Diskursus Arsitektur Nusantara Dalam Menjaga
Keselarasan Alam dan Ruang Bersama Masyarakat Dari Tekanan Modernitas
Titis S. Pitana*
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas
Maret Surakarta
titis_pitana@yahoo.com
ABSTRAK
Tulisan ini ditujukan untuk memahami diskursus arsitektur
Nusantara dalam menjaga keselarasan alam dan ruang bersama masyarakat dari
tekanan modernitas yang dalam ilmu dan praktek sosial merupakan jaringan
praktek pengetahuan dan kekuasaan. Apa yang dilakukan atau dibahas dalam diskursus, seperti
yang terjadi pada arsitektur Nusantara, adalah selalu kehendak dan kekuasaan yang dibedah dengan menggunakan metode kualitatif dan
teknik analisis data secara deskriptif kualitatif dan interpretatif yang
menggunakan pendekatan hermeneutik. Dalam hal ini karya arsitektur dianggap
sebagai sarana komunikasi visual yang pemaknaannya tidak akan pernah berhenti
dan ruang dianggap sebagai sesuatu yang merepresentasikan kejadian atau suatu
ikatan ingatan kolektif manusia. Hasil kajian ini ada dua. Pertama, memposisikan arsitektur Nusantara menjadi arsitektur
tradisional sama halnya membangun kesadaran bahwa arsitektur Nusantara sebagai
produk budaya kuno karena eksistensinya begitu terikat pada masa lalu. Kedua, kearifan lokal yang dikandung
dalam arsitektur Nusantara merupakan bahasa ibu masyarakat Nusantara dalam
berarsitektur yang memiliki metafisikanya sendiri yang dibangun atas kesadaran
dan diskursus pemilikinya.
Kata
kunci: diskursus, arsitektur
Nusantara, tekanan modernitas
1. Pendahuluan
Diskursus merupakan kategori manusia yang diproduksi dan direproduksi dengan berbagai aturan, sistem, dan prosedur yang membuatnya
terpisah dari kenormalan. Aturan, sistem, dan prosedur itulah yang disebut dengan istilah
“tata-wacana”, yaitu keseluruhan wilayah konseptual tempat pengetahuan itu
dikonstruksi, dibentuk dan dihasilkan (Lubis, 2004:148). Foucault
(2002:143-144) menegaskan bahwa ketika sebuah diskursus dilahirkan, maka diskursus
sebenarnya sudah dikontrol, diseleksi, diorganisasi, dan didistribusikan
kembali menurut kemauan pembuatnya karena diskursus/wacana tersebut
dikonstruksikan berdasarkan tata-aturan (episteme)
tertentu. Oleh karena itu, kebenaran
memiliki mata rantai dengan sistem kekuasaan.
Secara sederhana modernitas adalah perubahan,
yaitu perubahan terarah (directed change)
dan terencana (planning change). Ini berarti bahwa modernisasi diarahkan dan
direncanakan untuk mengubah paradigma kehidupan masyarakat, dari masyarakat
tradisional menjadi masyarakat modern. Sebagaimana lazim dipahami bahwa manusia
modern adalah orang yang mampu berfungsi efektif dalam sebuah bangsa yang
sedang mengalami pertumbuhan ekonomi; mampu berpartisipasi dalam membuat
keputusan politik; serta berperilaku dan keputusannya ditata berdasarkan norma
rasional. Kehidupan modern yang dipandang sebagai ciri masyarakat maju pada
akhirnya menjadi ideologi yang diperjuangkan oleh institusi sosial, seperti
birokrasi pemerintahan, kelompok kapitalis, bahkan lembaga adat. Kuatnya pesona
kehidupan modern telah menjadikan modernitas sebagai wacana hegemonik yang
merebut konsensus masyarakat dalam memaknai dan menjalani kehidupannya,
termasuk dalam memaknai dan menciptakan ruang hidup materialnya (arsitektur).
Diskursus dalam ilmu dan praktek sosial merupakan
jaringan praktek pengetahuan dan kekuasaan. White (Foucault, 2007:xiv) mengatakan bahwa apa
yang dilakukan atau dibahas dalam diskursus, seperti yang terjadi dengan yang
lain adalah selalu kehendak dan kekuasaan. Oleh karena itu, teori wacana kuasa
dan pengetahuan Foucault menolak teori positivisme dan segala teori sosial
alternatif yang berbau humanisme, seperti pendekatan Husserlian, Weberian, dan
Habermasian. Foucault menyebut metodenya dengan nama genealogi sebagai bentuk
penelusuran historis tentang bagaimana terbentuknya/terkonstruksinya berbagai
macam pengetahuan, objek-objek pengetahuan, dan wacana ilmiah, sebagaimana sejatinya yang dimiliki oleh
arsitektur Nusantara dalam menjaga kesalarasan alam dan ruang bersama
masyarakat dari tekanan modernitas.
Secara visual, karakter masyarakat dengan
modernisasi yang menyertainya dapat diidentifikasi dari arsitektur yang
merupakan pantulan (ekspresi) modernitas yang dijalani masyarakatnya. Menurut
Umberto Eco, ruang-ruang arsitektural merupakan sarana komunikasi visual yang
pemaknaannya tidak akan pernah berhenti. Tidak sekedar ada, tetapi selalu
mengada. Bahkan ruang dianggap sesuatu yang merepresentasikan kejadian atau
suatu ikatan ingatan kolektif. Ini berarti bahwa persoalan arsitektur bukan
hanya berhenti pada persoalan geometris, penciptaan ruang dan menghuninya,
melainkan lebih pada dimensi "kekinian" yang dalam istilah Derrida
disebut dengan "kemenjadian" (becoming);
bukan hanya ada (being), namun juga
mengada (beings). Malahan, dengan
mengikuti logika berfikir resepsi Jauss yang memahami sebuah teks atau kejadian
meliputi proses mediasi terus-menerus antara kini dan masa lampau, informasi
yang diberikan oleh simbol komunikasi visual tersebut menuntut penafsir
(subjek) selalu dikondisikan secara historis dan konteks kekiniannya
(Cavallaro, 2004:97). Ada dimensi kini dan masa depan yang dalam resepsi Jauss
disebut dengan "horizon harapan" yang bersifat kolektif.
Berdasar latar belakang di atas dapat dibuat dua
rumusan masalah yang dibahas dalam kajian ini, yaitu: 1) tekanan rasionalitas atas moralitas arsitektur Nusantara dalam modernisme; dan 2) diskursus kearifan dan
moralitas arsitektur Nusantara dalam menjaga kesalarasan alam dan ruang bersama
masyarakat.
2. Metode Penelitian
Kajian ini menggunakan metode kualitatif dan teknik analisis
data secara deskriptif kualitatif dan interpretatif yang menggunakan pendekatan
hermeneutik. Secara teoretis kajian ini memilih tiga dari enam cabang
pengklasifikasian hermeneutik dari Schleimacher (Bizawie, 2002:5). Adapun tiga
cabang yang dimaksud adalah (1) philosophical
hermeneutics, mengarahkan kajian untuk menafsirkan secara luas dan mendalam
tentang makna simbolik arsitektur Nusantara serta interelasinya dengan mentalitas budaya
masyarakat masa kini yang modern, terbuka, maju, dan berwawasan ke depan dalam menjaga keselarasan alam dan ruang
bersamanya; (2) dream
analysis, memposisikan wujud
arsitektur Nusantara sebagai konstruksi simbol-simbol budaya masyarakat Nusantara yang pada saat-saat tertentu direpresentasikan dalam kehidupan
kesehariannya; dan (3) social
hermeneutics, mengarahkan kajian untuk
dapat melakukan pemahaman mendasar terhadap hubungan timbal balik antara
pribadi manusia Nusantara dengan tindakan sosialnya, serta arah perkembangan mentalitas budaya yang
dituju.
Dalam kajian ini teori Diskursus dari Foucault
diposisikan sebagai teori utama untuk membahas dua rumusan masalah penelitian
yang dalam penggunaanya dibantu dengan tiga teori yang lain yang digunakan secara eklektik,
yakni (1) teori Strukturasi dari Giddens; dan (2) teori Semiotika Komunikasi Visual dari Eco; dan (3) teori Resepsi dari Jauss.
3. Hasil
dan Pembahasan
3.1. Tekanan Rasionalitas Atas Moralitas Arsitektur Nusantara Dalam Modernisme
Modernisme sebagai ‘struktur perasaan’ melibatkan
harapan, perubahan, ambiguitas, resiko, dan revisi kronis atas pengetahuan. Ini
semua diperkuat oleh proses sosial dan budaya diferensiasi, komodifikasi,
individualisasi, rasionalisasi, urbanisasi, dan birokratisasi (Barker,
2000:140). Sejalan dengan ini negara (pemerintah) memasuki periode yang
menggulirkan modernisasi dalam kerangka pembangunan. Oleh karena itu, tidak
dapat dihindari modernitas telah merebut konsensus masyarakat untuk
menyesuaikan pola pikir dan tindakannya dengan kondisi kekinian. Apalagi ketika
seluruh proses sosial dan budaya yang menjadi mesin penggerak modernisasi
dirasakan fungsional untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat untuk
mewujudkan cita-cita kemajuan yang diidam-idamkan. Artinya, modenitas bukan
saja menawarkan pesona kualitas kehidupan yang lebih baik, melainkan juga
menjadi kebutuhan dan kepentingan masyarakat dalam kerangka persaingan ekonomi
dan politik yang didialogkan dengan bidang-bidang kehidupan lainnya, tanpa
kecuali, termasuk dalam berarsitektur sebagai upaya menciptakan ruang hidup
material bagi manusia.
Kehidupan era modern ini diawali oleh lahirnya
budaya industri Barat yang dibentuk oleh semangat pembebasan diri dari
kebiasaan dan prasangka masa lalu untuk mengendalikan masa depan pada abad Pencerahan
(Enlightenment) yang oleh para
pemikir Barat disebut sebagai gerakan melawan pengaruh agama dan dogma, serta
ingin menggantikannya dengan pendekatan yang lebih berdasarkan akal budi dalam
kehidupan praktis. Kaum modernis berpandangan bahwa dengan semakin
berkembangnya ilmu dan teknologi, dunia seharusnya menjadi lebih stabil dan
tertib (Giddens, 2001:xiv).
Ini berarti kaum modernis berkeyakinan bahwa
segala permasalahan kehidupan di dunia dapat teratasi dengan kemajuan ilmu dan
teknologi. Menurut mereka, semakin manusia mampu memahami dunia dan dirinya
sendiri secara rasional, semakin dapat manusia membentuk sejarah untuk tujuan
hidupnya. Bahkan menurut Lubis (2006:51), modernisasi yang menekankan
pentingnya peran ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi instrumen dalam proses
humanisasi sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi diyakini dapat menjadi alat
untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Malahan bagi kaum modernis
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dianggap mampu mengendalikan dunia
sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi cenderung menjajah dan mengatasi
kesadaran manusia. Oleh karena itu, menurut Giddens (2001:xvi), apabila
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini tidak dibarengi dengan respons
dan strategi yang tepat, maka tidak jarang keduanya justru mempunyai dampak
yang sebaliknya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses
terbentuknya suatu respon dan strategi dalam menyikapi perubahan sebagai akibat
modernisasi telah menjadikan batas-batas sosial budaya masyarakat semakin luas
dan kabur, perubahan karakter komunitas semakin mencolok, ikatan-ikatan
tradisional semakin melemah karena otonomi individu-individu semakin kuat.
Selain itu, nilai-nilai tradisional yang merupakan acuan kebudayaan generik
harus didekonstruksikan dan tawar-menawar terhadap nilai-nilai yang berlaku
menjadikan setiap individu dalam suatu masyarakat memiliki banyak pilihan dalam
menentukan sikap hidupnya.
Perubahan yang terjadi secara meluas dalam
masyarakat akibat modernitas bukan saja menjelaskan bagaimana interaksi
masyarakat dengan berbagai faktor yang menentukan penataan sosial secara
meluas, tetapi juga tragedi universal kemanusiaan yang diakibatkan (Abdullah,
2006:143). Bahkan tragedi kemanusiaan yang bersifat universal ini merupakan
krisis global serius yang bersifat kompleks dan multidimensional, seperti
pengenduran tradisi, norma-norma, hukum, dan tatanan yang telah mapan pada
taraf yang mencengangkan, sebagaimana digambarkan Capra (2004:3) dalam kutipan
berikut.
“Pada awal dua dasa warsa terakhir abad kedua
puluh, kita menemukan diri kita berada dalam suatu krisis global yang serius,
yaitu suatu krisis kompleks dan multidimensional yang segi-seginya menyentuh
setiap aspek kehidupan kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan
hubungan sosial, ekonomi, teknologi, dan politik. Krisis ini merupakan krisis
dalam dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual; suatu krisis yang
belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia. Untuk
pertama kalinya kita dihadapkan pada ancaman kepunahan ras manusia yang nyata
dan semua bentuk kehidupan di planet ini”.
Menurut Abdullah (2006:143) kompleksitas realitas
ini didorong oleh globalisasi yang tidak dapat dihindari dan pasar yang telah
berubah menjadi kekuatan dominan dalam pembentukan nilai dan tatanan sosial.
Negara (penguasa) dan rakyat dihadapkan pada satu kenyataan yang tidak dapat
dihindarkan, yaitu modernisasi yang mengedepankan rasionalitas dalam segala
kehidupan yang selalu dibarengi dengan aktivitas pembangunan demi pemenuhan
tuntutan kebutuhan pasar. Ini artinya, negara dan rakyatnya dihadapkan pada dua
pilihan, yaitu menjadi agen perubahan atau objek perubahan itu sendiri.
Diferensiasi struktural merupakan proses yang
paling elementer dari modernisasi, seperti dijelaskan oleh para sosiolog
struktural-fungsionalisme. Hal ini juga ditegaskan oleh Lash (2004:207) bahwa
pada masyarakat yang sudah termodernisasi secara langsung banyak memiliki
struktur sosial dan kebudayaan yang sudah terdiferensiasi daripada masyarakat tradisional.
Proses diferensiasi ini terjadi ketika modernisasi dan globalisasi telah
memperkenalkan nilai baru dalam lingkungan tradisi, maka anggota komunitas
pendukung tradisi tersebut senantiasa mengalami proses diferensiasi
sosial-struktural serta suatu generalisasi nilai, norma, dan makna yang
menyertainya. Dalam hubungannya dengan kebudayaan, pergeseran itu telah memberi
kontribusi terhadap pengetahuan sebagai satuan budaya. Setiap orang yang telah
tersentuh sistem pengetahuannya oleh nilai-nilai baru akan mencoba memberi
makna baru bagi tatanan yang ada sebelumnya, tidak terkecuali hal-hal yang
bersifat normatif seperti tersurat dalam aturan adat dan tradisi, bahkan yang
tidak tersurat seperti dalam moralitas dan religiusitas suatu kaum.
Modernisasi yang ditandai dengan kuatnya pengaruh
sistem ekonomi dan budaya kapitalis menempatkan masyarakat dalam kerangka besar
budaya produksi dan konsumsi yang disalurkan melalui kekuatan pasar. Proses
materialisasi kehidupan telah mentransformasikan berbagai hal menjadi komoditi
sehingga terjadi proses komodifikasi secara meluas. Pasar telah mengantarkan
masyarakat modern pada model ekonomi kultural yang menempatkan seluruh objek
kultural sebagai komoditas (Lash, 2004:54). Pada masyarakat pasar inilah
komodifikasi objek-objek kultural termasuk di dalamnya arsitektur Nusantara
memasuki ranah kesadaran masyarakat untuk meneguhkan hegemoni modernitas.
Dalam kerangka inilah komodifikasi moralitas
masyarakat Nusantara dimaknai sebagai proses perubahan dalam kehidupan berarsitektur
karena arsitektur tidak lagi diposisikan sebagai wujud kesadaran masyarakat
Nusantara dalam membangun ruang hidup materialnya dengan moralitas yang dibagi
bersama, melainkan lebih merupakan rekognisi melalui proses konstruksi,
dekonstruksi, rekonstruksi yang bersifat individual dalam penafsiran dan
pemahaman secara terus-menerus. Ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat modern
seorang individu atau kelompok dengan mudah dapat meracik moralitasnya
berdasarkan pengetahuan, selera, dan kepentingannya dengan mengikuti logika
pasar. Dengan demikian, fungsi dan makna esensial (moralitas) dari
berarsitektur bukan lagi menjadi pertimbangan dominan untuk menjaga keselarasan
alam dan ruang bersama masyarakatnya, tetapi digantikan oleh pertimbangan nilai
tukar yang akan diperoleh. Semakin menguntungkan nilai tukar yang akan
diperoleh, maka semakin besar kemungkinan pilihan itu dijatuhkan. Pada titik
inilah dipandang perlu untuk tetap mempertahankan dan mengembangkan moralitas
yang merupakan makna esensial arsitektur Nusantara dalam konteks kekinian
sebagai wujud kesadaran masyarakat Nusantara dalam membangun ruang hidup
materialnya dengan moralitas yang dibagi bersama.
3.2. Diskursus Kearifan Lokal dan
Moralitas Arsitektur Nusantara Dalam Menjaga Kesalarasan Alam dan Ruang Bersama
Masyarakat
Diskursus dalam ilmu dan praktek sosial merupakan
jaringan praktek pengetahuan dan kekuasaan yang dibangun melalui bahasa. Oleh
karenanya, bahasa sebagai diskursus,
bukan semata-mata mempersoalkan ucapan dan/atau tulisan, tetapi semua pernyataan kultural karena
keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks yang mengandung nilai-nilai,
prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan tertentu. Sebagaimana bahasa
arsitektural yang bukan hanya mempersoalkan garis dan bidang, bahkan bukan
hanya mempersoalkan kaidah trinitas Marcus Vitruvius Pollio yang merupakan
sintesa antara kekuatan (durability
atau firmitas), kegunaan (convinience atau utilitas), dan keindahan (beauty
atau venustas), melainkan lebih pada
ekspresi kehendak dan kekuasaan yang berada di dalam ruang kesadaran manusia.
Dalam ruang kesadaran manusia, kehendak dan
kekuasaan ini adalah refleksi dari hasrat manusia. Manusia dengan hasratnya
telah mengembangkan arsitektur menjadi ilmu rancang bangun tidak hanya dibatasi
oleh ruang dan gatra (sesuatu yang
tampak terwujud) atau garis dan bidang. Akan tetapi, arsitektur telah
berkembang menjelajahi ruang kesadaran manusia jauh ke relung-relung keindahan
yang kemudian, diposisikan menjadi nilai ideal. Nilai keindahan inilah bahasa
manusia yang disampaikan dengan media arsitektur. Malahan Merleau-Ponty
mengatakan bahwa berarsitektur adalah berbahasa manusia dengan citra
unsur-unsurnya, baik dengan bahan material maupun bentuk dan komposisinya.
Begitulah bahasa arsitektur selalu menghadirkan nilai keindahan dengan penuh
kejujuran dan kewajaran, sebagaimana diungkapkan oleh Thomas Aquinas, 'pulchrum splendor est veritatis',
'keindahan adalah pancaran kebenaran' (Mangunwijaya, 1992:9-10).
Dalam konteks ruang kesadaran dalam arsitektur Nusantara,
khususnya manusia Jawa, pararel dengan diskursus Foucault adalah kata
“pengertian”, seperti dijelaskan oleh Magnis-Suseno (1999:200) bahwa pengertian
bagi manusia Jawa dekat dengan "kekuatan batin" (kesakten — pemusatan
kekuatan kosmis, pembenaran-diri), sebagaimana terungkap dalam kata “ngelmu”. Ngelmu sekaligus berarti
ilmu pengetahuan, pengertian (lebih-lebih dalam arti mistik), dan kekuatan
magis misalnya, dalam arti suatu kemampuan khusus untuk pembelaan diri secara
fisik. Dalam kata "pengertian" itu terdapat makna perluasan kekuasaan
pada manusia sendiri yang bersifat tetap, yaitu manusia yang memiliki rasa-sejati. Kata “pengertian” dapat
dipahami sebagai proses pembebasan dari keterikatan dalam bayang-bayang yang
sementara dan lahiriah. Pembebasan itu berkaitan dengan satu proses penghalusan
dan pembatinan daya persepsi batin. Dengan begitu, pengertian adalah suatu
proses perkembangan pada subjek yang mengerti itu sendiri. Pengertian subjek
yang mengerti sendiri itu akan mengalami pertumbuhan. Jadi, tekanan terletak
pada subjek yang mengerti, bukan pada objek pengertian yang harus diketahui —
sebagaimana ajaran etika Sokrates. Orang Jawa dalam ruang kesadarannya memahami
pengertian semacam ini sebagai rasa
yang secara inderawi dapat diartikan sebagai kepekaan terhadap lingkungan fisik
(termasuk dalam menjaga keselarasan alam dan ruang bersama masyarakatnya).
Sebagai makhluk berkesadaran, manusia tahu bahwa
ia mengetahui sesuatu tentang sesuatu. Ini dibuktikan dengan kemampuan berpikir
dan berkomunikasi yang dimiliki. Berpikir adalah berkata-kata dalam hati
sendiri dan berkomunikasi adalah berkata-kata antarsubjek. Mengingat kedua
kegiatan ini merupakan tindak tutur dengan menekankan pada penggunaan kata-kata
sehingga kegiatan semacam ini tidak dimungkinkan tanpa bahasa. Begitulah dengan
bahasa, manusia bisa saling memahami dan mewujudkan pengertian di antara
sesamanya. Kesalingpengertian dan pemahaman inilah yang dimaksud dengan
kesadaran dan di dalamnya bahasa menjadi alat dan wujud kesadaran itu sendiri.
Sebagaimana arsitektur Nusantara yang memiliki cara berbahasa tersendiri dan
merupakan wujud kesadaran masyarakat Nusantara dalam menciptakan ruang hidup
materialnya.
Ketika bahasa diterima menjadi wujud kesadaran
kolektif masyarakat manusia, maka manusia sudah menciptakan wacana di dalam
dunianya sendiri. Hal ini sejalan dengan pandangan Ricoeur (2002:17) tentang
proses pembentukan wacana yang dimulai dari makna suatu benda hingga
terbentuknya hubungan antarpredikat. Ditegaskannya, “Satu kata benda mempunyai
makna, dan sebagai pelengkap maknanya satu kata kerja mengisyaratkan dimensi
waktu. Hanya dengan kesinambungan keduanyalah yang akan mengedepankan suatu
ikatan predikat yang dapat disebut sebagai logos
atau wacana”.
Pengandaian arsitektur sebagai bahasa sama halnya
menjadikan arsitektur sebagai teks budaya yang harus dibaca untuk dapat
diungkap makna yang dikandungnya. Ini berarti bahwa setiap elemen yang
terkandung di dalam arsitektur Nusantara dapat dianalogikan sebagai “kata” yang
dapat dirangkai untuk mengungkapkan maksud sebagaimana fungsi bahasa sebagai
alat komunikasi yang selanjutnya dapat disebut sebagai wujud kesadaran kolektif
masyarakat. Dalam bahasa Jawa misalnya, terdapat ungkapan tembung momot dunung yang dapat diartikan bahwa setiap kata selalu
memiliki akar dan kesesuaian dengan konteks (ruang dan waktu). Sebagaimana
arsitektur Nusantara yang lazim dimaknai sebagai kesatuan tiga unsur. Pertama, relasi dengan jiwa cipta (wastu), yaitu konstruksi merupakan
perwujudan jiwa penciptaan yang memiliki dimensi kebenaran, keindahan, dan
kebaikan yang selalu menjaga keselarasan dengan lingkungan (alam dan
masyarakatnya); kedua, relasi dengan
sumber daya (kalang), yaitu
konstruksi yang diorientasikan pada keindahan dan keberkahan (keselarasan alam
demi keberlangsungan hidup dan kehidupan); dan ketiga, relasi dengan wujud (wewangunan),
yaitu konstruksi merupakan ekspresi dari kepatutan/kepantasan sikap hidup
manusia dalam menjaga keselarasan alam dan ruang hidup bersama masyarakat.
Pararelitas di atas setidaknya menunjukkan bahwa
setiap elemen yang terdapat dalam arsitektur Nusantara bukanlah sesuatu tanpa
landasan dan alasan, namun hasil dari mesu
budi dan laku kasutapan, bahkan
dapat dikatakan hasil konteplasi pemikiran manusia. Sebagai contoh, manusia
Jawa meyakini bahwa antara ”wadah” dengan ”isi” diperlukan adanya keseimbangan,
kesejajaran, bahkan keterpaduan sehingga tercipta ketenteraman batin,
kesejahteraan, dan kemakmuran dalam hidup dan kehidupan. Keyakinan ini seperti
yang terkandung dalam wejangan Sang Dewa Ruci pada Bima dalam Serat Dewa Ruci
yang dikutip Mangunwijaya (1992:3) berikut ini.
“Kang
ingaran urip mono mung jumbuhing badan wadaq lan batine,
pepindhane
wadhah lan isine…
Jeneng
wadah yen tanpa isi, alah dene arane wadhah, tanpa tanja tan ana pigunane
semono uga isi tanpa wadhah, yekti
barang mokal…
Tumrap urip kang utama tertamtu ambutuhake wadhah lan isi,
kang utama karo-karone.”
Terjemahan bebasnya:
Yang disebut hidup adalah manunggalnya tubuh dan
batin (raga dan jiwa),
ibarat wadah dan isinya…
Wadah tanpa isi, adalah sia-sia disebut wadah,
tidak akan berarti dan berguna.
Demikian juga isi tanpa wadah, adalah sesuatu
yang mustahil…
Untuk hidup yang sempurna membutuhkan wadah dan
isi,
yang utama adalah kedua-duanya.
Subjektifitas dan interpretasi bebas mengenai
kutipan Serat Dewa Ruci tersebut mengarahkan kepada suatu analogi pandangan
manusia Jawa mengenai keberadaan
makrokosmos (jagad gede = jagad raya)
dan mikrokosmos (jagad cilik = diri
manusia) yang akhirnya menghasilkan empat asumsi dasar untuk dijadikan pijakan
argumen dalam pembahasan mengenai kesadaran manusia terhadap ruang hidup
materialnya (arsitektur).
Pertama, pandangan manusia Jawa terhadap kosmosnya
merupakan bentuk nilai tetap yang selalu hadir dalam kehidupannya. Kesejajaran antara wadah dan isi tersebut dilambangkan
dengan adanya suatu konsep kesatuan makrokosmos (alam raya) dengan mikrokosmos
(manusia). Konsep kemanunggalan
makrokosmos dan mikrokosmos diartikan bahwa manusia telah menjalin hubungan
dengan kekuatan di luar dirinya yang jauh lebih besar
sehingga manusia bersangkutan akan terjaga dan mampu meningkatkan kekuatannya
menjadi lebih besar yang pada akhirnya, akan mampu mendatangkan kesejahteraan,
kesuburan, dan hal-hal positif lainnya bagi hidup dan kehidupan manusia
(Ronald, 1993:30).
Kedua, etika hidup manusia Jawa dalam interaksi sosial
diatur melalui prinsip rukun dan hormat dalam menjaga keselarasan hidup. Kesadaran keberadaan manusia Jawa sebagai makhluk
individu dan sosial dapat dilihat dari sistem moral dalam hidup kesehariannya.
Dengan etika ini manusia Jawa sangat menghargai adanya perbedaan. Perbedaan
jenjang kedudukan yang ada dalam masyarakat dimaknai sebagai perbedaan peran
dan tanggung jawab. Malahan kesadaran akan perbedaan ini merupakan salah satu
bentuk cara manusia Jawa dalam menciptakan keseimbangan dan keselarasan
hidupnya. Mereka mengenal adanya tiga tingkatan etika sebagai pengatur
kehidupan sosialnya dengan tidak mengabaikan keberadaannya sebagai makhluk
pribadi sebagai berikut.
(1)
Etika keluarga, yaitu etika yang digunakan dalam kelompok terkecil yang
disebut lingkup keluarga.
(2)
Etika antarkeluarga, yaitu etika yang digunakan dalam kehidupan lebih luas
daripada lingkup keluarga, tepatnya antarkelompok (keluarga).
(3)
Etika umum, yaitu etika yang digunakan dalam lingkup masyarakat luas. Pada
kesehariannya, manusia Jawa lebih mengutamakan etika yang lebih luas, atau
lebih mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi atau
kelompok yang lebih kecil.
Ketiga, rukun dan hormat sebagai
upaya menjaga keselarasan hidup merupakan ”prinsip pencegahan konflik”
(Magnis-Suseno, 1991:40). Artinya, manusia Jawa sangat terbuka dalam menerima
suatu perubahan akibat interaksi sosial yang dijalani demi terjaganya
keselarasan. Perubahan yang paling banyak terjadi adalah pada sistem nilai
terutama pada produk-produk budayanya, sedangkan untuk norma yang diwujudkan
pada perilaku relatif tidak berubah, sehingga nilai-nilai dari luar yang
dianggap baik dan sesuai dijadikan sebagai sumber pengkayaan budaya Jawa.
Keempat, identitas diri yang
terbentuk diungkapkan melalui pikiran dan perbuatan yang total, berlandasan dan
beralasan. Dalam ruang hidup materialnya hal tersebut dikomunikasikan secara
tidak langsung, diungkapkan dengan menggunakan simbol sehingga pembacaan ulang
terhadap simbol tersebut (pemaknaan ulang) dapat dilakukan sesuai dengan
semangat zamannya.
Dalam konteks arsitektur Nusantara, simbol
kearifan lokal yang melekat lazimnya dimaknai sebagai sesuatu yang memiliki
nilai fungsional dan bersifat hidup yang merupakan bangun pengetahuan yang bersumber dari nilai-nilai dan potensi lokal yang diwacanakan secara lisan dari generasi ke generasi
yang akhirnya disebut kebudayaan tradisional. Namun demikian, harus diakui
bahwa kebenaran tidak selalu terdapat pada yang baru (modern), tetapi juga pada
yang tradisional, bahkan kebenaran tersebar pada sepanjang pengalaman manusia,
terfragmentasi sesuai dengan ruang dan waktu realitas berada, dan bukan hanya
ditentukan berdasarkan akal dan rasional. Mengingat pada dasarnya simbol arsitektur Nusantara mengandaikan bahwa
perwujudan yang terpilih adalah formulasi yang paling baik tentang sesuatu yang
relatif tidak populer atau tidak dikenali sebelumnya sebagai simbol, tetapi hal
itu diketahui sebagai hal yang ada atau diharapkan ada. Sebagaimana
perwujudan arsitektur Nusantara yang secara semiotik dikatakan sebagai sarana
komunikasi visual.
Dari cara pandang antropologis, berdasarkan
kehidupan tradisionalnya, masyarakat
Nusantara dapat digolongkan sebagai
masyarakat yang arkais, yaitu masyarakat yang
memiliki karakter sebagaimana
diidentifikasikan Eliade (2002) berikut.
(1) Kosmologi menduduki tempat utama pada
kehidupannya. Pandangan tentang kehidupan dan dunia membentuk satu kesatuan dan
keseluruhan yang organis.
(2) Hampir keseluruhan pemikirannya pertama-tama
diungkapkan dalam bentuk simbol. Mereka tidak membedakan mitos dengan sejarah. Tidak ada sejarah yang hanya
sejarah belaka. Sejarah adalah sesuatu yang
mengungkapkan kejadian-kejadian suci.
(3) Memiliki tingkah laku yang bersifat eksistensial,
artinya praktek-praktek dan kepercayaan religi selalu berpusat pada
masalah-masalah fundamental kehidupan manusia.
(4) Kehidupannya merupakan suatu sakramen. Realitas
yang paling utama ialah Yang Suci (Kudus). Mereka hidup di alam semesta berada di bawah
pengaruh Yang Suci. Mereka memiliki kerinduan yang dalam untuk tinggal dalam
suatu dunia yang suci bersama Yang Suci. Karena itu mereka kelihatan sangat
religius.
Dalam konteks arsitektur, pengandaian perwujudan
arsitektur Nusantara sebagai bahasa (sarana komunikasi visual) dalam membangun
kesadaran kolektif masyarakatnya memerlukan bahasa yang dikuasai dan dipahami
oleh masyarakat itu sendiri yang lazim disebut “bahasa ibu”, yaitu bahasa yang
bersumber pada lokalitas dan moralitas masyarakat pendukungnya. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa apabila masyarakat Nusantara digolongkan sebagai
masyarakat arkais dan menjadikan kearifan lokal sebagai dasar pengembangan
arsitektur Nusantara yang selalu berorientasi pada kebenaran, keindahan, dan
kebaikan dalam menjaga keselarasan alam dan ruang hidup bersama masyarakatnya,
maka kearifan lokal dapat dianggap sebagai bahasa ibu arsitektur
Nusantara.
4. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam kajian ini dapat
ditarik dua simpulan sebagai berikut.
1)
Tekanan rasionalitas atas moralitas arsitektur Nusantara dalam modernisme menjadikan fungsi dan makna esensial
(moralitas) dari berarsitektur bukan lagi menjadi pertimbangan dominan untuk
menjaga keselarasan alam dan ruang bersama masyarakatnya, tetapi digantikan
oleh pertimbangan nilai tukar yang akan diperoleh. Oleh karenanya, moralitas
yang dikandung arsitektur Nusantara hendaknya senantiasa dipertahankan dan
dikembangkan dalam konteks kekinian sehingga arsitektur Nusantara tidak lagi
diposisikan sebagai produk budaya kuno yang eksistensinya begitu terikat pada
masa lalu, namun dimaknai sebagai arsitektur masa depan yang mampu menjaga
keselarasan alam dan ruang bersama masyarakat.
2)
Arsitektur Nusantara sebagai
bahasa (sarana komunikasi visual) dalam membangun kesadaran kolektif
masyarakatnya memerlukan bahasa yang dikuasai dan dipahami oleh masyarakat itu
sendiri yang lazim disebut “bahasa ibu”, yaitu bahasa yang bersumber pada
lokalitas dan moralitas masyarakat pendukungnya yang selanjutnya disebut dengan
kearifan lokal. Oleh karenanya, kearifan lokal hendaknya dijadikan dasar
pengembangan arsitektur Nusantara yang selalu berorientasi pada kebenaran,
keindahan, dan kebaikan dalam menjaga keselarasan alam dan ruang hidup bersama
masyarakat.
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies Teori dan Praktek. Yogyakarta:
Bentang.
Bizawie, Zainul
Milal. 2002. Perlawanan Kultural Agama Rakyat: Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh
Ahmad al-Mutamakkin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi (1645-1740). Yogyakarta: SAMHA.
Capra, Fritjof.
2004. Titik Balik Peradaban Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. Yogyakarta:
Bentang Budaya.
Cavallaro, Dani.
2004. Teori Kritis dan Teori Budaya.
Yogyakarta: Niagara.
Foucault, Michel. 2007. Order of Thing: Arkeologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
________. 2002. Pengetahuan
dan Metode: Karya-karya Penting Michel Foucault. Yogyakarta: Jalasutra.
Giddens,
Anthony. 2001. Runaway World: Bagaimana
Globalisasi Merombak Kehidupan Kita. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Larson,
Goerge D. 1990. Masa Menjelang Revolusi:
Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912 – 1942 (terjemahan oleh:
Lapian, A.B.). Yogyakarta: Gajah Mada Press.
Lash, Scott. 2004. Sosiologi
Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius
Lubis, Akhyar Yusuf.
2004. Setelah Kebenaran dan Kepastian Dihancurkan Masih Adakah Tempat
Berpijak Bagi Ilmuwan: Sebuah Uraian Filsafat Ilmu Pengetahuan Kaum
Posmodernis. Bogor:
Akademia.
Magnis-Suseno, F. 1991. Wayang dan Panggilan Manusia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Mangunwijaya, Y.B. 1992. Wastu Citra, Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi
Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis, 2nd edn. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Ricoeur, Paul. 2002. Filsafat
Wacana Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa. Yogyakarta: IRCiSod.
Ronald,
Arya. 1993. Transformasi Nilai-nilai
Mistik dan Simbolik Dalam Ekspresi Arsitektur Rumah Tradisional Jawa.
Yogyakarta: Lembaga Javanologi Panunggalan.