Jumat, 13 Februari 2015

PESANTREN



PESANTREN DAN DISKURSUS KEARIFAN LOKAL DALAM MENJAGA HARMONISASI LINGKUNGAN HIDUP DI TENGAH TEKANAN MODERNITAS[1]


Oleh:
Titis S. Pitana[2]



A. Pendahuluan
Pesantren atau lazim disebut pondok pesantren adalah sebuah bentuk asrama pendidikan yang di dalamnya mewadahi dua kegiatan utama sekaligus, yaitu sebagai tempat belajar dan sebagai tempat tinggal (pondok) bagi para santri (siswa) dan/atau kyai (ustadz). Penyatuan dua kegiatan utama ini akan memudahkan terjadinya komunikasi antara kyai dan santri, dan antar santri yang tinggal dalam satu pondok. Dengan demikian akan tercipta suasana yang komunikatif kekeluargaan, bahkan tercipta sikap timbal balik antara kyai dan santri, sebagaimana hubungan anak dengan bapak.
Pondok pesantren yang senantiasa mengutamakan pembentukan akhlak budi pekerti Islami begitu lazim diposisikan menjadi model lembaga pendidikan tradisional. Oleh karena itu harus berhadapan dengan model lembaga pendidikan modern, sebagaimana positivisme mengafirmasi kebenaran sebagai ‘paradoksal’. Kebenaran realitas ini pada kenyataannya telah merebut kesadaran bahwa pesantren dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional kuno. Hal ini dikarenakan eksistensinya begitu terikat akidah-akidah Islam yang diposisikan kaum modernis sebagai masa lalu. Sebaliknya, pendidikan modern dari dunia barat, karena sifat kebaruannya, selalu sejalan dengan selera manusia yang selalu menghendaki yang serba baru termasuk dalam bentuk hubungan timbal balik yang semestinya terbangun antara guru dan murid. Apalagi selera itu memang sejalan dengan kodrat manusia yang selalu bergerak maju ke masa depan. Dengan demikian, pendidikan modern berhasil membangun kesadaran baru dan mendominasi kesadaran pendidikan pesantren yang dianggap tradisional. Akibatnya, kebanyakan aktivitas lembaga pendidikan, termasuk pesantren di Nusantara saat ini berupaya berorientasi atau sedikitnya melirik ke dunia Barat, tempat budaya modern berasal. 
Bila kesadaran semacam ini dibiarkan berkembang semakin dalam di benak pemangku pendidikan, terutama pendidikan Islam di Nusantara, maka pondok-pondok pesantren tradisional Nusantara akan mengalami kesulitan mengelola kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, makalah ini ingin mengajak para pemangku lembaga pendidikan Islam untuk memberikan porsi dan posisi yang seimbang antara tradisional yang berbasis kearifan lokal dan modern yang berbasis rasionalitas. Mengingat nilai pendidikan intinya bersumber pada nilai-kebaikan untuk membangun kesalehan sosial; dan nilai-kebaikan sejatinya berasal dari nilai-kebenaran. Patut disadari bahwa kebenaran tidak melulu terdapat pada yang baru, tetapi juga pada yang tradisional, bahkan kebenaran tersebar pada sepanjang pengalaman manusia, bukan hanya ditentukan berdasarkan akal dan rasional. Dalam konteks ini dipandang penting dan relevan mengetengahkan perbincangan tentang tiga hal, yaitu: 1) tekanan rasionalitas atas moralitas masyarakat dalam modernisme; 2) diskursus kearifan lokal dalam menjaga harmonisasi lingkungan hidup; dan 3) pesantren sebagai agen perubahan dalam menghadapi tekanan modernitas.

B. Tekanan Rasionalitas Atas Moralitas Masyarakat Dalam Modernisme
Modernisme sebagai ‘struktur perasaan’ melibatkan harapan, perubahan, ambiguitas, resiko, dan revisi kronis atas pengetahuan. Ini semua diperkuat oleh proses sosial dan budaya diferensiasi, komodifikasi, individualisasi, rasionalisasi, urbanisasi, dan birokratisasi (Barker, 2000:140). Sejalan dengan ini negara (pemerintah) memasuki periode yang menggulirkan modernisasi dalam kerangka pembangunan. Oleh karena itu, tidak dapat dihindari modernitas telah merebut konsensus masyarakat untuk menyesuaikan pola pikir dan tindakannya dengan kondisi kekinian. Apalagi ketika seluruh proses sosial dan budaya yang menjadi mesin penggerak modernisasi dirasakan fungsional untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat untuk mewujudkan cita-cita kemajuan yang diidam-idamkan. Artinya, modenitas bukan saja menawarkan pesona kualitas kehidupan yang lebih baik, melainkan juga menjadi kebutuhan dan kepentingan masyarakat dalam kerangka persaingan ekonomi dan politik yang didialogkan dengan bidang-bidang kehidupan lainnya. 
Kehidupan era modern ini diawali oleh lahirnya budaya industri Barat yang dibentuk oleh semangat pembebasan diri dari kebiasaan dan prasangka masa lalu untuk mengendalikan masa depan pada abad Pencerahan (Enlightenment) yang oleh para pemikir Barat disebut sebagai gerakan melawan pengaruh agama dan dogma, serta ingin menggantikannya dengan pendekatan yang lebih berdasarkan akal budi dalam kehidupan praktis. Kaum modernis berpandangan bahwa dengan semakin berkembangnya ilmu dan teknologi, dunia seharusnya menjadi lebih stabil dan tertib (Giddens, 2001:xiv).
Ini berarti kaum modernis berkeyakinan bahwa segala permasalahan kehidupan di dunia dapat teratasi dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Menurut mereka, semakin manusia mampu memahami dunia dan dirinya sendiri secara rasional, semakin dapat manusia membentuk sejarah untuk tujuan hidupnya. Bahkan menurut Lubis (2006:51), modernisasi yang menekankan pentingnya peran ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi instrumen dalam proses humanisasi sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi diyakini dapat menjadi alat untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Malahan bagi kaum modernis kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dianggap mampu mengendalikan dunia sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi cenderung menjajah dan mengatasi kesadaran manusia. Oleh karena itu, menurut Giddens (2001:xvi), apabila perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini tidak dibarengi dengan respons dan strategi yang tepat maka tidak jarang keduanya justru mempunyai dampak yang sebaliknya.
Terjadinya perubahan dalam kehidupan masyarakat tradisional menuju modern menurut Abdullah (2006:16) dapat dilihat pada tiga tahapan, yaitu (1) masuknya pasar ke dalam masyarakat petani; (2) terjadinya integrasi pasar; dan (3) ekspansi pasar. Selanjutnya, proses ini berakibat pada lahirnya privatisasi berbagai praktik sosial dengan pemaknaan yang berbeda-beda dalam konteks general yang berakibat pada terjadinya rekonstruksi nilai dalam kehidupan masyarakat yang cenderung menggerus nilai-nilai tradisional yang sarat religiusitas dan moralitas. Malahan dengan kemajuan media, kaum modernis telah mampu mengumandangkan modernisasi untuk mengubah kesadaran dunia, segala nilai, institusi, kondisi internal, serta tradisi yang dianggap menghambat pembangunan menuju dunia modern dan/atau yang menyertainya harus direkonstruksi atau dirombak menjadi sesuatu yang modern. Praktik-praktik kehidupan semacam ini tampak begitu jelas dan terasa di dalam masyarakat, khususnya masyarakat yang hidup di perkotaan karena kota lazim diidentikkan dengan modernitas itu sendiri.
Hal ini berarti bahwa proses terbentuknya suatu respons dan strategi dalam menyikapi perubahan sebagai akibat modernisasi telah menjadikan batas-batas sosial budaya masyarakat semakin luas dan kabur, perubahan karakter komunitas semakin mencolok, ikatan-ikatan tradisional semakin melemah karena otonomi individu-individu semakin kuat. Selain itu, nilai-nilai tradisional yang merupakan acuan kebudayaan generik harus didekonstruksikan dan tawar-menawar terhadap nilai-nilai yang berlaku menjadikan setiap individu dalam suatu masyarakat memiliki banyak pilihan dalam menentukan sikap hidupnya.
Perubahan yang terjadi secara meluas dalam masyarakat akibat modernitas bukan saja menjelaskan bagaimana interaksi masyarakat dengan berbagai faktor yang menentukan penataan sosial secara meluas, tetapi juga tragedi universal kemanusiaan yang diakibatkan (Abdullah, 2006:143). Bahkan tragedi kemanusiaan yang bersifat universal ini merupakan krisis global serius yang bersifat kompleks dan multidimensional, seperti pengenduran tradisi, norma-norma, hukum, dan tatanan yang telah mapan pada taraf yang mencengangkan, sebagaimana digambarkan Capra (2004:3) dalam kutipan berikut.
“Pada awal dua dasa warsa terakhir abad kedua puluh, kita menemukan diri kita berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks dan multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi, teknologi, dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual; suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia. Untuk pertama kalinya kita dihadapkan pada ancaman kepunahan ras manusia yang nyata dan semua bentuk kehidupan di planet ini”.

Menurut Abdullah (2006:143) kompleksitas realitas ini didorong oleh globalisasi yang tidak dapat dihindari dan pasar yang telah berubah menjadi kekuatan dominan dalam pembentukan nilai dan tatanan sosial. Negara (penguasa) dan rakyat dihadapkan pada satu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan, yaitu modernisasi yang mengedepankan rasionalitas dalam segala kehidupan yang selalu dibarengi dengan aktivitas pembangunan demi pemenuhan tuntutan kebutuhan pasar tanpa menghiraukan tercabik-cabiknya kesalehan sosial yang menggerus harmonisasi lingkungan hidup yang melingkupinya. Ini berarti bahwa negara dan rakyatnya dihadapkan pada dua pilihan, yaitu menjadi agen perubahan atau objek perubahan itu sendiri.
Diferensiasi struktural merupakan proses yang paling elementer dari modernisasi, seperti dijelaskan oleh para sosiolog struktural-fungsionalisme. Hal ini juga ditegaskan oleh Lash (2004:207) bahwa pada masyarakat yang sudah termodernisasi secara langsung banyak memiliki struktur sosial dan kebudayaan yang sudah terdiferensiasi daripada masyarakat tradisional. Proses diferensiasi ini terjadi ketika modernisasi dan globalisasi telah memperkenalkan nilai baru dalam lingkungan tradisi, maka anggota komunitas pendukung tradisi tersebut senantiasa mengalami proses diferensiasi sosial-struktural serta suatu generalisasi nilai, norma, dan makna yang menyertainya. Dalam hubungannya dengan kebudayaan, pergeseran itu telah memberi kontribusi terhadap pengetahuan sebagai satuan budaya. Setiap orang yang telah tersentuh sistem pengetahuannya oleh nilai-nilai baru akan mencoba memberi makna baru bagi tatanan yang ada sebelumnya, tidak terkecuali hal-hal yang bersifat normatif seperti tersurat dalam aturan adat dan tradisi dan/atau Al-Qur’an dan Al-Hadist, bahkan yang tidak tersurat seperti dalam moralitas dan religiusitas suatu kaum, termasuk pesantren.
Modernisasi yang ditandai dengan kuatnya pengaruh sistem ekonomi dan budaya kapitalis menempatkan masyarakat dalam kerangka besar budaya produksi dan konsumsi yang disalurkan melalui kekuatan pasar. Proses materialisasi kehidupan telah mentransformasikan berbagai hal menjadi komoditi sehingga terjadi proses komodifikasi secara meluas. Pasar telah mengantarkan masyarakat modern pada model ekonomi kultural yang menempatkan seluruh objek kultural sebagai komoditas (Lash, 2004:54). Pada masyarakat pasar inilah komodifikasi objek-objek kultural termasuk di dalamnya agama memasuki ranah kesadaran masyarakat untuk meneguhkan hegemoni modernitas.
Tumbuhnya consumer culture telah merubah wajah kota dan desa di Indonesia menjadi consumer space yang diharapkan mampu memuaskan kebutuhan kelas menengah baru. Dua proses merupakan tanda dari transformasi sosial perkotaan, yaitu proses komsumsi simbolis dan transformasi estetis pencintraan (Abdullah, 2006:33). Pertama, proses konsumsi simbolis merupakan tanda penting dari pembentukan gaya hidup di mana nilai-nilai simbolis dari suatu produk dan praktik telah mendapat penekanan yang lebih besar dibandingkan dengan nilai-nilai kegunaan fungsional. Proses ini ditegaskan melalui tiga cara, yaitu (1) kelas sosial membedakan proses konsumsi di mana setiap kelas menunjukkan proses identifikasi yang berbeda; (2) barang yang dikonsumsi menjadi wakil dari kehadiran (representasi); dan (3) proses konsumsi lebih ditekankan pada konsumsi citra (image) yang merupakan alat ekspresi diri bagi kelompok. Kedua, proses konsumsi simbolis ini telah pula menegaskan kecenderungan estetisasi dalam kehidupan kelas menengah di mana nilai etis mulai kehilangan kekuatan dalam menggerakkan kehidupan. Kecenderungan ini dapat dilihat dalam tiga proses, yaitu (1) hidup telah menjadi proses seni yang bertumpu pada the work of art yang menegaskan nilai-nilai khusus; (2) kecenderungan ini menegaskan proses-proses individualisasi; dan (3) munculnya kekuatan baru dalam mendorong proses transformasi sosial dan budaya secara luas (Abdullah, 2006:33-36).
Dalam kerangka inilah komodifikasi religiusitas dan moralitas masyarakat dimaknai sebagai proses perubahan dalam kehidupan keagamaan karena agama tidak lagi diposisikan sebagai sumber nilai yang dibagi bersama, melainkan lebih merupakan rekognisi melalui proses konstruksi, dekonstruksi, rekonstruksi yang bersifat individual dalam penafsiran dan pemahaman secara terus-menerus. Ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat modern seorang individu atau kelompok dengan mudah dapat meracik agamanya berdasarkan pengetahuan, selera, dan kepentingannya dengan mengikuti logika pasar. Dengan demikian, fungsi dan makna esensial dari pelaksanaan keagamaan, bukan lagi menjadi pertimbangan dominan untuk menentukan pilihan religius, tetapi digantikan oleh pertimbangan nilai tukar yang akan diperoleh. Semakin menguntungkan nilai tukar yang akan diperoleh, maka semakin besar kemungkinan pilihan itu dijatuhkan. Bila kesadaran semacam ini dibiarkan tumbuh dan berkembang di benak seluruh insan negeri ini, termasuk para kyai dan santri di pelosok negeri, maka perlu dipertanyakan regiusitas dan moralitas Islami bangsa ini.

C. Diskursus Kearifan Lokal Dalam Menjaga Harmonisasi Lingkungan Hidup
Manusia adalah makhluk berkesadaran. Manusia tahu bahwa ia mengetahui sesuatu tentang sesuatu. Ini sebabnya ia memiliki kemampuan berpikir dan berkomunikasi. Berpikir adalah berkata-kata dalam hati sendiri dan berkomunikasi adalah berkata-kata antarsubjek. Mengingat kedua kegiatan ini merupakan tindak tutur dengan menekankan pada penggunaan kata-kata sehingga kegiatan semacam ini tidak dimungkinkan tanpa bahasa. Begitulah dengan bahasa, manusia bisa saling memahami dan mewujudkan pengertian di antara sesamanya. Kesalingpengertian dan pemahaman inilah yang dimaksud dengan kesadaran dan di dalamnya bahasa menjadi alat dan wujud kesadaran itu sendiri. Ketika bahasa diterima menjadi wujud kesadaran kolektif masyarakat manusia, maka manusia sudah menciptakan wacana di dalam dunianya sendiri. Hal ini sejalan dengan pandangan Paul Ricoeur (2002:17) tentang proses pembentukan wacana yang dimulai dari makna suatu benda hingga terbentuknya hubungan antarpredikat. Ditegaskannya, “Satu kata benda mempunyai makna, dan sebagai pelengkap maknanya satu kata kerja mengisyaratkan dimensi waktu. Hanya dengan kesinambungan keduanyalah yang akan mengedepankan suatu ikatan predikat yang dapat disebut sebagai logos atau wacana”.
Dalam bahasa Indonesia kata "wacana" memiliki arti yang sama dengan "diskursus". Istilah “wacana” (discourse, discourse) diperkenalkan oleh Michel Foucault dalam pidato pengukuhan guru besarnya, dan La archeologie da savoir (1968), serta tulisannya tentang kegilaan (Lubis, 2004:147-148). Menurut Foucault (2002:9) diskursus adalah cara menghasilkan pengetahuan beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua aspek ini. Artinya, diskursus merupakan kategori manusia yang diproduksi dan reproduksi dengan berbagai aturan, sistem, dan prosedur yang membuatnya terpisah dari kenormalan. Aturan, sistem, dan prosedur itulah yang disebutnya dengan istilah “tata-wacana”, yaitu keseluruhan wilayah konseptual tempat pengetahuan itu dikonstruksi, dibentuk dan dihasilkan (Lubis, 2004:148). Dengan demikian, studi teks, studi sejarah, budaya, dan klaim-klaim objektivitas termasuk kebenaran harus ditunda karena hal itu telah dipengaruhi oleh aturan-aturan, perbedaan makna, dan strategi-strategi yang sama dengan naratif lainnya. Foucault (2002:143-144) menegaskan bahwa ketika sebuah wacana dilahirkan, maka diskursus sebenarnya sudah dikontrol, diseleksi, diorganisasi, dan didistribusikan kembali menurut kemauan pembuatnya karena wacana tersebut dikonstruksikan berdasarkan tata-aturan (episteme) tertentu. Oleh karena itu, kebenaran memiliki mata rantai dengan sistem kekuasaan.
Diskursus dalam ilmu dan praktek sosial merupakan jaringan praktek pengetahuan dan kekuasaan. White (Foucault, 2007:xiv) mengatakan bahwa apa yang dilakukan atau dibahas dalam diskursus, seperti yang terjadi dengan yang lain adalah selalu kehendak dan kekuasaan. Oleh karena itu, teori wacana kuasa dan pengetahuan Foucault menolak teori positivisme dan segala teori sosial alternatif yang berbau humanisme, seperti pendekatan Husserlian, Weberian, dan Habermasian. Foucault menyebut metodenya dengan nama genealogi sebagai bentuk penelusuran historis tentang bagaimana terbentuknya/terkonstruksinya berbagai macam pengetahuan, objek-objek pengetahuan, dan wacana ilmiah. Dalam melakukan penelusuran historis, ia tidak menemukan kontinuitas, tetapi diskotinuitas /keretakan (repture) sejarah, episteme, dan wacana (Lubis, 2004:153). Ini berarti bahasa sebagai diskursus, bukan semata-mata mempersoalkan ucapan dan/atau tulisan, tetapi semua pernyataan kultural karena keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks yang mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan tertentu. Sebagaimana bahasa reliugitas dan moralitas kehidupan pesantren yang bukan hanya mempersoalkan pendidikan agama dan pemondokan bagi para santri, bahkan bukan hanya mempersoalkan ketaatan santri pada kyainya, melainkan lebih pada ekspresi kehendak dan kekuasaan untuk tetap menjaga kesalehan sosial dengan mewujudkan segala tindakannya berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist demi harmonisasi kehidupan dengan berbasis kearifan lokal. Semua ini telah menjadi bahasa ibu masyarakat pesantren dalam menjalani hidup dan kehidupan.
Pararel dengan diskursus Foucault adalah kata “pengertian” atau kawruh dalam budaya Jawa, seperti dijelaskan oleh Frans Magnis-Suseno (1999:200) bahwa pengertian bagi manusia Jawa dekat dengan "kekuatan batin" (kesakten — pemusatan kekuatan kosmis, pembenaran-diri), sebagaimana terungkap dalam kata “ngelmu. Ngelmu sekaligus berarti ilmu pengetahuan, pengertian (lebih-lebih dalam arti mistik), dan kekuatan magis misalnya, dalam arti suatu kemampuan khusus untuk pembelaan diri secara fisik. Dalam kata "pengertian" itu terdapat makna perluasan kekuasaan pada manusia sendiri yang bersifat tetap, yaitu manusia yang memiliki rasa-sejati. Kata “pengertian” dapat dipahami sebagai proses pembebasan dari keterikatan dalam bayang-bayang yang sementara dan lahiriah. Pembebasan itu berkaitan dengan satu proses penghalusan dan pembatinan daya persepsi batin. Dengan begitu, pengertian adalah suatu proses perkembangan pada subjek yang mengerti itu sendiri. Pengertian subjek yang mengerti sendiri itu akan mengalami pertumbuhan. Jadi, tekanan terletak pada subjek yang mengerti, bukan pada objek pengertian yang harus diketahui — sebagaimana ajaran etika Sokrates. Orang Jawa memahami pengertian semacam ini sebagai rasa yang secara inderawi dapat diartikan sebagai kepekaan terhadap lingkungan fisik. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Magnis-Suseno (1999:199) berikut. 
"Dalam rasa terjadi suatu pertumbuhan atau pendalaman kepribadian. Pengertian semacam itu bukan sesuatu yang lahiriah, kebetulan, kuantitatif, melainkan suatu realitas pada subjek yang mengerti itu sendiri. Subjek diubah dan diperdalam di dalamnya. Maka dari itu suatu pengertian yang lebih benar, jadi suatu rasa yang lebih mendalam, sekaligus berarti juga suatu cara merasa dan bertindak yang baru, yang lebih mendalam dan lebih benar, bahkan suatu sikap baru manusia seluruhnya."

Pararelitas di atas setidak-tidaknya mampu menunjukkan bahwa kearifan lokal sebagai wujud budaya memiliki metafisikanya sendiri yang dibangun atas kesadaran dan diskursus pemilikinya. Dalam hal ini kesadaran masyarakat lokal dapat dicermati secara mendalam dari alat kesadarannya, yaitu bahasa ibu. Mengingat bahasa ibu merupakan sumber moralitas masyarakat dan sekaligus sebagai pembangun wacana, bahkan sebagai pantulan falsafah hidup, yaitu pedoman hidup dan perilaku hidup. Inilah yang menjelma dalam dunia sosial-budaya menjadi nilai-nilai. Sistem nilai, baik sebagai pedoman hidup maupun perilaku hidup tidak pernah final karena senantiasa mengalami perkembangan inheren dalam perubahan zaman. Faktanya manusia tidak bisa menjalankan kehidupannya sendiri tanpa terlibat dalam kehidupan sosial berupa kegiatan kemasyarakatan. Malahan dalam kehidupan sosialnya manusia tidak jarang harus membangun toleransi sehingga dimungkinkan terjadinya proses saling menerima dan memberi nilai. Begitulah dalam dunia global masyarakat pesantren tidak dapat menutup diri dari pengaruh masyarakat lain sehingga identitas menjadi begitu penting. Dalam konteks identitas inilah penting dan relevan membangun wacana kearifan lokal di tengah-tengah derasnya pengaruh rasionalitas global. Dengan demikian, pemaknaan kearifan lokal seharusnya diwacanakan berdasarkan metafisika yang dimilikinya karena apabila tidak demikian, maka yang terjadi adalah kematian metafisika kearifan lokal itu sendiri akibat mengalami kekalahan wacana. Mengingat masyarakat modern yang mengedepankan rasionalitas cenderung mengekplorasi dan menguasai alam untuk meningkatkan kualitas proses hidup dan kelangsungan kehidupannya. Sementara itu, masyarakat pesantren dengan religiusitas dan moralitasnya yang didasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist lebih mengutamakan hidup seimbang dan selaras dengan kosmosnya untuk mencapai keharmonisan kehidupannya. 

D. Pesantren Sebagai Agen Perubahan Dalam Menghadapi Tekanan Modernitas
Tingginya derajat pluralitas dan heterogenitas penduduk suatu kota, baik dari segi etnis, agama, sosial, politik, ekonomi, maupun budaya, juga memunculkan permasalahan adaptasi sosio-budaya tersendiri bagi penduduk asli. Sejalan dengan pandangan Lash (2004:210) bahwa urbanisasi memberikan pengalaman dan kesan yang beranekaragam seiring dengan heterogenitas sosial yang muncul. Ini mendorong munculnya modernitas sebagai pengalaman budaya masyarakat, yakni pengalaman adanya perubahan dan ketidakpastian. Artinya, kelompok urban yang berasal dari berbagai daerah dengan latar belakang budaya yang berbeda menjadikan proses adaptasi budaya berlangsung secara terus-menerus dan saling bertautan, baik antara penduduk pendatang dan penduduk lokal; pendatang dengan pendatang; maupun sesama pendatang dengan penduduk lokal. Pada akhirnya budaya masyarakat kota adalah budaya yang senantiasa menjadi dalam proses berkelanjutan dibandingkan dengan desa atau kota pramodern yang kebudayaannya cenderung ajeg.
Urbanisasi yang terjadi di kota-kota bukan hanya melahirkan heterogenitas sosial dalam kerangka persaingan ekonomi yang ketat, tetapi juga telah menebarkan nuansa persaingan untuk menegaskan identitas kultural dan keagamaan antara penduduk lokal dan pendatang. Religiusitas umat Islam di pesantren misalnya, selain diwujudkan dalam pelaksanaan ritual keagamaan yang sesuai dengan akidah Islamiah, juga terikat oleh kewajiban menjaga harmonisasi lingkungan hidupnya. Sebaliknya, juga pendatang menegaskan identitasnya melalui aktivitas keagamaan dan aksesoris keagamaannya. Umat Islam misalnya, kebanyakan dari muslimahnya menggunakan jilbab sehingga memperjelas identitasnya di tengah-tengah keberadaan umat lainnya.
Masyarakat urban modern yang cenderung mengedepankan kepentingan ekonomi tampaknya menawarkan model beragama yang lebih sederhana sehingga tidak mengganggu kesibukan memenuhi kebutuhan hidupnya. Fenomena ini menggiring penduduk lokal untuk membanding-bandingkan tradisi religius yang dijalani masyarakat pesantren selama ini dengan model beragama sederhana penduduk pendatang yang cenderung sekuler dan kapitalis. Setidak-tidaknya penerimaan ini terjadi dengan pertimbangan bahwa model beragama kaum urban dipandang sesuai dengan kondisi kekinian. Selain mampu memenuhi kebutuhan sebagai manusia religius, juga model beragama kaum urban tidak menghambat aktivitas untuk mencari penghasilan.
Modernisasi pada akhirnya menjadi kebutuhan masyarakat dengan semakin tingginya diferensiasi sosial dalam kuatnya pesona ekonomi mengatasi bidang kehidupan lainnya. Namun demikian, juga tidak dapat ditampik bahwa keseluruhan proses modernisasi berlangsung sejalan dengan kebijakan birokrasi dalam pembangunan yang cenderung mengeksplorasi dan mengabaikan tetap terjaganya harmonisasi lingkungan hidup. Menurut Foucault (Lash, 2004:140) bahwa dalam masyarakat modern kekuasaan pemerintah tertanam dalam yang sosial dan kekuasaan berputar-putar secara imanen dalam kapilaritas masyarakat sehingga negara tidak lagi berada di atas, melainkan berada di tengah-tengah masyarakat. Kekuasaan modern telah bergeser dari bentuk-bentuk kekuasaan yang bersifat memaksa menuju kekuasaan yang bersifat moral dan terapetis. Konsekuensi teoretisnya bahwa keberhasilan kinerja birokrasi dalam melaksanakan pembangunan hendaknya dipandang sebagai keberhasilan dalam mengkomunikasikan ide-ide pembangunan kepada masyarakat melalui wacana hegemonik bahwa pembangunan akan membawa kesejahteraan. Keberhasilan tersebut dapat dilihat dari pembangunan perumahan, mall-mall, pusat perbelanjaan, dan objek-objek kultur modern lainnya, serta fasilitas-fasilitas pemenuhan nafsu selera manusia modern dalam wilayah desa-desa di pinggiran kota-kota besar, termasuk di sekeliling pondok-pondok pesantren di negeri ini.
Pesantren secara tekstual dianggap sebagai pusat pendidikan dan pembinaan generasi muda Islam. Fungsi pendidikan dan pemondokan menempatkannya bukan hanya sebagai sekedar wujud komplek bangunan, tetapi juga dimaknai sebagai pusat kosmos dan magi pendidikan dan budaya Islami. Dalam hal ini magi pendidikan dan budaya adalah nilai-nilai sakral dan simbolisasi tuntunan hidup manusia untuk mencapai keselamatan hidup dunia dan akhirat berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist. Sebaliknya, secara kontekstual pesantren tradisional dipandang sebagai simbol pertahanan religiusitas dan moralitas Islami masyarakat. Sakralitas makna simbolik yang diberikan dan diyakini oleh internal masyarakat pesantren tradisional telah mengalami pembongkaran dan pemaknaan ulang oleh berbagai pihak yang bertindak sebagai subjek. Artinya, makna simbolik pesantren telah didekonstruksi oleh sejumlah pihak dengan caranya sendiri-sendiri untuk menemukan konstruksinya yang baru. Di titik ini, sakralitas dan profanitas menjadi permainan wacana yang dapat diurai dari relasi-relasi kuasa dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya dalam menghadapi tekanan-tekanan modernitas global.
Eksistensi pesantren yang diposisikan sebagai lembaga pendidikan tradisional kuno yang mampu bertahan hingga saat ini menunjukkan bahwa pengaruh dan tekanan modernitas dari dunia luar mampu diredam dan seminim mungkin dihindarkan dari munculnya konflik. Fenomena tentang minimnya konflik manifes dalam kehidupan sosial masyarakat pesantren ini disebabkan oleh kemampuan mereka menerima misteri kehidupan. Afirmasi masyarakat pesantren secara langsung pada misteri kehidupan menyebabkan pengetahuan yang terbentuk secara historis menjadi hal sekunder dalam kehidupan praksis. Kehidupan harus mendominasi pengetahuan yang terbentuk secara historis, bukan sebaliknya pengetahuan mendominasi kehidupan (Copleston, 1974:33). Jika pengetahuan tunduk pada kehidupan, maka pengetahuan itu tidak akan menjadi kandungan untuk mengakumulasikan sejumlah besar informasi, tetapi akan berusaha untuk menyatukan kandungan pengetahuan di dalam sebuah sikap hidup yang mengakomodir kearifan lokal yang hidup dalam budaya masyarakat lokal untuk mendorong bentuk-bentuk asli budaya setempat, sebuah bentuk kehidupan yang sungguh alami, asli, tersatukan, dan kreatif, serta bersifat produktif tanpa mengabaikan harmonisasi lingkungan hidupnya. Secara negatif, budaya bukanlah gaya hidup, juga bukan kesatuan artistik harmonis dan pengetahuan historis, melainkan kumpulan campur aduk semua gaya dan sesuatu yang dihayati. Penghayatan semacam ini akan memunculkan apa yang disebut Nietzsche plastic power (kekuatan plastik) pada manusia, masyarakat atau budaya seperti berikut.
"...the deeper the roots of a man’s inner nature, the better will he take the past into himself; and the greatest and most powerful nature would be known by absence of limits for the historical sense to overgrow and work harm. It would assimilate and digest the past, however foreign, and turn it to sap" (Copleston, 1974:35).

"...semakin dalam akar sifat-sifat pada manusia, semakin baik ia akan memasukkan masa lalu ke dalam dirinya sendiri; dan sifat-sifat keagungan dan paling kuat akan diketahui dengan ketiadaan batas-batas agar perasaan historis tumbuh meluap dan bekerja hingga menimbulkan penghancuran. Sifat-sifat ini akan mengasimilasi dan mencerna masa lalu, betapapun asing, serta merubahnya menjadi energi".
   
Konsekuensi dari pemahaman masyarakat pesantren bahwa kebudayaan dengan kearifan lokalnya lebih condong pada kehidupan dan karenanya mengakomodasi jiwa-jiwa tangguh, bahkan mempunyai sifat plastik dibandingkan dengan pengetahuan. Hal ini dapat dilihat pada pemahaman mengenai ruang dalam pengertian lingkungan hidup, yakni bahwa ruang merepresentasikan kejadian atau suatu ikatan ingatan kolektif. Oleh karenanya, muncul sikap yang salah, bila memandang pesantren yang begitu lazim diposisikan menjadi model lembaga pendidikan tradisional yang tetap mengakomodir kearifan budaya lokal kemudian, dimarginalkan dan dianggap tidak memiliki peran dalam modernisme global pembangunan saat ini. Justru religiusitas dan moralitas yang selalu dikedepankan dalam mengelola keharmonisan lingkungan hidup dengan mengakomodir kearifan lokal yang ada melahirkan kesalehan sosial masyarakat yang merupakan jawaban dari berbagai permasalahan yang ditinggalkan oleh rasionalitas global kaum modernis untuk saat ini dan masa yang akan datang. Ini berarti bahwa pesantren sudah saatnya dilepaskan dari stereo-type “tradisional kuno” karena kebenaran realitas yang didasarkan pada motivasi tindakannya benar-benar dilandasi oleh kebenaran universal yang mengacu kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist yang menjadikannya sebagai agen perubahan dalam menjaga harmonisasi lingkungan hidup dari berbagai tekanan modernitas pada saat ini dan masa datang.

E. Simpulan   
  Berdasarkan paparan makalah di atas dapat ditarik tiga sempulan sebagai berikut.
1)      Rasionalitas dalam modernisme menghasilkan kesadaran baru bahwa komodifikasi religiusitas dan moralitas masyarakat dimaknai sebagai proses perubahan dalam kehidupan keagamaan karena agama tidak lagi diposisikan sebagai sumber nilai yang dibagi bersama, melainkan lebih merupakan rekognisi melalui proses konstruksi, dekonstruksi, rekonstruksi yang bersifat individual dalam penafsiran dan pemahaman secara terus-menerus.
2)      Masyarakat pesantren dengan religiusitas dan moralitasnya yang didasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist mampu mengakomodir kearifan lokal budaya setempat untuk lebih mengutamakan hidup seimbang dan selaras dengan kosmosnya untuk mencapai harmonisasi kehidupan.
3)      Pesantren sudah saatnya dilepaskan dari stereo-type “tradisional kuno” karena kebenaran realitas yang didasarkan pada motivasi tindakannya benar-benar dilandasi oleh kebenaran universal yang mengacu kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist yang menjadikannya sebagai agen perubahan dalam menjaga harmonisasi lingkungan hidup dari berbagai tekanan modernitas pada saat ini dan masa datang.
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies Teori dan Praktek. Yogyakarta: Bentang.
Capra, Fritjof. 2004. Titik Balik Peradaban Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Cavallaro, Dani. 2004. Teori Kritis dan Teori Budaya. Yogyakarta: Niagara.
Copleston, Frederick. 1975. Friederich Nietzsche: Philosopher of Culture. USA: Harper & Row.
Foucault, Michel. 2007. Order of Thing: Arkeologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
________. 2002. Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Michel Foucault. Yogyakarta: Jalasutra.
Giddens, Anthony. 2001. Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lash, Scott. 2004. Sosiologi Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius
Lubis, Akhyar Yusuf.  2004.  Setelah Kebenaran dan Kepastian Dihancurkan Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan: Sebuah Uraian Filsafat Ilmu Pengetahuan Kaum Posmodernis.  Bogor: Akademia.
Magnis-Suseno, F. 1999. Etika Jawa : Sebuah Analisa Fasafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Muzir, Inyiak Ridwan. 2008. Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gademer. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Norris, Christopher. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Terj. Inyiak Ridwan Muzir. Jogjakarta: Ar-Ruzz.
Ricoeur, Paul. 2002. Filsafat Wacana Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa. Yogyakarta: IRCiSod.
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Triguna, Yudha IBG. 1997. "Mobilitas Kelas, Konflik, dan Penafsiran Kembali: Simbolisme Masyarakat Hindu di Bali" (disertasi). Bandung: Universitas Padjajaran Bandung.




[1] Disampaikan dalam Sarasehan: Pesantren, Harmonisasi Lingkungan Hidup, dan Kearifan Lokal, tanggal 22 Desember 2013 di Pondok Pesantren Al-Amin, Pabuaran Purwokerto.
[2] Staf pengajar pada Program Studi S1 Arsitektur UNS, S2 dan S3 Kajian Budaya UNS, S2 Seni Rupa UNS, dan S3 Lingkungan UNS; email: titis_pitana@yahoo.com; HP: 08122974133.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar