DISKURSUS BAMBU SEBAGAI MATERIAL ALAM LOKAL MULTI FUNGSI
DALAM KEHIDUPAN MANUSIA MODERN
Oleh
Dr. Titis
Srimuda Pitana, S.T., M.Trop.Arch.*
Abstrak
Bambu begitu
lazim diposisikan menjadi material alam lokal tradisional yang digunakan oleh
rakyat jelata dalam berarsitektur, karena itu harus berhadapan dengan material
modern yang memiliki kesan mewah, sebagaimana positivisme mengafirmasi
kebenaran sebagai ‘paradoksal’. Apabila dominasi kesadaran penggunaan material
modern dalam berarsitektur ini dibiarkan berkembang semakin dalam di benak
manusia Nusantara, maka bambu sebagai material alam lokal akan kehilangan ruang
hidupnya dan arsitektur Nusantara akan mengalami kesulitan mengelola
kelangsungan hidupnya. Dalam konteks berarsitektur dan membangun ruang hidup
material, bahasa ibunya adalah kearifan lokal dengan senantiasa menggunakan
material lokal dan memuliakannya dengan cara menjaga keberlangsungan kehidupan
dan pemanfaatannya. Sebagaimana bambu yang tidak boleh dimarjinalkan dan
dilupakan hingga menjadi tanaman yang sulit ditemukan; tidak ditemukan lagi
pegunanaannya dalam kehidupan manusia dan tergeser oleh material buatan yang
tidak ramah lingkungan. Ketika hutan-hutan Jati dan ketersediaan kayu mulai
menyusut, bambu sebagai bahan alam lokal yang banyak ditemui dan relatif murah
semestinya menjadi pilihan utama dalam berarsitektur.
Kata kunci: bambu, diskursus, arsitektur
1.
Pendahuluan
Adalah bambu
si rumput
raksasa yang hidup dalam kebersamaan
menjulang ke
atas tegak langsing
namun tetap menengadah
dan mengakar pada bumi
suaramu adalah
takbir dan dzikir bahasamu
saat saluang,
angklung, dan rindik membelah keheningan
Adalah bambu
lurus tubuhmu
adalah istiqomahmu
potongan dan
serpihan tubuhmu adalah kepasrahan gunamu
tak peduli
engkau dijadikan
mawujud dalam
ruang hidup material manusia
bale bengong,
rumah gubukku, atau lincak tempatku merebah
segala gunamu
adalah takdirmu
Puisi di atas sengaja dibuat dan ditempatkan
di bagian awal tulisan ini sebagai ilustrasi sederhana untuk kembali memaknai
bambu yang begitu mudah kita temui di sekitar kita. Begitu mudahnya, hingga
kita sering lupa bahwa dia ada dan banyak kita gunakan, sebagaimana kata-kata
puitis dalam sajak “Istri” karya Darmanto Yatman, “seperti lidah di mulut tak
terasa, seperti jantung di dada tak teraba...”.
Kini,
hampir tak ada yang tahu bahwa jauh sebelum ditemukan cara modern dengan laser
untuk melakukan sunat pada seorang bocah laki-laki, alat tradisional yang
digunakan di Bong Supit adalah sembilu yang berasal dari batang bambu.
Sementara itu, pelajaran sejarah kemerdekaan Republik Indonesia di
sekolah-sekolah dasar yang mendongengkan kehebatan para pahlawan yang merebut
kemerdekaan hanya bersenjata bambu runcing sangat sulit dibayangkan oleh para
siswa yang banyak mengenal persenjataan perang dari game on line yang serba canggih yang mereka mainkan. Ini berarti
bahwa, keberadaan bambu sudah menjadi material alam lokal yang termajinalkan
dan selalu dikonotasikan sebagai yang tradisional.
Tidak
dapat dipungkuri bahwa arsitektur Nusantara dengan kearifan lokalnya adalah
realitas ciptaan yang lazimnya dianggap produk kebudayaan masa lalu.
Kecanggihan visi budaya kearsitekturan Nusantara telah menjadikannya sebagai
puncak perwujudan arsitektur tradisional yang membanggakan. Akan tetapi,
kebanggaan terhadap karya arsitektur tradisional seperti ini terkadang menjadi
sumber malapetaka arsitektur tradisional itu sendiri. Dengan kebanggaan itu,
bisa saja tanpa disadari kemudian, masyarakat Nusantara membangun sebuah
konstruksi mental yang menerima pengetahuan arsitektur tradisional ini sebagai
kebenaran. Yang dapat dilakukan terhadap sosok kebenaran, tentu seperti
menangani sebuah pusaka, yakni merawat dan menghindarkan pusaka itu dari
perubahan. Keajegan selalu diupayakan dan diperjuangkan, bahkan sampai pada
pemaknaan simbol yang melekat. Kondisi ini pada akhirnya menjadikan arsitektur
Nusantara tidak dipandang sebagai simbol yang hidup karena keberadaannya telah
dilingkupi dan dimatikan oleh mitos-mitos yang diajegkan. Akibatnya, terjadi kemandulan
ide dan kreativitas dalam pengembangannya, termasuk dalam pemanfaatan bahan
material alam lokal yang selama ini lazim dimaknai sebagai sesuatu yang murah
dan tidak berkelas, seperti bambu.
Bambu
begitu lazim diposisikan menjadi material alam lokal tradisional yang digunakan
oleh rakyat jelata dalam berarsitektur, karena itu harus berhadapan dengan
material modern yang memiliki kesan mewah, sebagaimana positivisme mengafirmasi
kebenaran sebagai ‘paradoksal’. Kebenaran meta narasi ini pada kenyataan telah
merebut kesadaran bahwa penggunaan bambu terbatas sebagai produk budaya proletar
kuno karena eksistensinya begitu terikat pada masa lalu. Sebaliknya, material
modern karena sifat kebaruannya sehingga selalu sejalan dengan selera manusia
yang selalu menghedaki yang serba baru dan mewah. Apalagi selera itu memang
sejalan dengan kodrat manusia yang selalu bergerak maju ke masa depan. Dengan
demikian, penggunaan material modern dalam segala sisi kehidupan manusia berhasil
membangun kesadaran baru dan mendominasi kesadaran penggunaan dan pemaknaan
material alam lokal bambu yang tradisional. Akibatnya, hampir seluruh aktivitas
kehidupan manusia berorientasi ke dunia Barat, tempat budaya modern berasal,
termasuk dalam penggunaan material modern dalam berarsitektur. Apabila dominasi
kesadaran penggunaan material modern dalam berarsitektur ini dibiarkan
berkembang semakin dalam di benak manusia Nusantara, maka bambu sebagai
material alam lokal akan kehilangan ruang hidupnya dan arsitektur Nusantara
akan mengalami kesulitan mengelola kelangsungan hidupnya.
Sementara
itu, nilai-seni intinya bersumber pada nilai-kebaikan; dan nilai-kebaikan
sejatinya berasal dari nilai-kebenaran. Patut disadari bahwa kebenaran tidak
melulu terdapat pada yang baru, tetapi juga pada yang tradisional, bahkan
kebenaran tersebar pada sepanjang pengalaman manusia, bukan hanya ditentukan
berdasarkan akal dan rasional. Oleh karena itu, makalah ini ingin mengajak para
akademisi dan praktisi untuk memberikan porsi dan posisi yang seimbang antara bambu
sebagai material alam lokal dan material lainnya, terlebih material modern.
Dalam konteks ini dipandang penting dan relevan mengetengahkan perbincangan
tentang kesadaran diskursus bambu dalam ruang kesadaran manusia dan diskursus
bambu sebagai material alam lokal arsitektur Nusantara.
2. Diskursus Bambu Dalam Ruang Kesadaran Manusia
Manusia
adalah makhluk yang berpikir dan berkesadaran. Sebagai makhluk berkesadaran,
manusia tahu bahwa ia mengetahui sesuatu tentang sesuatu. Ini dibuktikan dengan
kemampuan berpikir dan berkomunikasi yang dimiliki. Berpikir adalah
berkata-kata dalam hati sendiri dan berkomunikasi adalah berkata-kata
antarsubjek. Mengingat kedua kegiatan ini merupakan tindak tutur dengan
menekankan pada penggunaan kata-kata sehingga kegiatan semacam ini tidak
dimungkinkan tanpa bahasa. Begitulah dengan bahasa, manusia bisa saling
memahami dan mewujudkan pengertian di antara sesamanya. Kesalingpengertian dan
pemahaman inilah yang dimaksud dengan kesadaran dan di dalamnya bahasa menjadi
alat dan wujud kesadaran itu sendiri. Ketika bahasa diterima menjadi wujud
kesadaran kolektif masyarakat manusia, maka manusia sudah menciptakan wacana
atau diskursus di dalam dunianya sendiri.
Dari
aras liguistik, Paul Ricoeur (2002:17) menjelaskan tentang proses pembentukan
wacana yang dimulai dari makna suatu benda hingga terbentuknya hubungan
antarpredikat. Ditegaskannya, “Satu kata benda mempunyai makna, dan sebagai
pelengkap maknanya satu kata kerja mengisyaratkan dimensi waktu. Hanya dengan
kesinambungan keduanyalah yang akan mengedepankan suatu ikatan predikat yang
dapat disebut sebagai logos atau
wacana”). Sementara itu, istilah “wacana” (discourse,
discourse) diperkenalkan oleh Michel Foucault dalam pidato pengukuhan guru
besarnya, dan La archeologie da savoir
(1968), serta tulisannya tentang kegilaan (Lubis, 2004:147-148). Menurut
Foucault (2002:9) diskursus adalah cara menghasilkan pengetahuan beserta
praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya,
relasi kekuasaan di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling
keterkaitan di antara semua aspek ini. Artinya, diskursus merupakan kategori
manusia yang diproduksi dan reproduksi dengan berbagai aturan, sistem, dan
prosedur yang membuatnya terpisah dari kenormalan. Aturan, sistem,
dan prosedur itulah yang disebutnya dengan istilah “tata-wacana”, yaitu
keseluruhan wilayah konseptual tempat pengetahuan itu dikonstruksi, dibentuk
dan dihasilkan (Lubis, 2004:148). Dengan demikian, studi teks, studi sejarah, budaya,
dan klaim-klaim objektivitas termasuk kebenaran harus ditunda karena hal itu
telah dipengaruhi oleh aturan-aturan, perbedaan makna, dan strategi-strategi
yang sama dengan naratif lainnya. Foucault (2002:143-144) menegaskan bahwa
ketika sebuah wacana dilahirkan, maka diskursus sebenarnya sudah dikontrol,
diseleksi, diorganisasi, dan didistribusikan kembali menurut kemauan pembuatnya
karena wacana tersebut dikonstruksikan berdasarkan tata-aturan (episteme) tertentu. Oleh
karena itu, kebenaran memiliki mata rantai dengan sistem kekuasaan.
Diskursus
bukan semata-mata mempersoalkan ucapan dan/atau tulisan, tetapi semua
pernyataan kultural karena keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks yang
mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan tertentu.
Sebagaimana bahasa arsitektural yang bukan hanya mempersoalkan garis dan
bidang, bahkan bukan hanya mempersoalkan kaidah trinitas Marcus Vitruvius
Pollio yang merupakan sintesa antara kekuatan (durability atau firmitas),
kegunaan (convinience atau utilitas), dan keindahan (beauty atau venustas), melainkan lebih pada ekspresi kehendak dan kekuasaan
yang berada di dalam ruang kesadaran manusia.
Dalam
ruang kesadaran manusia, kehendak dan kekuasaan ini adalah refleksi dari hasrat
manusia. Manusia dengan hasratnya telah mengembangkan penggunaan bambu dalam
ruang kehidupannya, termasuk ruang hidup materialnya atau arsitektur. Akan
tetapi, arsitektur telah berkembang menjelajahi ruang kesadaran manusia jauh ke
relung-relung keindahan yang kemudian, diposisikan menjadi nilai ideal. Nilai
keindahan inilah bahasa manusia yang disampaikan dengan media arsitektur.
Malahan Merleau-Ponty mengatakan bahwa berarsitektur adalah berbahasa manusia
dengan citra unsur-unsurnya, baik dengan bahan material maupun bentuk dan
komposisinya. Begitulah bahasa arsitektur selalu menghadirkan nilai keindahan
dengan penuh kejujuran dan kewajaran, sebagaimana diungkapkan oleh Thomas
Aquinas, 'pulchrum splendor est
veritatis', 'keindahan adalah pancaran kebenaran' (Mangunwijaya,
1992:9-10).
Pararelitas
di atas setidak-tidaknya mampu menunjukkan bahwa kearifan lokal yang dikandung
dalam arsitektur Nusantara dengan menggunakan material alam lokal, termasuk
bambu sebagai wujud budaya memiliki metafisikanya sendiri yang dibangun atas
kesadaran dan diskursus pemilikinya. Dalam hal ini kesadaran masyarakat Nusantara
dapat dicermati secara mendalam dari alat kesadarannya, yaitu bahasa ibu.
Mengingat bahasa ibu merupakan sumber moralitas masyarakat dan sekaligus
sebagai pembangun wacana, bahkan sebagai pantulan falsafah hidup, yaitu pedoman
hidup dan perilaku hidup. Dalam konteks berarsitektur dan membangun ruang hidup
material, bahasa ibunya adalah kearifan lokal dengan senantiasa menggunakan
material lokal dan memuliakannya dengan cara menjaga keberlangsungan kehidupan
dan pemanfaatannya. Sebagaimana bambu yang tidak boleh dimarjinalkan dan
dilupakan hingga menjadi tanaman yang sulit ditemukan; tidak ditemukan lagi
pegunanaannya dalam kehidupan manusia dan tergeser oleh material buatan yang
tidak ramah lingkungan. Akibatnya, kita tidak dapat menemukan lagi eksotiknya
sangkar burung, keranjang buah, kap lampu, dan lain-lain yang terbuat dari
bahan bambu, atau bahkan balai bengong dan rumah bambu yang mengekspresikan
kerahaman dan harmonisasi lingkungan yang merupakan bagian dominan dari
kearifan lokal arsitektur Nusantara.
Pentingnya
kearifan lokal dalam membangun identitas arsitektur Nusantara dengan senantiasa
memanfaatkan bambu sebagai bahan alam lokal sudah tentu sesuai dengan filosofis
arsitektur Nusantara yang dikenal sebagai arsitektur pernaungan dan
mengekspresikan hidup seimbang dan selaras dengan kosmos untuk mencapai keharmonisan.
3. Diskursus Bambu Sebagai Material Alam Lokal Arsitektur
Nusantara
Sebagai
realitas ciptaan, arsitektur Nusantara yang lazim diposisikan sebagai
arsitektur tradisional merupakan karya adiluhung
dari aspek filosofis. Kaidah-kaidah keseimbangan yang terjaga antara fungsi dan
konstruksi, klimatologi, kepadatan pengguna dan area, komposisi bahan, proporsi,
tampilan, garis tegas ornamen, sampai makna warna. Hal ini
menunjukkan bahwa arsitektur Nusantara menjadi produk kebudayaan yang sarat
kearifan lokal, bersifat objektif, dan karenanya teramati. Ini juga sebabnya
arsitektur Nusantara memiliki kemampuan berkomunikasi melalui tanda grafis (sign) yang melekat padanya melalui
perwujudan yang dihasilkan oleh material alam lokal dimana wujud arsitektur itu
berada. Namun demikian, arsitektur Nusantara yang lazim diposisikan sebagai
sesuatu yang tradisional perkembangannya selalu dihadapkan dan dibenturkan pada
modernitas yang segala sesuatunya serba cepat dan sarat pada pemenuhan nafsu
selera.
Secara
sederhana modernitas adalah perubahan, yaitu perubahan terarah (directed change) dan terencana (planning change).
Ini berarti bahwa modernisasi diarahkan dan direncanakan untuk mengubah
paradigma kehidupan masyarakat, dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat
modern. Sebagaimana lazim dipahami bahwa manusia modern adalah orang yang mampu
berfungsi efektif dalam sebuah bangsa yang sedang mengalami pertumbuhan
ekonomi; mampu berpartisipasi dalam membuat keputusan politik; serta
berperilaku dan keputusannya ditata berdasarkan norma rasional. Kehidupan
modern yang dipandang sebagai ciri masyarakat maju pada akhirnya menjadi
ideologi yang diperjuangkan oleh institusi sosial, seperti birokrasi
pemerintahan, kelompok kapitalis, bahkan lembaga adat. Kuatnya pesona kehidupan
modern telah menjadikan modernitas sebagai wacana hegemonik yang merebut
konsensus masyarakat dalam memaknai dan menjalani kehidupannya, termasuk dalam
memaknai dan menciptakan ruang hidup materialnya (arsitektur).
Sementara
itu, modernisme sebagai ‘struktur perasaan’ melibatkan harapan, perubahan,
ambiguitas, resiko, dan revisi kronis atas pengetahuan. Ini semua diperkuat
oleh proses sosial dan budaya diferensiasi, komodifikasi, individualisasi,
rasionalisasi, urbanisasi, dan birokratisasi (Barker, 2000:140). Sejalan dengan
ini, negara (pemerintah) Indonesia memasuki periode yang terus-menerus menggulirkan
modernisasi dalam kerangka pembangunan. Oleh karena itu, tidak dapat dihindari
modernitas telah merebut konsensus masyarakat untuk menyesuaikan pola pikir dan
tindakannya dengan kondisi kekinian. Apalagi ketika seluruh proses sosial dan
budaya yang menjadi mesin penggerak modernisasi dirasakan fungsional untuk
memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat untuk mewujudkan cita-cita
kemajuan yang diidam-idamkan. Artinya, modenitas bukan saja menawarkan pesona
kualitas kehidupan yang lebih baik, melainkan juga menjadi kebutuhan dan
kepentingan masyarakat dalam kerangka persaingan ekonomi dan politik yang
didialogkan dengan bidang-bidang kehidupan lainnya, tanpa kecuali, termasuk
dalam berarsitektur sebagai upaya menciptakan ruang hidup material bagi manusia.
Kaum
modernis berkeyakinan bahwa segala permasalahan kehidupan di dunia dapat
teratasi dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Menurut Lubis (2006:51),
modernisasi yang menekankan pentingnya peran ilmu pengetahuan dan teknologi
menjadi instrumen dalam proses humanisasi sehingga ilmu pengetahuan dan
teknologi diyakini dapat menjadi alat untuk meningkatkan harkat dan martabat
manusia. Malahan bagi kaum modernis kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
dianggap mampu mengendalikan dunia sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi
cenderung menjajah dan mengatasi kesadaran manusia. Oleh karena itu, menurut
Giddens (2001:xvi), apabila perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini
tidak dibarengi dengan respons dan strategi yang tepat, maka tidak jarang
keduanya justru mempunyai dampak yang sebaliknya. Sebagaimana yang terjadi
dalam pemenuhan selera ruang hidup material manusia yang cenderung
mengeksploitasi alam tak terkendali dan cenderung menyisakan bencana bagi
kehidupan umat manusia.
Proses
terbentuknya suatu respon dan strategi dalam menyikapi perubahan sebagai akibat
modernisasi telah menjadikan batas-batas sosial budaya masyarakat semakin luas
dan kabur, perubahan karakter komunitas semakin mencolok, ikatan-ikatan
tradisional semakin melemah karena otonomi individu-individu semakin kuat.
Selain itu, nilai-nilai tradisional yang merupakan acuan kebudayaan generik
harus didekonstruksikan dan tawar-menawar terhadap nilai-nilai yang berlaku
menjadikan setiap individu dalam suatu masyarakat memiliki banyak pilihan dalam
menentukan sikap hidupnya. Manusia dihadapkan pada satu kenyataan yang tidak
dapat dihindarkan, yaitu modernisasi yang mengedepankan rasionalitas dalam
segala kehidupan yang selalu dibarengi dengan aktivitas pembangunan demi
pemenuhan tuntutan kebutuhan pasar. Ini artinya, kita dihadapkan pada dua
pilihan, yaitu menjadi agen perubahan atau objek perubahan itu sendiri.
Menurut
Umberto Eco, perwujudan ruang dan bentuk arsitektur merupakan sarana komunikasi
visual yang pemaknaannya tidak akan pernah berhenti. Tidak sekedar ada, tetapi
selalu mengada. Ini berarti persoalan arsitektur bukan hanya berhenti pada
persoalan geometris, penciptaan ruang, dan menghuninya, melainkan lebih pada
dimensi "kekinian" yang dalam istilah Derrida disebut dengan
"kemenjadian" (becoming).
Bukan hanya ada (being), tetapi juga
mengada (beings). Malahan dengan
mengikuti logika resepsi Jauss yang memahami sebuah teks atau kejadian meliputi
proses mediasi terus-menerus antara kini dan masa lampau, informasi yang
diberikan oleh simbol komunikasi visual tersebut menuntut penafsir (subjek)
selalu dikondisikan secara historis dan konteks kekiniannya (Cavallaro,
2004:97). Ada dimensi kini dan masa depan yang dalam resepsi Jauss disebut
dengan "horizon harapan" yang bersifat kolektif. Sebagaimana estetika
arsitektur yang selalu dikembangkan untuk menjawab setiap tantangan/tuntutan
zaman, termasuk menjawab tuntutan pemenuhan kebutuhan bahan material alam lokal dalam
berarsitektur.
Kesadaran manusia dalam
upaya menyelamatkan bumi tidak boleh hanya berada di wilayah wacana/diskursus,
namun harus diikuti tindakan nyata. Pada titik ini,
ketika hutan-hutan Jati dan ketersediaan kayu mulai menyusut, bambu sebagai
bahan alam lokal yang banyak ditemui dan relatif murah semestinya menjadi
pilihan utama dalam berarsitektur. Bukan hanya karena masa panen yang pendek,
budi daya bambu juga tidak memerlukan lahan seluas budi daya kayu jati atau
tanaman keras lainnya. Artinya, ketika bambu menjadi pilihan bahan dalam
menciptakan ruang hidup material manusia, bumi dengan hutan-hutan kayunya akan
lebih punya kesempatan untuk melakukan recovery dari ganasnya nafsu selera
manusia dalam penebangan untuk memenuhi kebutuhan kayu dalam pembangunan.
4. Simpulan
Berdasarkan paparan
di atas dapat ditarik dua simpulan sebagai berikut.
1)
Pentingnya kearifan lokal dalam membangun identitas
arsitektur Nusantara dengan senantiasa memanfaatkan bambu sebagai bahan alam
lokal sesuai dengan filosofis arsitektur Nusantara yang dikenal sebagai
arsitektur pernaungan dan mengekspresikan hidup seimbang dan selaras dengan
kosmos untuk mencapai keharmonisan.
2)
Kesadaran
manusia dalam upaya menyelamatkan bumi tidak boleh hanya berada di wilayah
wacana/diskursus, namun harus diikuti tindakan nyata dengan menjadikan bambu menjadi pilihan bahan dalam
menciptakan ruang hidup material manusia, bumi dengan hutan-hutan kayunya akan
lebih punya kesempatan untuk melakukan recovery dari ganasnya nafsu selera
manusia dalam penebangan untuk memenuhi kebutuhan kayu dalam pembangunan.
Daftar
Pustaka
Ali, Matius.
2004. Estetika: Sebuah Pengantar Filsafat
Keindahan dari Yunani Kuno Sampai Zen Buddhisme. Tangerang: Sanggar Luxor.
Broadbent, G.,
Bunt, R., and Jencks, C. 1980. Sign,
Symbols, and Architecture. New York: John Wiley
& Sons Ltd.
Cavallaro, Dani. 2004. Teori Kritis dan Teori Budaya. Yogyakarta: Niagara.
Copleston, Frederick. 1975. Friederich Nietzsche: Philosopher of Culture.
USA: Harper & Row.
Foucault,
Michel. 2007. Order of Thing: Arkeologi
Ilmu-ilmu Kemanusiaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
________. 2002.
Pengetahuan dan Metode: Karya-karya
Penting Michel Foucault. Yogyakarta: Jalasutra.
Lubis, Akhyar
Yusuf. 2004. Setelah
Kebenaran dan Kepastian Dihancurkan Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan:
Sebuah Uraian Filsafat Ilmu Pengetahuan Kaum Posmodernis. Bogor: Akademia.
Magnis-Suseno,
F. 1999. Etika Jawa : Sebuah Analisa
Fasafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Mangunwijaya,
Y.B. 1992. Wastu Citra, Pengantar ke Ilmu
Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis,
2nd edn. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Muzir, Inyiak
Ridwan. 2008. Hermeneutika Filosofis
Hans-Georg Gademer. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Norris, Christopher. 2003. Membongkar
Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Terj. Inyiak Ridwan Muzir. Jogjakarta:
Ar-Ruzz.
Prijotomo, J. 2008.
"Cerlangtara, Bukan Kearifan Lokal: Catatan Bagi Ke-liya-an
Arsitektur Nusantara". Makalah dipresentasikan pada Diskusi Ilmiah
Arsitektur UNS, 12 Agustus 2008.
Ricoeur, Paul.
2002. Filsafat Wacana Membelah Makna
dalam Anatomi Bahasa. Yogyakarta: IRCiSod.
* Staf
Pengajar Program Studi Arsitektur, Jurusan Arsitektur, Fak. Teknik, Universitas
Sebelas Maret Surakarta, Indonesia.
Indonesia. Alamat e-mail: titis_pitana@yahoo.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar