ARSITEKTUR NUSANTARA:
ARSITEKTUR HASIL PERCINTAAN SAKRAL
MANUSIA DENGAN ALAM[1]
Oleh:
Dr. Titis Srimuda Pitana, S.T., M.Trop.Arch.[2]
Abstrak
Karakter masyarakat
Nusantara dan hasratnya dalam menjadikan arsitektur sebagai ilmu rancang bangun
yang merupakan pantulan respon cerdas masyarakat Nusantara terhadap kosmosnya
menjadikan argumen kuat bahwa arsitektur Nusantara sejatinya adalah hasil
percintaan sakral manusia dengan alamnya. Kearifan lokal yang dikandung dalam
arsitektur Nusantara sebagai wujud budaya memiliki metafisikanya sendiri. Nilai
simbolisme arsitektur Nusantara terletak pada caranya menyampaikan makna dari
wujud suatu bangunan yang mengandung bobot ekspresi (signifer) dan bobot makna (signified).
Tulisan ini ditujukan untuk menggali budaya berarsitektur pada masyarakat
Nusantara melalui analogi berbahasa tersebut beserta keagungan sakralitas
simbolik dari perwujudan arsitekturnya.
Kata kunci: arsitektur Nusantara, percintaan
sakral, makna simbolik
A. Pendahuluan
Judul di atas
sengaja digunakan pada makalah ini karena begitu sulit memilih terminologi yang
tepat untuk membungkus secara singkat budaya berarsitektur pada masyarakat
Nusantara beserta gambaran arsitektur Nusantara dengan segala ironi dan
keagungannya. Arsitektur Nusantara yang begitu lazim diposisikan sebagai
arsitektur tradisional sudah pasti harus berhadapan dengan arsitektur modern
yang dianggap selalu memiliki sifat kebaruan yang sejalan dengan selera manusia.
Akibatnya, arsitektur modern berhasil membangun kesadaran baru dan mendominasi
kesadaran kearsitekturan Nusantara yang tradisional. Akibatnya, hampir seluruh
aktivitas kearsitekturan Nusantara berorientasi ke dunia Barat, tempat budaya
modern berasal, sebagaimana positivisme mengafirmasi kebenaran sebagai
‘paradoksal’. Ironi kelaziman ini merebut kesadaran bahwa arsitektur Nusantara
senantiasa diposisikan sebagai seni tradisional kuno karena eksistensinya
begitu terikat pada masa lalu. Bila kesadaran semacam ini dibiarkan berkembang
semakin dalam di benak para arsitek negeri ini, maka arsitektur Nusantara akan
mengalami kesulitan mengelola kelangsungan hidupnya.
Dari cara pandang antropologis, berdasarkan kehidupan tradisionalnya, masyarakat Nusantara dapat digolongkan
sebagai masyarakat yang arkais,
yaitu masyarakat yang memiliki karakter sebagaimana diidentifikasikan Eliade
(2002) berikut.
(1)
Kosmologi menduduki tempat utama pada kehidupannya.
Pandangan tentang kehidupan dan dunia membentuk satu kesatuan dan keseluruhan
yang organis.
(2)
Hampir keseluruhan pemikirannya pertama-tama diungkapkan
dalam bentuk simbol. Mereka tidak membedakan mitos dengan sejarah. Tidak ada
sejarah yang hanya sejarah belaka. Sejarah adalah sesuatu yang mengungkapkan
kejadian-kejadian suci.
(3)
Memiliki tingkah laku yang bersifat eksistensial, artinya
praktek-praktek dan kepercayaan religi selalu berpusat pada masalah-masalah
fundamental kehidupan manusia.
(4)
Kehidupannya merupakan suatu sakramen. Realitas yang
paling utama ialah Yang Suci (Kudus). Mereka hidup di alam semesta berada di bawah
pengaruh Yang Suci. Mereka memiliki kerinduan yang dalam untuk tinggal dalam
suatu dunia yang suci bersama Yang Suci. Karena itu mereka kelihatan sangat
religius.
Manusia dengan
hasratnya telah menjadikan arsitektur sebagai ilmu rancang bangun tidak hanya
dibatasi pada ruang dan gatra
(sesuatu yang tampak terwujud) atau garis dan bidang, tetapi lebih pada hal-hal
yang menyangkut nilai-nilai keindahan. Malahan Merleau-Ponty berpendapat bahwa
berarsitektur adalah berbahasa manusia dengan citra unsur-unsurnya, baik dengan
bahan material maupun dengan bentuk serta komposisinya. Salah satu pengenal
kemuliaan bahasa, juga bahasa arsitektur, adalah kejujurannya, kewajarannya,
atau seperti yang dinasihatkan oleh ahli pikir Thomas Aquinas: 'pulchrum splendor est veritatis', yang
artinya 'keindahan adalah pancaran kebenaran' (Mangunwijaya, 1992:9-10).
Karakter
masyarakat Nusantara dan hasratnya dalam menjadikan arsitektur sebagai ilmu
rancang bangun yang merupakan pantulan respon cerdas masyarakat Nusantara
terhadap kosmosnya menjadikan argumen kuat bahwa arsitektur Nusantara sejatinya
adalah hasil percintaan sakral manusia dengan alamnya. Sebagaimana sebuah
percintaan sakral, aktifitas ini lazimnya didasari atas niatan yang lurus dan
tulus yang di dalamnya terjalin komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik
dapat dibangun ketika komunikasi tersebut dibangun dengan bahasa sebagai alat
dan wujud kesadaran manusia. Bahasa yang paling dikuasai dan dipahami suatu
masyarakat di daerahnya adalah bahasa ibu. Pada titik ini, dianggap relevan
untuk menggali budaya berarsitektur pada masyarakat Nusantara melalui analogi berbahasa
tersebut beserta keagungan sakralitas simbolik dari perwujudan arsitekturnya.
B. Arsitektur Nusantara: Bahasa dan Respon Kesadaran Manusia Terhadap
Alam
Pengandaian
arsitektur sebagai bahasa sama halnya menjadikan arsitektur sebagai teks budaya
yang harus dibaca untuk dapat diungkap makna yang dikandungnya. Ini berarti bahwa setiap elemen yang terkandung di
dalam arsitektur Nusantara dapat dianalogikan sebagai “kata” yang dapat
dirangkai untuk mengungkapkan maksud sebagaimana fungsi bahasa sebagai alat
komunikasi yang selanjutnya dapat disebut sebagai wujud kesadaran kolektif
masyarakat. Dalam bahasa Jawa misalnya, terdapat ungkapan tembung momot dunung yang dapat diartikan bahwa setiap kata selalu
memiliki akar dan kesesuaian dengan konteks (ruang dan waktu). Sebagaimana
arsitektur Nusantara yang lazim dimaknai sebagai kesatuan tiga unsur. Pertama, relasi dengan jiwa cipta (wastu), yaitu konstruksi merupakan
perwujudan jiwa penciptaan yang memiliki dimensi kebenaran, keindahan, dan
kebaikan yang selalu menjaga keselarasan dengan lingkungan (alam dan
masyarakatnya); kedua, relasi dengan
sumber daya (kalang), yaitu
konstruksi yang diorientasikan pada keindahan dan keberkahan (keselarasan alam
demi keberlangsungan hidup dan kehidupan); dan ketiga, relasi dengan wujud (wewangunan),
yaitu konstruksi merupakan ekspresi dari kepatutan/kepantasan sikap hidup
manusia dalam menjaga keselarasan alam dan ruang hidup bersama masyarakat.
Ini berarti bahwa setiap elemen yang
terdapat dalam arsitektur Nusantara bukanlah sesuatu tanpa landasan dan alasan,
namun hasil dari mesu budi dan laku kasutapan, bahkan dapat dikatakan
hasil konteplasi pemikiran manusia. Sebagai contoh, manusia Jawa meyakini bahwa
antara ”wadah” dengan ”isi” diperlukan adanya keseimbangan, kesejajaran, keharmonian,
bahkan keterpaduan sehingga tercipta ketenteraman batin, kesejahteraan, dan
kemakmuran dalam hidup dan kehidupan. Kesejajaran
antara wadah dan isi tersebut dilambangkan dengan adanya suatu konsep kesatuan
mikrokosmos (manusia) dengan makrokosmos (alam raya) (Nugroho, 1996: 18-20). Konsep
kemanunggalan makrokosmos dan mikrokosmos ini diartikan bahwa manusia telah
menjalin hubungan dengan kekuatan di luar dirinya yang jauh lebih besar
sehingga manusia bersangkutan akan terjaga dan mampu meningkatkan kekuatannya
menjadi lebih besar yang pada akhirnya, akan mampu mendatangkan kesejahteraan,
kesuburan, dan hal-hal positif lainnya bagi hidup dan kehidupan manusia (Ronald, 1993:30). Kepercayaan adanya
kekuatan di luar diri manusia, bukan saja kekuatan yang datang dari Tuhan sang
kuasa mutlak, akan tetapi juga kekuatan-kekuatan supra-natural yang ada di
jagad raya ini. Kepercayaan ini selalu menempatkan manusia sebagai pusat (pancer) yang dikelilingi kekuatan empat
penjuru mata angin (keblat papat)
bersifat tidak bergerak (mantap), akan tetapi menggerakkan (kuasa dinamis).
Kepercayaan Jawa inilah yang akhirnya, melahirkan terminologi papat keblat kalima pancer yang disebut Pajupat (Prijotomo, 1992:29-31).
Pararelitas di atas setidak-tidaknya mampu
menunjukkan bahwa kearifan lokal yang dikandung dalam arsitektur Nusantara
sebagai wujud budaya memiliki metafisikanya sendiri yang dibangun atas
kesadaran dan diskursus pemilikinya. Dalam konteks arsitektur, pengandaian
perwujudan arsitektur Nusantara sebagai bahasa (sarana komunikasi visual) dalam
membangun kesadaran kolektif masyarakatnya memerlukan bahasa yang dikuasai dan
dipahami oleh masyarakat itu sendiri yang lazim disebut “bahasa ibu”, yaitu
bahasa yang bersumber pada lokalitas dan moralitas masyarakat pendukungnya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa apabila masyarakat Nusantara digolongkan
sebagai masyarakat arkais dan menjadikan kearifan lokal sebagai dasar pengembangan
arsitektur Nusantara yang selalu berorientasi pada kebenaran, keindahan, dan
kebaikan dalam menjaga keselarasan alam dan ruang hidup bersama masyarakatnya,
maka kearifan lokal dapat dianggap sebagai bahasa ibu arsitektur Nusantara.
Pentingnya
kearifan lokal dalam membangun identitas dan mengembangkan arsitektur Nusantara
menurut metafisikanya sendiri, juga karena terdapat perbedaan filosofis antara
arsitektur Nusantara dan arsitektur lainnya. Arsitektur manca misalnya, begitu
lazim dimaknai sebagai “arsitektur perlindungan”, sedangkan arsitektur Nusantara
sebagai “arsitektur pernaungan”. Sebagaimana Kawruh Kalang di Jawa yang mengatakan, "tiyang sumusup ing griya
punika saged kaupamekaken ngaub ing sangandhaping kajeng ageng” yang
berarti, 'orang yang masuk ke dalam bangunan rumah bagaikan bernaung (berteduh)
di bawah pohon (niatan) yang besar'. Perbedaan ini bermula dari cara pandang
masyarakat terhadap kosmosnya. Masyarakat manca cenderung mengekplorasi dan
menguasai alam untuk meningkatkan kualitas proses hidup dan kelangsungan
kehidupannya. Sementara itu, masyarakat Jawa lebih mengutamakan hidup seimbang
dan selaras dengan kosmosnya untuk mencapai keharmonisan kehidupannya (Pitana,
2010:82).
Aktivitas
"bernaung" adalah aktivitas yang bersifat sementara. Aktivitas ini
lazim dilakukan oleh seseorang yang sedang melakukan perjalanan panjang,
berhenti sejenak untuk beristirahat dengan mengambil tempat yang teduh sambil
makan dan minum untuk dapat kembali meneruskan perjalan panjangnya hingga
sampai tempat tujuan. Tampaknya ungkapan ini merupakan gambaran dari pandangan
manusia Jawa mengenai perjalanan hidupnya hingga sampai tujuan akhir dari
kehidupan. Berkenaan dengan perjalanan hidup ini manusia Jawa memiliki ungkapan
tradisional “urip iku sak drema mampir
ngombe” (hidup itu hanya sekadar mampir minum) (Pitana, 2010:82). Artinya,
bagi manusia Jawa, rumah tinggal (griya)
adalah ruang hidup material yang merupakan miniatur dari kehidupan duniawi yang
bersifat sementara, sekadar untuk bernaung dan beristirahat, untuk menuju
“niatan besar” (tujuan akhir perjalanan hidup manusia dalam kesempurnaan) manunggaling kawula Gusti.
C. Keagungan Sakralitas Simbolik Perwujudan Arsitektur Nusantara
Tidak dapat
dipungkuri bahwa arsitektur Nusantara, seperti Joglo dengan kearifan lokalnya
adalah realitas ciptaan yang lazimnya dianggap produk kebudayaan masa lalu.
Kecanggihan visi budaya kearsitekturan Nusantara telah menjadikannya sebagai
puncak perwujudan arsitektur vernakuler yang lazim dilabeli sebagai arsitektur tradisional
yang membanggakan. Akan tetapi, kebanggaan terhadap karya arsitektur
tradisional seperti ini terkadang menjadi sumber malapetaka arsitektur Nusantara.
Dengan kebanggaan itu, bisa saja tanpa disadari kemudian, masyarakat Nusantara
membangun sebuah konstruksi mental yang menerima pengetahuan arsitektur
tradisional ini sebagai kebenaran. Yang dapat dilakukan terhadap sosok
kebenaran, tentu seperti menangani sebuah pusaka, yakni merawat dan
menghindarkan pusaka itu dari perubahan. Keajegan selalu diupayakan dan
diperjuangkan, bahkan sampai pada pemaknaan simbol yang melekat. Kondisi ini
pada akhirnya menjadikan arsitektur Jawa tidak dipandang sebagai simbol yang
hidup karena keberadaannya telah dilingkupi dan dimatikan oleh mitos-mitos yang
diajegkan.
Oleh karenanya
muncul sikap yang salah, bila memandang kebudayaan sebagai sistem pengetahuan
kemudian, menempatkan arsitektur Nusantara dengan kearifan lokalnya hanya ke
dalam wilayah arsitektur tradisional yang dibekukan dalam mitos, tanpa boleh
dimaknai sebagai ilmu yang bisa dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman. Ini
sejalan dengan usulan Prijotomo (2008:1) yang mengusulkan untuk menyebut
arsitektur tradisional di wilayah Jawa sebagai "arsitektur Jawa". Hal
ini lebih dimaksudkan sebagai tandingan terhadap munculnya istilah “arsitektur
Barat” yang dianggap lebih modern. Dengan kata lain, arsitektur tradisional di
wilayah Nusantara adalah arsitektur liyan
(the other) bagi arsitektur manca.
Menurut Pangarsa (2008:3) dalam kaitannya dengan dunia pendidikan arsitektur
dan perkembangan dunia arsitektur yang mengedepankan kearifan lokal, arsitektur
Nusantara adalah arsitektur masa depan. Artinya, sudah saatnya arsitektur Nusantara
dilepaskan dari bungkus dan label “arsitektur tradisional” untuk membangun
wacana baru sebagai “arsitektur masa depan” yang memiliki bahasa ibu berupa
kearifan lokal dan yang sejajar atau bahkan berani bersaing dengan arsitektur
Barat. Sebagai contohnya, manusia Jawa menyebut tempat tinggalnya dengan
istilah omah. Kata omah merupakan bentukan dari dua kata om, yang diartikan sebagai angkasa dan
bersifat laki-laki (kebapakan), dan mah yang
diartikan lemah (tanah) dan bersifat
perempuan (keibuan). Sehingga omah
(rumah) dimaknai sebagai miniatur dari jagad manusia yang terdiri Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi (Pitana,
2001:40). Realitas ini menunjukkan pada kita tentang pemahaman manusia Jawa mengenai
dualitas, yaitu adanya dua unsur yang dikotomis, dua unsur yang bertolak
belakang yang harus selalu diselaraskan. Hal ini merupakan fenomena wajar dalam
budaya Jawa yang memasukkan unsur jender ke dalam sistem simbol dualitas,
lingga dan yoni, bersifat maskulin dan feminim (Muqoffa, 1998:62).
Kesungguhan masyarakat
Nusantara dalam menjaga keseimbangan dan keselarasan antara mikrokosmos dan makrokosmos
dalam penentuan ruang hidup materialnya tidak hanya diwujudkan dalam pemakaian
istilah omah untuk rumah di Jawa, tetapi lebih pada
pemakaian simbol pada hampir seluruh bagian yang berkaitan dengan rumah itu
sendiri, baik pada simbol materi maupun simbol perilakunya. Simbol materi yang
dimaksud di sini adalah untuk hal-hal yang bersifat fisik dan dapat ditangkap
secara inderawi, di antaranya
adalah: pola tata ruang dan tata massa bangunan, pola perwujudan bentuk
bangunan, penggunaan material bangunan, dan desain ornamen-ornamen yang
melekat. Sedangkan untuk simbol perilaku yang dimaksud adalah untuk hal-hal
yang berkaitan dengan tindakan dari masyarakat Nusantara berkaitan dengan pembangunan rumahnya,
diantaranya adalah mengenai ritual-ritual, laku batin, dan/atau gugon tuhon yang menyertai proses pembangunan
sebuah rumah. Di Jawa
misalnya, ritual bedah bumi untuk
pertanda memulainya penggalian tanah untuk pondasi rumah, atau ritual munggah penuwun untuk memulai memasang balok
kayu paling atas dari sebuah atap bangunan.
Sebagai realitas
ciptaan, arsitektur Nusantara merupakan karya masterpiece, adiluhung,
dan sophisticated jika dipandang dari
aspek filosofis, kaidah-kaidah keseimbangan antara fungsi dan konstruksi,
klimatologi, kepadatan pengguna dan area, komposisi bahan, proporsi, tampilan,
garis tegas ornamen, sampai makna warna. Hal ini
menunjukkan bahwa arsitektur Nusantara menjadi produk kebudayaan yang sarat
kearifan lokal, bersifat objektif, dan karenanya teramati. Ini juga sebabnya
arsitektur Nusantara memiliki kemampuan berkomunikasi melalui tanda grafis (sign) yang melekat padanya. Dalam artian
bahwa tanda-tanda grafis (sign)
arsitektural yang membangun arsitektur Nusantara adalah makna denotatif dan
konotatif menurut sandi-sandi (codes).
Apabila nilai simbolisme arsitektur Nusantara terletak pada caranya
menyampaikan makna dari wujud suatu bangunan yang mengandung bobot ekspresi (signifer) dan bobot makna (signified), maka bobot ekspresi yang
dimaksudkan tercermin pada perwujudan arsitekturnya. Bobot ekspresi ini
meliputi ruang dan permukaannya (facade),
sedangkan bobot makna yang dimaksud adalah media yang berisi muatan atau pesan
yang hendak disampaikan.
Sebagai contoh, bangunan
rumah tinggal di Jawa yang lazim dimaknai sebagai miniatur kosmos penghuninya.
Bobot ekspresi dari arsitektur Jawa ini terkandung pada struktur tata ruang dan
(facade) beserta ornamental designnya. Sementara itu, bobot maknanya terdapat pada
makna simbolik dari perwujudan fisik bangunan tersebut yang meliputi struktur
tata ruang, konstruksi, dan ornamental design. Pertama, makna simbolik dari typologi struktur tata ruang bangunan
rumah Jawa yang cenderung dimaknai berkarakter feminim dapat diuraikan sebagai
berikut.
1) Topengan
(kuncungan), bagian
bangunan ini berada di paling depan yang bersifat publik dan keberadaannya bisa
ada atau dihilangkan. Artinya, bagian ini merupakan bukan wajah sebenarnya dari
penghuninya yang lazim ditempatkan di bagian paling depan, sebagaimana topeng
yang berfungsi sebagai kamlufase wajah sebenarnya.
2) Pendapa, ruang ini berada di balik topengan (apabila ada) yang bersifat
publik dan berfungsi untuk menerima tamu. Bagian ini dapat dianalogikan sebagai
wajah asli dari penghuninya. Artinya, keramahan atau karakter penghuninya dapat
dilihat dari tampilan ruang pendapa ini.
3) Pringgitan,
ruang ini berada di
antara pendapa dan dalem ageng. Sesuai dengan namanya,
ruang ini difungsikan sebagai tempat untuk menggelar ringgit (wayang kulit/wayang purwa).
Keberadaan ruang ini dapat dianalogikan sebagai leher seorang perempuan yang
tampak pantas dan lebih indah ketika diberi perhiasan. Lazimnya, semakin bagus
dan mahal perhiasan yang dikenakan, status sosialnya akan semakin naik.
Demikian pula status sosial dari penghuni rumah, apabila semakin sering
menggelar ringgit, maka status
sosialnya di mata masyarakat sekitarnya semakin naik.
4) Dalem
ageng, ruang ini bersifat
privat, tertutup, dan sakral yang berada di belakang pringgitan. Keberadaan ruang ini dapat dianalogikan seperti tubuh
perempuan yang harus tertutup (dibungkus baju) karena bersifat sakral. Namun
demikian, di dalam ruang sakral ini ada yang lebih sakral lagi, yaitu
keberadaan senthong (senthong kiwa,
senthong tengah, dan senthong tengen).
Oleh karenanya, selain mengenakan pakain untuk menutup tubuhnya, seorang
perempuan juga mengenakan pakaian dalam karena ada yang lebih privat dan sakral
untuk ditutupi dan dilindungi.
5) Senthong
kiwa, senthong tengen, dan senthong tengah. Tiga ruang yang
berjajar di sisi belakang dalem ageng.
Senthong kiwa dan tengen, kedua ruang ini berada berjajar
simetris mengapit senthong tengah.
Kedua ruang ini difungsikan sebagai ruang tidur. Secara fisik ruang ini
tertutup dan memiliki daun pintu. Keberadaan ruang ini dapat dianalogikan
seperti paha perempuan yang harus kokoh dan tertutup. Apabila tidak kokoh dan
tertutup rapat, maka kebaradaan senthong
tengah yang difungsikan untuk menyimpan benih-benih unggul pertanian dan hanya
tertutup sehelai tirai putih akan sangat terancam. Keberadaan senthong tengah ini dapat dianalogikan
sebagai rahim perempuan yang hanya dilindungi oleh selaput keperawanan. Oleh
karenanya, secara simbolik pesan yang hendak disampaikan bahwa seorang
perempuan akan dapat menjaga dan melahirkan bibit-bibit unggul apabila “senthong kiwa dan tengen” kokoh dan terlindungi agar “senthong tengahnya” tidak mudah terkoyak dan benih-benih yang
tersimpan di dalamnya dapat terjaga dan tidak diambil oleh “burung-burung liar”
yang pada saatnya dapat “disemaikan, dirawat, dan memberikan hasil yang
sebaik-baiknya”.
D. Simpulan
Berdasarkan
pembahasan di atas dapat ditarik dua simpulan sebagai berikut. Pertama,
arsitektur Nusantara sebagai
wujud budaya memiliki metafisikanya sendiri yang dibangun atas kesadaran dan
diskursus pemilikinya melalui kearifan lokal sebagai bahasa ibunya yang selalu
berorientasi pada kebenaran, keindahan, dan kebaikan dalam menjaga keselarasan
alam dan ruang hidup bersama masyarakatnya. Oleh karena itu, kearifan lokal
dapat dianggap sebagai bahasa ibu arsitektur Nusantara.
Kedua, nilai
simbolisme arsitektur Nusantara terletak pada caranya menyampaikan makna dari
wujud suatu bangunan yang mengandung bobot ekspresi (signifer) dan bobot makna (signified),
maka bobot ekspresi yang dimaksudkan tercermin pada perwujudan arsitekturnya.
Bobot ekspresi ini meliputi ruang dan permukaannya (facade), sedangkan bobot makna yang dimaksud adalah media yang
berisi muatan atau pesan yang hendak disampaikan.
Daftar Pustaka
Eliade, Mircea. 2002. Mitos Gerak Kembali yang Abadi: Kosmos dan
Sejarah. Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Mangunwijaya, Y.B. 1992. Wastu
Citra, Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi Filsafatnya
Beserta Contoh-contoh Praktis, 2nd edn. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Muqoffa, Mohamad 1998. Aspek
Jender Pada Dalem Bangsawan Di Surakarta Dalam Dinamika Perubahan Sosial
(tesis). Bandung: Program Pascacarjana Institut Teknologi Bandung.
Nugroho, A. 1996. Menguak Hong
Shui Kejawen, 2nd edn. Solo: Aneka.
Pangarsa, Galih W. 2008. "Membaca Buku Teles dan Buku
Garing". Makalah dipresentasikan pada Diskusi Ilmiah Arsitektur UNS, 12
Agustus 2008, di Jurusan Arsitektur UNS.
Pitana, T.S. 2001. "The
Javanese Cosmology and Its Influence on Javanese Architecture" (tesis).
Australia: James Cook University.
__________2010. “Dekonstruksi
Makna Simbolik Arsitektur Keraton Surakarta”
(disertasi). Denpasar: Universitas Udayana.
Prijotomo, J. 2008. "Cerlangtara, Bukan Kearifan
Lokal: Catatan Bagi Ke-liya-an Arsitektur Nusantara". Makalah
dipresentasikan pada Diskusi Ilmiah Arsitektur UNS, 12 Agustus 2008.
__________1992. Ideas and Form
of Javanese Arcitecture. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ronald, Arya 1993. Transformasi
Nilai-nilai Mistik dan Simbolik Dalam Ekspresi Arsitektur Rumah Tradisional
Jawa. Yogyakarta: Lembaga Javanologi Panunggalan.
[1]
Makalah disampaikan dalam Focus Group
Discussion Merah Putih Arsitektur Nusantara di Jurusan Arsitektur Fakultas
Teknik Universitas Brawijaya Malang, pada tanggal 10 Februari 2015.
[2]
Staf pengajar di Program Studi Arsitektur
Universitas Sebelas Maret Surakarta, Jl. Ir. Sutami 36 A, Surakarta, 57126;
E-mail: titis_pitana@yahoo.com; HP:
08122974133.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar