Jumat, 13 Februari 2015

Bahasa Ibu Arsitektur Nusantara



Diskursus Arsitektur Nusantara Dalam Menjaga Keselarasan Alam dan Ruang Bersama Masyarakat Dari Tekanan Modernitas

Titis S. Pitana*

Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret Surakarta
titis_pitana@yahoo.com

ABSTRAK

Tulisan ini ditujukan untuk memahami diskursus arsitektur Nusantara dalam menjaga keselarasan alam dan ruang bersama masyarakat dari tekanan modernitas yang dalam ilmu dan praktek sosial merupakan jaringan praktek pengetahuan dan kekuasaan. Apa yang dilakukan atau dibahas dalam diskursus, seperti yang terjadi pada arsitektur Nusantara, adalah selalu kehendak dan kekuasaan yang dibedah dengan menggunakan metode kualitatif dan teknik analisis data secara deskriptif kualitatif dan interpretatif yang menggunakan pendekatan hermeneutik. Dalam hal ini karya arsitektur dianggap sebagai sarana komunikasi visual yang pemaknaannya tidak akan pernah berhenti dan ruang dianggap sebagai sesuatu yang merepresentasikan kejadian atau suatu ikatan ingatan kolektif manusia. Hasil kajian ini ada dua. Pertama, memposisikan arsitektur Nusantara menjadi arsitektur tradisional sama halnya membangun kesadaran bahwa arsitektur Nusantara sebagai produk budaya kuno karena eksistensinya begitu terikat pada masa lalu. Kedua, kearifan lokal yang dikandung dalam arsitektur Nusantara merupakan bahasa ibu masyarakat Nusantara dalam berarsitektur yang memiliki metafisikanya sendiri yang dibangun atas kesadaran dan diskursus pemilikinya.

Kata kunci: diskursus, arsitektur Nusantara, tekanan modernitas
                                                                            


1.            Pendahuluan

Diskursus merupakan kategori manusia yang diproduksi dan direproduksi dengan berbagai aturan, sistem, dan prosedur yang membuatnya terpisah dari kenormalan. Aturan, sistem, dan prosedur itulah yang disebut dengan istilah “tata-wacana”, yaitu keseluruhan wilayah konseptual tempat pengetahuan itu dikonstruksi, dibentuk dan dihasilkan (Lubis, 2004:148). Foucault (2002:143-144) menegaskan bahwa ketika sebuah diskursus dilahirkan, maka diskursus sebenarnya sudah dikontrol, diseleksi, diorganisasi, dan didistribusikan kembali menurut kemauan pembuatnya karena diskursus/wacana tersebut dikonstruksikan berdasarkan tata-aturan (episteme) tertentu. Oleh karena itu, kebenaran memiliki mata rantai dengan sistem kekuasaan.
Secara sederhana modernitas adalah perubahan, yaitu perubahan terarah (directed change) dan terencana (planning change). Ini berarti bahwa modernisasi diarahkan dan direncanakan untuk mengubah paradigma kehidupan masyarakat, dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern. Sebagaimana lazim dipahami bahwa manusia modern adalah orang yang mampu berfungsi efektif dalam sebuah bangsa yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi; mampu berpartisipasi dalam membuat keputusan politik; serta berperilaku dan keputusannya ditata berdasarkan norma rasional. Kehidupan modern yang dipandang sebagai ciri masyarakat maju pada akhirnya menjadi ideologi yang diperjuangkan oleh institusi sosial, seperti birokrasi pemerintahan, kelompok kapitalis, bahkan lembaga adat. Kuatnya pesona kehidupan modern telah menjadikan modernitas sebagai wacana hegemonik yang merebut konsensus masyarakat dalam memaknai dan menjalani kehidupannya, termasuk dalam memaknai dan menciptakan ruang hidup materialnya (arsitektur).
Diskursus dalam ilmu dan praktek sosial merupakan jaringan praktek pengetahuan dan kekuasaan. White (Foucault, 2007:xiv) mengatakan bahwa apa yang dilakukan atau dibahas dalam diskursus, seperti yang terjadi dengan yang lain adalah selalu kehendak dan kekuasaan. Oleh karena itu, teori wacana kuasa dan pengetahuan Foucault menolak teori positivisme dan segala teori sosial alternatif yang berbau humanisme, seperti pendekatan Husserlian, Weberian, dan Habermasian. Foucault menyebut metodenya dengan nama genealogi sebagai bentuk penelusuran historis tentang bagaimana terbentuknya/terkonstruksinya berbagai macam pengetahuan, objek-objek pengetahuan, dan wacana ilmiah, sebagaimana sejatinya yang dimiliki oleh arsitektur Nusantara dalam menjaga kesalarasan alam dan ruang bersama masyarakat dari tekanan modernitas.
Secara visual, karakter masyarakat dengan modernisasi yang menyertainya dapat diidentifikasi dari arsitektur yang merupakan pantulan (ekspresi) modernitas yang dijalani masyarakatnya. Menurut Umberto Eco, ruang-ruang arsitektural merupakan sarana komunikasi visual yang pemaknaannya tidak akan pernah berhenti. Tidak sekedar ada, tetapi selalu mengada. Bahkan ruang dianggap sesuatu yang merepresentasikan kejadian atau suatu ikatan ingatan kolektif. Ini berarti bahwa persoalan arsitektur bukan hanya berhenti pada persoalan geometris, penciptaan ruang dan menghuninya, melainkan lebih pada dimensi "kekinian" yang dalam istilah Derrida disebut dengan "kemenjadian" (becoming); bukan hanya ada (being), namun juga mengada (beings). Malahan, dengan mengikuti logika berfikir resepsi Jauss yang memahami sebuah teks atau kejadian meliputi proses mediasi terus-menerus antara kini dan masa lampau, informasi yang diberikan oleh simbol komunikasi visual tersebut menuntut penafsir (subjek) selalu dikondisikan secara historis dan konteks kekiniannya (Cavallaro, 2004:97). Ada dimensi kini dan masa depan yang dalam resepsi Jauss disebut dengan "horizon harapan" yang bersifat kolektif.
Berdasar latar belakang di atas dapat dibuat dua rumusan masalah yang dibahas dalam kajian ini, yaitu: 1) tekanan rasionalitas atas moralitas arsitektur Nusantara dalam modernisme; dan 2) diskursus kearifan dan moralitas arsitektur Nusantara dalam menjaga kesalarasan alam dan ruang bersama masyarakat.

2.            Metode Penelitian

Kajian ini menggunakan metode kualitatif dan teknik analisis data secara deskriptif kualitatif dan interpretatif yang menggunakan pendekatan hermeneutik. Secara teoretis kajian ini memilih tiga dari enam cabang pengklasifikasian hermeneutik dari Schleimacher (Bizawie, 2002:5). Adapun tiga cabang yang dimaksud adalah (1) philosophical hermeneutics, mengarahkan kajian untuk menafsirkan secara luas dan mendalam tentang makna simbolik arsitektur Nusantara serta interelasinya dengan mentalitas budaya masyarakat masa kini yang modern, terbuka, maju, dan berwawasan ke depan dalam menjaga keselarasan alam dan ruang bersamanya; (2) dream analysis,  memposisikan wujud arsitektur Nusantara sebagai konstruksi simbol-simbol budaya masyarakat Nusantara yang pada saat-saat tertentu direpresentasikan dalam kehidupan kesehariannya; dan (3) social hermeneutics, mengarahkan kajian untuk dapat melakukan pemahaman mendasar terhadap hubungan timbal balik antara pribadi manusia Nusantara dengan tindakan sosialnya, serta arah perkembangan mentalitas budaya yang dituju.
Dalam kajian ini teori Diskursus dari Foucault diposisikan sebagai teori utama untuk membahas dua rumusan masalah penelitian yang dalam penggunaanya dibantu dengan tiga teori yang lain yang digunakan secara eklektik, yakni (1) teori Strukturasi dari Giddens; dan (2) teori Semiotika Komunikasi Visual dari Eco; dan (3) teori Resepsi dari Jauss.

3.            Hasil dan Pembahasan

3.1.         Tekanan Rasionalitas Atas Moralitas Arsitektur Nusantara Dalam Modernisme

Modernisme sebagai ‘struktur perasaan’ melibatkan harapan, perubahan, ambiguitas, resiko, dan revisi kronis atas pengetahuan. Ini semua diperkuat oleh proses sosial dan budaya diferensiasi, komodifikasi, individualisasi, rasionalisasi, urbanisasi, dan birokratisasi (Barker, 2000:140). Sejalan dengan ini negara (pemerintah) memasuki periode yang menggulirkan modernisasi dalam kerangka pembangunan. Oleh karena itu, tidak dapat dihindari modernitas telah merebut konsensus masyarakat untuk menyesuaikan pola pikir dan tindakannya dengan kondisi kekinian. Apalagi ketika seluruh proses sosial dan budaya yang menjadi mesin penggerak modernisasi dirasakan fungsional untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat untuk mewujudkan cita-cita kemajuan yang diidam-idamkan. Artinya, modenitas bukan saja menawarkan pesona kualitas kehidupan yang lebih baik, melainkan juga menjadi kebutuhan dan kepentingan masyarakat dalam kerangka persaingan ekonomi dan politik yang didialogkan dengan bidang-bidang kehidupan lainnya, tanpa kecuali, termasuk dalam berarsitektur sebagai upaya menciptakan ruang hidup material bagi manusia. 
Kehidupan era modern ini diawali oleh lahirnya budaya industri Barat yang dibentuk oleh semangat pembebasan diri dari kebiasaan dan prasangka masa lalu untuk mengendalikan masa depan pada abad Pencerahan (Enlightenment) yang oleh para pemikir Barat disebut sebagai gerakan melawan pengaruh agama dan dogma, serta ingin menggantikannya dengan pendekatan yang lebih berdasarkan akal budi dalam kehidupan praktis. Kaum modernis berpandangan bahwa dengan semakin berkembangnya ilmu dan teknologi, dunia seharusnya menjadi lebih stabil dan tertib (Giddens, 2001:xiv).
Ini berarti kaum modernis berkeyakinan bahwa segala permasalahan kehidupan di dunia dapat teratasi dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Menurut mereka, semakin manusia mampu memahami dunia dan dirinya sendiri secara rasional, semakin dapat manusia membentuk sejarah untuk tujuan hidupnya. Bahkan menurut Lubis (2006:51), modernisasi yang menekankan pentingnya peran ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi instrumen dalam proses humanisasi sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi diyakini dapat menjadi alat untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Malahan bagi kaum modernis kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dianggap mampu mengendalikan dunia sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi cenderung menjajah dan mengatasi kesadaran manusia. Oleh karena itu, menurut Giddens (2001:xvi), apabila perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini tidak dibarengi dengan respons dan strategi yang tepat, maka tidak jarang keduanya justru mempunyai dampak yang sebaliknya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses terbentuknya suatu respon dan strategi dalam menyikapi perubahan sebagai akibat modernisasi telah menjadikan batas-batas sosial budaya masyarakat semakin luas dan kabur, perubahan karakter komunitas semakin mencolok, ikatan-ikatan tradisional semakin melemah karena otonomi individu-individu semakin kuat. Selain itu, nilai-nilai tradisional yang merupakan acuan kebudayaan generik harus didekonstruksikan dan tawar-menawar terhadap nilai-nilai yang berlaku menjadikan setiap individu dalam suatu masyarakat memiliki banyak pilihan dalam menentukan sikap hidupnya.
Perubahan yang terjadi secara meluas dalam masyarakat akibat modernitas bukan saja menjelaskan bagaimana interaksi masyarakat dengan berbagai faktor yang menentukan penataan sosial secara meluas, tetapi juga tragedi universal kemanusiaan yang diakibatkan (Abdullah, 2006:143). Bahkan tragedi kemanusiaan yang bersifat universal ini merupakan krisis global serius yang bersifat kompleks dan multidimensional, seperti pengenduran tradisi, norma-norma, hukum, dan tatanan yang telah mapan pada taraf yang mencengangkan, sebagaimana digambarkan Capra (2004:3) dalam kutipan berikut.
“Pada awal dua dasa warsa terakhir abad kedua puluh, kita menemukan diri kita berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks dan multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi, teknologi, dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual; suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia. Untuk pertama kalinya kita dihadapkan pada ancaman kepunahan ras manusia yang nyata dan semua bentuk kehidupan di planet ini”.
Menurut Abdullah (2006:143) kompleksitas realitas ini didorong oleh globalisasi yang tidak dapat dihindari dan pasar yang telah berubah menjadi kekuatan dominan dalam pembentukan nilai dan tatanan sosial. Negara (penguasa) dan rakyat dihadapkan pada satu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan, yaitu modernisasi yang mengedepankan rasionalitas dalam segala kehidupan yang selalu dibarengi dengan aktivitas pembangunan demi pemenuhan tuntutan kebutuhan pasar. Ini artinya, negara dan rakyatnya dihadapkan pada dua pilihan, yaitu menjadi agen perubahan atau objek perubahan itu sendiri.
Diferensiasi struktural merupakan proses yang paling elementer dari modernisasi, seperti dijelaskan oleh para sosiolog struktural-fungsionalisme. Hal ini juga ditegaskan oleh Lash (2004:207) bahwa pada masyarakat yang sudah termodernisasi secara langsung banyak memiliki struktur sosial dan kebudayaan yang sudah terdiferensiasi daripada masyarakat tradisional. Proses diferensiasi ini terjadi ketika modernisasi dan globalisasi telah memperkenalkan nilai baru dalam lingkungan tradisi, maka anggota komunitas pendukung tradisi tersebut senantiasa mengalami proses diferensiasi sosial-struktural serta suatu generalisasi nilai, norma, dan makna yang menyertainya. Dalam hubungannya dengan kebudayaan, pergeseran itu telah memberi kontribusi terhadap pengetahuan sebagai satuan budaya. Setiap orang yang telah tersentuh sistem pengetahuannya oleh nilai-nilai baru akan mencoba memberi makna baru bagi tatanan yang ada sebelumnya, tidak terkecuali hal-hal yang bersifat normatif seperti tersurat dalam aturan adat dan tradisi, bahkan yang tidak tersurat seperti dalam moralitas dan religiusitas suatu kaum.
Modernisasi yang ditandai dengan kuatnya pengaruh sistem ekonomi dan budaya kapitalis menempatkan masyarakat dalam kerangka besar budaya produksi dan konsumsi yang disalurkan melalui kekuatan pasar. Proses materialisasi kehidupan telah mentransformasikan berbagai hal menjadi komoditi sehingga terjadi proses komodifikasi secara meluas. Pasar telah mengantarkan masyarakat modern pada model ekonomi kultural yang menempatkan seluruh objek kultural sebagai komoditas (Lash, 2004:54). Pada masyarakat pasar inilah komodifikasi objek-objek kultural termasuk di dalamnya arsitektur Nusantara memasuki ranah kesadaran masyarakat untuk meneguhkan hegemoni modernitas.
Dalam kerangka inilah komodifikasi moralitas masyarakat Nusantara dimaknai sebagai proses perubahan dalam kehidupan berarsitektur karena arsitektur tidak lagi diposisikan sebagai wujud kesadaran masyarakat Nusantara dalam membangun ruang hidup materialnya dengan moralitas yang dibagi bersama, melainkan lebih merupakan rekognisi melalui proses konstruksi, dekonstruksi, rekonstruksi yang bersifat individual dalam penafsiran dan pemahaman secara terus-menerus. Ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat modern seorang individu atau kelompok dengan mudah dapat meracik moralitasnya berdasarkan pengetahuan, selera, dan kepentingannya dengan mengikuti logika pasar. Dengan demikian, fungsi dan makna esensial (moralitas) dari berarsitektur bukan lagi menjadi pertimbangan dominan untuk menjaga keselarasan alam dan ruang bersama masyarakatnya, tetapi digantikan oleh pertimbangan nilai tukar yang akan diperoleh. Semakin menguntungkan nilai tukar yang akan diperoleh, maka semakin besar kemungkinan pilihan itu dijatuhkan. Pada titik inilah dipandang perlu untuk tetap mempertahankan dan mengembangkan moralitas yang merupakan makna esensial arsitektur Nusantara dalam konteks kekinian sebagai wujud kesadaran masyarakat Nusantara dalam membangun ruang hidup materialnya dengan moralitas yang dibagi bersama.

3.2.         Diskursus Kearifan Lokal dan Moralitas Arsitektur Nusantara Dalam Menjaga Kesalarasan Alam dan Ruang Bersama Masyarakat

Diskursus dalam ilmu dan praktek sosial merupakan jaringan praktek pengetahuan dan kekuasaan yang dibangun melalui bahasa. Oleh karenanya, bahasa sebagai diskursus, bukan semata-mata mempersoalkan ucapan dan/atau tulisan, tetapi semua pernyataan kultural karena keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks yang mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan tertentu. Sebagaimana bahasa arsitektural yang bukan hanya mempersoalkan garis dan bidang, bahkan bukan hanya mempersoalkan kaidah trinitas Marcus Vitruvius Pollio yang merupakan sintesa antara kekuatan (durability atau firmitas), kegunaan (convinience atau utilitas), dan keindahan (beauty atau venustas), melainkan lebih pada ekspresi kehendak dan kekuasaan yang berada di dalam ruang kesadaran manusia.
Dalam ruang kesadaran manusia, kehendak dan kekuasaan ini adalah refleksi dari hasrat manusia. Manusia dengan hasratnya telah mengembangkan arsitektur menjadi ilmu rancang bangun tidak hanya dibatasi oleh ruang dan gatra (sesuatu yang tampak terwujud) atau garis dan bidang. Akan tetapi, arsitektur telah berkembang menjelajahi ruang kesadaran manusia jauh ke relung-relung keindahan yang kemudian, diposisikan menjadi nilai ideal. Nilai keindahan inilah bahasa manusia yang disampaikan dengan media arsitektur. Malahan Merleau-Ponty mengatakan bahwa berarsitektur adalah berbahasa manusia dengan citra unsur-unsurnya, baik dengan bahan material maupun bentuk dan komposisinya. Begitulah bahasa arsitektur selalu menghadirkan nilai keindahan dengan penuh kejujuran dan kewajaran, sebagaimana diungkapkan oleh Thomas Aquinas, 'pulchrum splendor est veritatis', 'keindahan adalah pancaran kebenaran' (Mangunwijaya, 1992:9-10).
Dalam konteks ruang kesadaran dalam arsitektur Nusantara, khususnya manusia Jawa, pararel dengan diskursus Foucault adalah kata “pengertian”, seperti dijelaskan oleh Magnis-Suseno (1999:200) bahwa pengertian bagi manusia Jawa dekat dengan "kekuatan batin" (kesakten — pemusatan kekuatan kosmis, pembenaran-diri), sebagaimana terungkap dalam kata “ngelmu. Ngelmu sekaligus berarti ilmu pengetahuan, pengertian (lebih-lebih dalam arti mistik), dan kekuatan magis misalnya, dalam arti suatu kemampuan khusus untuk pembelaan diri secara fisik. Dalam kata "pengertian" itu terdapat makna perluasan kekuasaan pada manusia sendiri yang bersifat tetap, yaitu manusia yang memiliki rasa-sejati. Kata “pengertian” dapat dipahami sebagai proses pembebasan dari keterikatan dalam bayang-bayang yang sementara dan lahiriah. Pembebasan itu berkaitan dengan satu proses penghalusan dan pembatinan daya persepsi batin. Dengan begitu, pengertian adalah suatu proses perkembangan pada subjek yang mengerti itu sendiri. Pengertian subjek yang mengerti sendiri itu akan mengalami pertumbuhan. Jadi, tekanan terletak pada subjek yang mengerti, bukan pada objek pengertian yang harus diketahui — sebagaimana ajaran etika Sokrates. Orang Jawa dalam ruang kesadarannya memahami pengertian semacam ini sebagai rasa yang secara inderawi dapat diartikan sebagai kepekaan terhadap lingkungan fisik (termasuk dalam menjaga keselarasan alam dan ruang bersama masyarakatnya).
Sebagai makhluk berkesadaran, manusia tahu bahwa ia mengetahui sesuatu tentang sesuatu. Ini dibuktikan dengan kemampuan berpikir dan berkomunikasi yang dimiliki. Berpikir adalah berkata-kata dalam hati sendiri dan berkomunikasi adalah berkata-kata antarsubjek. Mengingat kedua kegiatan ini merupakan tindak tutur dengan menekankan pada penggunaan kata-kata sehingga kegiatan semacam ini tidak dimungkinkan tanpa bahasa. Begitulah dengan bahasa, manusia bisa saling memahami dan mewujudkan pengertian di antara sesamanya. Kesalingpengertian dan pemahaman inilah yang dimaksud dengan kesadaran dan di dalamnya bahasa menjadi alat dan wujud kesadaran itu sendiri. Sebagaimana arsitektur Nusantara yang memiliki cara berbahasa tersendiri dan merupakan wujud kesadaran masyarakat Nusantara dalam menciptakan ruang hidup materialnya.
Ketika bahasa diterima menjadi wujud kesadaran kolektif masyarakat manusia, maka manusia sudah menciptakan wacana di dalam dunianya sendiri. Hal ini sejalan dengan pandangan Ricoeur (2002:17) tentang proses pembentukan wacana yang dimulai dari makna suatu benda hingga terbentuknya hubungan antarpredikat. Ditegaskannya, “Satu kata benda mempunyai makna, dan sebagai pelengkap maknanya satu kata kerja mengisyaratkan dimensi waktu. Hanya dengan kesinambungan keduanyalah yang akan mengedepankan suatu ikatan predikat yang dapat disebut sebagai logos atau wacana”.
Pengandaian arsitektur sebagai bahasa sama halnya menjadikan arsitektur sebagai teks budaya yang harus dibaca untuk dapat diungkap makna yang dikandungnya.  Ini berarti bahwa setiap elemen yang terkandung di dalam arsitektur Nusantara dapat dianalogikan sebagai “kata” yang dapat dirangkai untuk mengungkapkan maksud sebagaimana fungsi bahasa sebagai alat komunikasi yang selanjutnya dapat disebut sebagai wujud kesadaran kolektif masyarakat. Dalam bahasa Jawa misalnya, terdapat ungkapan tembung momot dunung yang dapat diartikan bahwa setiap kata selalu memiliki akar dan kesesuaian dengan konteks (ruang dan waktu). Sebagaimana arsitektur Nusantara yang lazim dimaknai sebagai kesatuan tiga unsur. Pertama, relasi dengan jiwa cipta (wastu), yaitu konstruksi merupakan perwujudan jiwa penciptaan yang memiliki dimensi kebenaran, keindahan, dan kebaikan yang selalu menjaga keselarasan dengan lingkungan (alam dan masyarakatnya); kedua, relasi dengan sumber daya (kalang), yaitu konstruksi yang diorientasikan pada keindahan dan keberkahan (keselarasan alam demi keberlangsungan hidup dan kehidupan); dan ketiga, relasi dengan wujud (wewangunan), yaitu konstruksi merupakan ekspresi dari kepatutan/kepantasan sikap hidup manusia dalam menjaga keselarasan alam dan ruang hidup bersama masyarakat. 
Pararelitas di atas setidaknya menunjukkan bahwa setiap elemen yang terdapat dalam arsitektur Nusantara bukanlah sesuatu tanpa landasan dan alasan, namun hasil dari mesu budi dan laku kasutapan, bahkan dapat dikatakan hasil konteplasi pemikiran manusia. Sebagai contoh, manusia Jawa meyakini bahwa antara ”wadah” dengan ”isi” diperlukan adanya keseimbangan, kesejajaran, bahkan keterpaduan sehingga tercipta ketenteraman batin, kesejahteraan, dan kemakmuran dalam hidup dan kehidupan. Keyakinan ini seperti yang terkandung dalam wejangan Sang Dewa Ruci pada Bima dalam Serat Dewa Ruci yang dikutip Mangunwijaya (1992:3) berikut ini.
“Kang ingaran urip mono mung jumbuhing badan wadaq lan batine,
pepindhane wadhah lan isine…
Jeneng wadah yen tanpa isi, alah dene arane wadhah, tanpa tanja tan ana pigunane
semono uga isi tanpa wadhah,  yekti barang mokal…
Tumrap urip kang utama tertamtu ambutuhake wadhah lan isi,
kang utama karo-karone.”
Terjemahan bebasnya:
Yang disebut hidup adalah manunggalnya tubuh dan batin (raga dan jiwa),
ibarat wadah dan isinya…
Wadah tanpa isi, adalah sia-sia disebut wadah,
tidak akan berarti dan berguna.
Demikian juga isi tanpa wadah, adalah sesuatu yang mustahil…
Untuk hidup yang sempurna membutuhkan wadah dan isi,
yang utama adalah kedua-duanya.
Subjektifitas dan interpretasi bebas mengenai kutipan Serat Dewa Ruci tersebut mengarahkan kepada suatu analogi pandangan manusia Jawa mengenai keberadaan makrokosmos (jagad gede = jagad raya) dan mikrokosmos (jagad cilik = diri manusia) yang akhirnya menghasilkan empat asumsi dasar untuk dijadikan pijakan argumen dalam pembahasan mengenai kesadaran manusia terhadap ruang hidup materialnya (arsitektur).
Pertama, pandangan manusia Jawa terhadap kosmosnya merupakan bentuk nilai tetap yang selalu hadir dalam kehidupannya. Kesejajaran antara wadah dan isi tersebut dilambangkan dengan adanya suatu konsep kesatuan makrokosmos (alam raya) dengan mikrokosmos (manusia). Konsep kemanunggalan makrokosmos dan mikrokosmos diartikan bahwa manusia telah menjalin hubungan dengan kekuatan di  luar dirinya yang jauh lebih besar sehingga manusia bersangkutan akan terjaga dan mampu meningkatkan kekuatannya menjadi lebih besar yang pada akhirnya, akan mampu mendatangkan kesejahteraan, kesuburan, dan hal-hal positif lainnya bagi hidup dan kehidupan manusia (Ronald, 1993:30).  
Kedua, etika hidup manusia Jawa dalam interaksi sosial diatur melalui prinsip rukun dan hormat dalam menjaga keselarasan hidup. Kesadaran keberadaan manusia Jawa sebagai makhluk individu dan sosial dapat dilihat dari sistem moral dalam hidup kesehariannya. Dengan etika ini manusia Jawa sangat menghargai adanya perbedaan. Perbedaan jenjang kedudukan yang ada dalam masyarakat dimaknai sebagai perbedaan peran dan tanggung jawab. Malahan kesadaran akan perbedaan ini merupakan salah satu bentuk cara manusia Jawa dalam menciptakan keseimbangan dan keselarasan hidupnya. Mereka mengenal adanya tiga tingkatan etika sebagai pengatur kehidupan sosialnya dengan tidak mengabaikan keberadaannya sebagai makhluk pribadi sebagai berikut.
(1)      Etika keluarga, yaitu etika yang digunakan dalam kelompok terkecil yang disebut lingkup keluarga.
(2)      Etika antarkeluarga, yaitu etika yang digunakan dalam kehidupan lebih luas daripada lingkup keluarga, tepatnya antarkelompok (keluarga).
(3)      Etika umum, yaitu etika yang digunakan dalam lingkup masyarakat luas. Pada kesehariannya, manusia Jawa lebih mengutamakan etika yang lebih luas, atau lebih mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi atau kelompok yang lebih kecil.
Ketiga, rukun dan hormat sebagai upaya menjaga keselarasan hidup merupakan ”prinsip pencegahan konflik” (Magnis-Suseno, 1991:40). Artinya, manusia Jawa sangat terbuka dalam menerima suatu perubahan akibat interaksi sosial yang dijalani demi terjaganya keselarasan. Perubahan yang paling banyak terjadi adalah pada sistem nilai terutama pada produk-produk budayanya, sedangkan untuk norma yang diwujudkan pada perilaku relatif tidak berubah, sehingga nilai-nilai dari luar yang dianggap baik dan sesuai dijadikan sebagai sumber pengkayaan budaya Jawa.
Keempat, identitas diri yang terbentuk diungkapkan melalui pikiran dan perbuatan yang total, berlandasan dan beralasan. Dalam ruang hidup materialnya hal tersebut dikomunikasikan secara tidak langsung, diungkapkan dengan menggunakan simbol sehingga pembacaan ulang terhadap simbol tersebut (pemaknaan ulang) dapat dilakukan sesuai dengan semangat zamannya.
Dalam konteks arsitektur Nusantara, simbol kearifan lokal yang melekat lazimnya dimaknai sebagai sesuatu yang memiliki nilai fungsional dan bersifat hidup yang merupakan bangun pengetahuan yang bersumber dari nilai-nilai dan potensi lokal yang diwacanakan secara lisan dari generasi ke generasi yang akhirnya disebut kebudayaan tradisional. Namun demikian, harus diakui bahwa kebenaran tidak selalu terdapat pada yang baru (modern), tetapi juga pada yang tradisional, bahkan kebenaran tersebar pada sepanjang pengalaman manusia, terfragmentasi sesuai dengan ruang dan waktu realitas berada, dan bukan hanya ditentukan berdasarkan akal dan rasional. Mengingat pada dasarnya simbol arsitektur Nusantara mengandaikan bahwa perwujudan yang terpilih adalah formulasi yang paling baik tentang sesuatu yang relatif tidak populer atau tidak dikenali sebelumnya sebagai simbol, tetapi hal itu diketahui sebagai hal yang ada atau diharapkan ada. Sebagaimana perwujudan arsitektur Nusantara yang secara semiotik dikatakan sebagai sarana komunikasi visual.
Dari cara pandang antropologis, berdasarkan kehidupan tradisionalnya, masyarakat Nusantara dapat digolongkan sebagai masyarakat yang arkais, yaitu masyarakat yang memiliki karakter sebagaimana diidentifikasikan Eliade (2002) berikut.
(1)    Kosmologi menduduki tempat utama pada kehidupannya. Pandangan tentang kehidupan dan dunia membentuk satu kesatuan dan keseluruhan yang organis.
(2)    Hampir keseluruhan pemikirannya pertama-tama diungkapkan dalam bentuk simbol. Mereka tidak membedakan mitos dengan sejarah. Tidak ada sejarah yang hanya sejarah belaka. Sejarah adalah sesuatu yang mengungkapkan kejadian-kejadian suci.
(3)    Memiliki tingkah laku yang bersifat eksistensial, artinya praktek-praktek dan kepercayaan religi selalu berpusat pada masalah-masalah fundamental kehidupan manusia.
(4)    Kehidupannya merupakan suatu sakramen. Realitas yang paling utama ialah Yang Suci (Kudus). Mereka hidup di alam semesta berada di bawah pengaruh Yang Suci. Mereka memiliki kerinduan yang dalam untuk tinggal dalam suatu dunia yang suci bersama Yang Suci. Karena itu mereka kelihatan sangat religius.
Dalam konteks arsitektur, pengandaian perwujudan arsitektur Nusantara sebagai bahasa (sarana komunikasi visual) dalam membangun kesadaran kolektif masyarakatnya memerlukan bahasa yang dikuasai dan dipahami oleh masyarakat itu sendiri yang lazim disebut “bahasa ibu”, yaitu bahasa yang bersumber pada lokalitas dan moralitas masyarakat pendukungnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa apabila masyarakat Nusantara digolongkan sebagai masyarakat arkais dan menjadikan kearifan lokal sebagai dasar pengembangan arsitektur Nusantara yang selalu berorientasi pada kebenaran, keindahan, dan kebaikan dalam menjaga keselarasan alam dan ruang hidup bersama masyarakatnya, maka kearifan lokal dapat dianggap sebagai bahasa ibu arsitektur Nusantara. 

4.            Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dalam kajian ini dapat ditarik dua simpulan sebagai berikut.
1)      Tekanan rasionalitas atas moralitas arsitektur Nusantara dalam modernisme menjadikan fungsi dan makna esensial (moralitas) dari berarsitektur bukan lagi menjadi pertimbangan dominan untuk menjaga keselarasan alam dan ruang bersama masyarakatnya, tetapi digantikan oleh pertimbangan nilai tukar yang akan diperoleh. Oleh karenanya, moralitas yang dikandung arsitektur Nusantara hendaknya senantiasa dipertahankan dan dikembangkan dalam konteks kekinian sehingga arsitektur Nusantara tidak lagi diposisikan sebagai produk budaya kuno yang eksistensinya begitu terikat pada masa lalu, namun dimaknai sebagai arsitektur masa depan yang mampu menjaga keselarasan alam dan ruang bersama masyarakat. 
2)      Arsitektur Nusantara sebagai bahasa (sarana komunikasi visual) dalam membangun kesadaran kolektif masyarakatnya memerlukan bahasa yang dikuasai dan dipahami oleh masyarakat itu sendiri yang lazim disebut “bahasa ibu”, yaitu bahasa yang bersumber pada lokalitas dan moralitas masyarakat pendukungnya yang selanjutnya disebut dengan kearifan lokal. Oleh karenanya, kearifan lokal hendaknya dijadikan dasar pengembangan arsitektur Nusantara yang selalu berorientasi pada kebenaran, keindahan, dan kebaikan dalam menjaga keselarasan alam dan ruang hidup bersama masyarakat.

Daftar Pustaka

Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies Teori dan Praktek. Yogyakarta: Bentang.
Bizawie, Zainul Milal. 2002.        Perlawanan Kultural Agama Rakyat: Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahmad al-Mutamakkin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi (1645-1740).  Yogyakarta: SAMHA.
Capra, Fritjof. 2004. Titik Balik Peradaban Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Cavallaro, Dani. 2004. Teori Kritis dan Teori Budaya. Yogyakarta: Niagara.
Foucault, Michel. 2007. Order of Thing: Arkeologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
________. 2002. Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Michel Foucault. Yogyakarta: Jalasutra.
Giddens, Anthony. 2001. Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Larson, Goerge D. 1990. Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912 – 1942 (terjemahan oleh: Lapian, A.B.). Yogyakarta: Gajah Mada Press.
Lash, Scott. 2004. Sosiologi Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius
Lubis, Akhyar Yusuf.  2004.  Setelah Kebenaran dan Kepastian Dihancurkan Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan: Sebuah Uraian Filsafat Ilmu Pengetahuan Kaum Posmodernis.  Bogor: Akademia.
Magnis-Suseno, F. 1991. Wayang dan Panggilan Manusia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Mangunwijaya, Y.B. 1992. Wastu Citra, Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis, 2nd edn. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Ricoeur, Paul. 2002. Filsafat Wacana Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa. Yogyakarta: IRCiSod.
Ronald, Arya. 1993. Transformasi Nilai-nilai Mistik dan Simbolik Dalam Ekspresi Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Yogyakarta: Lembaga Javanologi Panunggalan.