Jumat, 13 Februari 2015

ARSITEKTUR HASIL PERCINTAAN SAKRAL MANUSIA DENGAN ALAM



ARSITEKTUR NUSANTARA:
ARSITEKTUR HASIL PERCINTAAN SAKRAL MANUSIA DENGAN ALAM[1]
Oleh:
Dr. Titis Srimuda Pitana, S.T., M.Trop.Arch.[2]

Abstrak
Karakter masyarakat Nusantara dan hasratnya dalam menjadikan arsitektur sebagai ilmu rancang bangun yang merupakan pantulan respon cerdas masyarakat Nusantara terhadap kosmosnya menjadikan argumen kuat bahwa arsitektur Nusantara sejatinya adalah hasil percintaan sakral manusia dengan alamnya. Kearifan lokal yang dikandung dalam arsitektur Nusantara sebagai wujud budaya memiliki metafisikanya sendiri. Nilai simbolisme arsitektur Nusantara terletak pada caranya menyampaikan makna dari wujud suatu bangunan yang mengandung bobot ekspresi (signifer) dan bobot makna (signified). Tulisan ini ditujukan untuk menggali budaya berarsitektur pada masyarakat Nusantara melalui analogi berbahasa tersebut beserta keagungan sakralitas simbolik dari perwujudan arsitekturnya.

Kata kunci: arsitektur Nusantara, percintaan sakral, makna simbolik

A. Pendahuluan
Judul di atas sengaja digunakan pada makalah ini karena begitu sulit memilih terminologi yang tepat untuk membungkus secara singkat budaya berarsitektur pada masyarakat Nusantara beserta gambaran arsitektur Nusantara dengan segala ironi dan keagungannya. Arsitektur Nusantara yang begitu lazim diposisikan sebagai arsitektur tradisional sudah pasti harus berhadapan dengan arsitektur modern yang dianggap selalu memiliki sifat kebaruan yang sejalan dengan selera manusia. Akibatnya, arsitektur modern berhasil membangun kesadaran baru dan mendominasi kesadaran kearsitekturan Nusantara yang tradisional. Akibatnya, hampir seluruh aktivitas kearsitekturan Nusantara berorientasi ke dunia Barat, tempat budaya modern berasal, sebagaimana positivisme mengafirmasi kebenaran sebagai ‘paradoksal’. Ironi kelaziman ini merebut kesadaran bahwa arsitektur Nusantara senantiasa diposisikan sebagai seni tradisional kuno karena eksistensinya begitu terikat pada masa lalu. Bila kesadaran semacam ini dibiarkan berkembang semakin dalam di benak para arsitek negeri ini, maka arsitektur Nusantara akan mengalami kesulitan mengelola kelangsungan hidupnya.
Dari cara pandang antropologis, berdasarkan kehidupan tradisionalnya, masyarakat Nusantara dapat digolongkan sebagai masyarakat yang arkais, yaitu masyarakat yang memiliki karakter sebagaimana diidentifikasikan Eliade (2002) berikut.
(1)    Kosmologi menduduki tempat utama pada kehidupannya. Pandangan tentang kehidupan dan dunia membentuk satu kesatuan dan keseluruhan yang organis.
(2)    Hampir keseluruhan pemikirannya pertama-tama diungkapkan dalam bentuk simbol. Mereka tidak membedakan mitos dengan sejarah. Tidak ada sejarah yang hanya sejarah belaka. Sejarah adalah sesuatu yang mengungkapkan kejadian-kejadian suci.
(3)    Memiliki tingkah laku yang bersifat eksistensial, artinya praktek-praktek dan kepercayaan religi selalu berpusat pada masalah-masalah fundamental kehidupan manusia.
(4)    Kehidupannya merupakan suatu sakramen. Realitas yang paling utama ialah Yang Suci (Kudus). Mereka hidup di alam semesta berada di bawah pengaruh Yang Suci. Mereka memiliki kerinduan yang dalam untuk tinggal dalam suatu dunia yang suci bersama Yang Suci. Karena itu mereka kelihatan sangat religius.
Manusia dengan hasratnya telah menjadikan arsitektur sebagai ilmu rancang bangun tidak hanya dibatasi pada ruang dan gatra (sesuatu yang tampak terwujud) atau garis dan bidang, tetapi lebih pada hal-hal yang menyangkut nilai-nilai keindahan. Malahan Merleau-Ponty berpendapat bahwa berarsitektur adalah berbahasa manusia dengan citra unsur-unsurnya, baik dengan bahan material maupun dengan bentuk serta komposisinya. Salah satu pengenal kemuliaan bahasa, juga bahasa arsitektur, adalah kejujurannya, kewajarannya, atau seperti yang dinasihatkan oleh ahli pikir Thomas Aquinas: 'pulchrum splendor est veritatis', yang artinya 'keindahan adalah pancaran kebenaran' (Mangunwijaya, 1992:9-10).
Karakter masyarakat Nusantara dan hasratnya dalam menjadikan arsitektur sebagai ilmu rancang bangun yang merupakan pantulan respon cerdas masyarakat Nusantara terhadap kosmosnya menjadikan argumen kuat bahwa arsitektur Nusantara sejatinya adalah hasil percintaan sakral manusia dengan alamnya. Sebagaimana sebuah percintaan sakral, aktifitas ini lazimnya didasari atas niatan yang lurus dan tulus yang di dalamnya terjalin komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik dapat dibangun ketika komunikasi tersebut dibangun dengan bahasa sebagai alat dan wujud kesadaran manusia. Bahasa yang paling dikuasai dan dipahami suatu masyarakat di daerahnya adalah bahasa ibu. Pada titik ini, dianggap relevan untuk menggali budaya berarsitektur pada masyarakat Nusantara melalui analogi berbahasa tersebut beserta keagungan sakralitas simbolik dari perwujudan arsitekturnya.

B. Arsitektur Nusantara: Bahasa dan Respon Kesadaran Manusia Terhadap Alam 
Pengandaian arsitektur sebagai bahasa sama halnya menjadikan arsitektur sebagai teks budaya yang harus dibaca untuk dapat diungkap makna yang dikandungnya. Ini berarti bahwa setiap elemen yang terkandung di dalam arsitektur Nusantara dapat dianalogikan sebagai “kata” yang dapat dirangkai untuk mengungkapkan maksud sebagaimana fungsi bahasa sebagai alat komunikasi yang selanjutnya dapat disebut sebagai wujud kesadaran kolektif masyarakat. Dalam bahasa Jawa misalnya, terdapat ungkapan tembung momot dunung yang dapat diartikan bahwa setiap kata selalu memiliki akar dan kesesuaian dengan konteks (ruang dan waktu). Sebagaimana arsitektur Nusantara yang lazim dimaknai sebagai kesatuan tiga unsur. Pertama, relasi dengan jiwa cipta (wastu), yaitu konstruksi merupakan perwujudan jiwa penciptaan yang memiliki dimensi kebenaran, keindahan, dan kebaikan yang selalu menjaga keselarasan dengan lingkungan (alam dan masyarakatnya); kedua, relasi dengan sumber daya (kalang), yaitu konstruksi yang diorientasikan pada keindahan dan keberkahan (keselarasan alam demi keberlangsungan hidup dan kehidupan); dan ketiga, relasi dengan wujud (wewangunan), yaitu konstruksi merupakan ekspresi dari kepatutan/kepantasan sikap hidup manusia dalam menjaga keselarasan alam dan ruang hidup bersama masyarakat. 
Ini berarti bahwa setiap elemen yang terdapat dalam arsitektur Nusantara bukanlah sesuatu tanpa landasan dan alasan, namun hasil dari mesu budi dan laku kasutapan, bahkan dapat dikatakan hasil konteplasi pemikiran manusia. Sebagai contoh, manusia Jawa meyakini bahwa antara ”wadah” dengan ”isi” diperlukan adanya keseimbangan, kesejajaran, keharmonian, bahkan keterpaduan sehingga tercipta ketenteraman batin, kesejahteraan, dan kemakmuran dalam hidup dan kehidupan. Kesejajaran antara wadah dan isi tersebut dilambangkan dengan adanya suatu konsep kesatuan mikrokosmos (manusia) dengan makrokosmos (alam raya) (Nugroho, 1996: 18-20). Konsep kemanunggalan makrokosmos dan mikrokosmos ini diartikan bahwa manusia telah menjalin hubungan dengan kekuatan di  luar dirinya yang jauh lebih besar sehingga manusia bersangkutan akan terjaga dan mampu meningkatkan kekuatannya menjadi lebih besar yang pada akhirnya, akan mampu mendatangkan kesejahteraan, kesuburan, dan hal-hal positif lainnya bagi hidup dan kehidupan manusia (Ronald, 1993:30). Kepercayaan adanya kekuatan di luar diri manusia, bukan saja kekuatan yang datang dari Tuhan sang kuasa mutlak, akan tetapi juga kekuatan-kekuatan supra-natural yang ada di jagad raya ini. Kepercayaan ini selalu menempatkan manusia sebagai pusat (pancer) yang dikelilingi kekuatan empat penjuru mata angin (keblat papat) bersifat tidak bergerak (mantap), akan tetapi menggerakkan (kuasa dinamis). Kepercayaan Jawa inilah yang akhirnya, melahirkan terminologi papat keblat kalima pancer yang disebut Pajupat (Prijotomo, 1992:29-31).
Pararelitas di atas setidak-tidaknya mampu menunjukkan bahwa kearifan lokal yang dikandung dalam arsitektur Nusantara sebagai wujud budaya memiliki metafisikanya sendiri yang dibangun atas kesadaran dan diskursus pemilikinya. Dalam konteks arsitektur, pengandaian perwujudan arsitektur Nusantara sebagai bahasa (sarana komunikasi visual) dalam membangun kesadaran kolektif masyarakatnya memerlukan bahasa yang dikuasai dan dipahami oleh masyarakat itu sendiri yang lazim disebut “bahasa ibu”, yaitu bahasa yang bersumber pada lokalitas dan moralitas masyarakat pendukungnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa apabila masyarakat Nusantara digolongkan sebagai masyarakat arkais dan menjadikan kearifan lokal sebagai dasar pengembangan arsitektur Nusantara yang selalu berorientasi pada kebenaran, keindahan, dan kebaikan dalam menjaga keselarasan alam dan ruang hidup bersama masyarakatnya, maka kearifan lokal dapat dianggap sebagai bahasa ibu arsitektur Nusantara.
Pentingnya kearifan lokal dalam membangun identitas dan mengembangkan arsitektur Nusantara menurut metafisikanya sendiri, juga karena terdapat perbedaan filosofis antara arsitektur Nusantara dan arsitektur lainnya. Arsitektur manca misalnya, begitu lazim dimaknai sebagai “arsitektur perlindungan”, sedangkan arsitektur Nusantara sebagai “arsitektur pernaungan”. Sebagaimana Kawruh Kalang di Jawa yang mengatakan, "tiyang sumusup ing griya punika saged kaupamekaken ngaub ing sangandhaping kajeng ageng” yang berarti, 'orang yang masuk ke dalam bangunan rumah bagaikan bernaung (berteduh) di bawah pohon (niatan) yang besar'. Perbedaan ini bermula dari cara pandang masyarakat terhadap kosmosnya. Masyarakat manca cenderung mengekplorasi dan menguasai alam untuk meningkatkan kualitas proses hidup dan kelangsungan kehidupannya. Sementara itu, masyarakat Jawa lebih mengutamakan hidup seimbang dan selaras dengan kosmosnya untuk mencapai keharmonisan kehidupannya (Pitana, 2010:82).
Aktivitas "bernaung" adalah aktivitas yang bersifat sementara. Aktivitas ini lazim dilakukan oleh seseorang yang sedang melakukan perjalanan panjang, berhenti sejenak untuk beristirahat dengan mengambil tempat yang teduh sambil makan dan minum untuk dapat kembali meneruskan perjalan panjangnya hingga sampai tempat tujuan. Tampaknya ungkapan ini merupakan gambaran dari pandangan manusia Jawa mengenai perjalanan hidupnya hingga sampai tujuan akhir dari kehidupan. Berkenaan dengan perjalanan hidup ini manusia Jawa memiliki ungkapan tradisional “urip iku sak drema mampir ngombe” (hidup itu hanya sekadar mampir minum) (Pitana, 2010:82). Artinya, bagi manusia Jawa, rumah tinggal (griya) adalah ruang hidup material yang merupakan miniatur dari kehidupan duniawi yang bersifat sementara, sekadar untuk bernaung dan beristirahat, untuk menuju “niatan besar” (tujuan akhir perjalanan hidup manusia dalam kesempurnaan) manunggaling kawula Gusti.

C. Keagungan Sakralitas Simbolik Perwujudan Arsitektur Nusantara
Tidak dapat dipungkuri bahwa arsitektur Nusantara, seperti Joglo dengan kearifan lokalnya adalah realitas ciptaan yang lazimnya dianggap produk kebudayaan masa lalu. Kecanggihan visi budaya kearsitekturan Nusantara telah menjadikannya sebagai puncak perwujudan arsitektur vernakuler yang lazim dilabeli sebagai arsitektur tradisional yang membanggakan. Akan tetapi, kebanggaan terhadap karya arsitektur tradisional seperti ini terkadang menjadi sumber malapetaka arsitektur Nusantara. Dengan kebanggaan itu, bisa saja tanpa disadari kemudian, masyarakat Nusantara membangun sebuah konstruksi mental yang menerima pengetahuan arsitektur tradisional ini sebagai kebenaran. Yang dapat dilakukan terhadap sosok kebenaran, tentu seperti menangani sebuah pusaka, yakni merawat dan menghindarkan pusaka itu dari perubahan. Keajegan selalu diupayakan dan diperjuangkan, bahkan sampai pada pemaknaan simbol yang melekat. Kondisi ini pada akhirnya menjadikan arsitektur Jawa tidak dipandang sebagai simbol yang hidup karena keberadaannya telah dilingkupi dan dimatikan oleh mitos-mitos yang diajegkan.
Oleh karenanya muncul sikap yang salah, bila memandang kebudayaan sebagai sistem pengetahuan kemudian, menempatkan arsitektur Nusantara dengan kearifan lokalnya hanya ke dalam wilayah arsitektur tradisional yang dibekukan dalam mitos, tanpa boleh dimaknai sebagai ilmu yang bisa dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman. Ini sejalan dengan usulan Prijotomo (2008:1) yang mengusulkan untuk menyebut arsitektur tradisional di wilayah Jawa sebagai "arsitektur Jawa". Hal ini lebih dimaksudkan sebagai tandingan terhadap munculnya istilah “arsitektur Barat” yang dianggap lebih modern. Dengan kata lain, arsitektur tradisional di wilayah Nusantara adalah arsitektur liyan (the other) bagi arsitektur manca. Menurut Pangarsa (2008:3) dalam kaitannya dengan dunia pendidikan arsitektur dan perkembangan dunia arsitektur yang mengedepankan kearifan lokal, arsitektur Nusantara adalah arsitektur masa depan. Artinya, sudah saatnya arsitektur Nusantara dilepaskan dari bungkus dan label “arsitektur tradisional” untuk membangun wacana baru sebagai “arsitektur masa depan” yang memiliki bahasa ibu berupa kearifan lokal dan yang sejajar atau bahkan berani bersaing dengan arsitektur Barat. Sebagai contohnya, manusia Jawa menyebut tempat tinggalnya dengan istilah omah. Kata omah merupakan bentukan dari dua kata om, yang diartikan sebagai angkasa dan bersifat laki-laki (kebapakan), dan mah yang diartikan lemah (tanah) dan bersifat perempuan (keibuan). Sehingga omah (rumah) dimaknai sebagai miniatur dari jagad manusia yang terdiri Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi (Pitana, 2001:40). Realitas ini menunjukkan pada kita tentang pemahaman manusia Jawa mengenai dualitas, yaitu adanya dua unsur yang dikotomis, dua unsur yang bertolak belakang yang harus selalu diselaraskan. Hal ini merupakan fenomena wajar dalam budaya Jawa yang memasukkan unsur jender ke dalam sistem simbol dualitas, lingga dan yoni, bersifat maskulin dan feminim (Muqoffa, 1998:62).
Kesungguhan masyarakat Nusantara dalam menjaga keseimbangan dan keselarasan antara mikrokosmos dan makrokosmos dalam penentuan ruang hidup materialnya tidak hanya diwujudkan dalam pemakaian istilah omah untuk rumah di Jawa, tetapi lebih pada pemakaian simbol pada hampir seluruh bagian yang berkaitan dengan rumah itu sendiri, baik pada simbol materi maupun simbol perilakunya. Simbol materi yang dimaksud di sini adalah untuk hal-hal yang bersifat fisik dan dapat ditangkap secara inderawi, di antaranya adalah: pola tata ruang dan tata massa bangunan, pola perwujudan bentuk bangunan, penggunaan material bangunan, dan desain ornamen-ornamen yang melekat. Sedangkan untuk simbol perilaku yang dimaksud adalah untuk hal-hal yang berkaitan dengan tindakan dari masyarakat Nusantara berkaitan dengan pembangunan rumahnya, diantaranya adalah mengenai ritual-ritual, laku batin, dan/atau gugon tuhon yang menyertai proses pembangunan sebuah rumah. Di Jawa misalnya, ritual bedah bumi untuk pertanda memulainya penggalian tanah untuk pondasi rumah, atau ritual munggah penuwun untuk memulai memasang balok kayu paling atas dari sebuah atap bangunan.
Sebagai realitas ciptaan, arsitektur Nusantara merupakan karya masterpiece, adiluhung, dan sophisticated jika dipandang dari aspek filosofis, kaidah-kaidah keseimbangan antara fungsi dan konstruksi, klimatologi, kepadatan pengguna dan area, komposisi bahan, proporsi, tampilan, garis tegas ornamen, sampai makna warna. Hal ini menunjukkan bahwa arsitektur Nusantara menjadi produk kebudayaan yang sarat kearifan lokal, bersifat objektif, dan karenanya teramati. Ini juga sebabnya arsitektur Nusantara memiliki kemampuan berkomunikasi melalui tanda grafis (sign) yang melekat padanya. Dalam artian bahwa tanda-tanda grafis (sign) arsitektural yang membangun arsitektur Nusantara adalah makna denotatif dan konotatif menurut sandi-sandi (codes). Apabila nilai simbolisme arsitektur Nusantara terletak pada caranya menyampaikan makna dari wujud suatu bangunan yang mengandung bobot ekspresi (signifer) dan bobot makna (signified), maka bobot ekspresi yang dimaksudkan tercermin pada perwujudan arsitekturnya. Bobot ekspresi ini meliputi ruang dan permukaannya (facade), sedangkan bobot makna yang dimaksud adalah media yang berisi muatan atau pesan yang hendak disampaikan.
Sebagai contoh, bangunan rumah tinggal di Jawa yang lazim dimaknai sebagai miniatur kosmos penghuninya. Bobot ekspresi dari arsitektur Jawa ini terkandung pada struktur tata ruang dan (facade) beserta ornamental designnya. Sementara itu, bobot maknanya terdapat pada makna simbolik dari perwujudan fisik bangunan tersebut yang meliputi struktur tata ruang, konstruksi, dan ornamental design. Pertama, makna simbolik dari typologi struktur tata ruang bangunan rumah Jawa yang cenderung dimaknai berkarakter feminim dapat diuraikan sebagai berikut.  
1)      Topengan (kuncungan), bagian bangunan ini berada di paling depan yang bersifat publik dan keberadaannya bisa ada atau dihilangkan. Artinya, bagian ini merupakan bukan wajah sebenarnya dari penghuninya yang lazim ditempatkan di bagian paling depan, sebagaimana topeng yang berfungsi sebagai kamlufase wajah sebenarnya.
2)      Pendapa, ruang ini berada di balik topengan (apabila ada) yang bersifat publik dan berfungsi untuk menerima tamu. Bagian ini dapat dianalogikan sebagai wajah asli dari penghuninya. Artinya, keramahan atau karakter penghuninya dapat dilihat dari tampilan ruang pendapa ini.
3)      Pringgitan, ruang ini berada di antara pendapa dan dalem ageng. Sesuai dengan namanya, ruang ini difungsikan sebagai tempat untuk menggelar ringgit (wayang kulit/wayang purwa). Keberadaan ruang ini dapat dianalogikan sebagai leher seorang perempuan yang tampak pantas dan lebih indah ketika diberi perhiasan. Lazimnya, semakin bagus dan mahal perhiasan yang dikenakan, status sosialnya akan semakin naik. Demikian pula status sosial dari penghuni rumah, apabila semakin sering menggelar ringgit, maka status sosialnya di mata masyarakat sekitarnya semakin naik.
4)      Dalem ageng, ruang ini bersifat privat, tertutup, dan sakral yang berada di belakang pringgitan. Keberadaan ruang ini dapat dianalogikan seperti tubuh perempuan yang harus tertutup (dibungkus baju) karena bersifat sakral. Namun demikian, di dalam ruang sakral ini ada yang lebih sakral lagi, yaitu keberadaan senthong (senthong kiwa, senthong tengah, dan senthong tengen). Oleh karenanya, selain mengenakan pakain untuk menutup tubuhnya, seorang perempuan juga mengenakan pakaian dalam karena ada yang lebih privat dan sakral untuk ditutupi dan dilindungi.
5)      Senthong kiwa, senthong tengen, dan senthong tengah. Tiga ruang yang berjajar di sisi belakang dalem ageng. Senthong kiwa dan tengen, kedua ruang ini berada berjajar simetris mengapit senthong tengah. Kedua ruang ini difungsikan sebagai ruang tidur. Secara fisik ruang ini tertutup dan memiliki daun pintu. Keberadaan ruang ini dapat dianalogikan seperti paha perempuan yang harus kokoh dan tertutup. Apabila tidak kokoh dan tertutup rapat, maka kebaradaan senthong tengah yang difungsikan untuk menyimpan benih-benih unggul pertanian dan hanya tertutup sehelai tirai putih akan sangat terancam. Keberadaan senthong tengah ini dapat dianalogikan sebagai rahim perempuan yang hanya dilindungi oleh selaput keperawanan. Oleh karenanya, secara simbolik pesan yang hendak disampaikan bahwa seorang perempuan akan dapat menjaga dan melahirkan bibit-bibit unggul apabila “senthong kiwa dan tengen” kokoh dan terlindungi agar “senthong tengahnya” tidak mudah terkoyak dan benih-benih yang tersimpan di dalamnya dapat terjaga dan tidak diambil oleh “burung-burung liar” yang pada saatnya dapat “disemaikan, dirawat, dan memberikan hasil yang sebaik-baiknya”.  

D. Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik dua simpulan sebagai berikut. Pertama, arsitektur Nusantara sebagai wujud budaya memiliki metafisikanya sendiri yang dibangun atas kesadaran dan diskursus pemilikinya melalui kearifan lokal sebagai bahasa ibunya yang selalu berorientasi pada kebenaran, keindahan, dan kebaikan dalam menjaga keselarasan alam dan ruang hidup bersama masyarakatnya. Oleh karena itu, kearifan lokal dapat dianggap sebagai bahasa ibu arsitektur Nusantara.
Kedua, nilai simbolisme arsitektur Nusantara terletak pada caranya menyampaikan makna dari wujud suatu bangunan yang mengandung bobot ekspresi (signifer) dan bobot makna (signified), maka bobot ekspresi yang dimaksudkan tercermin pada perwujudan arsitekturnya. Bobot ekspresi ini meliputi ruang dan permukaannya (facade), sedangkan bobot makna yang dimaksud adalah media yang berisi muatan atau pesan yang hendak disampaikan.

Daftar Pustaka
Eliade, Mircea. 2002. Mitos Gerak Kembali yang Abadi: Kosmos dan Sejarah. Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Mangunwijaya, Y.B. 1992. Wastu Citra, Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis, 2nd edn. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Muqoffa, Mohamad 1998. Aspek Jender Pada Dalem Bangsawan Di Surakarta Dalam Dinamika Perubahan Sosial (tesis). Bandung: Program Pascacarjana Institut Teknologi Bandung.
Nugroho, A. 1996. Menguak Hong Shui Kejawen, 2nd edn.  Solo: Aneka.
Pangarsa, Galih W. 2008. "Membaca Buku Teles dan Buku Garing". Makalah dipresentasikan pada Diskusi Ilmiah Arsitektur UNS, 12 Agustus 2008, di Jurusan Arsitektur UNS.
Pitana, T.S. 2001. "The Javanese Cosmology and Its Influence on Javanese Architecture" (tesis). Australia: James Cook University.
__________2010. Dekonstruksi Makna Simbolik Arsitektur Keraton Surakarta” (disertasi). Denpasar: Universitas Udayana.
Prijotomo, J.  2008. "Cerlangtara, Bukan Kearifan Lokal: Catatan Bagi Ke-liya-an Arsitektur Nusantara". Makalah dipresentasikan pada Diskusi Ilmiah Arsitektur UNS, 12 Agustus 2008.
__________1992. Ideas and Form of Javanese Arcitecture. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ronald, Arya 1993. Transformasi Nilai-nilai Mistik dan Simbolik Dalam Ekspresi Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Yogyakarta: Lembaga Javanologi Panunggalan.



[1] Makalah disampaikan dalam Focus Group Discussion Merah Putih Arsitektur Nusantara di Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang, pada tanggal 10 Februari 2015.
[2] Staf pengajar di Program Studi  Arsitektur Universitas Sebelas Maret Surakarta, Jl. Ir. Sutami 36 A, Surakarta, 57126; E-mail: titis_pitana@yahoo.com; HP: 08122974133.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar