DISKURSUS ESTETIKA ARSITEKTUR BERBASIS GREEN CAMPUS DALAM RANCANG BANGUN
PERPUSTAKAAN PERGURUAN TINGGI[1]
Oleh:
Titis Srimuda Pitana[2]
A.
Pendahuluan
Estetika arsitektur
merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut keindahan yang dipancarkan dari
karya arsitektur yang mengekspresikan perpaduan ‘wadah’ dan ‘isi’ yang
dikomunikasikan secara visual melalui simbol-simbol yang merupakan penghantaran
pemaknaan atas suatu objek. Apabila ‘wadah’ dan ‘isi’ dapat dimaknai sebagai
‘bentuk’ dan ‘fungsi’, maka estetika arsitektural yang terpancar dan tertangkap
oleh subjek dapat dimaknai sebagai ‘makna’ dari suatu karya arsitektur. Kehadiran
estetika arsitektur berbasis green campus
dalam rancang bangun perpustakaan perguruan tinggi, sebagaimana judul tulisan
ini, merupakan sarana komunikasi visual yang menjadikannya sebagai teks budaya
atau objek interpretasi yang harus dibaca untuk dapat diungkap makna dan
diskursus (wacana) yang dikandungnya.
Menurut Foucault (2002:9) diskursus adalah cara
menghasilkan pengetahuan beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk
subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan di balik pengetahuan dan
praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua aspek ini. Lebih
detail Lubis (2004:148) menjelaskan bahwa diskursus merupakan kategori manusia yang
diproduksi dan direproduksi
dengan berbagai aturan, sistem, dan prosedur yang membuatnya terpisah dari
kenormalan. Aturan, sistem,
dan prosedur itulah yang disebutnya dengan istilah “tata-wacana”, yaitu
keseluruhan wilayah konseptual tempat pengetahuan itu dikonstruksi, dibentuk, dan dihasilkan. Ini berarti bahwa ketika sebuah wacana dilahirkan,
maka wacana/diskursus sebenarnya sudah dikontrol, diseleksi, diorganisasi, dan
didistribusikan kembali menurut kemauan pembuatnya karena wacana tersebut
dikonstruksikan berdasarkan tata-aturan (episteme)
tertentu. Oleh karena itu,
kebenaran memiliki mata rantai dengan sistem kekuasaan.
Sebagai
realitas ciptaan, kebenaran estetika arsitektur berbasis green campus dalam rancang bangun kampus perguruan tinggi merupakan
konsep yang memiliki “tata-wacana”,
yaitu keseluruhan wilayah konseptual tempat pengetahuan arsitektur yang
merupakan gabungan lingkungan (eco) dan
budaya (culture) yang dikonstruksi, dibentuk, dan dihasilkan melalui kaidah-kaidah
keseimbangan antara fungsi dan konstruksi, klimatologi, kepadatan pengguna dan
area, komposisi bahan, proporsi, tampilan, garis tegas ornamen, sampai makna
warna. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa mengembangkan estetika arsitektur dalam
rancang bangun perpustakaan perguruan tinggi dan memadukannya dengan arsitektur
hijau untuk mewujudkan eco culture campus
adalah sebuah keniscayaan dari sebuah cita-cita. Dalam konteks ini
dipandang penting dan relevan mengetengahkan perbincangan tentang dua hal,
yaitu: 1) konsep dan wacana estetika arsitektur menuju eco culture campus; dan 2) green
architecture aesthetic dalam rancang bangun perpustakaan UNS.
B.
Konsep dan
Wacana Estetika Arsitektur Menuju Eco
Culture Campus
Manusia pada
dasarnya adalah makhluk berkesadaran yang berfikir dan dijajah oleh
pengetahuannya. Segala keputusan dan tindakannya selalu dilandasi oleh bangun
pengetahuan yang dimiliki dan diyakini kebenarannya. Bangun pengetahuan inilah
yang selanjutnya disebut konsep. Sementara itu, wacana atau diskursus dalam
ilmu dan praktek sosial merupakan jaringan praktek pengetahuan dan kekuasaan. White (Foucault, 2007:xiv) mengatakan
bahwa apa yang dilakukan atau dibahas dalam diskursus, seperti yang terjadi
dengan yang lain adalah selalu kehendak dan kekuasaan.
Bahasa sebagai alat untuk memproduksi diskursus, bukan semata-mata mempersoalkan
ucapan dan/atau tulisan, tetapi semua pernyataan kultural karena
keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks yang mengandung nilai-nilai,
prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan tertentu. Sebagaimana bahasa
arsitektural yang bukan hanya mempersoalkan garis dan bidang, bahkan bukan
hanya mempersoalkan kaidah trinitas Marcus Vitruvius Pollio yang merupakan
sintesa antara kekuatan (durability
atau firmitas), kegunaan (convinience atau utilitas), dan keindahan (beauty
atau venustas), melainkan lebih pada
ekspresi kehendak dan kekuasaan yang berada di dalam ruang kesadaran manusia.
Dalam ruang
kesadaran manusia, kehendak dan kekuasaan ini adalah refleksi dari hasrat
manusia. Manusia dengan hasratnya telah mengembangkan arsitektur menjadi ilmu
rancang bangun tidak hanya dibatasi oleh ruang dan gatra (sesuatu yang tampak terwujud) atau garis dan bidang. Akan
tetapi, arsitektur telah berkembang menjelajahi ruang kesadaran manusia jauh ke
relung-relung keindahan yang kemudian, diposisikan menjadi nilai ideal. Nilai
keindahan inilah bahasa manusia yang disampaikan dengan media arsitektur.
Malahan Merleau-Ponty mengatakan bahwa berarsitektur adalah berbahasa manusia
dengan citra unsur-unsurnya, baik dengan bahan material maupun bentuk dan
komposisinya. Begitulah bahasa arsitektur selalu menghadirkan nilai keindahan
dengan penuh kejujuran dan kewajaran, sebagaimana diungkapkan oleh Thomas
Aquinas, 'pulchrum splendor est veritatis',
'keindahan adalah pancaran kebenaran' (Mangunwijaya, 1992:9-10). Demikianlah
seharusnya perwujudan arsitektur hijau (green
architecture) dengan bahasa keindahan dan pancaran kebenarannya hadir dan
diterima dengan suka cita oleh masyarakat perguruan tinggi, khususnya UNS yang
berada dalam lingkup budaya Jawa.
Pararelitas di
atas setidak-tidaknya mampu menunjukkan bahwa estetika yang dikandung dalam
arsitektur kampus UNS merupakan wujud budaya yang memiliki metafisikanya
sendiri yang dibangun atas kesadaran dan diskursus pemilikinya. Artinya, arsitektur
kampus UNS yang berada dalam lingkup budaya Jawa memiliki bahasa ibu sendiri
dalam mengungkapkan estetikanya, yaitu kearifan
lokal. Inilah yang selanjutnya menjelma dalam dunia sosial-budaya menjadi nilai-nilai.
Sistem nilai, baik sebagai pedoman hidup maupun perilaku hidup tidak pernah
final karena senantiasa mengalami perkembangan inheren dalam perubahan zaman.
Faktanya manusia tidak bisa menjalankan kehidupannya sendiri tanpa terlibat
dalam kehidupan sosial berupa kegiatan kemasyarakatan. Malahan dalam kehidupan
sosialnya manusia tidak jarang harus membangun toleransi sehingga dimungkinkan
terjadinya proses saling menerima dan memberi nilai. Begitulah dalam dunia
global masyarakat UNS tidak dapat menutup diri dari pengaruh lain. Oleh
karenanya, membangun identitas menuju eco
culture campus menjadi penting untuk diwacanakan bagi UNS agar tetap
terjaga keselarasan antara wadah (bentuk) dan isi (fungsi) sehingga makna
arsitektur sebagai ruang hidup material manusia dalam meningkatkan kualitas
hidup dan kehidupannya dapat terwujud.
Dalam budaya
Jawa, manusia meyakini bahwa antara ”wadah” dengan ”isi” diperlukan adanya
keseimbangan, kesejajaran, bahkan keterpaduan sehingga tercipta ketenteraman
batin, kesejahteraan, dan kemakmuran dalam hidup dan kehidupan. Kesesuaian
antara kesadaran dan respons yang dimiliki manusia Jawa atas tempatnya
diartikan sebagai keselarasan antara wadah dan isi. Keselarasan ini merupakan
bagian dari upaya pengkondisian untuk mencapai kesempurnaan hidup (bahagia dan
selamat dunia akhirat) yang direfleksikan melalui pandangan hidupnya terhadap
alam tempatnya berpijak. Mereka mempercayai bahwa apa yang telah mereka bangun
adalah hasil dari adaptasi pergulatan dengan alam. Kekuatan alam disadari
merupakan penentuan dari kehidupan seluruhnya. Keyakinan ini seperti yang
terkandung dalam wejangan Sang Dewa Ruci pada Bima dalam Serat Dewa Ruci yang
dikutip Mangunwijaya (1992:3) berikut ini.
“Kang ingaran urip mono mung jumbuhing badan
wadaq lan batine,
pepindhane wadhah lan isine…
Jeneng wadah yen tanpa isi, alah dene
arane wadhah,
tanpa
tanja tan ana pigunane
semono
uga isi tanpa wadhah, yekti barang
mokal…
Tumrap
urip kang utama tertamtu ambutuhake wadhah lan isi,
kang
utama karo-karone.”
Yang disebut hidup adalah manunggalnya
tubuh dan batin (raga dan jiwa),
ibarat wadah dan isinya…
Wadah tanpa isi, adalah sia-sia disebut
wadah,
tidak akan berarti dan berguna.
Demikian juga isi tanpa wadah, adalah
sesuatu yang mustahil…
Untuk hidup yang sempurna membutuhkan
wadah dan isi,
yang utama adalah kedua-duanya
Subjektifitas dan interpretasi bebas mengenai
kutipan Serat Dewa Ruci di atas mengarahkan tulisan ini untuk menjadikannya
sebagai suatu analogi pandangan manusia Jawa yang arkais[3] mengenai
keberadaan makrokosmos (jagad gede =
jagad raya) dan mikrokosmos (jagad cilik
= diri manusia) yang akhirnya menghasilkan empat asumsi dasar untuk dijadikan
pijakan argumen dalam pembahasan mengenai pentingnya mengembangkan
spiritualitas dan kesadaran manusia Jawa terhadap ruang hidupnya (eco culture architecture) dalam upaya
mewujudkan arsitektur hijau (green
architecture) yang berkelanjutan.
Pertama, pandangan masyarakat Islam-Jawa
terhadap kosmosnya merupakan bentuk nilai tetap yang selalu hadir dalam
kehidupannya. Kesejajaran antara
wadah dan isi tersebut dilambangkan dengan adanya suatu konsep kesatuan
makrokosmos (alam raya) dengan mikrokosmos (manusia). Konsep kemanunggalan makrokosmos dan mikrokosmos diartikan bahwa
manusia telah menjalin hubungan dengan kekuatan di luar dirinya yang jauh
lebih besar (Tuhan) sehingga
manusia bersangkutan akan terjaga dan mampu meningkatkan kekuatannya menjadi
lebih besar yang pada akhirnya, akan mampu mendatangkan kesejahteraan,
kesuburan, dan hal-hal positif lainnya bagi hidup dan kehidupan manusia.
Kedua, etika hidup manusia Jawa dalam
interaksi sosial diatur melalui prinsip rukun dan hormat dalam menjaga
keselarasan hidup. Kesadaran
keberadaan manusia sebagai makhluk individu dan sosial dapat dilihat dari sistem
moral dalam hidup kesehariannya. Dengan etika ini anggota masyarakat sangat menghargai adanya perbedaan.
Perbedaan jenjang kedudukan yang ada dalam masyarakat dimaknai sebagai
perbedaan peran dan tanggung jawab. Malahan kesadaran akan perbedaan ini merupakan
salah satu bentuk cara masyarakat dalam menciptakan keseimbangan dan keselarasan hidupnya. Mereka mengenal
adanya tiga tingkatan etika sebagai pengatur kehidupan sosialnya dengan tidak
mengabaikan keberadaannya sebagai makhluk pribadi, yang dapat diuraikan sebagai berikut.
1) Etika
keluarga, yaitu etika yang digunakan dalam kelompok terkecil yang disebut
lingkup keluarga.
2)
Etika antarkeluarga, yaitu etika yang
digunakan dalam kehidupan lebih luas daripada lingkup keluarga, tepatnya
antarkelompok (keluarga).
3)
Etika umum, yaitu etika yang digunakan
dalam lingkup masyarakat luas. Pada kesehariannya, manusia Jawa lebih
mengutamakan etika yang lebih luas, atau lebih mengutamakan kepentingan bersama
daripada kepentingan pribadi atau kelompok yang lebih kecil.
Ketiga, rukun dan hormat sebagai upaya menjaga
keselarasan hidup merupakan ”prinsip pencegahan konflik”. Artinya, masyarakat
Islam-Jawa sangat terbuka dalam
menerima suatu perubahan akibat interaksi sosial yang dijalani demi terjaganya
keselarasan. Perubahan yang paling banyak terjadi adalah pada sistem nilai
terutama pada produk-produk budayanya, sedangkan untuk norma yang diwujudkan
pada perilaku relatif tidak berubah, sehingga nilai-nilai dari luar yang
dianggap baik dan sesuai dijadikan sebagai sumber pengkayaan budaya Jawa.
Keempat, identitas diri yang terbentuk
diungkapkan melalui pikiran dan perbuatan yang total, berlandasan dan
beralasan. Dalam ruang hidup materialnya, hal tersebut dikomunikasikan secara tidak langsung, diungkapkan dengan menggunakan
simbol sehingga pembacaan ulang terhadap simbol tersebut (pemaknaan ulang)
dapat dilakukan sesuai dengan semangat zamannya.
Kearifan lokal
lazim dimaknai sebagai bangun pengetahuan yang bersumber dari nilai-nilai dan
potensi lokal yang diwacanakan secara lisan dari generasi ke generasi yang
akhirnya disebut kebudayaan tradisional. Namun demikian, harus diakui bahwa
kebenaran tidak selalu terdapat pada yang baru (modern), tetapi juga pada yang
tradisional, bahkan kebenaran tersebar pada sepanjang pengalaman manusia,
terfragmentasi sesuai dengan ruang dan waktu realitas berada, dan bukan hanya
ditentukan berdasarkan akal dan rasional. Sebagaimana perwujudan arsitektur
kampus UNS yang secara semiotik dikatakan sebagai sarana komunikasi visual. Ini
berarti bahwa arsitektur kampus UNS yang eco
culture memiliki bahasa tersendiri dalam membangun komunikasi yang baik
dengan subjek-subjek pemakna di luar dirinya.
Penerimaan
masyarakat atas kehadiran eco culture
architecture dengan simbol kearifan lokalnya ini menunjukkan bahwa
arsitektur mampu membangun komunikasi dengan lingkungan dan budayanya. Oleh
karenanyalah interaksi yang terjalin melalui sarana komunikasi visual ini
melahirkan bahasa arsitektur baru untuk arsitektur kampus UNS yang disebut eco culture architecture, yaitu
arsitektur yang sarat dengan kearifan lokal budaya Jawa yang berusaha menjaga keseimbangan
dan keselarasan alam dan lingkungan untuk menuju keharmonian hidup. Konsep
keseimbangan dan keselarasan untuk mencapai keharmonian inilah yang menjadikan ekologi
dan budaya dapat dengan mudah diterima dan dipadukan dalam konsep eco culture architecture untuk
diwujudkan pada arsitektur kampus UNS yang secara visual tampak sebagai kampus ijo royo-royo.
C.
Green Architecture Aesthetic Dalam
Rancang Bangun Perpustakaan UNS
Menurut Umberto
Eco, perwujudan ruang dan bentuk arsitektur merupakan sarana komunikasi visual
yang pemaknaannya tidak akan pernah berhenti. Tidak sekedar ada, tetapi selalu
mengada. Ini berarti persoalan arsitektur bukan hanya berhenti pada persoalan
geometris, penciptaan ruang, dan menghuninya, melainkan lebih pada dimensi
"kekinian" yang dalam istilah Derrida disebut dengan
"kemenjadian" (becoming).
Bukan hanya ada (being), tetapi juga
mengada (beings). Malahan dengan
mengikuti logika resepsi Jauss yang memahami sebuah teks atau kejadian meliputi
proses mediasi terus-menerus antara kini dan masa lampau, informasi yang
diberikan oleh simbol komunikasi visual tersebut menuntut penafsir (subjek)
selalu dikondisikan secara historis dan konteks kekiniannya (Cavallaro,
2004:97). Ada dimensi kini dan masa depan yang dalam resepsi Jauss disebut
dengan "horizon harapan" yang bersifat kolektif. Sebagaimana estetika
arsitektur yang selalu dikembangkan untuk menjawab setiap tantangan/tuntutan
zaman, termasuk menjawab tuntutan penerapan arsitektur berkelanjutan atau lazim
disebut arsitektur hijau pada bangunan perpustakaan UNS.
Gerakan hijau sebagai wujud kesadaran manusia dalam upaya
menyelamatkan bumi tidak boleh hanya berada di wilayah wacana/diskursus, namun
harus diikuti tindakan nyata. Langkah ini sudah mulai banyak dilakukan oleh
beberapa kampus perguruan tinggi di dunia, seperti Universitas Nottingham di
Inggris, Universitas Connecticut di Amerika Serikat, Universitas College Cork
di Irlandia, dan masih banyak lagi. Beberapa kampus perguruan tinggi di
Indonesia pun telah secara sadar dan terencana melakukan langkah nyata dalam
upaya mewujudkan green campus, yaitu
lingkungan kampus yang sehat, nyaman, dan ramah lingkungan, seperti Universitas
Indonesia dan UNS saat ini.
Lingkungan kampus
yang sehat, nyaman, dan ramah lingkungan yang lazim dikenal dengan konsep green ini sering terlalu sederhana
dimaknai sebagai sesuatu yang serba hijau. Oleh karenanya tidak terlalu salah
ketika kebanyakan orang beranggapan bahwa green
campus yang dicanangkan UNS sering diartikan sebagai kampus yang ijo royo-royo. Apabila ijo royo-royo dapat diartikan sebagai
perwujudan green campus, maka UNS sudah pasti dapat dikatagorikan sebagai green campus. Namun sayangnya, konsep green yang dimaksud tidak sesederhana
itu karena sebenarnya green campus yang semestinya hendak diwujudkan oleh UNS
mencakup beberapa hal, yakni green
planning dan design, green open
space, green waste, green transportation, green water, green energy, green
building, bahkan green community.
Pertama, green planning dan design, yaitu suatu langkah awal dalam upaya mewujudkan green campus yang berisi konsep
perencanaan dan perancangan dari suatu kampus yang berorientasi kepada ruang
hidup material yang berkelanjutan. Artinya, sejak awal keramahan lingkungan
untuk menyelamatkan bumi sudah direncanakan dan dirancang melalui konsep-konsep
green yang lain, yakni green open space, green waste, green
transportation, green water, green energy, green building, dan green community.
Kedua, green open space, yaitu ruang terbuka
yang mampu menjadi ruang publik yang
sehat dan nyaman, serta mampu menjaga keseimbangan dan keselarasan ruang sosial
dan individu masyarakat kampus. Sehat dan nyaman di sini lebih dapat
diidentifikasikan dari terjaganya suatu ekosistem. Hal ini dapat tercapai
dengan satu strategi, misalnya pemilihan pohon perindang yang sedikit
menghasilkan karbon, larangan berburu di lingkungan kampus, dan larangan
mencari kroto di lingkungan kampus agar tidak terputus rantai makanan untuk
burung.
Ketiga, green waste, yaitu sikap cerdas dalam
manajemen pengolahan sampah. Hal ini sangat erat hubungannya dengan prilaku
manusia, misalnya kebiasaan membuang sampah pada tempatnya, memisahkan sampah
organik dan non-organik, pengolahan sampah organik menjadi produk kreatif
berupa pupuk, pengolahan limbah cair yang tepat agar tidak mencemari lingkungan
dan dapat dikembalikan ke bumi, dan lain sebagainya.
Keempat, green transportation, yaitu kebijakan dan
sikap cerdas dalam pengelolaan transportasi yang berorientasi untuk menekan
pengunaan alat-alat transportasi dengan bahan bakar minyak (BBM) dan penghasil
karbon di lingkungan kampus. Artinya, berjalan kaki dan menggunakan sepeda
kayuh di dalam kawasan kampus menjadi solusi yang paling tepat. Oleh karenanya,
perlu dipikirkan pemusatan tempat parkir pada akes-akses utama ke dalam kampus
bagi kendaraan bermotor sehingga tingkat produksi karbon dari kendaraan
bermotor di dalam kawasan kampus dapat ditekan.
Kelima, green water, sikap cerdas dalam pengelolaan air dalam
kawasan kampus. Sebagai contohnya, yaitu: 1) air hujan sedapat mungkin
diresapkan kembali ke tanah melalui sumur-sumur resapan agar kondisi kandungan
air tanah dapat terjaga dengan baik; 2) pembuatan saluran biofori agar
air dapat dikembalikan ke dalam tanah seoptimal mungkin; 3) daur ulang air
buangan dari kamar mandi dan/atau toilet agar dapat digunakan kembali untuk
menyiram tanaman; dan 4) menggunakan air bersih seperlunya.
Keenam, green energy, yaitu kebijakan dan sikap
cerdas untuk menekan penggunaan energi terbarukan maupun tak terbarukan dalam
lingkungan kampus. Sebagai contoh, di antaranya: 1) mematikan lampu yang tidak sedang
digunakan; 2) tidak menggunakan AC apabila penghawaan alami masih bisa
diupayakan; 3) memanfaatkan limbah yang ada di dalam kawasan kampus untuk
diubah menjadi sumber energi baru, seperti biogas; 4) dan lain sebagainya.
Ketujuh, green building, yaitu suatu konsep
bangunan di dalam kawasan kampus, termasuk perpustakaan, yang direncanakan,
dirancang, dibangun, dan digunakan sebagai bangunan ramah lingkungan. Sebagai
contoh, di antaranya: 1) vegetasi penghasil oksigen yang cukup dan dapat
berfungsi sebagai elemen estetika; 2) penerapan penghawaan dan pencahayaan
alami seoptimal mungkin; 3) tersedianya tempat sampah yang jelas; 4) dan lain
sebagainya.
Kedelapan, green community, yaitu kondisi
masyarakat yang mengerti dan sadar dalam menjaga keramahan lingkungan dan
keselamatan bumi. Hal ini sudah pasti harus diikuti tindakan nyata yang
mencerminkan prilaku yang green. Sebagai
contoh, di antaranya: 1) membuang sampah organik dan/atau non-organik pada
tempat yang telah tersedia; 2) mematikan lampu dan/atau AC yang tidak sedang
diperlukan; 3) mematikan kran air bersih yang sedang tidak digunakan; 4) tidak
merusak ekosistem di kawasan kampus; 5) dan lain-lain.
Delapan konsep green tersebut menjadi suatu syarat yang
harus dijalani dan diterapkan secara berkesinambungan untuk meuju terwujudnya
green campus, termasuk konsep estetika arsitektural yang digunakan dalam
rancang bangun perpustakaan UNS yang diharapkan mampu menjadi unit layanan yang
memiliki fasilitas yang sehat, nyaman, dan ramah lingkungan. Apabila semua ini
dapat diwujudkan, maka keselarasan antara wadah dan isi sebagai bagian dari
upaya pengkondisian untuk mencapai hidup dan kehidupan yang berkualitas dapat
dicapai dan direfleksikan melalui sikap dari hasil adaptasi pergulatan dengan
alam yang telah dibangun.
D.
Simpulan
Berdasarkan
uraian di atas dapat ditarik dua simpulan, yakni sebagai berikut.
1) Kearifan
lokal budaya Jawa yang berusaha menjaga keseimbangan dan keselarasan alam dan
lingkungan untuk menuju keharmonian hidup menjadikan ekologi dan budaya dapat
dengan mudah diterima dan dipadukan dalam konsep eco culture architecture untuk diwujudkan pada arsitektur kampus
UNS yang secara visual tampak sebagai kampus ijo royo-royo.
2) Rancang
bangun perpustakaan UNS dengan berbasis pada green campus tidak bisa tidak harus mengacu pada keseluruhan konsep
green yang meliputi green planning dan design, green open space, green waste,
green transportation, green water, green energy, green building, bahkan green community.
Referensi
Cavallaro,
Dani. 2004. Teori Kritis dan Teori Budaya.
Yogyakarta: Niagara.
Foucault, Michel. 2007. Order of
Thing: Arkeologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
________. 2002. Pengetahuan dan
Metode: Karya-karya Penting Michel Foucault. Yogyakarta: Jalasutra.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2004. Setelah
Kebenaran dan Kepastian Dihancurkan Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan:
Sebuah Uraian Filsafat Ilmu Pengetahuan Kaum Posmodernis. Bogor: Akademia.
Magnis-Suseno, F. 1999. Etika
Jawa : Sebuah Analisa Fasafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Mangunwijaya, Y.B. 1992. Wastu
Citra, Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi Filsafatnya
Beserta Contoh-contoh Praktis, 2nd edn. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Pitana, Titis S. 2010. “Dekonstruksi Makna Simbolik Arsitektur Keraton
Surakarta” (disertasi). Denpasar: Program Doktor Pascasarjana Universitas
Udayana Denpasar.
Susanto, Hary. 1987. Mitos, Menurut Pemikiran Mircea Aliade.
Yogyakarta: Kanisius.
[1] Disampaikan dalam Seminar
Nasional dengan tema “Be A Trust University Library Based On Aesthetic,
Architecture and Green Campus”; 6 Maret 2013 di Ruang Seminar UPT Perpustakaan
UNS.
[2] Staf pengajar pada Program
Studi Arsitektur, Jurusan Arsitektur UNS. Alamat e-mail:
titis_pitana@yahoo.com.
[3] Istilah arkhais di atas, pada awalnya adalah istilah
yang dikemukakan oleh Mircea Eliade untuk menggantikan istilah primitif.
Menurutnya sebutan primitif bagi suatu masyarakat akan menimbulkan kesan
kebodohan primodial atau taraf mental yang rendah. Selanjutnya, yang
dikatagorikan sebagai masyarakat arkhais adalah masyarakat yang menurut Mircea
Eliade memiliki karakter-karakter sebagai berikut (Susanto, 1987:43-44).
1)
Setiap keberadaan
dan tindakan hanya bermakna dan efektif sejauh keberadaan itu mempunyai
prototipe Ilahi atau tindakan itu mereproduksikan tindakan kosmologis awal mula
(arketipe penciptaan dan kehidupan
Ilahi yang suci).
2) Kosmologi menduduki tempat utama dalam kehidupan
kesehariannya.
3) Pemikiran-pemikirannya pertama-tama diungkapkan dalam
bentuk simbol-simbol.
4) Tidak membedakan antara sejarah dengan mitos, karena
sejarah selalu dianggap sejarah suci dan menganggap dirinya sebagai produk
akhir dari suatu sejarah mistis.
5) Tingkah lakunya bersifat eksistensial, artinya
praktek-praktek dan keperayaan religius mereka selalu berpusat pada
masalah-masalah fundamental manusia; tidak mengenal aktivitas profan; alam
tidak hanya dipandang sebagai natural murni, tetapi sekaligus natural dan
supra-natural.
6) Kehidupan mereka sangat religius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar