Sabtu, 04 Februari 2012

Kematian Metafisika Keraton


DEKONSTRUKSI MAKNA DAN KEMATIAN METAFISIKA
ARSITEKTUR KERATON SURAKARTA


Titis S. Pitana
e-mail: titis_pitana@yahoo.com

ABSTRAK

Paper ini merupakan hasil kajian yang berjudul "Dekonstruksi Makna Simbolik Arsitektur Keraton Surakarta". Penelitian ini tidak ditujukan untuk memahami arsitektur Keraton Surakarta sebagai sebuah perwujudan fisik dari ilmu rancang bangun. Dalam kajian ini arsitektur Keraton Surakarta merupakan objek material dari sebuah kajian mengenai dekonstruksi pemaknaan simbol yang mengambil fokus kajian pada tiga masalah, yaitu (1) sebab terjadinya dekonstruksi makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta; (2) proses terjadinya dekonstruksi tersebut; dan (3) implikasi dari dekonstruksi tersebut terhadap kehidupan sosial-budaya keraton dan masyarakat Surakarta.

Kata kunci: dekonstruksi, simbol, arsitektur, Keraton Surakarta

Gambar 1. Kori Brojonolo Lor Kareton Surakarta.


PENDAHULUAN
Ketika roh orang Jawa telah ditelan arus perjalanan waktu (sejarah),  kebudayaan bukanlah ”keyakinan” sebagaimana yang dipahami oleh para pembela budaya (para ahli). Alasan simbolik keraton sebagai upaya menggali makna kebaruan dan kekinian, adalah ”keyakinan” bukan jalan damai untuk memahami budaya pada masa kini. ”Keyakinan” sebagai puncak pemikiran selama ini belum terjangkau oleh akal-rasional dalam tradisi ilmiah, baik positivis maupun interpretatif. Selain itu, ”keyakinan” dalam kajian mistis ketimuran lebih dimaknai sebagai wacana (diskursus) batin daripada dipahami sebagai pemikiran dalam wujud gagasan yang dapat diterima oleh akal dan diterapkan dalam praktik sosial-budaya. Dari dimensi inilah kajian tentang dekontruksi makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta diarahkan untuk melampaui paradoks kebenaran rasionalisme-realisme dan kritisisme hingga intuisionisme untuk sampai kepada apa yang disebut sebagai epistemologi dalam dunia ilmu khususnya dalam khazanah kajian budaya. 
Secara fisik, arsitektur Keraton Surakarta dapat dianggap sebagai karya adiluhung budaya Jawa yang memiliki simbol-simbol yang mengandung makna pesan-pesan dan nasihat bagi generasi berikutnya. Namun, pesan dan nasihat yang tersembunyi di balik simbol-simbol tersebut tidak akan memiliki makna, apabila simbol-simbol tersebut tidak dipahami atau dimengerti. Simbol yang hidup dalam Keraton Surakarta adalah ekspresi suatu hal yang tidak dapat ditandai dengan perwujudan fisik saja. Oleh karena itu, makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta harus tetap dicari sesuai dengan ruang dan waktu si pemakna. Dengan kata lain, interpretasi terhadap simbol yang melingkupi arsitektur Keraton Surakarta tidak akan pernah berhenti atau akan terus-menerus mengalami dekonstruksi. Terlebih lagi, apabila suatu simbol harus dimaknai oleh generasi yang berbeda dan pada ruang dan waktu yang berbeda dari simbol tersebut dibuat. Dengan demikian, dalam memaknai simbol yang terdapat pada pola tata bangunan dan elemen-elemennya perlu dipahami latar belakang sejarah dan proses pembangunannya.
Dekonstruksi dalam pemaknaan simbol yang berkelanjutan haruslah dipandang sebagai suatu proses yang tidak pernah berhenti sehingga makna yang hadir selalu bersifat becoming (menjadi) dan terfragmentasi oleh ruang dan waktu si pemakna. Walaupun sejarah telah berupaya menyusun periodisasi aktivitas manusia sejak beribu-ribu tahun yang lalu, tetapi sebagaimana pandangan totalitas terhadap kehidupan bahwa pada dasarnya dalam sejarah manusia tidak pernah terdapat keterpisahan secara mutlak antara pemikiran, tindakan, ruang, dan waktu sebagai sebuah momen. Demikian juga tidak mudah ditemukan keterpisahan mutlak antara pemikiran dan hasil-hasilnya dalam ruang-ruang kehidupan yang tidak terikat pada waktu secara kontekstual, sebagaimana manusia tidak pernah terpisah dari kebudayaan dan kehidupan sosialnya.
Penelitian ini tidak ditujukan untuk memahami arsitektur Keraton Surakarta sebagai sebuah perwujudan fisik dari ilmu rancang bangun. Dalam kajian ini arsitektur Keraton Surakarta merupakan objek material dari sebuah kajian mengenai dekonstruksi pemaknaan simbol yang mengambil fokus kajian pada tiga masalah, yaitu (1) sebab terjadinya dekonstruksi makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta; (2) proses terjadinya dekonstruksi tersebut; dan (3) implikasi dari dekonstruksi tersebut terhadap kehidupan sosial-budaya keraton dan masyarakat Surakarta.
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konstruksi dan dekonstruksi budaya Jawa yang berakar pada Keraton Surakarta dengan kearifan-kearifan lokalnya yang tercermin dalam arsitektur Keraton Surakarta. Pada gilirannya menemukan dan menjelaskan rekonstruksi budaya tersebut dalam rangka memperkaya budaya nasional sebagai bagian dari kerja keilmuan dalam upaya mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Secara khusus, penelitian ini memiliki tiga tujuan: (1) untuk mengetahui dan memahami kejelasan sebab terjadinya dekonstruksi makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta; (2) untuk mengetahui dan memahami kejelasan proses terjadinya dekonstruksi makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta; dan (3) untuk mengetahui dan memahami kejelasan implikasi dekonstruksi tersebut terhadap kehidupan sosial budaya keraton dan masyarakat Surakarta.
Penelitian ini memiliki dua manfaat. Pertama, secara teoretis, Penelitian ini diharapkan bermanfaat memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang kajian arsitektur dan kajian budaya. Di samping itu, penelitian ini juga menambah dan melengkapi kajian-kajian terdahulu tentang arsitektur Jawa dan arsitektur Nusantara. Selanjutnya, bagi kalangan akademisi dapat digunakan acuan untuk melihat ruang-ruang kosong yang mungkin ditinggalkan oleh penelitian ini. Kedua, secara praktis, Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan memperluas cara pandang masyarakat terhadap kearifan lokal yang dimiliki budaya lokalnya di tengah pengaruh dunia global. Selain itu, hasil penelitian ini dapat digunakan oleh para pengambil kebijakan publik berkaitan dengan kehidupan sosial-budaya.  

PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian bidang ilmu Kajian Budaya dengan menggunakan metode kualitatif dan teknik analisis data secara deskriptif kualitatif dan interpretatif yang menggunakan pendekatan hermeneutik. Secara umum penelitian yang menggunakan analisis kualitatif didefinisikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata dan/atau ungkapan-ungkapan, termasuk di dalamnya tindakan-tindakan yang dapat diamati dengan menekankan pengembangan konsep dan pemahaman pola yang ada pada data; memperhatikan setting dan orang secara holistik sehingga bukan sebagai variabel-variabel terpisah; cenderung bersifat humanistik; pemahaman makna yang menjadi dasar tindakan partisipan; memahami keadaan dalam lingkup yang terbatas; dan lebih merupakan seni kerajinan dengan mengutamakan kemahiran dan keikutsertaan perasaan (Bungin, 2003:147).
Di dalam penelitian ini teori dekonstruksi Derrida diposisikan sebagai teori utama untuk menjawab ketiga rumusan masalah penelitian yang dalam penggunaanya dibantu dengan tiga teori yang lain yang digunakan secara eklektik, yakni (1) teori wacana kuasa dan pengetahuan Foucault; (2) teori semiotika komunikasi visual Eco; dan (3) teori resepsi Jauss.
Dekonstruksi makna simbolik Keraton Surakarta bukan sesuatu yang terjadi begitu saja, melainkan suatu wujud penolakan atas logosentrisme yang telah dibangun berdasarkan metafisika keraton itu sendiri. Dalam hal ini juga dapat dikatakan bahwa dekonstruksi yang terjadi atas makna simbolik Keraton Surakarta merupakan kejadian yang disebabkan oleh kematian metafisika Keraton Surakarta. "Kematian" di sini boleh jadi karena sengaja dibunuh oleh pihak di luar pencipta logosentrisme makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta atau kematian dengan sendirinya akibat pengingkaran metafisika tersebut oleh pihak Keraton Surakarta sendiri atas logosentrisme yang telah dibangunnya.
Kematian metafisika Keraton Surakarta yang merupakan akumulasi dari adanya penolakan atau pengingkaran metafisika itu didorong oleh tiga aspek, yakni (1) aspek perubahan status dan peran Keraton Surakarta, yaitu mulai dari dijadikan boneka kekuasaan Kompeni pada masa kolonial hingga hilangnya status swa-praja dan menjadi benda cagar budaya pada masa republik; (2) aspek Keraton Surakarta dalam konstilasi global, yaitu adanya tekanan rasionalitas modern atas moralitas keraton yang menjadikan Keraton Surakarta sebagai korban kapitalisme dan alat komodifikasi kepariwisataan, sehingga keraton tidak memiliki ruang tersisa untuk dapat mengartikulasikan dirinya sendiri; dan (3) aspek perebutan tahta dan kekuasaan, yaitu munculnya raja kembar akibat perebutan tahta Keraton Surakarta yang mengingkari metafisika kehadiran keraton sebagai pusat kosmos dan panutan budaya Jawa.
Menurut logika berfikir Derridian bahwa pemaknaan simbol arsitektur Keraton Surakarta merupakan proses yang terjadi terus-menerus. Wujud arsitektural merupakan sarana komunikasi visual yang menurut Umberto Eco bahwa dalam pemaknaan simbol seperti ini akan terjadi proses semiosis dan canon, yaitu suatu proses memadukan entitas yang disebut sebagai representamen dangan entitas yang lain yang disebut objek. Proses ini menghasilkan rangkaian hubungan yang tidak berkesudahan. Gerakan yang tidak berujung-pangkal ini oleh Eco dan Derrida dirumuskan menjadi proses semiosis tanpa batas (unlimited semiosis) (Broadbent, 1980:382-383).
Proses ini kemudian digunakan untuk mengetahui dan memahami jejak-jejak dekonstruksi makna simbolik Arsitektur Keraton Surakarta yang yang kejelasannya dapat diketahui dan dipahami melalui tiga proses berikut. Pertama, dekonstruksi makna simbolik "pola tata ruang dan bangunan" yang terjadi melalui tiga proses, yakni (1) dari makna ajaran hidup menjadi warisan budaya; (2) dari makna sakral menjadi profan; dan (3) dari makna simbol birokrasi pemerintahan feodal menjadi tatanan rumah tangga. Kedua, dekonstruksi makna simbolik "perwujudan Arsitektur Keraton Surakarta" yang terjadi melalui empat proses, yakni (1) bentuk bangunan: dari simbol kemegahan menjadi simbol keprihatinan; (2) bangunan penghubung: dari simbol kesadaran ruang menjadi simbol komunikasi; (3) bangunanan pembatas: dari simbol pertahanan kesakralan menjadi batas wilayah; dan (4) ragam hias: dari pesan moral menjadi hiasan bangunan. Ketiga, dekonstruksi makna simbolik "raja dan Keraton Surakarta" yang terjadi melalui tiga proses, yakni (a) Raja Jawa: dari simbol raja-dewa menjadi pengemban budaya Jawa; (b) Keraton Surakarta: dari simbol pusat kosmis menjadi daya tarik wisata; dan (c) lambang Keraton Surakarta: dari simbol kemanunggalan kosmos menjadi aksesori yang diperdagangkan.
Kematian metafisika Keraton Surakarta merupakan penyebab terjadinya dikonstruksi makna simbolik Arsitektur Keraton Surakarta yang telah diperjelas dengan uraian jejak-jejak dekonstruksinya mendatangkan implikasi terhadap kehidupan sosial-budaya Keraton Surakarta dan masyarakat Surakarta. Implikasi yang dimaksud, yakni sebagai berikut. Pertama, terhadap lembaga sosial keraton dan masyarakat Surakarta yang dapat diidentifikasi dari dua fakta sosial, yakni (1) Keraton Surakarta menjadi bagian dari pemerintahan kelurahan; dan (2) komunitas Keraton Surakarta menjadi bagian masyarakat Surakarta. Kedua, terhadap pranata sosial masyarakat Surakarta yang dapat diidentifikasi dari dua fakta sosial, yakni (1) Keraton Surakarta menjadi afinitas kultural masyarakat; dan (2) Keraton Surakarta menjadi lembaga legitimasi bangsawan modern. Ketiga, terhadap sistem kekrabatan dan proses pembentukan nilai yang dapat diidentifikasi dari dua fakta sosial, yakni (1) komunitas Keraton Surakarta menjadi bangsawan ajur-ajer; dan (2) perjuangan Keraton Surakarta menjadi panutan budaya Jawa. Keempat, terhadap ruang kesadaran baru yang dibangun oleh pihak Keraton Surakarta dalam menyikapi segala perubahan akibat modernisme global.
Gambar 2. Pagelaran Keraton Surakarta.

TEMUAN
Pertama, terdapat tiga pihak yang bertindak sebagai subjek yang melakukan dekonstruksi atas makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta, yakni sebagai berikut.
(1)   Penguasa, yang berdasarkan catatan sejarahnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kekuasaan kolonial pada masa penjajahan dan kekuasaan negara pada masa republik. Dalam hal ini, baik kekuasaan kolonial maupun negara merupakan pihak pemegang kunci logosentrisme kapitalis yang membunuh metafisika Keraton Surakarta dan menggantinya dengan rasionalitas modernisme.
(2)   Komunitas Keraton Surakarta, yaitu pihak internal keraton yang dengan kesadarannya atau tidak dengan kesadarannya melakukan isolasi metafisika (kosmologi) Keraton Surakarta dengan menjadikan sakralitas keraton sebagai parodi budaya. Malahan, keterbatasan dimensi material yang lebih bersumber pada masalah ekonomi memiliki korelasi terhadap dimensi kognitif komunitas Keraton Surakarta untuk membiarkan ruang-ruang arsitektural Keraton Surakarta menjadi ruang-ruang kosong tak terawat yang berakibat pada pengingkaran metafisika keraton itu sendiri.
(3)   Masyarakat atau orang-orang di luar Keraton Surakarta yang memiliki respon tubuh spontan atas ruang-ruang kosong arsitektural Keraton Surakarta. Ruang yang selalu dimaknai sebagai wadah kegiatan (representasi kejadian) dipandang perlu untuk selalu diisi dan dimanfaatkan dengan cara yang cenderung mengabaikan metafisika Keraton Surakarta melalui budaya improvisasinya.
Kedua, dalam menjalankan fungsi sebagai institusi kebudayaan (pengemban budaya Jawa), Keraton Surakarta memiliki tiga hambatan pokok, yakni sebagai berikut.
(1)   Hambatan ekonomi, yaitu keterbatasan kemampuan finansial keraton untuk membiayai diri sendiri.
(2)   Hambatan psikologis, yaitu beban psikologis yang ditanggung Keraton Surakarta akibat tidak lagi mempunyai otoritas politik.
(3)   Hambatan sosial, yaitu adanya takdir sejarah yang membuat Keraton Surakarta menjadi pihak yang sering diposisikan, dicurigai, dan dituduh sebagai penganut feodalisme yang bertentangan dengan demokrasi yang dianut Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Gambar 3. Sitihinggil Keraton Surakarta.

SIMPULAN
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan dapat dikemukakan tiga simpulan. Pertama, dekonstruksi yang terjadi atas makna simbolik Keraton Surakarta merupakan kejadian yang disebabkan oleh kematian metafisika Keraton Surakarta yang merupakan akumulasi dari adanya penolakan dan/atau pengingkaran metafisika itu sendiri. Kedua, jejak-jejak dekonstruksi makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta yang terjadi adalah proses dekonstruksi itu sendiri yang terjadi pada tiga dekonstruksi makna simbol, yaitu (1) dekonstruksi makna simbolik "pola tata ruang dan bangunan"; (2) dekonstruksi makna simbolik "perwujudan arsitektur Keraton Surakarta"; dan (3) dekonstruksi makna simbolik "raja dan Keraton Surakarta". Ketiga, dekonstruksi makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta memiliki empat implikasi terhadap kehidupan sosial budaya keraton dan masyarakat Surakarta, yaitu (1) lembaga sosial keraton dan masyarakat Surakarta; (2) pranata sosial masyarakat Surakarta; (3) sistem kekrabatan dan proses pembentukan nilai; dan (4) pembentukan ruang kesadaran baru yang dibangun oleh pihak Keraton Surakarta dalam menyikapi segala perubahan akibat modernisme global.

Daftar Pustaka
Behrend, E.T. 1982. Kraton and Cosmos in Traditional Java. Madison: University of Wiscosin.
Broadbent, G., Bunt, R., and Jencks, C. 1980. Sign, Symbols, and Architecture. New York: John Wiley & Sons Ltd.
Bungin, Burhan. 2006. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Faisal, Sanapiah 2005. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Grenz. Stanley J. 2001. A Primer On Postmodernism Pengantar untuk Memahami Postmodernisme. Terj. Wilson Suwanto. Yogyakarta: Yayasan Andi.
Ibrahim, Julianto 2008. Kraton Surakarta dan Gerakan Anti Swapraja. Jogjakarta: Malioboro Press.
Larson, Goerge D. 1990. Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912 – 1942 (terjemahan oleh: Lapian, A.B.). Yogyakarta: Gajah Mada Press.
Marsudi 2001. "Nilai Arsitektur Pada Simbolisme Keraton Kasunanan Surakarta" (tesis). Semarang: Progam Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Santosa, Imam 2006. "Kajian Estetika dan Unsur Pembentuknya pada Keraton Surakarta" (disertasi). Bandung: Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung.
Setiadi, B., dkk. 2000. Raja di Alam Republik: Karaton Surakarta dan Paku Buwono XII. Jakarta: Bina Rena Pariwara.
Soeratman, Darsiti 1989. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta, 1830 – 1939. Yogyakarta: Taman Siswa.
Supariadi 1998. "Surakarta Masa Pemerintahan Sunan Paku Buwana IV 1788- 1820: Priyayi dan Kiai Pada Masa Transisi Kolonial" (tesis). Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada.


Menggugat Bahasa Internasional


PERMAINAN WACANA DI BALIK PENGGUNAAN BAHASA INGGRIS

Oleh:
Dr. Titis Srimuda Pitana, S.T., M.Trop.Arch.*

Abstrak
Manusia adalah makhluk berkesadaran. Kesalingpengertian dan pemahaman yang dimiliki manusia dalam menjalani hidup dan kehidupannya adalah yang dimaksud dengan kesadaran dan di dalamnya bahasa menjadi alat dan wujud kesadaran itu sendiri. Ketika bahasa diterima menjadi wujud kesadaran kolektif masyarakat manusia, maka manusia sudah menciptakan wacana di dalam dunianya sendiri. Bahasa sebagai alat dan wujud kesadaran suatu bangsa memiliki metafisikanya sendiri yang dibangun atas kesadaran dan diskursus pemilikinya. Kekuasaan dapat dibangun melalui permainan wacana, sebagaimana menyebut bahasa Inggris sebagai the world’s language dan bahasa lainnya sebagai bahasa lokal. Multikulturalisme yang tercermin melalui perbedaan cara penggunaan bahasa Inggris merupakan kelaziman. Oleh karena itu, pemaknaan penggunaan bahasa Inggris di Nusantara seharusnya diwacanakan berdasarkan metafisika yang dimiliki masyarakat Nusantara karena apabila tidak demikian, maka yang terjadi adalah kematian metafisika bahasa-bahasa ibu di Nusantara akibat mengalami kekalahan wacana.

Kata kunci: diskursus, multikulturalisme, bahasa ibu, kesadaran

Bahasa dan Wacana
Manusia adalah makhluk berkesadaran. Manusia tahu bahwa ia mengetahui sesuatu tentang sesuatu. Ini sebabnya manusia memiliki kemampuan berpikir dan berkomunikasi. Berpikir adalah berkata-kata dalam hati sendiri dan berkomunikasi adalah berkata-kata antarsubjek. Mengingat kedua kegiatan ini merupakan tindak tutur dengan menekankan pada penggunaan kata-kata sehingga kegiatan semacam ini tidak dimungkinkan tanpa bahasa. Begitulah dengan bahasa, manusia bisa saling memahami dan mewujudkan pengertian di antara sesamanya. Kesalingpengertian dan pemahaman inilah yang dimaksud dengan kesadaran dan di dalamnya bahasa menjadi alat dan wujud kesadaran itu sendiri. Ketika bahasa diterima menjadi wujud kesadaran kolektif masyarakat manusia, maka manusia sudah menciptakan wacana di dalam dunianya sendiri. Hal ini sejalan dengan pandangan Paul Ricoeur (2002:17) tentang proses pembentukan wacana yang dimulai dari makna suatu benda hingga terbentuknya hubungan antarpredikat. Ditegaskannya, “Satu kata benda mempunyai makna, dan sebagai pelengkap maknanya satu kata kerja mengisyaratkan dimensi waktu. Hanya dengan kesinambungan keduanyalah yang akan mengedepankan suatu ikatan predikat yang dapat disebut sebagai logos atau wacana”.
Istilah “wacana” (discourse, discourse) diperkenalkan oleh Michel Foucault dalam pidato pengukuhan guru besarnya, dan La archeologie da savoir (1968), serta tulisannya tentang kegilaan (Lubis, 2004:147-148). Menurut Foucault (2002:9) diskursus adalah cara menghasilkan pengetahuan beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua aspek ini. Artinya, diskursus merupakan kategori manusia yang diproduksi dan reproduksi dengan berbagai aturan, sistem, dan prosedur yang membuatnya terpisah dari kenormalan. Aturan, sistem, dan prosedur itulah yang disebutnya dengan istilah “tata-wacana”, yaitu keseluruhan wilayah konseptual tempat pengetahuan itu dikonstruksi, dibentuk dan dihasilkan (Lubis, 2004:148). Dengan demikian, studi teks, studi sejarah, budaya, dan klaim-klaim objektivitas termasuk kebenaran harus ditunda karena hal itu telah dipengaruhi oleh aturan-aturan, perbedaan makna, dan strategi-strategi yang sama dengan naratif lainnya. Foucault (2002:143-144) menegaskan bahwa ketika sebuah wacana dilahirkan, maka diskursus sebenarnya sudah dikontrol, diseleksi, diorganisasi, dan didistribusikan kembali menurut kemauan pembuatnya karena wacana tersebut dikonstruksikan berdasarkan tata-aturan (episteme) tertentu. Oleh karena itu, kebenaran memiliki mata rantai dengan sistem kekuasaan.
Diskursus dalam ilmu dan praktek sosial merupakan jaringan praktek pengetahuan dan kekuasaan. White (Foucault, 2007:xiv) mengatakan bahwa apa yang dilakukan atau dibahas dalam diskursus, seperti yang terjadi dengan yang lain adalah selalu kehendak dan kekuasaan. Oleh karena itu, teori wacana kuasa dan pengetahuan Foucault menolak teori positivisme dan segala teori sosial alternatif yang berbau humanisme, seperti pendekatan Husserlian, Weberian, dan Habermasian. Foucault menyebut metodenya dengan nama genealogi sebagai bentuk penelusuran historis tentang bagaimana terbentuknya/terkonstruksinya berbagai macam pengetahuan, objek-objek pengetahuan, dan wacana ilmiah. Dalam melakukan penelusuran historis, ia tidak menemukan kontinuitas, tetapi diskotinuitas /keretakan (repture) sejarah, episteme, dan wacana (Lubis, 2004:153). Ini berarti bahasa sebagai diskursus, bukan semata-mata mempersoalkan ucapan dan/atau tulisan, tetapi semua pernyataan kultural karena keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks yang mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan tertentu.
Pararel dengan diskursus Foucault adalah kata “pengertian” dalam budaya Jawa, seperti dijelaskan oleh Frans Magnis-Suseno (1999:200) bahwa pengertian bagi manusia Jawa dekat dengan "kekuatan batin" (kesakten — pemusatan kekuatan kosmis, pembenaran-diri), sebagaimana terungkap dalam kata “ngelmu”. Ngelmu sekaligus berarti ilmu pengetahuan, pengertian (lebih-lebih dalam arti mistik), dan kekuatan magis misalnya, dalam arti suatu kemampuan khusus untuk pembelaan diri secara fisik. Dalam kata "pengertian" itu terdapat makna perluasan kekuasaan pada manusia sendiri yang bersifat tetap, yaitu manusia yang memiliki rasa-sejati. Kata “pengertian” dapat dipahami sebagai proses pembebasan dari keterikatan dalam bayang-bayang yang sementara dan lahiriah. Pembebasan itu berkaitan dengan satu proses penghalusan dan pembatinan daya persepsi batin. Dengan begitu, pengertian adalah suatu proses perkembangan pada subjek yang mengerti itu sendiri. Pengertian subjek yang mengerti sendiri itu akan mengalami pertumbuhan. Jadi, tekanan terletak pada subjek yang mengerti, bukan pada objek pengertian yang harus diketahui — sebagaimana ajaran etika Sokrates. Orang Jawa memahami pengertian semacam ini sebagai rasa yang secara inderawi dapat diartikan sebagai kepekaan terhadap lingkungan fisik. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Magnis-Suseno (1999:199) berikut. 
"Dalam rasa terjadi suatu pertumbuhan atau pendalaman kepribadian. Pengertian semacam itu bukan sesuatu yang lahiriah, kebetulan, kuantitatif, melainkan suatu realitas pada subjek yang mengerti itu sendiri. Subjek diubah dan diperdalam di dalamnya. Maka dari itu suatu pengertian yang lebih benar, jadi suatu rasa yang lebih mendalam, sekaligus berarti juga suatu cara merasa dan bertindak yang baru, yang lebih mendalam dan lebih benar, bahkan suatu sikap baru manusia seluruhnya."
Pararelitas di atas setidak-tidaknya mampu menunjukkan bahwa bahasa sebagai alat dan wujud kesadaran suatu bangsa memiliki metafisikanya sendiri yang dibangun atas kesadaran dan diskursus pemilikinya. Sebagaimana bangsa-bangsa yang ada di Nusantara menyebut bahasa aslinya sebagai “bahasa ibu”, yaitu bahasa yang mengandung nilai-nilai moralitas. Nilai-nilai yang membentuk karakter suatu bangsa yang diajarkan sejak manusia memiliki suatu kesadaran. Sebagaimana ibu mengajarkan nilai-nilai moralitas pada anaknya.


Bahasa Ibu Dalam Permainan Wacana Bahasa Inggris
Kehendak dan kekuasaan yang dimaksud di atas adalah refleksi dari hasrat manusia. Manusia dengan hasratnya telah mengembangkan penggunaan bahasa menjadi alat untuk membangun wacana yang menjajah ruang kesadaran manusia. Sebagaimana sebutan the world’s language yang dilekatkan pada bahasa Inggris merupakan permainan nyata dalam mendekonstruksi bahasa-bahasa lain di muka bumi ini untuk berada pada posisi termarginal. Masyarakat pendukung suatu bahasa menjadi pararel terhadap kelas-kelas bahasa yang tanpa sadar dibangun melalui permainan wacana. Kesadaran manusia dibawa kepada perasaan malu dan rendah diri apabila tidak bisa menggunakan bahasa Inggris dalam berkomunikasi. Manusia dihadapkan pada kondisi tidak ada pilihan untuk memiliki kesempatan mencari pekerjaan dan menempuh pendidikan yang tinggi karena hampir setiap peluang yang tersedia mensyaratkan penguasaan bahasa Inggris pada level tertentu. Apabila tidak dapat mengikuti tuntutan keadaan ini maka mereka menjadi kelompok manusia yang berada di kelas bawah dan teralinasi. Ini membuktikan bahwa kekuasaan dapat dibangun melalui permainan wacana. Sebagaimana menyebut bahasa Inggris sebagai the world’s language dan bahasa lainnya sebagai bahasa lokal.
Pararel dengan permainan wacana dalam penggunaan bahasa di atas adalah kondisi pada zaman kolonial di Indonesia. Bangsa penjajah dengan kekuatan dan kekuasaannya mampu mengeksploitasi bangsa jajahannya. Kekuasaan dibangun melalui kekerasan dengan menggunakan tentara dan senjata. Bangsa pribumi diposisikan pada kelas di bawah bangsa penjajah. Bagi masyarakat pribumi yang ingin hidup dan kehidupannya lebih sejahtera dan memiliki kelas yang lebih tinggi harus mau mengikuti aturan dari bangsa penjajah. Bagi yang tidak mau mengikuti aturan penjajah harus rela menderita dan semakin tergilas.         
Pararelitas di atas setidak-tidaknya mampu menunjukkan bahwa kekuasaan bisa dibangun melalui perluasan bahasa. Namun demikian, tidak dapat dimungkuri bahasa lokal di Nusantara memiliki metafisikanya sendiri yang dibangun atas kesadaran dan diskursus pemilikinya. Dalam hal ini kesadaran masyarakat Nusantara dapat dicermati secara mendalam dari alat kesadarannya, yaitu bahasa ibu. Mengingat bahasa ibu merupakan sumber moralitas masyarakat dan sekaligus sebagai pembangun wacana, bahkan sebagai pantulan falsafah hidup, yaitu pedoman hidup dan perilaku hidup. Inilah yang menjelma dalam dunia sosial-budaya menjadi nilai-nilai. Sitem nilai, baik sebagai pedoman hidup maupun perilaku hidup tidak pernah final karena senantiasa mengalami perkembangan inheren dalam perubahan zaman. Faktanya manusia tidak bisa menjalankan kehidupannya sendiri tanpa terlibat dalam kehidupan sosial berupa kegiatan kemasyarakatan. Malahan dalam kehidupan sosialnya manusia tidak jarang harus membangun toleransi sehingga dimungkinkan terjadinya proses saling menerima dan memberi nilai. Begitulah dalam dunia global manusia nusantara tidak dapat menutup diri dari pengaruh bangsa lain sehingga identitas menjadi begitu penting. Dalam konteks identitas inilah penting dan relevan membangun wacana melalui bahasa di tengah-tengah derasnya pengaruh nilai global yang serba standart yang menempatkan manusia sebagai makhluk malang. Dengan demikian, pemaknaan penggunaan bahasa Inggris di Nusantara seharusnya diwacanakan berdasarkan metafisika yang dimiliki masyarakat Nusantara karena apabila tidak demikian, maka yang terjadi adalah kematian metafisika bahasa-bahasa ibu di Nusantara akibat mengalami kekalahan wacana.
Hal ini menunjukkan pentingnya membangun identitas pengguna bahasa menurut metafikanya sendiri, juga karena terdapat perbedaan filosofis antara kesadaran  masing-masing pengguna. Ini sejalan dengan pendapat Gadamer, tokoh hermeneutika filosofis bahwa makna hadir selalu didahului oleh pemahaman subjek terhadap objek. Pemahaman dapat diperoleh, bila subjek memiliki kesadaran terhadap objek. Kegiatan memaknai sesuatu pada dasarnya adalah melakukan interpretasi (Muzir, 2008:98). Interpretasi adalah mencakup pemahaman. Untuk dapat membuat interpretasi, orang lebih dahulu harus mengerti atau memahami. Akan tetapi, keadaan “lebih dahulu mengerti” ini bukan didasarkan atas penentuan waktu, melainkan bersifat alamiah. Mengingat menurut kenyataannya, bila seorang mengerti, ia sebenarnya telah melakukan interpretasi, dan juga sebaliknya. Ada kesertamertaan antara mengerti dan membuat interpretasi. Keduanya bukan dua momen dalam satu proses. Mengerti dan interpretasi menimbulkan lingkaran hermeneutik (Sumaryono, 1999:30-31). Akan tetapi, dalam logika Derridian, jejak (trace) mengacu pada pengertian bekas-bekas terciptanya suatu realitas. "Jejak" adalah dalam pertentangannya dengan konsep "sejarah" (historisisme) karena sejarah dianggap bukanlan suatu realitas yang netral, tetapi sebaliknya, merupakan realitas penafsiran oleh dan sekaligus untuk suatu kepentingan tertentu. Dekonstruksi Derrida mengganti konsep sejarah (historisisme) dengan "silsilah", yaitu sebagai fakta sejarah karena silsilah dianggap terlepas dari unsur penafsiran sekaligus kepentingan. Oleh karena itu, dekonstruksi memandang realitas tidak otonom, tetapi realitas yang memiliki silsilah atau jejak. Dengan kata lain, realitas sebagai teks merupakan relasi antara teks dengan teks lainnya (Lubis, 2004:101-122; Norris, 2003; Ratna, 2005:250-275). Dengan demikian, multikulturalisme yang tercermin melalui perbedaan cara penggunaan bahasa Inggris merupakan kelaziman karena setiap subjek yang berkesadaran bisa saja memberikan makna yang berbeda terhadap objek yang sama ataupun berbeda.
Di titik ini, moralitas bahasa ibu di Nusantara menjadi permainan wacana yang dapat diurai dari relasi-relasi kuasa dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya. Misalnya, Magnis-Suseno (1999:150) menjelaskan bahwa seluruh kebijaksanaan hidup Jawa dapat dirangkum dalam tuntutan dasar untuk selalu menempati tempat yang tepat. Demikian juga epistemologi dengan mengutamakan kategori tempat, agar kehidupan terus berjalan; sistem etika Jawa yang lebih menonjolkan kategori tempat; bahkan apa yang harus dilakukan masing-masing ditentukan oleh tempatnya dalam masyarakat. Konsekuensi dari pandangan ini adalah penerimaan orang Jawa terhadap misteri kehidupan.
Dalam budaya Jawa sikap penerimaan terhadap misteri kehidupan terdapat dalam kosa kata “nrima”, “iklas”, dan “rila” yang sangat sulit dicarai pandanan kata dalam bahasa Inggris. Kata “nrima” berarti orang dalam keadaan kecewa dan dalam kesulitan apa pun akan bereaksi dengan rasional. Kata ini menuntut kekuatan untuk menerima apa yang tidak dapat dielakkan tanpa membiarkan dirinya dihancurkan oleh reaksinya sendiri. Iklas berarti kesediaan untuk melepaskan individualitas sendiri dan mencocokkan diri ke dalam keselarasan agung alam semesta sebagaimana sudah ditentukan. Rila merupakan kesanggupan untuk melepaskan, sebagai kesediaan untuk melepaskan hak milik, kemampuan-kemampuan, dan hasil-hasil pekerjaan sendiri, bila itulah yang menjadi tuntutan tanggung jawab. Dua kata terakhir ini harus dipahami sebagai keutamaan positif, bukan sebagai menyerah dalam arti negatif, melainkan sebagai tanda penyerahan otonom, sebagai kemampuan melepaskan sepenuh pengertian daripada membiarkan saja sesuatu direbut secara pasif (Magnis-Suseno, 1999:143-144). 
Ini menunjukkan bahwa fenomena tentang minimnya konflik manifes dalam kehidupan sosial orang Jawa disebabkan oleh kemampuan mereka menerima misteri kehidupan. Afirmasi manusia Jawa secara langsung pada misteri kehidupan menyebabkan pengetahuan yang terbentuk secara historis menjadi hal sekunder dalam kehidupan praksis. Kehidupan harus mendominasi pengetahuan yang terbentuk secara historis, bukan sebaliknya pengetahuan mendominasi kehidupan (Copleston, 1974:33). Jika pengetahuan tunduk pada kehidupan, maka pengetahuan itu tidak akan menjadi kandungan untuk mengakumulasikan sejumlah besar informasi, tetapi akan berusaha untuk menyatukan kandungan pengetahuan di dalam sebuah gaya seni (termasuk bahasa), mendorong bentuk-bentuk asli budaya, sebuah bentuk kehidupan yang sungguh alami, asli, tersatukan dan kreatif serta bersifat produktif. Secara negatif, bahasa dan budaya bukanlah gaya hidup, juga bukan kesatuan artistik harmonis dan pengetahuan historis, melainkan kumpulan campur aduk semua gaya dan sesuatu yang dihayati. Penghayatan semacam ini akan memunculkan apa yang disebut Nietzsche plastic power (kekuatan plastik) pada manusia, masyarakat atau budaya seperti berikut.
"...the deeper the roots of a man’s inner nature, the better will he take the past into himself; and the greatest and most powerful nature would be known by absence of limits for the historical sense to overgrow and work harm. It would assimilate and digest the past, however foreign, and turn it to sap" (Copleston, 1974:35).
Dengan demikian, tidak dapat dipungkuri bahwa multikulturalisme adalah realitas kebudayaan. Kecanggihan visi dan permainan wacana bahasa Inggris sebagai world’s language telah menjadikannya sebagai puncak perwujudan kekuasaan yang membanggakan bagi pemiliknya. Akan tetapi, kebanggaan terhadap penggunaan bahasa seperti ini bagi yang bukan native speaker terkadang menjadi sumber malapetaka bahasa ibu mereka sendiri. Dengan kebanggaan itu, bisa saja tanpa disadari kemudian, masyarakat Nusantara membangun sebuah konstruksi mental yang menerima pengetahuan di luar kesadarannya sebagai kebenaran. Apabila hal ini terjadi maka bukan tidak mungkin dari waktu ke waktu bahasa-bahasa lain selain bahasa Inggris akan punah dan kesadaran manusia di bumi akan dibangun sesuai dengan standart kesadaran bahasa Inggris. Artinya, kemajemukan bangsa-bangsa di dunia pun akan berubah menjadi bangsa yang berkesadaran tunggal di bawah kesadaran dan pemilik world’s language. Sebagaimana hampir punahnya bangsa Indian di Benua Amerika dan Aborigin di Australia sebagai bangsa pribumi.

Daftar Pustaka
Copleston, Frederick. 1975. Friederich Nietzsche: Philosopher of Culture. USA: Harper & Row.
Foucault, Michel. 2007. Order of Thing: Arkeologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
________. 2002. Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Michel Foucault. Yogyakarta: Jalasutra.
Lubis, Akhyar Yusuf.  2004.  Setelah Kebenaran dan Kepastian Dihancurkan Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan: Sebuah Uraian Filsafat Ilmu Pengetahuan Kaum Posmodernis.  Bogor: Akademia.
Magnis-Suseno, F. 1999. Etika Jawa : Sebuah Analisa Fasafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Muzir, Inyiak Ridwan. 2008. Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gademer. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Norris, Christopher. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Terj. Inyiak Ridwan Muzir. Jogjakarta: Ar-Ruzz.
Ratna, Kutha.  2005.  Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 
Ricoeur, Paul. 2002. Filsafat Wacana Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa. Yogyakarta: IRCiSod.
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.



* Dosen Program Studi S1 Arsitektur dan Program Studi S2 Kajian Budaya, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Email: titis_pitana@yahoo.com.

Arsitektur Jawa Yang Hidup


REPRODUKSI SIMBOLIK ARSITEKTUR TRADISIONAL JAWA:
MEMAHAMI RUANG HIDUP MATERIAL MANUSIA JAWA

Oleh:
Titis S. Pitana[*]

Abstract: The idea of Javanese home (omah), as a form of traditional architecture that reflects Javanese culture, will be used in this paper as a standpoint to understand the symbolic reproduction of Javanese architecture. Javanese people regard cosmology as an underlying value that always empower their life so that any changes in it may manifest only in its forms, but not in its basic values. Norms and ethics in their social interaction are positioned in the principles of togetherness, respect, and harmony. The employment of these principles in social interactions has made Javanese people open to deal with any changes. Their self-identity is expressed totally through mind and rational action. In their material life space, the identity is communicated indirectly, i.e. through certain symbols.  Arguments in the following discussion are meant eventually to propose an implication that, concerning the Javanese traditional architecture, particularly Javanese people’s home or life space, any interaction with outer influential forces demands that traditional, generic values and norms be negotiated continuously and experience a reproduction.

Keywords: reproduksi simbolik, arsitektur tradisional Jawa, ruang hidup material


Pendahuluan
“Kang ingaran urip mono mung jumbuhing badan wadaq lan batine,
pepindhane wadhah lan isine…
Jeneng wadah yen tanpa isi, alah dene arane wadhah, tanpa tanja tan ana pigunane
semono uga isi tanpa wadhah,  yekti barang mokal…
Tumrap urip kang utama tertamtu ambutuhake wadhah lan isi,
kang utama karo-karone.”
(Kutipan dari salah satu Serat Dewa Ruci)

Yang disebut hidup adalah manunggalnya tubuh dan batin (raga dan jiwa),
ibarat wadah dan isinya…
Wadah tanpa isi, adalah sia-sia disebut wadah,
tidak akan berarti dan berguna.
Demikian juga isi tanpa wadah, adalah sesuatu yang mustahil…
Untuk hidup yang sempurna membutuhkan wadah dan isi,
yang utama adalah kedua-duanya.

jumbuhing badan wadaq lan batine

Kutipan di atas sengaja penulis tempatkan pada awal makalah ini dengan harapan dapat merupakan dasar pemahaman terhadap cara pandang manusia Jawa dalam menjalani dan menuju kesempurnaan hidupnya di dunia. Subjektifitas dan interpretasi bebas penulis mengenai kutipan naskah sastra di atas mengarahkan penulis untuk menjadikannya sebagai suatu analogi pandangan manusia Jawa mengenai rumah sebagai miniatur kosmos atau jagadnya, yang oleh Frick (1997) disebut sebagai ruang hidup material.
Shelter atau tempat berlindung adalah embrio dari munculnya ilmu bangunan (arsitektur) untuk memenuhi kebutuhan manusia akan tempat tinggal atau rumah. Pada awalnya manusia dengan nalurinya mampu membuat suatu bangunan asal berdiri dan dapat digunakan sebagai tempat berlindung dari cuaca dan binatang buas. Tetapi apakah itu termasuk karya arsitektur? Jawabnya tentu bukan. Karena kalau itu arsitektur, manusia tidak ada bedanya dengan ular yang memilih semak-semak sebagai tempat berlindungnya, tikus sawah yang menggali lubang sebagai tempat tinggalnya, atau burung Manyar yang dengan kemampuan menganyamnya mampu membuat sarang yang sangat indah dan kuat sebagai tempat tinggalnya. Kebutuhan shelter atau tempat berlindung bagi manusia berkembang menjadi kebutuhan akan tempat tinggal, yang selanjutnya disebut dengan rumah. Dari sinilah arsitektur atau secara sederhana disebut dengan ilmu bangunan dibutuhkan, yang selanjutnya rumah tidak hanya sebagai bangunan tempat berlindung dan tinggal, tetapi juga memiliki unsur-unsur yang membuat bangunan rumah lebih memiliki makna, atau Mangunwijaya (1992:6) menyebutnya dengan istilah “lebih dari asal-berguna”. Sejalan dengan pendapat ini Rapoport (1969:129) mencantumkan salah satu dari empat hal yang harus dipenuhi agar bangunan rumah dikatakan baik adalah harus memiliki fungsi sosial dan budaya.
Rumah manusia Jawa, yang biasa disebut dengan omah, pada awalnya merupakan bentuk dari karya arsitektur tradisional Jawa, yang dari perwujudannya akan dapat ditangkap dimensi guna dan citra. Pemunculan dimensi citra dalam suatu karya arsitektur, menurut Mangunwijaya (1992) adalah upaya menjadikan manusia sebagai makhuk yang berbudaya, sehingga karya arsitektur dapat dikatakan sebagai cermin suatu kebudayaan. Pemahaman arsitektur sebagai cermin kebudayaan ini akhirnya penulis jadikan sebagai pijakan argumen dalam pembahasan empat persoalan penting mengenai reproduksi simbolik arsitektur Jawa ini. Pertama, manusia Jawa dapat digolongkan sebagai masyarakat archaic yang menempatkan kosmologi sebagai sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya. Pandangan manusia Jawa terhadap kosmosnya adalah merupakan bentuk nilai tetap yang selalu hadir dalam kehidupannya, kendati pengaruh Hindu, Budha, Islam dan lainnya sempat memberikan warna, akan tetapi perubahan yang ada hanyalah pada perwujudannya saja, tidak pada bentuk kaidah atau norma yang ada. Kedua, norma dan etika hidup manusia Jawa dalam interaksi sosial diatur melalui prinsip kerukunan, hormat, dan keselarasan. Realitas ini menjadikan manusia Jawa sangat menghargai adanya perbedaan, bahkan perbedaan jenjang yang ada dalam masyarakat dimaknai sebagai perbedaan peran dan tanggung jawab. Dalam hubungannya dengan interaksi sosial ini, konstruksi sosial dari masyarakat Jawa terbentuk dan mempengaruhi sikap hidup yang diekspresikan dalam ruang hidup materialnya. Ketiga, prinsip kerukunan, hormat, dan kesalaran dalam interaksi sosial tersebut menjadikan manusia Jawa sangat terbuka dalam menerima suatu perubahan. Perubahan yang paling banyak terjadi adalah pada sistem nilai, sedangkan untuk norma yang diwujudkan pada perilaku relatif tidak berubah. Keempat, identitas diri yang terbentuk diungkapkan melalui pikiran dan perbuatan yang total, berlandasan dan beralasan. Dalam ruang hidup materialnya, hal tersebut dikomunikasikan secara tidak langsung, tetapi diungkapkan dengan menggunakan simbol. Berbagai bentuk simbol diekspresikan dalam rumah tradisional Jawa, mulai dari konsep tata ruang hingga elemen fisik bangunannya. Hal tersebut dimaksudkan agar karya arsitektur tersebut dapat merupakan ungkapan orientasi diri dan refleksi sikap hidupnya. Selanjutnya, pesan yang yang terkandung di dalamnya dapat diapresiasikan secara bebas oleh siapa saja dan kapan saja, tanpa perlu diterima sekaligus.

Kosmologi Jawa: Pendekatan Konsep Bentuk dan Ruang Arsitektur Jawa
Manusia Jawa menyebut tempat tinggalnya dengan istilah omah. Kata omah merupakan bentukan dari dua kata om, yang diartikan sebagai angkasa dan bersifat laki-laki (kebapakan), dan mah yang diartikan lemah (tanah) dan bersifat perempuan (keibuan). Sehingga omah (rumah) dimaknai sebagai miniatur dari jagad manusia yang terdiri Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi (Pitana 2001:40). Realitas ini menunjukkan pada kita tentang pemahaman dan sikap manusia Jawa terhadap jagadnya yang oleh Frick (1997:83) dijelaskan bahwa makrokosmos manusia Jawa adalah lingkungan alam, sedangkan mikrokosmosnya adalah arsitektur sebagai ruang tempat hidup yang merupakan gambaran makrokosmos yang tak terhingga.
Kosmologi Jawa adalah sebuah konsep tentang kehidupan mistis manusia Jawa yang dipadukan dengan kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan supranatural di luar dirinya, baik kekuatan dari alam maupun Tuhannya (Lombard 1996). Lebih detail, kosmologi Jawa dapat dimaknai sebagai konsep-konsep yang dimiliki manusia Jawa tentang kepercayaan, mitos, norma, dan pandangan hidup, yang di dalamnya terdapat keyakinan adanya jagad alit (mikrokosmos) dan jagad gede (makrokosmos). Kedua jagad tersebut merupakan kekuatan yang mempengaruhi segala sisi kehidupan manusia Jawa. Dengan kata lain, bahwa kehidupan manusia Jawa sangat dipengaruhi oleh kekuatan yang muncul dari dirinya sendiri (jagad alitnya) dan dari luar dirinya atau lingkungan alam sekitarnya (jadag gedenya) (Nugroho 1996:18-20, Magnis-Suseno 1996:82-135; Mulder 1996:34-35; Dojosantosa 1989:5-6).
Berangkat dari keyakinan diri sebagai pusat yang dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan yang ada disekelilingnya, manusia jawa dalam kehidupannya selalu berusaha menjaga keseimbangan dan keharmonian jagadnya, yang meliputi jagad alit dan jagad gede (Herusatoto 1991). Sehingga perwujudan dari konsep bentuk rumah Jawa merupakan refleksi dari lingkungan alamnya yang sangat dipengaruhi oleh geometric, yang sepenuhnya dikuasai oleh kekuatan dari dalam diri sendiri; dan pengaruh geofisik, yang sangat tergantung pada kekuatan alam lingkungannya. Kemanunggalan mikrokosmos dan makrokosmos ini diartikan bahwa manusia telah menjalin hubungan dengan kekuatan di luar dirinya yang jauh lebih besar, dan diharapkan akan senantiasa terjaga dan mampu meningkatkan kekuatan dirinya.
Kesungguhan manusia Jawa dalam menjaga keseimbangan dan keselarasan antara mikrokosmos dan makrokosmos dalam penentuan ruang hidup materialnya tidak hanya diwujudkan dalam pemakaian istilah omah untuk rumah, tetapi lebih pada pemakaian simbol pada hampir seluruh bagian yang berkaitan dengan rumah itu sendiri, baik pada simbol materi maupun simbol perilakunya. Simbol materi yang dimaksud di sini adalah untuk hal-hal yang bersifat fisik dan dapat ditangkap secara inderawi, diantaranya adalah: pola tata ruang dan tata massa bangunan, pola perwujudan bentuk bangunan, penggunaan material bangunan, dan desain ornamen-ornamen yang melekat. Sedangkan untuk simbol perilaku yang dimaksud adalah untuk hal-hal yang berkaitan dengan tindakan dari manusia Jawa berkaitan dengan pembangunan rumahnya, diantaranya adalah mengenai ritual-ritual, laku batin, dan gugon tuhon yang menyertai proses pembangunan sebuah rumah. Misalnya, ritual bedah bumi untuk pertanda memulainya penggalian tanah untuk pondasi rumah, atau ritual munggah penuwun untuk memulai memasang balok kayu paling atas dari sebuah atap bangunan.
Bagian fisik dari perwujudan rumah tradisional Jawa yang paling mudah diidentifikasi adalah perwujudan bentuk atap. Berbeda dengan bangunan-bangunan tradisional lainnya di Nusantara yang biasanya mengambil filosofi bentuk sebuah perahu, atap bangunan tradisional Jawa mengambil filosofi bentuk dari sebuah gunung. Pada awalnya filosofi bentuk gunung tersebut diwujudkan dalam bentuk atap dengan diberi nama atap Tajug. Pada perkembangannya, atap Tajug mengalami pengembangan menjadi atap Joglo (tajug loro = penggabungan dua tajug) dan penyederhanaan menjadi atap Limasan dan Kampung (Prijotomo 1995; Ismunandar 1986). Di sini tidak akan dibahas panjang lebar mengenai jenis atau tipe-tipe dari atap tersebut, karena informasi mengenai hal tersebut sudah banyak dibahas dalam beberapa pustaka mengenai arsitektur tradisional Jawa. Tetapi bahasan pada tulisan ini lebih diarahkan pada kosmologi Jawa yang menjiwai konsep bentuk rumah tradisional Jawa.
Dalam sistem struktur bangunan tradisional Jawa, struktur atap ditopang dan diikat oleh saka (kolom atau tiang), yang kemudian diteruskan ke pondasi bangunan yang berbentuk umpak (pondasi setempat yang terbuat dari batu berbentuk trapesium). Kolom utama penyangga atap bangunan adalah saka guru, yang berjumlah 4 buah. Jumlah dari saka guru ini adalah merupakan simbol adanya pengaruh kekuatan yang berasal dari empat penjuru mata angin, atau biasa disebut konsep Pajupat. Dalam konsep ini, manusia dianggap berada di tengah perpotongan arah mata angin, tempat yang dianggap mengandung getaran magis yang amat tinggi. Tempat ini selanjutnya disebut sebagai pancer atau manunggaling  keblat papat.
Dalam kehidupan manusia Jawa gunung sering dipakai sebagai idea bentuk yang dituangkan dalam berbagai simbol, khusunya untuk simbol-simbol yang berkenaan dengan sesuatu yang sakral. Hal ini karena adanya pengaruh kuat keyakinan bahwa gunung atau tempat yang tinggi adalah tempat yang dianggap suci dan tempat tinggal para Dewa. Selain dituangkan dalam perwujudan bentuk atap, mitos gunung ini melahirkan konsep punden berundak dalam arsitektur tradisional Jawa, yaitu suatu konsep ruang yang menganggap ruang yang lebih tinggi adalah ruang yang lebih sakral (Pitana 2001:143-146; Pitana 2002).  

Konstruksi Sosial: Tahapan Penyucian dan Pembentukan Ruang Hidup Material
Kesadaran keberadaan manusia Jawa sebagai makhluk pribadi dan sosial dapat dilihat dari moral etika hidup kesehariannya. Dengan moral etika ini manusia Jawa sangat menghargai adanya perbedaan. Perbedaan jenjang kedudukan yang ada dalam masyarakat dimaknai sebagai perbedaan peran dan tanggung jawab. Bahkan kesadaran akan perbedaan ini meruapakan salah satu bentuk cara manusia Jawa dalam menciptakan keseimbangan dan keselarasan hidupnya.  Mereka mengenal adanya tiga moral etika sebagai pengatur kehidupan sosialnya dengan tidak mengabaikan keberadaannya sebagai makhluk pribadi. Pertama, moral etika yang digunakan dalam kelompok terkecil, yaitu lingkup keluarga. Moral etika ini disebut dengan moral etika keluarga. Kedua, moral etika antar keluarga, yaitu moral etika yang digunakan dalam kehidupan kelompok yang lebih besar atau antar keluarga. Ketiga, moral etika yang digunakan dalam lingkup masyarakat luas. Pada praktek kesehariannya, manusia Jawa lebih megutamakan moral etika yang lebih luas, atau dalam arti lain manusia Jawa lebih mengutamakan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi atau kelompok yang lebih kecil (Herusatoto 1991; Magnis-Suseno 1996).
Tingkatan jenjang atau perbedaan status sosial masyarakat Jawa dalam kehidupan keseharian dapat dilihat dari penggunaan bahasanya. Bahasa Jawa secara tajam membedakan antara ngoko (kasar) dengan kromo (halus). Ngoko yaitu bahasa yang digunakan oleh rakyat biasa atau bahasa yang dipakai oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda, atau orang yang memiliki status sosial lebih tinggi ke yang lebih rendah. Sedangkan, kromo adalah bahasa orang bangsawan atau bahasa yang digunakan oleh rakyat jelata kepada bangsawan atau orang yang lebih muda ke yang lebih tua. Diantara ngoko dan kromo ada bahasa madya yang lebih berfungsi sebagai bahasa perhubungan atau bahasa yang biasa dipakai oleh para bangsawan kepada rakyat biasa (Pitana 2001:27; Moedjanto 1993:53-94).
Bagi manusia Jawa rumah merupakan ungkapan hakikat penghayatan terhadap kehidupan. Apabila pengaturan pengunaan bahasa pada pengaturan hirarki antara para bangsawan dan rakyat di atas merupakan penentuan ruang hirarki strata sosial bagi kehidupan manusia Jawa, maka dapat dipahami bahwa arsitektur tradisional Jawa merupakan penentuan ruang hidup material manusia Jawa. Penggunaan sekat dan dinding pembatas pada rumah tidak dimaknai sebagai pembatas dengan alam, tetapi lebih merupakan penegasan terhadap ketentuan moral etika. Secara arsitektural, pola tata ruang yang ada pada bangunan rumah tradisional Jawa dapat jelas diidentifikasikan tahapan penyucian atau tingkat kesakralan ruangnya. Secara visual, semakin tertutup suatu ruang, semakin tinggi tingkat kesakralannya.
Dalam hirarki pola tata ruang hidup material, struktur ruang rumah Jawa dengan halaman tertutup (pagar), terdiri dari bangunan induk dan bangunan tambahan. Pagar disini lebih dimaknai sebagai penciptaan batas moral etika yang tetap memungkinkan terjadinya interaksi dengan dunia luar yang lebih luas. Dalam konteks tahapan penyucian, seperti halnya mitos gunung sebagai tempat suci, puncak gunung adalah berada di tempat yang tertinggi dan dikelilingi tempat yang lebih rendah, pada rumah tradisional Jawa tempat yang paling suci adalah memiliki lantai paling tinggi dibanding ruang-ruang lainnya, dan posisi ruang tersebut sudah pasti ada pada bangunan induk atau bangunan inti yang dikelilingi dengan bangunan tambahan dan ruang-ruang lainnya. Bangunan inti rumah Jawa secara berurutan terdiri dari pendopo dan pringgitan, dalem agung, dapur dan pekiwanPendopo dan pringgitan di sini merupakan bangunan profan yang berada di bagian depan, dan berfungsi sebagai bagian penerima. Dalem agung adalah sebagai bangunan private yang sakral. Sedangkan dapur dan pekiwan adalah bagian pelayanan yang bersifat profane.  
Penggunaan sumbu kosmis yang merupakan penerapan konsep pajupat dalam penentuan orientasi bangunan juga dipengaruhi oleh kesadaran terhadap tingkatan suatu jenjang kehidupan di masyarakat. Sebagai contoh, seperti yang dipaparkan oleh Frick (1997:84) bahwa rumah tradisional Jawa pada umunya menggunakan orientasi terhadap sumbu kosmis dari arah Utara – Selatan, yaitu tempat yang diyakini sebagai tempat tinggal penguasa Laut Selatan dan Dewi pelindung kerajaan Mataram. Sedangkan orientasi terhadap sumbu kosmis Barat – Timur adalah tabu bagi rakyat biasa, karena arah Timur adalah dianggap sudah menjadi bagian Karaton Mataram, selain juga arah Timur diyakini sebagai tempat tinggal Dewa Yamadipati (Dewa pencabut nyawa).
Perwujudan bentuk atap rumah tradisional Jawa sangat ditentukan oleh kesadaran akan moral etika kemasyarakatan yang belaku. Dalam kaitan dengan tahap penyucian, perwujudan atap bangunan tradisional Jawa dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, atap yang biasa digunakan oleh rakyat biasa. Bentuk atap ini adalah bentuk-bentuk sederhana, seperti atap kampung dan limasan. Kedua, atap yang biasa digunakan untuk kaum bangsawan adalah atap joglo dan pengembangannya. Ketiga, atap tajug dan pengembangannya, yaitu atap yang tabu apabila digunakan untuk banguan rumah tinggal, dan hanya cocok untuk bangunan-bangunan sakral seperti masjid atau kuil (Frick 1997:133).

Dekonstruksi Mitos Penyucian dan Pembentukan Ruang
Perubahan yang terjadi secara meluas dalam masyarakat bukan saja menjelaskan bagaimana interaksi masyarakat dengan berbagai faktor yang menentukan penataan sosial secara meluas (Abdullah 2006:143). Perubahan pemahaman terhadap suatu mitos dalam suatu masyarakat harus dilihat dalam konteks perubahan global yang terjadi dan memiliki pengaruh dalam penataan sosial hingga ke tingkat yang paling kecil. Hal ini juga disebabkan oleh globalisasi yang membutuhkan respon yang tepat karena ia memaksa adanya strategi yang tepat. Respon dan strategi ini adalah merupakan bagian dari proses sikap hidup manusia.
Sikap hidup manusia merupakan aktualisai dari penghayatan terhadap kehidupannya. Bagi manusia Jawa, rumah sebagai ruang hidup material merupakan ungkapan hakikat penghayatan tersebut. Proses terbentuknya suatu respon dan strategi dalam menyikapi perubahan sebagai akibat globalisasi telah menjadikan batas-batas sosial budaya masyarakat Jawa semakin luas dan kabur, perubahan karakter komunitas semakin mencolok, ikatan-ikatan tradisional semakin melemah karena otonomi individu-individu semakin kuat, dan nilai-nilai tradisional yang merupakan acuan kebudayaan generik harus didekonstruksikan dan tawar-menawar terhadap nilai-nilai yang berlaku menjadikan setiap individu dalam suatu masyarakat memiliki banyak pilihan dalam menentukan sikap hidupnya. Pada akhirnya mitos penyucian dalam pembentukan ruang hidup material pun tidak lagi menjadi acuan baku yang secara tradisi menyertai perwujudannya dalam bentuk rumah manusia Jawa (Abdullah 2007).
Negosiasi nilai yang terjadi akibat interaksi dengan dunia global yang ada membawa nilai-nilai tradisional budaya Jawa masuk ke dalam kebudayaan diferensial. Strata sosial yang pada awalnya menjadi batas-batas konstruksi sosial masyarakat Jawa menjadi kabur dengan semakin menonjolnya identitas diri dari masing-masing individu. Status sosial sebagai bangsawan atau rakyat biasa bukan lagi dilihat sebagai takdir yang harus diterima apa adanya, melainkan menjadi sebuah pilihan yang harus diperjuangkan. Kompleksitas realitas ini didorong dengan globalisasi yang tak dapat dihindari dan pasar yang telah berubah menjadi kekuatan dominan dalam pembentukan nilai dan tatanan sosial (Abdullah 2006:143). Terdapat dua kompleksitas realitas yang berkaitan dengan penentuan ruang hidup material manusia Jawa. Pertama, kompleksitas realitas ekternal yang menempatkan dominasi pasar sebagai kekuatan pembentuk nilai dan tatanan sosial. Perkembangan suatu wilayah hunian yang begitu cepat akibat peran pengembang dan bisnis property menjadikan manusia lebih menyukai tinggal di daerah yang memiliki kelengkapan dan kemudahan fasilitas. Akibatnya suatu wilayah hunian strategis menjadi incaran dan lahan hunian yang tersedia semakin menipis. Sehingga nilai dan norma tradisi dalam pembangunan rumah tinggal manusia Jawa dinegosiasikan menjadi sesuatu yang minimalis. Mitos penyucian dan pembentukan ruang hidup material manusia Jawa, yang pada awalnya sangat ditentukan oleh prinsip moral etika, telah disederhanakan oleh prinsip-prinsip komunikasi yang padat dan canggih. Kedua, kompleksitas realitas internal yang dimiliki dan terdapat pada masing-masing individu manusia Jawa itu sendiri. Kemampuan ekonomi masing-masing individu dan lunturnya kepercayaan mistis telah menjadikan nilai-nilai yang berhubungan dengan arsitektur tradisional Jawa seperti primbon, kawruh kalang, ataupun gugon tuhon menjadi tidak popular karena semua itu dianggap tidak ekonomis dan tidak rasional.

Subjektivitas: Arsitektur sebagai Simbol Orientasi Diri dan Refleksi Sikap Hidup Manusia Jawa
Kalau kuatnya pengaruh globalisasi dipercaya mampu menggeser nilai dan norma etika tradisional budaya Jawa yang ada, bukan berarti nilai dan norma tersebut telah tergantikan secara total. Secara generik nilai dan norma tersebut melekat dan diwariskan dari generasi ke generasi dan akan tetap ada kendati telah mengalami negosiasi akibat adanya interaksi. Minimalisasi konsep arsitektural pada penciptaan ruang hidup material akibat pengaruh ekternal bukanlah sesuatu yang begitu saja terjadi. Semua itu telah melalui proses tawar-menawar dan mendatangkan respon cerdas dengan menggunakan strategi tepat dalam menentukan sikap hidup manusia Jawa. Dalam kasus perencanaan dan pembangunan suatu kawasan perumahan di Jawa, seorang arsitek tidak lagi menggunakan orientasi sumbu kosmis Utara – Selatan karena dianggap akan membatasi kreativitas desain dan tidak optimalnya pola tata ruang kawasan hunian. Nampak jelas dominasi pasar telah nampak di sini. Akan tetapi, di sisi lain arsitek sedapat mungkin menghindari munculnya desain kawasan yang menempatkan suatu bangunan rumah pada posisi tusuk sate, karena pada kenyataannya rumah tersebut akan dihindari oleh calon pembeli karena diyakini akan mendatangkan sial bagi penghuninya.
Mitos pamali (tabu) pada rumah tusuk sate (rumah yang berada pada tepat menghadap arah frontal jalan pada suatu pertigaan) yang bagi masyarakat Jawa dianggap mendatangkan sial bagi penghuninya adalah suatu mitos yang hidup bukan tanpa suatu alasan. Sejalan dengan cara manusia Jawa dalam merangkai ilmu pengetahuan, mitos pada dasarnya produk dari perbendaharaan ilmu pengetahuan manusia Jawa yang didapat dari kepekaan dan kemampuannya dalam melakukan pengamatan terhadap semua kejadian dan keberadaan lingkungannya, pengungkapan dan pengenalan masalah, serta pemecahan masalah maupun penerapan hasilnya. Posisi rumah tusuk sate secara nalar sederhana memiliki tiga potensi masalah. Pertama, masalah keamanan karena ancaman lalu lintas. Kedua, masalah kenyamanan, terutama dari masalah kebisingan dan pengaruh cahaya kendaraan pada malam hari. Ketiga, masalah kesehatan yang disebabkan banyaknya debu dan kerasnya tiupan angin yang menerpa langsung pada bangunan rumah, sehingga apabila bangunan rumah tidak memiliki sistem sirkulasi penghawaan alami yang baik akan menyebabkan gangguan kesehatan bagi penghuninya.   Contoh lahirnya mitos ini terangkai dalam suatu proses panjang lahirnya suatu ilmu pengetahuan yang dalam dunia kejawen dikenal sebagai ilmu nitik, sedangkan dalam ilmu modern dianggap sebagai mitos.
Sejalan dengan bertambahnya kemampuan ekonomi dari keluarga-keluarga Jawa yang telah menempati sebuah rumah di suatu kawasan hunian modern, mereka secara bertahap mencoba mengadakan suatu perubahan wujud dari fisik bangunan rumah tinggalnya. Desain rumah dari pengembang yang mereka tempati sedikit demi sedikit akan mereka sesuaikan dengan nilai dan norma budaya yang secara generik mereka warisi. Dimulai dari pola tata ruang yang sedapat mungkin mereka manfaatkan demi kedekatan pada nilai dan norma yang mereka miliki, tampilan fisik juga tidak akan luput dari keinginan untuk menyesuaikannya. Proses munculnya respon dan strategi inilah menunjukkan adanya reproduksi simbolik budaya, dalam hal ini arsitektur tradisional Jawa.
Secara tradisional penentuan tahap penyucian dan pembentukan ruang hidup material diwujudkan dengan massa bangunan dan batas-batas ruang yang jelas. Sakral dan profan dibedakan dengan bagian bangunan yang terpisah. Strata sosial menentukan perwujudan bangunan rumah tinggal yang diwakili dengan tipe atap. Orientasi bangunan rumah tinggal rakyat biasa menggunakan sumbu kosmis Utara –Selatan dan tidak boleh sama dengan sumbu kosmis yang digunakan oleh karaton Barat – Timur. Apabila semua yang tersebut itu diangap sebagai mitos Jawa, dapat dipastikan nilai dan norma yang terkandung di dalamnya tidak akan hilang, tetapi mengalami penawaran dan pergeseran dalam pengungkapan bentuk simbol. Penawaran dan pergeseran dalam pengungkapan yang dimaksud adalah penyederhanaan perwujudan.
Dari sudut pandang struktural Koentjaraningrat (1994) memaparkan gambaran detail kebudayaan Jawa sebagai kebudayaan yang memiliki ciri ingin selalu mempertahankan keasliannya. Pengaruh kebudayaan lain yang sesuai dan dapat diterima hanya sebagai pengkayaan. Hal ini dapat dilihat dari sejarah kebudayaan Jawa itu sendiri. Filsafat hidup atau pandangan hidup manusia Jawa yang dikenal dengan ngelmu kejawen (ngelmu kasampurnan atau ngelmu kebatinan Jawa) adalah filsafat hidup yang berinti pada mistik Jawa yang banyak dipengaruhi oleh mistik Hindu, Budha, Islam, Kristen, dan lain-lain.
Untuk memahami ruang hidup material manusia Jawa sebagai simbol orientasi diri dan refleksi sikap hidupnya sudut pandang struktural tersebut perlu mendapat pendekatan subjektif dengan didasari pada beberapa asumsi. Pertama, kehidupan pribadi manusia Jawa sarat dengan simbol. Mereka selalu berpegang pada cipta (rasio), rasa (perasaan), dan karsa (kehendak) dalam usaha melaksanakan karya (pekerjaan), sehingga tidak pernah tergesa-gesa dalam membuat suatu keputusan. Hal ini terjadi pada perwujudan bentuk dalam menuangkan idea yang dapat menyentuh dan merangsang rasa perasaan terdalam. Pesan dan ajaran falsafah hidupnya menentukan orientasi diri dan sikap hidupnya yang terungkap dalam wujud lambang atau sinamuning samudono. Orang lain dipaksa untuk mempelajari dan mengupasnya lebih dahulu dengan penuh rasa perasaan yang dalam, sehingga dapat mengungkap inti sari pesan dan ajaran tersebut. Meskipun ungkapan simbolnya tidak mudah dimengerti (karena ungkapan simbolnya selalu bersentuhan dengan mistik), semua karya dipertanggungjawabkan tidak hanya sebatas kenyataan duniawi saja, tetapi sampai kepada kekuatan yang tak nampak ialah Tuhan Sang Kuasa Mutlak, sehinga ungkapan yang muncul lebih banyak ke arah dunia religius. Karenanya segala tindakannya merupakan sesuatu yang berlandasan dan beralasan. Kedua, kehidupan sosial manusia Jawa merupakan cermin kerukunan yang saling menghargai dan menghormati sesama, sehingga adanya perbedaan jenjang dimaknainya sebagai adanya perbedaan peran dan tanggung jawab. Ketiga, ruang hidup manusia Jawa yang terukur dan nyata. Pola bentuk ruang ini mengikuti pola prilaku kehidupan dan keadaan alamnya. Rumah sebagai ruang hidup materialnya dianggap sebagai miniatur kosmosnya yang memiliki unsur-unsur batas yang nyata dengan suasananya, yang terbentuk karena pertimbangan pandangan yang menyatakan rumah adalah sebagai status kemantaban rumah tangga, dan kerukunan yang menjadikan bangunan rumah keluarga Jawa selalu dipersiapkan tidak hanya terbatas pada kepentingan keluarga inti saja.

Penutup
Usaha perencanaan dan perancangan arsitektur dalam upayanya menciptakan ruang hidup material bagi manusia tidak dapat lepas dari nilai dan norma yang berlaku dalam budayanya. Secara khusus bagi manusia Jawa, yang ciri kebudayaannya ingin selalu mempertahankan keasliannya, menempatkan pengaruh kebudayaan lain yang sesuai dan dapat diterima hanya sebagai pengkayaan. Dalam kaitannya dengan arsitektur tradisional Jawa, khususnya pada bangunan rumah atau ruang hidup material manusia Jawa, pengaruh adanya interaksi dengan lingkungan luar menjadikan nilai dan norma tradisi yang bersifat generik telah dinegosiasikan secara terus-menerus dan mengalami suatu reproduksi.
Sebagai akhir dari makalah ini, penulis merasa perlu menyampaikan suatu saran khususnya bagi pekerjaan perencanaan dan perancangan suatu kawasan hunian bagi masyarakat Jawa. Bagi perencana ataupun arsitek dalam upaya menciptakan suatu kawasan hunian bagi masyarakat Jawa sebaiknya memperhatikan ketiga asumsi yang penulis paparkan di atas. Selanjutnya dalam perwujudan desain rumah yang dihasilkan faktor fleksibilitas dan ekspansibilitas bangunan adalah merupakan dua hal penting. Faktor fleksibilitas yang dimaksud adalah kemudahan untuk mengalami suatu perubahan sejalan dengan kemampuan dan keinginan penghuni. Sedangkan faktor ekspansibilitas yang dimaksudkan adalah masih adanya kemungkinan mengalami suatu pengembangan sesuai dengan kemampuan, keinginan, dan tuntutan keadaan yang dimiliki oleh penghuninya. Adanya kedua falktor ini dimaksudkan untuk dapat menyelaraskan dengan tiga asumsi yang telah penulis paparkan di atas. 

Daftar Pustaka

Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_____________, 2007. Reproduksi Kebudayaan. Materi Kuliah disampaikan pada S3 Kajian Budaya Universitas Udayana, Tanggal 17 Februari 2007.

Dojosantosa 1989. Unsur Religius Dalam Sastra Jawa . Aneka Ilmu, Semarang.

Frick, H. 1997. Pola Struktur dan Teknik Bangunan di Indonesia. Penerbit Kanisius, Yogyakarta and Soegijapranoto University Press, Semarang.

Herusatoto, B. 1991. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Hanindita, Yogyakarta.

Ismunandar, R.K. 1986. Joglo: Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Dahara Prize, Semarang.

Koentjaraningrat 1994. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Lombard, D. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya - The Third Part: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Magnis-Suseno, F. 1996. Etika Jawa : Sebuah Analisa Fasafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Mangunwijaya, Yusuf B. 1992. Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-dendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis.  Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Moedjanto, G. 1993. The Concept of Power in Javanese Culture. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Mulder, N. 1996. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, 7th edn, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Nugroho, A. 1996. Menguak Hong Shui Kejawen, 2nd ednAneka, Solo.

Pitana, T.S. 2001. The Javanese Cosmology and Its Influence on Javanese Architecture (thesis). Australia: James Cook University.

Pitana, T.S. 2002. Sacred Places in Java: The Concept of Site Selection in Javanese Architecture. Architectural Science Review, Vol.45.1/March 2002. University of Sydney, Australia.

Prijotomo, J. 1995. Petungan: Sistem Ukuran Dalam Arsitektur Jawa. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Rapoport, Amos 1969. House Form and Culture. Englewood Cliffs,N.J., Prentice-Hall, Inc.



[*] Staff Pengajar dan Pengelola Laboratorium Arsitektur Jawa, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.