Jumat, 13 Februari 2015

Bambu



DISKURSUS BAMBU SEBAGAI MATERIAL ALAM LOKAL MULTI FUNGSI
DALAM KEHIDUPAN MANUSIA MODERN

Oleh
Dr. Titis Srimuda Pitana, S.T., M.Trop.Arch.*

Abstrak
Bambu begitu lazim diposisikan menjadi material alam lokal tradisional yang digunakan oleh rakyat jelata dalam berarsitektur, karena itu harus berhadapan dengan material modern yang memiliki kesan mewah, sebagaimana positivisme mengafirmasi kebenaran sebagai ‘paradoksal’. Apabila dominasi kesadaran penggunaan material modern dalam berarsitektur ini dibiarkan berkembang semakin dalam di benak manusia Nusantara, maka bambu sebagai material alam lokal akan kehilangan ruang hidupnya dan arsitektur Nusantara akan mengalami kesulitan mengelola kelangsungan hidupnya. Dalam konteks berarsitektur dan membangun ruang hidup material, bahasa ibunya adalah kearifan lokal dengan senantiasa menggunakan material lokal dan memuliakannya dengan cara menjaga keberlangsungan kehidupan dan pemanfaatannya. Sebagaimana bambu yang tidak boleh dimarjinalkan dan dilupakan hingga menjadi tanaman yang sulit ditemukan; tidak ditemukan lagi pegunanaannya dalam kehidupan manusia dan tergeser oleh material buatan yang tidak ramah lingkungan. Ketika hutan-hutan Jati dan ketersediaan kayu mulai menyusut, bambu sebagai bahan alam lokal yang banyak ditemui dan relatif murah semestinya menjadi pilihan utama dalam berarsitektur.

Kata kunci: bambu, diskursus, arsitektur


1. Pendahuluan

Adalah bambu
si rumput raksasa yang hidup dalam kebersamaan
menjulang ke atas tegak langsing
namun tetap menengadah dan mengakar pada bumi
suaramu adalah takbir dan dzikir bahasamu
saat saluang, angklung, dan rindik membelah keheningan

Adalah bambu
lurus tubuhmu adalah istiqomahmu
potongan dan serpihan tubuhmu adalah kepasrahan gunamu
tak peduli engkau dijadikan
mawujud dalam ruang hidup material manusia
bale bengong, rumah gubukku, atau lincak tempatku merebah
segala gunamu adalah takdirmu

 Puisi di atas sengaja dibuat dan ditempatkan di bagian awal tulisan ini sebagai ilustrasi sederhana untuk kembali memaknai bambu yang begitu mudah kita temui di sekitar kita. Begitu mudahnya, hingga kita sering lupa bahwa dia ada dan banyak kita gunakan, sebagaimana kata-kata puitis dalam sajak “Istri” karya Darmanto Yatman, “seperti lidah di mulut tak terasa, seperti jantung di dada tak teraba...”.
Kini, hampir tak ada yang tahu bahwa jauh sebelum ditemukan cara modern dengan laser untuk melakukan sunat pada seorang bocah laki-laki, alat tradisional yang digunakan di Bong Supit adalah sembilu yang berasal dari batang bambu. Sementara itu, pelajaran sejarah kemerdekaan Republik Indonesia di sekolah-sekolah dasar yang mendongengkan kehebatan para pahlawan yang merebut kemerdekaan hanya bersenjata bambu runcing sangat sulit dibayangkan oleh para siswa yang banyak mengenal persenjataan perang dari game on line yang serba canggih yang mereka mainkan. Ini berarti bahwa, keberadaan bambu sudah menjadi material alam lokal yang termajinalkan dan selalu dikonotasikan sebagai yang tradisional.
Tidak dapat dipungkuri bahwa arsitektur Nusantara dengan kearifan lokalnya adalah realitas ciptaan yang lazimnya dianggap produk kebudayaan masa lalu. Kecanggihan visi budaya kearsitekturan Nusantara telah menjadikannya sebagai puncak perwujudan arsitektur tradisional yang membanggakan. Akan tetapi, kebanggaan terhadap karya arsitektur tradisional seperti ini terkadang menjadi sumber malapetaka arsitektur tradisional itu sendiri. Dengan kebanggaan itu, bisa saja tanpa disadari kemudian, masyarakat Nusantara membangun sebuah konstruksi mental yang menerima pengetahuan arsitektur tradisional ini sebagai kebenaran. Yang dapat dilakukan terhadap sosok kebenaran, tentu seperti menangani sebuah pusaka, yakni merawat dan menghindarkan pusaka itu dari perubahan. Keajegan selalu diupayakan dan diperjuangkan, bahkan sampai pada pemaknaan simbol yang melekat. Kondisi ini pada akhirnya menjadikan arsitektur Nusantara tidak dipandang sebagai simbol yang hidup karena keberadaannya telah dilingkupi dan dimatikan oleh mitos-mitos yang diajegkan. Akibatnya, terjadi kemandulan ide dan kreativitas dalam pengembangannya, termasuk dalam pemanfaatan bahan material alam lokal yang selama ini lazim dimaknai sebagai sesuatu yang murah dan tidak berkelas, seperti bambu.  
Bambu begitu lazim diposisikan menjadi material alam lokal tradisional yang digunakan oleh rakyat jelata dalam berarsitektur, karena itu harus berhadapan dengan material modern yang memiliki kesan mewah, sebagaimana positivisme mengafirmasi kebenaran sebagai ‘paradoksal’. Kebenaran meta narasi ini pada kenyataan telah merebut kesadaran bahwa penggunaan bambu terbatas sebagai produk budaya proletar kuno karena eksistensinya begitu terikat pada masa lalu. Sebaliknya, material modern karena sifat kebaruannya sehingga selalu sejalan dengan selera manusia yang selalu menghedaki yang serba baru dan mewah. Apalagi selera itu memang sejalan dengan kodrat manusia yang selalu bergerak maju ke masa depan. Dengan demikian, penggunaan material modern dalam segala sisi kehidupan manusia berhasil membangun kesadaran baru dan mendominasi kesadaran penggunaan dan pemaknaan material alam lokal bambu yang tradisional. Akibatnya, hampir seluruh aktivitas kehidupan manusia berorientasi ke dunia Barat, tempat budaya modern berasal, termasuk dalam penggunaan material modern dalam berarsitektur. Apabila dominasi kesadaran penggunaan material modern dalam berarsitektur ini dibiarkan berkembang semakin dalam di benak manusia Nusantara, maka bambu sebagai material alam lokal akan kehilangan ruang hidupnya dan arsitektur Nusantara akan mengalami kesulitan mengelola kelangsungan hidupnya.
Sementara itu, nilai-seni intinya bersumber pada nilai-kebaikan; dan nilai-kebaikan sejatinya berasal dari nilai-kebenaran. Patut disadari bahwa kebenaran tidak melulu terdapat pada yang baru, tetapi juga pada yang tradisional, bahkan kebenaran tersebar pada sepanjang pengalaman manusia, bukan hanya ditentukan berdasarkan akal dan rasional. Oleh karena itu, makalah ini ingin mengajak para akademisi dan praktisi untuk memberikan porsi dan posisi yang seimbang antara bambu sebagai material alam lokal dan material lainnya, terlebih material modern. Dalam konteks ini dipandang penting dan relevan mengetengahkan perbincangan tentang kesadaran diskursus bambu dalam ruang kesadaran manusia dan diskursus bambu sebagai material alam lokal arsitektur Nusantara.

2. Diskursus Bambu Dalam Ruang Kesadaran Manusia
Manusia adalah makhluk yang berpikir dan berkesadaran. Sebagai makhluk berkesadaran, manusia tahu bahwa ia mengetahui sesuatu tentang sesuatu. Ini dibuktikan dengan kemampuan berpikir dan berkomunikasi yang dimiliki. Berpikir adalah berkata-kata dalam hati sendiri dan berkomunikasi adalah berkata-kata antarsubjek. Mengingat kedua kegiatan ini merupakan tindak tutur dengan menekankan pada penggunaan kata-kata sehingga kegiatan semacam ini tidak dimungkinkan tanpa bahasa. Begitulah dengan bahasa, manusia bisa saling memahami dan mewujudkan pengertian di antara sesamanya. Kesalingpengertian dan pemahaman inilah yang dimaksud dengan kesadaran dan di dalamnya bahasa menjadi alat dan wujud kesadaran itu sendiri. Ketika bahasa diterima menjadi wujud kesadaran kolektif masyarakat manusia, maka manusia sudah menciptakan wacana atau diskursus di dalam dunianya sendiri.
Dari aras liguistik, Paul Ricoeur (2002:17) menjelaskan tentang proses pembentukan wacana yang dimulai dari makna suatu benda hingga terbentuknya hubungan antarpredikat. Ditegaskannya, “Satu kata benda mempunyai makna, dan sebagai pelengkap maknanya satu kata kerja mengisyaratkan dimensi waktu. Hanya dengan kesinambungan keduanyalah yang akan mengedepankan suatu ikatan predikat yang dapat disebut sebagai logos atau wacana”). Sementara itu, istilah “wacana” (discourse, discourse) diperkenalkan oleh Michel Foucault dalam pidato pengukuhan guru besarnya, dan La archeologie da savoir (1968), serta tulisannya tentang kegilaan (Lubis, 2004:147-148). Menurut Foucault (2002:9) diskursus adalah cara menghasilkan pengetahuan beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua aspek ini. Artinya, diskursus merupakan kategori manusia yang diproduksi dan reproduksi dengan berbagai aturan, sistem, dan prosedur yang membuatnya terpisah dari kenormalan. Aturan, sistem, dan prosedur itulah yang disebutnya dengan istilah “tata-wacana”, yaitu keseluruhan wilayah konseptual tempat pengetahuan itu dikonstruksi, dibentuk dan dihasilkan (Lubis, 2004:148). Dengan demikian, studi teks, studi sejarah, budaya, dan klaim-klaim objektivitas termasuk kebenaran harus ditunda karena hal itu telah dipengaruhi oleh aturan-aturan, perbedaan makna, dan strategi-strategi yang sama dengan naratif lainnya. Foucault (2002:143-144) menegaskan bahwa ketika sebuah wacana dilahirkan, maka diskursus sebenarnya sudah dikontrol, diseleksi, diorganisasi, dan didistribusikan kembali menurut kemauan pembuatnya karena wacana tersebut dikonstruksikan berdasarkan tata-aturan (episteme) tertentu. Oleh karena itu, kebenaran memiliki mata rantai dengan sistem kekuasaan.  
Diskursus bukan semata-mata mempersoalkan ucapan dan/atau tulisan, tetapi semua pernyataan kultural karena keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks yang mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan tertentu. Sebagaimana bahasa arsitektural yang bukan hanya mempersoalkan garis dan bidang, bahkan bukan hanya mempersoalkan kaidah trinitas Marcus Vitruvius Pollio yang merupakan sintesa antara kekuatan (durability atau firmitas), kegunaan (convinience atau utilitas), dan keindahan (beauty atau venustas), melainkan lebih pada ekspresi kehendak dan kekuasaan yang berada di dalam ruang kesadaran manusia.
Dalam ruang kesadaran manusia, kehendak dan kekuasaan ini adalah refleksi dari hasrat manusia. Manusia dengan hasratnya telah mengembangkan penggunaan bambu dalam ruang kehidupannya, termasuk ruang hidup materialnya atau arsitektur. Akan tetapi, arsitektur telah berkembang menjelajahi ruang kesadaran manusia jauh ke relung-relung keindahan yang kemudian, diposisikan menjadi nilai ideal. Nilai keindahan inilah bahasa manusia yang disampaikan dengan media arsitektur. Malahan Merleau-Ponty mengatakan bahwa berarsitektur adalah berbahasa manusia dengan citra unsur-unsurnya, baik dengan bahan material maupun bentuk dan komposisinya. Begitulah bahasa arsitektur selalu menghadirkan nilai keindahan dengan penuh kejujuran dan kewajaran, sebagaimana diungkapkan oleh Thomas Aquinas, 'pulchrum splendor est veritatis', 'keindahan adalah pancaran kebenaran' (Mangunwijaya, 1992:9-10).
Pararelitas di atas setidak-tidaknya mampu menunjukkan bahwa kearifan lokal yang dikandung dalam arsitektur Nusantara dengan menggunakan material alam lokal, termasuk bambu sebagai wujud budaya memiliki metafisikanya sendiri yang dibangun atas kesadaran dan diskursus pemilikinya. Dalam hal ini kesadaran masyarakat Nusantara dapat dicermati secara mendalam dari alat kesadarannya, yaitu bahasa ibu. Mengingat bahasa ibu merupakan sumber moralitas masyarakat dan sekaligus sebagai pembangun wacana, bahkan sebagai pantulan falsafah hidup, yaitu pedoman hidup dan perilaku hidup. Dalam konteks berarsitektur dan membangun ruang hidup material, bahasa ibunya adalah kearifan lokal dengan senantiasa menggunakan material lokal dan memuliakannya dengan cara menjaga keberlangsungan kehidupan dan pemanfaatannya. Sebagaimana bambu yang tidak boleh dimarjinalkan dan dilupakan hingga menjadi tanaman yang sulit ditemukan; tidak ditemukan lagi pegunanaannya dalam kehidupan manusia dan tergeser oleh material buatan yang tidak ramah lingkungan. Akibatnya, kita tidak dapat menemukan lagi eksotiknya sangkar burung, keranjang buah, kap lampu, dan lain-lain yang terbuat dari bahan bambu, atau bahkan balai bengong dan rumah bambu yang mengekspresikan kerahaman dan harmonisasi lingkungan yang merupakan bagian dominan dari kearifan lokal arsitektur Nusantara.
Pentingnya kearifan lokal dalam membangun identitas arsitektur Nusantara dengan senantiasa memanfaatkan bambu sebagai bahan alam lokal sudah tentu sesuai dengan filosofis arsitektur Nusantara yang dikenal sebagai arsitektur pernaungan dan mengekspresikan hidup seimbang dan selaras dengan kosmos untuk mencapai keharmonisan. 

3. Diskursus Bambu Sebagai Material Alam Lokal Arsitektur Nusantara
Sebagai realitas ciptaan, arsitektur Nusantara yang lazim diposisikan sebagai arsitektur tradisional merupakan karya adiluhung dari aspek filosofis. Kaidah-kaidah keseimbangan yang terjaga antara fungsi dan konstruksi, klimatologi, kepadatan pengguna dan area, komposisi bahan, proporsi, tampilan, garis tegas ornamen, sampai makna warna. Hal ini menunjukkan bahwa arsitektur Nusantara menjadi produk kebudayaan yang sarat kearifan lokal, bersifat objektif, dan karenanya teramati. Ini juga sebabnya arsitektur Nusantara memiliki kemampuan berkomunikasi melalui tanda grafis (sign) yang melekat padanya melalui perwujudan yang dihasilkan oleh material alam lokal dimana wujud arsitektur itu berada. Namun demikian, arsitektur Nusantara yang lazim diposisikan sebagai sesuatu yang tradisional perkembangannya selalu dihadapkan dan dibenturkan pada modernitas yang segala sesuatunya serba cepat dan sarat pada pemenuhan nafsu selera.
Secara sederhana modernitas adalah perubahan, yaitu perubahan terarah (directed change) dan terencana (planning change). Ini berarti bahwa modernisasi diarahkan dan direncanakan untuk mengubah paradigma kehidupan masyarakat, dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern. Sebagaimana lazim dipahami bahwa manusia modern adalah orang yang mampu berfungsi efektif dalam sebuah bangsa yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi; mampu berpartisipasi dalam membuat keputusan politik; serta berperilaku dan keputusannya ditata berdasarkan norma rasional. Kehidupan modern yang dipandang sebagai ciri masyarakat maju pada akhirnya menjadi ideologi yang diperjuangkan oleh institusi sosial, seperti birokrasi pemerintahan, kelompok kapitalis, bahkan lembaga adat. Kuatnya pesona kehidupan modern telah menjadikan modernitas sebagai wacana hegemonik yang merebut konsensus masyarakat dalam memaknai dan menjalani kehidupannya, termasuk dalam memaknai dan menciptakan ruang hidup materialnya (arsitektur).
Sementara itu, modernisme sebagai ‘struktur perasaan’ melibatkan harapan, perubahan, ambiguitas, resiko, dan revisi kronis atas pengetahuan. Ini semua diperkuat oleh proses sosial dan budaya diferensiasi, komodifikasi, individualisasi, rasionalisasi, urbanisasi, dan birokratisasi (Barker, 2000:140). Sejalan dengan ini, negara (pemerintah) Indonesia memasuki periode yang terus-menerus menggulirkan modernisasi dalam kerangka pembangunan. Oleh karena itu, tidak dapat dihindari modernitas telah merebut konsensus masyarakat untuk menyesuaikan pola pikir dan tindakannya dengan kondisi kekinian. Apalagi ketika seluruh proses sosial dan budaya yang menjadi mesin penggerak modernisasi dirasakan fungsional untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat untuk mewujudkan cita-cita kemajuan yang diidam-idamkan. Artinya, modenitas bukan saja menawarkan pesona kualitas kehidupan yang lebih baik, melainkan juga menjadi kebutuhan dan kepentingan masyarakat dalam kerangka persaingan ekonomi dan politik yang didialogkan dengan bidang-bidang kehidupan lainnya, tanpa kecuali, termasuk dalam berarsitektur sebagai upaya menciptakan ruang hidup material bagi manusia. 
Kaum modernis berkeyakinan bahwa segala permasalahan kehidupan di dunia dapat teratasi dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Menurut Lubis (2006:51), modernisasi yang menekankan pentingnya peran ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi instrumen dalam proses humanisasi sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi diyakini dapat menjadi alat untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Malahan bagi kaum modernis kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dianggap mampu mengendalikan dunia sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi cenderung menjajah dan mengatasi kesadaran manusia. Oleh karena itu, menurut Giddens (2001:xvi), apabila perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini tidak dibarengi dengan respons dan strategi yang tepat, maka tidak jarang keduanya justru mempunyai dampak yang sebaliknya. Sebagaimana yang terjadi dalam pemenuhan selera ruang hidup material manusia yang cenderung mengeksploitasi alam tak terkendali dan cenderung menyisakan bencana bagi kehidupan umat manusia.
Proses terbentuknya suatu respon dan strategi dalam menyikapi perubahan sebagai akibat modernisasi telah menjadikan batas-batas sosial budaya masyarakat semakin luas dan kabur, perubahan karakter komunitas semakin mencolok, ikatan-ikatan tradisional semakin melemah karena otonomi individu-individu semakin kuat. Selain itu, nilai-nilai tradisional yang merupakan acuan kebudayaan generik harus didekonstruksikan dan tawar-menawar terhadap nilai-nilai yang berlaku menjadikan setiap individu dalam suatu masyarakat memiliki banyak pilihan dalam menentukan sikap hidupnya. Manusia dihadapkan pada satu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan, yaitu modernisasi yang mengedepankan rasionalitas dalam segala kehidupan yang selalu dibarengi dengan aktivitas pembangunan demi pemenuhan tuntutan kebutuhan pasar. Ini artinya, kita dihadapkan pada dua pilihan, yaitu menjadi agen perubahan atau objek perubahan itu sendiri.
Menurut Umberto Eco, perwujudan ruang dan bentuk arsitektur merupakan sarana komunikasi visual yang pemaknaannya tidak akan pernah berhenti. Tidak sekedar ada, tetapi selalu mengada. Ini berarti persoalan arsitektur bukan hanya berhenti pada persoalan geometris, penciptaan ruang, dan menghuninya, melainkan lebih pada dimensi "kekinian" yang dalam istilah Derrida disebut dengan "kemenjadian" (becoming). Bukan hanya ada (being), tetapi juga mengada (beings). Malahan dengan mengikuti logika resepsi Jauss yang memahami sebuah teks atau kejadian meliputi proses mediasi terus-menerus antara kini dan masa lampau, informasi yang diberikan oleh simbol komunikasi visual tersebut menuntut penafsir (subjek) selalu dikondisikan secara historis dan konteks kekiniannya (Cavallaro, 2004:97). Ada dimensi kini dan masa depan yang dalam resepsi Jauss disebut dengan "horizon harapan" yang bersifat kolektif. Sebagaimana estetika arsitektur yang selalu dikembangkan untuk menjawab setiap tantangan/tuntutan zaman, termasuk menjawab tuntutan pemenuhan kebutuhan bahan material alam lokal dalam berarsitektur. 
Kesadaran manusia dalam upaya menyelamatkan bumi tidak boleh hanya berada di wilayah wacana/diskursus, namun harus diikuti tindakan nyata. Pada titik ini, ketika hutan-hutan Jati dan ketersediaan kayu mulai menyusut, bambu sebagai bahan alam lokal yang banyak ditemui dan relatif murah semestinya menjadi pilihan utama dalam berarsitektur. Bukan hanya karena masa panen yang pendek, budi daya bambu juga tidak memerlukan lahan seluas budi daya kayu jati atau tanaman keras lainnya. Artinya, ketika bambu menjadi pilihan bahan dalam menciptakan ruang hidup material manusia, bumi dengan hutan-hutan kayunya akan lebih punya kesempatan untuk melakukan recovery dari ganasnya nafsu selera manusia dalam penebangan untuk memenuhi kebutuhan kayu dalam pembangunan.

4. Simpulan
Berdasarkan paparan di atas dapat ditarik dua simpulan sebagai berikut.
1)      Pentingnya kearifan lokal dalam membangun identitas arsitektur Nusantara dengan senantiasa memanfaatkan bambu sebagai bahan alam lokal sesuai dengan filosofis arsitektur Nusantara yang dikenal sebagai arsitektur pernaungan dan mengekspresikan hidup seimbang dan selaras dengan kosmos untuk mencapai keharmonisan.
2)      Kesadaran manusia dalam upaya menyelamatkan bumi tidak boleh hanya berada di wilayah wacana/diskursus, namun harus diikuti tindakan nyata dengan menjadikan bambu menjadi pilihan bahan dalam menciptakan ruang hidup material manusia, bumi dengan hutan-hutan kayunya akan lebih punya kesempatan untuk melakukan recovery dari ganasnya nafsu selera manusia dalam penebangan untuk memenuhi kebutuhan kayu dalam pembangunan.


Daftar Pustaka

Ali, Matius. 2004. Estetika: Sebuah Pengantar Filsafat Keindahan dari Yunani Kuno Sampai Zen Buddhisme. Tangerang: Sanggar Luxor.
Broadbent, G., Bunt, R., and Jencks, C. 1980. Sign, Symbols, and Architecture. New York: John Wiley & Sons Ltd.
Cavallaro, Dani. 2004. Teori Kritis dan Teori Budaya. Yogyakarta: Niagara.
Copleston, Frederick. 1975. Friederich Nietzsche: Philosopher of Culture. USA: Harper & Row.
Foucault, Michel. 2007. Order of Thing: Arkeologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
________. 2002. Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Michel Foucault. Yogyakarta: Jalasutra.
Lubis, Akhyar Yusuf.  2004.  Setelah Kebenaran dan Kepastian Dihancurkan Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan: Sebuah Uraian Filsafat Ilmu Pengetahuan Kaum Posmodernis.  Bogor: Akademia.
Magnis-Suseno, F. 1999. Etika Jawa : Sebuah Analisa Fasafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Mangunwijaya, Y.B. 1992. Wastu Citra, Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis, 2nd edn. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Muzir, Inyiak Ridwan. 2008. Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gademer. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Norris, Christopher. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Terj. Inyiak Ridwan Muzir. Jogjakarta: Ar-Ruzz.
Prijotomo, J.  2008. "Cerlangtara, Bukan Kearifan Lokal: Catatan Bagi Ke-liya-an Arsitektur Nusantara". Makalah dipresentasikan pada Diskusi Ilmiah Arsitektur UNS, 12 Agustus 2008.
Ricoeur, Paul. 2002. Filsafat Wacana Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa. Yogyakarta: IRCiSod.





* Staf Pengajar Program Studi Arsitektur, Jurusan Arsitektur, Fak. Teknik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Indonesia. Indonesia. Alamat e-mail: titis_pitana@yahoo.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar