PESANTREN DAN DISKURSUS KEARIFAN LOKAL
DALAM MENJAGA HARMONISASI LINGKUNGAN HIDUP DI TENGAH TEKANAN MODERNITAS[1]
Oleh:
Titis S. Pitana[2]
A. Pendahuluan
Pesantren atau
lazim disebut pondok pesantren
adalah sebuah bentuk asrama pendidikan yang di dalamnya mewadahi dua kegiatan
utama sekaligus, yaitu sebagai tempat belajar dan sebagai tempat tinggal
(pondok) bagi para santri (siswa) dan/atau kyai (ustadz). Penyatuan dua
kegiatan utama ini akan memudahkan terjadinya komunikasi antara kyai dan
santri, dan antar santri yang tinggal dalam satu pondok. Dengan demikian akan
tercipta suasana yang komunikatif kekeluargaan, bahkan tercipta sikap timbal
balik antara kyai dan santri, sebagaimana hubungan anak dengan bapak.
Pondok pesantren yang senantiasa mengutamakan pembentukan
akhlak budi pekerti Islami begitu lazim diposisikan menjadi model lembaga
pendidikan tradisional. Oleh karena itu harus berhadapan dengan model lembaga
pendidikan modern, sebagaimana positivisme mengafirmasi kebenaran sebagai
‘paradoksal’. Kebenaran realitas ini pada kenyataannya telah merebut kesadaran
bahwa pesantren dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional kuno. Hal ini dikarenakan
eksistensinya begitu terikat akidah-akidah Islam yang diposisikan kaum modernis
sebagai masa lalu. Sebaliknya, pendidikan modern dari dunia barat, karena sifat
kebaruannya, selalu sejalan dengan selera manusia yang selalu menghendaki yang
serba baru termasuk dalam bentuk hubungan timbal balik yang semestinya terbangun
antara guru dan murid. Apalagi selera itu memang sejalan dengan kodrat manusia
yang selalu bergerak maju ke masa depan. Dengan demikian, pendidikan modern
berhasil membangun kesadaran baru dan mendominasi kesadaran pendidikan
pesantren yang dianggap tradisional. Akibatnya, kebanyakan aktivitas lembaga
pendidikan, termasuk pesantren di Nusantara saat ini berupaya berorientasi atau
sedikitnya melirik ke dunia Barat, tempat budaya modern berasal.
Bila kesadaran semacam ini
dibiarkan berkembang semakin dalam di benak pemangku pendidikan, terutama pendidikan
Islam di Nusantara, maka pondok-pondok pesantren tradisional Nusantara akan
mengalami kesulitan mengelola kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, makalah
ini ingin mengajak para pemangku lembaga pendidikan Islam untuk memberikan
porsi dan posisi yang seimbang antara tradisional yang berbasis kearifan lokal
dan modern yang berbasis rasionalitas. Mengingat nilai pendidikan intinya
bersumber pada nilai-kebaikan untuk membangun kesalehan sosial; dan
nilai-kebaikan sejatinya berasal dari nilai-kebenaran. Patut disadari bahwa
kebenaran tidak melulu terdapat pada yang baru, tetapi juga pada yang
tradisional, bahkan kebenaran tersebar pada sepanjang pengalaman manusia, bukan
hanya ditentukan berdasarkan akal dan rasional. Dalam konteks ini dipandang penting dan relevan
mengetengahkan perbincangan tentang tiga hal, yaitu: 1) tekanan rasionalitas
atas moralitas masyarakat dalam modernisme; 2) diskursus
kearifan lokal dalam menjaga harmonisasi lingkungan hidup; dan 3) pesantren
sebagai agen perubahan dalam menghadapi tekanan modernitas.
B. Tekanan Rasionalitas
Atas
Moralitas
Masyarakat Dalam Modernisme
Modernisme sebagai
‘struktur perasaan’ melibatkan harapan, perubahan, ambiguitas, resiko, dan
revisi kronis atas pengetahuan. Ini semua diperkuat oleh proses sosial dan
budaya diferensiasi, komodifikasi, individualisasi, rasionalisasi, urbanisasi,
dan birokratisasi (Barker, 2000:140). Sejalan dengan ini negara (pemerintah)
memasuki periode yang menggulirkan modernisasi dalam kerangka pembangunan. Oleh
karena itu, tidak dapat dihindari modernitas telah merebut konsensus masyarakat
untuk menyesuaikan pola pikir dan tindakannya dengan kondisi kekinian. Apalagi
ketika seluruh proses sosial dan budaya yang menjadi mesin penggerak
modernisasi dirasakan fungsional untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan
masyarakat untuk mewujudkan cita-cita kemajuan yang diidam-idamkan. Artinya,
modenitas bukan saja menawarkan pesona kualitas kehidupan yang lebih baik,
melainkan juga menjadi kebutuhan dan kepentingan masyarakat dalam kerangka
persaingan ekonomi dan politik yang didialogkan dengan bidang-bidang kehidupan
lainnya.
Kehidupan era
modern ini diawali oleh lahirnya budaya industri Barat yang dibentuk oleh
semangat pembebasan diri dari kebiasaan dan prasangka masa lalu untuk mengendalikan
masa depan pada abad Pencerahan (Enlightenment)
yang oleh para pemikir Barat disebut sebagai gerakan melawan pengaruh agama dan
dogma, serta ingin menggantikannya dengan pendekatan yang lebih berdasarkan
akal budi dalam kehidupan praktis. Kaum modernis berpandangan bahwa dengan
semakin berkembangnya ilmu dan teknologi, dunia seharusnya menjadi lebih stabil
dan tertib (Giddens, 2001:xiv).
Ini berarti kaum
modernis berkeyakinan bahwa segala permasalahan kehidupan di dunia dapat
teratasi dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Menurut mereka, semakin manusia
mampu memahami dunia dan dirinya sendiri secara rasional, semakin dapat manusia
membentuk sejarah untuk tujuan hidupnya. Bahkan menurut Lubis (2006:51),
modernisasi yang menekankan pentingnya peran ilmu pengetahuan dan teknologi
menjadi instrumen dalam proses humanisasi sehingga ilmu pengetahuan dan
teknologi diyakini dapat menjadi alat untuk meningkatkan harkat dan martabat
manusia. Malahan bagi kaum modernis kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
dianggap mampu mengendalikan dunia sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi
cenderung menjajah dan mengatasi kesadaran manusia. Oleh karena itu, menurut
Giddens (2001:xvi), apabila perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini
tidak dibarengi dengan respons dan strategi yang tepat maka tidak jarang
keduanya justru mempunyai dampak yang sebaliknya.
Terjadinya
perubahan dalam kehidupan masyarakat tradisional menuju modern menurut Abdullah
(2006:16) dapat dilihat pada tiga tahapan, yaitu (1) masuknya pasar ke dalam
masyarakat petani; (2) terjadinya integrasi pasar; dan (3) ekspansi pasar.
Selanjutnya, proses ini berakibat pada lahirnya privatisasi berbagai praktik
sosial dengan pemaknaan yang berbeda-beda dalam konteks general yang berakibat
pada terjadinya rekonstruksi nilai dalam kehidupan masyarakat yang cenderung
menggerus nilai-nilai tradisional yang sarat religiusitas dan moralitas.
Malahan dengan kemajuan media, kaum modernis telah mampu mengumandangkan
modernisasi untuk mengubah kesadaran dunia, segala nilai, institusi, kondisi
internal, serta tradisi yang dianggap menghambat pembangunan menuju dunia
modern dan/atau yang menyertainya harus direkonstruksi atau dirombak menjadi
sesuatu yang modern. Praktik-praktik kehidupan semacam ini tampak begitu jelas
dan terasa di dalam masyarakat, khususnya masyarakat yang hidup di perkotaan
karena kota lazim diidentikkan dengan modernitas itu sendiri.
Hal ini berarti
bahwa proses terbentuknya suatu respons dan strategi dalam menyikapi perubahan
sebagai akibat modernisasi telah menjadikan batas-batas sosial budaya
masyarakat semakin luas dan kabur, perubahan karakter komunitas semakin
mencolok, ikatan-ikatan tradisional semakin melemah karena otonomi
individu-individu semakin kuat. Selain itu, nilai-nilai tradisional yang
merupakan acuan kebudayaan generik harus didekonstruksikan dan tawar-menawar
terhadap nilai-nilai yang berlaku menjadikan setiap individu dalam suatu
masyarakat memiliki banyak pilihan dalam menentukan sikap hidupnya.
Perubahan yang
terjadi secara meluas dalam masyarakat akibat modernitas bukan saja menjelaskan
bagaimana interaksi masyarakat dengan berbagai faktor yang menentukan penataan
sosial secara meluas, tetapi juga tragedi universal kemanusiaan yang
diakibatkan (Abdullah, 2006:143). Bahkan tragedi kemanusiaan yang bersifat
universal ini merupakan krisis global serius yang bersifat kompleks dan
multidimensional, seperti pengenduran tradisi, norma-norma, hukum, dan tatanan
yang telah mapan pada taraf yang mencengangkan, sebagaimana digambarkan Capra
(2004:3) dalam kutipan berikut.
“Pada awal dua
dasa warsa terakhir abad kedua puluh, kita menemukan diri kita berada dalam
suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks dan
multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan kesehatan
dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi,
teknologi, dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi
intelektual, moral, dan spiritual; suatu krisis yang belum pernah terjadi
sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia. Untuk pertama kalinya kita
dihadapkan pada ancaman kepunahan ras manusia yang nyata dan semua bentuk
kehidupan di planet ini”.
Menurut Abdullah
(2006:143) kompleksitas realitas ini didorong oleh globalisasi yang tidak dapat
dihindari dan pasar yang telah berubah menjadi kekuatan dominan dalam
pembentukan nilai dan tatanan sosial. Negara (penguasa) dan rakyat dihadapkan
pada satu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan, yaitu modernisasi yang
mengedepankan rasionalitas dalam segala kehidupan yang selalu dibarengi dengan
aktivitas pembangunan demi pemenuhan tuntutan kebutuhan pasar tanpa
menghiraukan tercabik-cabiknya kesalehan sosial yang menggerus harmonisasi
lingkungan hidup yang melingkupinya. Ini berarti bahwa negara dan rakyatnya
dihadapkan pada dua pilihan, yaitu menjadi agen perubahan atau objek perubahan
itu sendiri.
Diferensiasi
struktural merupakan proses yang paling elementer dari modernisasi, seperti
dijelaskan oleh para sosiolog struktural-fungsionalisme. Hal ini juga ditegaskan
oleh Lash (2004:207) bahwa pada masyarakat yang sudah termodernisasi secara
langsung banyak memiliki struktur sosial dan kebudayaan yang sudah
terdiferensiasi daripada masyarakat tradisional. Proses diferensiasi ini
terjadi ketika modernisasi dan globalisasi telah memperkenalkan nilai baru
dalam lingkungan tradisi, maka anggota komunitas pendukung tradisi tersebut
senantiasa mengalami proses diferensiasi sosial-struktural serta suatu
generalisasi nilai, norma, dan makna yang menyertainya. Dalam hubungannya
dengan kebudayaan, pergeseran itu telah memberi kontribusi terhadap pengetahuan
sebagai satuan budaya. Setiap orang yang telah tersentuh sistem pengetahuannya
oleh nilai-nilai baru akan mencoba memberi makna baru bagi tatanan yang ada
sebelumnya, tidak terkecuali hal-hal yang bersifat normatif seperti tersurat
dalam aturan adat dan tradisi dan/atau Al-Qur’an dan Al-Hadist, bahkan yang
tidak tersurat seperti dalam moralitas dan religiusitas suatu kaum, termasuk
pesantren.
Modernisasi yang
ditandai dengan kuatnya pengaruh sistem ekonomi dan budaya kapitalis
menempatkan masyarakat dalam kerangka besar budaya produksi dan konsumsi yang
disalurkan melalui kekuatan pasar. Proses materialisasi kehidupan telah
mentransformasikan berbagai hal menjadi komoditi sehingga terjadi proses
komodifikasi secara meluas. Pasar telah mengantarkan masyarakat modern pada
model ekonomi kultural yang menempatkan seluruh objek kultural sebagai
komoditas (Lash, 2004:54). Pada masyarakat pasar inilah komodifikasi
objek-objek kultural termasuk di dalamnya agama memasuki ranah kesadaran
masyarakat untuk meneguhkan hegemoni modernitas.
Tumbuhnya consumer culture telah merubah wajah
kota dan desa di Indonesia menjadi consumer
space yang diharapkan mampu memuaskan kebutuhan kelas menengah baru. Dua
proses merupakan tanda dari transformasi sosial perkotaan, yaitu proses
komsumsi simbolis dan transformasi estetis pencintraan (Abdullah, 2006:33). Pertama, proses konsumsi simbolis
merupakan tanda penting dari pembentukan gaya hidup di mana nilai-nilai
simbolis dari suatu produk dan praktik telah mendapat penekanan yang lebih
besar dibandingkan dengan nilai-nilai kegunaan fungsional. Proses ini
ditegaskan melalui tiga cara, yaitu (1) kelas sosial membedakan proses konsumsi
di mana setiap kelas menunjukkan proses identifikasi yang berbeda; (2) barang
yang dikonsumsi menjadi wakil dari kehadiran (representasi); dan (3) proses
konsumsi lebih ditekankan pada konsumsi citra (image) yang merupakan alat ekspresi diri bagi kelompok. Kedua, proses konsumsi simbolis ini
telah pula menegaskan kecenderungan estetisasi dalam kehidupan kelas menengah
di mana nilai etis mulai kehilangan kekuatan dalam menggerakkan kehidupan.
Kecenderungan ini dapat dilihat dalam tiga proses, yaitu (1) hidup telah
menjadi proses seni yang bertumpu pada the
work of art yang menegaskan nilai-nilai khusus; (2) kecenderungan ini
menegaskan proses-proses individualisasi; dan (3) munculnya kekuatan baru dalam
mendorong proses transformasi sosial dan budaya secara luas (Abdullah, 2006:33-36).
Dalam kerangka
inilah komodifikasi religiusitas dan moralitas masyarakat dimaknai sebagai
proses perubahan dalam kehidupan keagamaan karena agama tidak lagi diposisikan
sebagai sumber nilai yang dibagi bersama, melainkan lebih merupakan rekognisi
melalui proses konstruksi, dekonstruksi, rekonstruksi yang bersifat individual
dalam penafsiran dan pemahaman secara terus-menerus. Ini menunjukkan bahwa
dalam masyarakat modern seorang individu atau kelompok dengan mudah dapat
meracik agamanya berdasarkan pengetahuan, selera, dan kepentingannya dengan
mengikuti logika pasar. Dengan demikian, fungsi dan makna esensial dari
pelaksanaan keagamaan, bukan lagi menjadi pertimbangan dominan untuk menentukan
pilihan religius, tetapi digantikan oleh pertimbangan nilai tukar yang akan
diperoleh. Semakin menguntungkan nilai tukar yang akan diperoleh, maka semakin
besar kemungkinan pilihan itu dijatuhkan. Bila
kesadaran semacam ini dibiarkan tumbuh dan berkembang di benak seluruh insan
negeri ini, termasuk para kyai dan santri di pelosok negeri, maka perlu
dipertanyakan regiusitas dan moralitas Islami bangsa ini.
C. Diskursus Kearifan Lokal
Dalam Menjaga Harmonisasi Lingkungan Hidup
Manusia adalah makhluk berkesadaran. Manusia tahu bahwa ia
mengetahui sesuatu tentang sesuatu. Ini sebabnya ia memiliki kemampuan berpikir
dan berkomunikasi. Berpikir adalah berkata-kata dalam hati sendiri dan
berkomunikasi adalah berkata-kata antarsubjek. Mengingat kedua kegiatan ini
merupakan tindak tutur dengan menekankan pada penggunaan kata-kata sehingga
kegiatan semacam ini tidak dimungkinkan tanpa bahasa. Begitulah dengan bahasa,
manusia bisa saling memahami dan mewujudkan pengertian di antara sesamanya.
Kesalingpengertian dan pemahaman inilah yang dimaksud dengan kesadaran dan di dalamnya
bahasa menjadi alat dan wujud kesadaran itu sendiri. Ketika bahasa diterima
menjadi wujud kesadaran kolektif masyarakat manusia, maka manusia sudah
menciptakan wacana di dalam dunianya sendiri. Hal ini sejalan dengan pandangan
Paul Ricoeur (2002:17) tentang proses pembentukan wacana yang dimulai dari
makna suatu benda hingga terbentuknya hubungan antarpredikat. Ditegaskannya,
“Satu kata benda mempunyai makna, dan sebagai pelengkap maknanya satu kata
kerja mengisyaratkan dimensi waktu. Hanya dengan kesinambungan keduanyalah yang
akan mengedepankan suatu ikatan predikat yang dapat disebut sebagai logos atau wacana”.
Dalam bahasa
Indonesia kata "wacana" memiliki arti yang sama dengan
"diskursus". Istilah “wacana” (discourse,
discourse) diperkenalkan oleh Michel Foucault dalam pidato pengukuhan guru
besarnya, dan La archeologie da savoir
(1968), serta tulisannya tentang kegilaan (Lubis, 2004:147-148). Menurut
Foucault (2002:9) diskursus adalah cara menghasilkan pengetahuan beserta
praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya,
relasi kekuasaan di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling
keterkaitan di antara semua aspek ini. Artinya, diskursus merupakan kategori
manusia yang diproduksi dan reproduksi dengan berbagai aturan, sistem, dan
prosedur yang membuatnya terpisah dari kenormalan. Aturan, sistem, dan prosedur itulah yang
disebutnya dengan istilah “tata-wacana”, yaitu keseluruhan wilayah konseptual
tempat pengetahuan itu dikonstruksi, dibentuk dan dihasilkan (Lubis, 2004:148).
Dengan demikian, studi teks, studi sejarah, budaya, dan klaim-klaim
objektivitas termasuk kebenaran harus ditunda karena hal itu telah dipengaruhi
oleh aturan-aturan, perbedaan makna, dan strategi-strategi yang sama dengan
naratif lainnya. Foucault (2002:143-144) menegaskan bahwa ketika sebuah wacana
dilahirkan, maka diskursus sebenarnya sudah dikontrol, diseleksi, diorganisasi,
dan didistribusikan kembali menurut kemauan pembuatnya karena wacana tersebut
dikonstruksikan berdasarkan tata-aturan (episteme)
tertentu. Oleh karena itu,
kebenaran memiliki mata rantai dengan sistem kekuasaan.
Diskursus dalam ilmu dan praktek sosial merupakan jaringan
praktek pengetahuan dan kekuasaan. White
(Foucault, 2007:xiv) mengatakan bahwa apa yang dilakukan atau dibahas dalam
diskursus, seperti yang terjadi dengan yang lain adalah selalu kehendak dan
kekuasaan. Oleh karena itu, teori wacana kuasa dan pengetahuan Foucault menolak
teori positivisme dan segala teori sosial alternatif yang berbau humanisme,
seperti pendekatan Husserlian, Weberian, dan Habermasian. Foucault menyebut
metodenya dengan nama genealogi sebagai bentuk penelusuran historis tentang
bagaimana terbentuknya/terkonstruksinya berbagai macam pengetahuan, objek-objek
pengetahuan, dan wacana ilmiah. Dalam melakukan penelusuran historis, ia tidak
menemukan kontinuitas, tetapi diskotinuitas /keretakan (repture) sejarah, episteme,
dan wacana (Lubis, 2004:153). Ini berarti bahasa sebagai diskursus, bukan
semata-mata mempersoalkan ucapan dan/atau tulisan, tetapi semua
pernyataan kultural karena keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks yang
mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan tertentu.
Sebagaimana bahasa reliugitas dan moralitas kehidupan pesantren yang bukan hanya
mempersoalkan pendidikan agama dan pemondokan bagi para santri, bahkan bukan
hanya mempersoalkan ketaatan santri pada kyainya, melainkan lebih pada ekspresi
kehendak dan kekuasaan untuk tetap menjaga kesalehan sosial dengan mewujudkan
segala tindakannya berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist demi harmonisasi kehidupan
dengan berbasis kearifan lokal. Semua ini telah menjadi bahasa ibu masyarakat
pesantren dalam menjalani hidup dan kehidupan.
Pararel dengan diskursus Foucault adalah kata “pengertian”
atau kawruh dalam budaya Jawa,
seperti dijelaskan oleh Frans Magnis-Suseno (1999:200) bahwa pengertian bagi
manusia Jawa dekat dengan "kekuatan batin" (kesakten — pemusatan
kekuatan kosmis, pembenaran-diri), sebagaimana terungkap dalam kata “ngelmu”. Ngelmu sekaligus berarti
ilmu pengetahuan, pengertian (lebih-lebih dalam arti mistik), dan kekuatan
magis misalnya, dalam arti suatu kemampuan khusus untuk pembelaan diri secara
fisik. Dalam kata "pengertian" itu terdapat makna perluasan kekuasaan
pada manusia sendiri yang bersifat tetap, yaitu manusia yang memiliki rasa-sejati. Kata “pengertian” dapat
dipahami sebagai proses pembebasan dari keterikatan dalam bayang-bayang yang
sementara dan lahiriah. Pembebasan itu berkaitan dengan satu proses penghalusan
dan pembatinan daya persepsi batin. Dengan begitu, pengertian adalah suatu
proses perkembangan pada subjek yang mengerti itu sendiri. Pengertian subjek
yang mengerti sendiri itu akan mengalami pertumbuhan. Jadi, tekanan terletak
pada subjek yang mengerti, bukan pada objek pengertian yang harus diketahui —
sebagaimana ajaran etika Sokrates. Orang Jawa memahami pengertian semacam ini
sebagai rasa yang secara inderawi
dapat diartikan sebagai kepekaan terhadap lingkungan fisik. Hal ini sebagaimana
diungkapkan oleh Magnis-Suseno (1999:199) berikut.
"Dalam rasa terjadi suatu pertumbuhan atau
pendalaman kepribadian. Pengertian semacam itu bukan sesuatu yang lahiriah,
kebetulan, kuantitatif, melainkan suatu realitas pada subjek yang mengerti itu
sendiri. Subjek diubah dan diperdalam di dalamnya. Maka dari itu suatu
pengertian yang lebih benar, jadi suatu rasa yang lebih mendalam, sekaligus
berarti juga suatu cara merasa dan bertindak yang baru, yang lebih mendalam dan
lebih benar, bahkan suatu sikap baru manusia seluruhnya."
Pararelitas di atas setidak-tidaknya mampu menunjukkan bahwa kearifan
lokal sebagai wujud budaya memiliki metafisikanya sendiri yang dibangun atas
kesadaran dan diskursus pemilikinya. Dalam hal ini kesadaran masyarakat lokal dapat
dicermati secara mendalam dari alat kesadarannya, yaitu bahasa ibu. Mengingat
bahasa ibu merupakan sumber moralitas masyarakat dan sekaligus sebagai
pembangun wacana, bahkan sebagai pantulan falsafah hidup, yaitu pedoman hidup
dan perilaku hidup. Inilah yang menjelma dalam dunia sosial-budaya menjadi
nilai-nilai. Sistem nilai, baik sebagai pedoman hidup maupun perilaku hidup
tidak pernah final karena senantiasa mengalami perkembangan inheren dalam
perubahan zaman. Faktanya manusia tidak bisa menjalankan kehidupannya sendiri
tanpa terlibat dalam kehidupan sosial berupa kegiatan kemasyarakatan. Malahan
dalam kehidupan sosialnya manusia tidak jarang harus membangun toleransi
sehingga dimungkinkan terjadinya proses saling menerima dan memberi nilai.
Begitulah dalam dunia global masyarakat pesantren tidak dapat menutup diri dari
pengaruh masyarakat lain sehingga identitas menjadi begitu penting. Dalam
konteks identitas inilah penting dan relevan membangun wacana kearifan lokal di
tengah-tengah derasnya pengaruh rasionalitas global. Dengan demikian, pemaknaan
kearifan lokal seharusnya diwacanakan berdasarkan metafisika yang dimilikinya
karena apabila tidak demikian, maka yang terjadi adalah kematian metafisika kearifan
lokal itu sendiri akibat mengalami kekalahan wacana. Mengingat masyarakat modern
yang mengedepankan rasionalitas cenderung mengekplorasi dan menguasai alam
untuk meningkatkan kualitas proses hidup dan kelangsungan kehidupannya.
Sementara itu, masyarakat pesantren dengan religiusitas dan moralitasnya yang
didasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist lebih mengutamakan hidup seimbang dan
selaras dengan kosmosnya untuk mencapai keharmonisan kehidupannya.
D. Pesantren Sebagai Agen Perubahan Dalam Menghadapi Tekanan
Modernitas
Tingginya derajat pluralitas dan heterogenitas penduduk
suatu kota, baik dari segi etnis, agama, sosial, politik, ekonomi, maupun
budaya, juga memunculkan permasalahan adaptasi sosio-budaya tersendiri bagi
penduduk asli. Sejalan dengan pandangan Lash (2004:210) bahwa urbanisasi
memberikan pengalaman dan kesan yang beranekaragam seiring dengan heterogenitas
sosial yang muncul. Ini mendorong munculnya modernitas sebagai pengalaman
budaya masyarakat, yakni pengalaman adanya perubahan dan ketidakpastian.
Artinya, kelompok urban yang berasal dari berbagai daerah dengan latar belakang
budaya yang berbeda menjadikan proses adaptasi budaya berlangsung secara
terus-menerus dan saling bertautan, baik antara penduduk pendatang dan penduduk
lokal; pendatang dengan pendatang; maupun sesama pendatang dengan penduduk
lokal. Pada akhirnya budaya masyarakat kota adalah budaya yang senantiasa
menjadi dalam proses berkelanjutan dibandingkan dengan desa atau kota pramodern
yang kebudayaannya cenderung ajeg.
Urbanisasi yang terjadi di kota-kota bukan hanya
melahirkan heterogenitas sosial dalam kerangka persaingan ekonomi yang ketat,
tetapi juga telah menebarkan nuansa persaingan untuk menegaskan identitas
kultural dan keagamaan antara penduduk lokal dan pendatang. Religiusitas umat
Islam di pesantren misalnya, selain diwujudkan dalam pelaksanaan ritual
keagamaan yang sesuai dengan akidah Islamiah, juga terikat oleh kewajiban
menjaga harmonisasi lingkungan hidupnya. Sebaliknya, juga pendatang menegaskan
identitasnya melalui aktivitas keagamaan dan aksesoris keagamaannya. Umat Islam
misalnya, kebanyakan dari muslimahnya menggunakan jilbab sehingga memperjelas
identitasnya di tengah-tengah keberadaan umat lainnya.
Masyarakat urban modern yang cenderung mengedepankan
kepentingan ekonomi tampaknya menawarkan model beragama yang lebih sederhana
sehingga tidak mengganggu kesibukan memenuhi kebutuhan hidupnya. Fenomena ini
menggiring penduduk lokal untuk membanding-bandingkan tradisi religius yang
dijalani masyarakat pesantren selama ini dengan model beragama sederhana penduduk
pendatang yang cenderung sekuler dan kapitalis. Setidak-tidaknya penerimaan ini
terjadi dengan pertimbangan bahwa model beragama kaum urban dipandang sesuai
dengan kondisi kekinian. Selain mampu memenuhi kebutuhan sebagai manusia religius,
juga model beragama kaum urban tidak menghambat aktivitas untuk mencari
penghasilan.
Modernisasi pada akhirnya menjadi kebutuhan masyarakat
dengan semakin tingginya diferensiasi sosial dalam kuatnya pesona ekonomi
mengatasi bidang kehidupan lainnya. Namun demikian, juga tidak dapat ditampik
bahwa keseluruhan proses modernisasi berlangsung sejalan dengan kebijakan
birokrasi dalam pembangunan yang cenderung mengeksplorasi dan mengabaikan tetap
terjaganya harmonisasi lingkungan hidup. Menurut Foucault (Lash, 2004:140)
bahwa dalam masyarakat modern kekuasaan pemerintah tertanam dalam yang sosial
dan kekuasaan berputar-putar secara imanen dalam kapilaritas masyarakat
sehingga negara tidak lagi berada di atas, melainkan berada di tengah-tengah
masyarakat. Kekuasaan modern telah bergeser dari bentuk-bentuk kekuasaan yang
bersifat memaksa menuju kekuasaan yang bersifat moral dan terapetis.
Konsekuensi teoretisnya bahwa keberhasilan kinerja birokrasi dalam melaksanakan
pembangunan hendaknya dipandang sebagai keberhasilan dalam mengkomunikasikan
ide-ide pembangunan kepada masyarakat melalui wacana hegemonik bahwa
pembangunan akan membawa kesejahteraan. Keberhasilan tersebut dapat dilihat
dari pembangunan perumahan, mall-mall,
pusat perbelanjaan, dan objek-objek kultur modern lainnya, serta
fasilitas-fasilitas pemenuhan nafsu selera manusia modern dalam wilayah
desa-desa di pinggiran kota-kota besar, termasuk di sekeliling pondok-pondok
pesantren di negeri ini.
Pesantren secara tekstual dianggap sebagai pusat pendidikan
dan pembinaan generasi muda Islam. Fungsi pendidikan dan pemondokan menempatkannya
bukan hanya sebagai sekedar wujud komplek bangunan, tetapi juga dimaknai
sebagai pusat kosmos dan magi pendidikan dan budaya Islami. Dalam hal ini magi pendidikan
dan budaya adalah nilai-nilai sakral dan simbolisasi tuntunan hidup manusia
untuk mencapai keselamatan hidup dunia dan akhirat berdasarkan Al-Qur’an dan
Al-Hadist. Sebaliknya, secara kontekstual pesantren tradisional dipandang
sebagai simbol pertahanan religiusitas dan moralitas Islami masyarakat. Sakralitas
makna simbolik yang diberikan dan diyakini oleh internal masyarakat pesantren
tradisional telah mengalami pembongkaran dan pemaknaan ulang oleh berbagai
pihak yang bertindak sebagai subjek. Artinya, makna simbolik pesantren telah
didekonstruksi oleh sejumlah pihak dengan caranya sendiri-sendiri untuk
menemukan konstruksinya yang baru. Di titik ini, sakralitas dan profanitas
menjadi permainan wacana yang dapat diurai dari relasi-relasi kuasa dan
pengetahuan yang terkandung di dalamnya dalam menghadapi tekanan-tekanan
modernitas global.
Eksistensi pesantren yang diposisikan sebagai lembaga
pendidikan tradisional kuno yang mampu bertahan hingga saat ini menunjukkan
bahwa pengaruh dan tekanan modernitas dari dunia luar mampu diredam dan seminim
mungkin dihindarkan dari munculnya konflik. Fenomena tentang minimnya konflik
manifes dalam kehidupan sosial masyarakat pesantren ini disebabkan oleh
kemampuan mereka menerima misteri kehidupan. Afirmasi masyarakat pesantren
secara langsung pada misteri kehidupan menyebabkan pengetahuan yang terbentuk
secara historis menjadi hal sekunder dalam kehidupan praksis. Kehidupan harus
mendominasi pengetahuan yang terbentuk secara historis, bukan sebaliknya
pengetahuan mendominasi kehidupan (Copleston, 1974:33). Jika pengetahuan tunduk
pada kehidupan, maka pengetahuan itu tidak akan menjadi kandungan untuk
mengakumulasikan sejumlah besar informasi, tetapi akan berusaha untuk
menyatukan kandungan pengetahuan di dalam sebuah sikap hidup yang mengakomodir
kearifan lokal yang hidup dalam budaya masyarakat lokal untuk mendorong
bentuk-bentuk asli budaya setempat, sebuah bentuk kehidupan yang sungguh alami,
asli, tersatukan, dan kreatif, serta bersifat produktif tanpa mengabaikan
harmonisasi lingkungan hidupnya. Secara negatif, budaya bukanlah gaya hidup,
juga bukan kesatuan artistik harmonis dan pengetahuan historis, melainkan
kumpulan campur aduk semua gaya dan sesuatu yang dihayati. Penghayatan semacam
ini akan memunculkan apa yang disebut Nietzsche plastic power (kekuatan plastik) pada manusia, masyarakat atau
budaya seperti berikut.
"...the deeper
the roots of a man’s inner nature, the better will he take the past into
himself; and the greatest and most powerful nature would be known by absence of
limits for the historical sense to overgrow and work harm. It would assimilate
and digest the past, however foreign, and turn it to sap" (Copleston,
1974:35).
"...semakin dalam akar sifat-sifat pada manusia,
semakin baik ia akan memasukkan masa lalu ke dalam dirinya sendiri; dan sifat-sifat
keagungan dan paling kuat akan diketahui dengan ketiadaan batas-batas agar
perasaan historis tumbuh meluap dan bekerja hingga menimbulkan penghancuran.
Sifat-sifat ini akan mengasimilasi dan mencerna masa lalu, betapapun asing,
serta merubahnya menjadi energi".
Konsekuensi dari pemahaman masyarakat pesantren bahwa
kebudayaan dengan kearifan lokalnya lebih condong pada kehidupan dan karenanya
mengakomodasi jiwa-jiwa tangguh, bahkan mempunyai sifat plastik dibandingkan
dengan pengetahuan. Hal ini dapat dilihat pada pemahaman mengenai ruang dalam
pengertian lingkungan hidup, yakni bahwa ruang merepresentasikan kejadian atau
suatu ikatan ingatan kolektif. Oleh karenanya, muncul sikap yang salah, bila
memandang pesantren yang begitu lazim diposisikan menjadi
model lembaga pendidikan tradisional yang tetap mengakomodir kearifan
budaya lokal kemudian, dimarginalkan dan dianggap tidak memiliki peran dalam
modernisme global pembangunan saat ini. Justru religiusitas dan moralitas yang
selalu dikedepankan dalam mengelola keharmonisan lingkungan hidup dengan
mengakomodir kearifan lokal yang ada melahirkan kesalehan sosial masyarakat
yang merupakan jawaban dari berbagai permasalahan yang ditinggalkan oleh
rasionalitas global kaum modernis untuk saat ini dan masa yang akan datang. Ini
berarti bahwa pesantren sudah saatnya dilepaskan dari stereo-type “tradisional kuno” karena kebenaran realitas yang
didasarkan pada motivasi tindakannya benar-benar dilandasi oleh kebenaran
universal yang mengacu kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist yang menjadikannya sebagai
agen perubahan dalam menjaga harmonisasi lingkungan hidup dari berbagai tekanan
modernitas pada saat ini dan masa datang.
E. Simpulan
Berdasarkan
paparan makalah di atas dapat ditarik tiga sempulan sebagai berikut.
1) Rasionalitas dalam modernisme menghasilkan
kesadaran baru bahwa komodifikasi religiusitas dan moralitas masyarakat
dimaknai sebagai proses perubahan dalam kehidupan keagamaan karena agama tidak
lagi diposisikan sebagai sumber nilai yang dibagi bersama, melainkan lebih
merupakan rekognisi melalui proses konstruksi, dekonstruksi, rekonstruksi yang
bersifat individual dalam penafsiran dan pemahaman secara terus-menerus.
2) Masyarakat
pesantren dengan religiusitas dan moralitasnya yang didasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist
mampu mengakomodir kearifan lokal budaya setempat untuk lebih mengutamakan
hidup seimbang dan selaras dengan kosmosnya untuk mencapai harmonisasi
kehidupan.
3) Pesantren
sudah saatnya dilepaskan dari stereo-type
“tradisional kuno” karena kebenaran realitas yang didasarkan pada motivasi
tindakannya benar-benar dilandasi oleh kebenaran universal yang mengacu kepada
Al-Qur’an dan Al-Hadist yang menjadikannya sebagai agen perubahan dalam menjaga
harmonisasi lingkungan hidup dari berbagai tekanan modernitas pada saat ini dan
masa datang.
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies Teori dan Praktek. Yogyakarta: Bentang.
Capra, Fritjof. 2004. Titik Balik Peradaban Sains, Masyarakat dan
Kebangkitan Kebudayaan. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Cavallaro, Dani. 2004. Teori
Kritis dan Teori Budaya. Yogyakarta: Niagara.
Copleston, Frederick. 1975. Friederich
Nietzsche: Philosopher of Culture. USA: Harper & Row.
Foucault, Michel. 2007. Order
of Thing: Arkeologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
________. 2002. Pengetahuan
dan Metode: Karya-karya Penting Michel Foucault. Yogyakarta: Jalasutra.
Giddens, Anthony. 2001. Runaway
World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Lash, Scott. 2004. Sosiologi
Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius
Lubis, Akhyar Yusuf.
2004. Setelah Kebenaran dan Kepastian Dihancurkan Masih Adakah Tempat
Berpijak Bagi Ilmuwan: Sebuah Uraian Filsafat Ilmu Pengetahuan Kaum
Posmodernis. Bogor: Akademia.
Magnis-Suseno, F. 1999. Etika
Jawa : Sebuah Analisa Fasafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Muzir, Inyiak
Ridwan. 2008. Hermeneutika Filosofis
Hans-Georg Gademer. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Norris, Christopher. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques
Derrida. Terj. Inyiak Ridwan Muzir. Jogjakarta: Ar-Ruzz.
Ricoeur, Paul. 2002. Filsafat
Wacana Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa. Yogyakarta: IRCiSod.
Sumaryono, E.
1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius.
Triguna, Yudha
IBG. 1997. "Mobilitas Kelas, Konflik, dan Penafsiran Kembali: Simbolisme
Masyarakat Hindu di Bali" (disertasi). Bandung: Universitas Padjajaran
Bandung.
[1]
Disampaikan dalam Sarasehan: Pesantren, Harmonisasi Lingkungan Hidup, dan
Kearifan Lokal, tanggal 22 Desember 2013 di Pondok Pesantren Al-Amin, Pabuaran
Purwokerto.
[2]
Staf pengajar pada Program Studi S1 Arsitektur UNS, S2 dan S3 Kajian Budaya
UNS, S2 Seni Rupa UNS, dan S3 Lingkungan UNS; email: titis_pitana@yahoo.com; HP:
08122974133.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar