Tingkah lakunya bersifat eksistensial, artinya praktek-praktek dan keperayaan religius mereka selalu berpusat pada masalah-masalah fundamental manusia; tidak mengenal aktivitas profan; alam tidak hanya dipandang sebagai natural murni, tetapi sekaligus natural dan supra-natural.
6)    Kehidupan mereka sangat religius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar