DISKURSUS KEARIFAN LOKAL SEBAGAI
BAHASA IBU ARSITEKTUR JAWA
BAHASA IBU ARSITEKTUR JAWA
Oleh
Dr. Titis
Srimuda Pitana, S.T., M.Trop.Arch.*
Abstrak
Pengandaian
arsitektur sebagai bahasa sama halnya menjadikan arsitektur sebagai teks budaya
yang harus dibaca untuk dapat diungkap makna yang dikandungnya. Sementara itu,
makna tidak pernah lahir dari teks (objek), tetapi selalu diberikan oleh
pembaca (subjek). Makna lahir ketika terjadi hubungan langsung antara pembaca
(subjek) dengan teks (objek) melalui kesadarannya. Dalam hal ini, kesadaran
subjek memiliki peran dominan atas munculnya makna. Oleh karenanya, persoalan
arsitektur bukan hanya berhenti pada persoalan geometris, penciptaan ruang, dan
menghuninya, melainkan lebih pada dimensi "kekinian" yang disebut
dengan "kemenjadian" (becoming);
bukan hanya ada (being), namun juga
mengada (beings).
Kebhinekaan
makna dalam arsitektur Jawa tidak saja disebabkan oleh kebhinekaan wujud
arsitektur yang merupakan sarana komunikasi visual yang pemaknaannya tidak akan
pernah berhenti, tetapi juga oleh ruang kesadaran subjek atas ruang-ruang
arsitektur (objek) yang merepresentasikan kejadian atau suatu ikatan ingatan
kolektif. Kehadiran arsitektur Jawa sebagai simbol telah menjadikannya sebagai
objek interpretasi yang melahirkan banyak makna. Sakralitas makna simbolik sebagai
ekspresi kearifan lokal Jawa yang diberikan dan diyakini oleh pembuatnya telah
mengalami pembongkaran dan pemaknaan ulang oleh berbagai pihak yang bertindak
sebagai subjek. Pada titik ini, sakralitas - profanitas dan/atau tradisional -
modern menjadi sangat jelas sebagai permainan wacana yang dapat diurai
relasi-relasi kuasa dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya.
Kata kunci: diskursus, kearifan lokal, arsitektur Jawa
1.
Pendahuluan
Arsitektur Jawa
begitu lazim diposisikan menjadi arsitektur tradisional, karena itu harus
berhadapan dengan arsitektur modern, sebagaimana positivisme mengafirmasi
kebenaran sebagai ‘paradoksal’. Kebenaran meta narasi ini pada kenyataan telah
merebut kesadaran bahwa arsitektur Jawa sebagai produk budaya kuno karena
eksistensinya begitu terikat pada masa lalu. Sebaliknya, arsitektur modern
karena sifat kebaruannya sehingga selalu sejalan dengan selera manusia yang
selalu menghedaki yang serba baru termasuk dalam bidang seni rancang bangun.
Apalagi selera itu memang sejalan dengan kodrat manusia yang selalu bergerak
maju ke masa depan. Dengan demikian, arsitektur modern berhasil membangun
kesadaran baru dan mendominasi kesadaran kearsitekturan Jawa yang tradisional.
Akibatnya, hampir seluruh aktivitas kearsitekturan Jawa berorientasi ke dunia
Barat, tempat budaya modern berasal. Apabila dominasi kesadaran arsitektur
modern ini dibiarkan berkembang semakin dalam di benak manusia Jawa, maka
arsitektur Jawa akan mengalami kesulitan mengelola kelangsungan hidupnya.
Nilai-seni
intinya bersumber pada nilai-kebaikan; dan nilai-kebaikan sejatinya berasal
dari nilai-kebenaran. Patut disadari bahwa kebenaran tidak melulu terdapat pada
yang baru, tetapi juga pada yang tradisional, bahkan kebenaran tersebar pada
sepanjang pengalaman manusia, bukan hanya ditentukan berdasarkan akal dan
rasional. Oleh karena itu, makalah ini ingin mengajak para akademisi dan
praktisi yang bergelut dalam bidang seni rancang bangun untuk memberikan porsi
dan posisi yang seimbang antara arsitektur Jawa dan arsitektur Modern. Dalam
konteks ini dipandang penting dan relevan mengetengahkan perbincangan tentang
kesadaran manusia dan diskursus; kebhinekaan makna atas simbolisasi kearifan
lokal Jawa; dan diskursus kearifan lokal
sebagai bahasa ibu arsitektur Jawa.
2.
Ruang Kesadaran Manusia dan Diskursus
Sebagai makhluk
berkesadaran, manusia tahu bahwa ia mengetahui sesuatu tentang sesuatu. Ini dibuktikan
dengan kemampuan berpikir dan berkomunikasi yang dimiliki. Berpikir adalah
berkata-kata dalam hati sendiri dan berkomunikasi adalah berkata-kata
antarsubjek. Mengingat kedua kegiatan ini merupakan tindak tutur dengan
menekankan pada penggunaan kata-kata sehingga kegiatan semacam ini tidak
dimungkinkan tanpa bahasa. Begitulah dengan bahasa, manusia bisa saling
memahami dan mewujudkan pengertian di antara sesamanya. Kesalingpengertian dan
pemahaman inilah yang dimaksud dengan kesadaran dan di dalamnya bahasa menjadi
alat dan wujud kesadaran itu sendiri. Ketika bahasa diterima menjadi wujud kesadaran
kolektif masyarakat manusia, maka manusia sudah menciptakan wacana di dalam
dunianya sendiri. Hal ini sejalan dengan pandangan Paul Ricoeur (2002:17)
tentang proses pembentukan wacana yang dimulai dari makna suatu benda hingga
terbentuknya hubungan antarpredikat. Ditegaskannya, “Satu kata benda mempunyai
makna, dan sebagai pelengkap maknanya satu kata kerja mengisyaratkan dimensi
waktu. Hanya dengan kesinambungan keduanyalah yang akan mengedepankan suatu
ikatan predikat yang dapat disebut sebagai logos
atau wacana”).
Istilah
“wacana” (discourse, discourse)
diperkenalkan oleh Michel Foucault dalam pidato pengukuhan guru besarnya, dan La archeologie da savoir (1968), serta
tulisannya tentang kegilaan (Lubis, 2004:147-148). Menurut Foucault (2002:9) diskursus
adalah cara menghasilkan pengetahuan beserta praktik sosial yang menyertainya,
bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan di balik
pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara
semua aspek ini. Artinya, diskursus merupakan kategori manusia yang diproduksi
dan reproduksi dengan berbagai aturan, sistem, dan prosedur yang membuatnya
terpisah dari kenormalan. Aturan, sistem, dan prosedur itulah yang disebutnya
dengan istilah “tata-wacana”, yaitu keseluruhan wilayah konseptual tempat
pengetahuan itu dikonstruksi, dibentuk dan dihasilkan (Lubis, 2004:148). Dengan
demikian, studi teks, studi sejarah, budaya, dan klaim-klaim objektivitas
termasuk kebenaran harus ditunda karena hal itu telah dipengaruhi oleh aturan-aturan,
perbedaan makna, dan strategi-strategi yang sama dengan naratif lainnya.
Foucault (2002:143-144) menegaskan bahwa ketika sebuah wacana dilahirkan, maka
diskursus sebenarnya sudah dikontrol, diseleksi, diorganisasi, dan
didistribusikan kembali menurut kemauan pembuatnya karena wacana tersebut
dikonstruksikan berdasarkan tata-aturan (episteme)
tertentu. Oleh karena itu, kebenaran memiliki mata rantai dengan
sistem kekuasaan.
Diskursus dalam
ilmu dan praktek sosial merupakan jaringan praktek pengetahuan dan kekuasaan. White
(Foucault, 2007:xiv) mengatakan bahwa apa yang dilakukan atau dibahas dalam
diskursus, seperti yang terjadi dengan yang lain adalah selalu kehendak dan
kekuasaan. Oleh karena itu, teori wacana kuasa dan pengetahuan Foucault menolak
teori positivisme dan segala teori sosial alternatif yang berbau humanisme,
seperti pendekatan Husserlian, Weberian, dan Habermasian. Foucault menyebut
metodenya dengan nama genealogi sebagai bentuk penelusuran historis tentang
bagaimana terbentuknya/terkonstruksinya berbagai macam pengetahuan, objek-objek
pengetahuan, dan wacana ilmiah. Dalam melakukan penelusuran historis, ia tidak
menemukan kontinuitas, tetapi diskotinuitas /keretakan (repture) sejarah, episteme,
dan wacana (Lubis, 2004:153). Ini berarti bahasa sebagai diskursus, bukan
semata-mata mempersoalkan ucapan dan/atau tulisan, tetapi semua
pernyataan kultural karena keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks yang
mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan tertentu.
Sebagaimana bahasa arsitektural yang bukan hanya mempersoalkan garis dan
bidang, bahkan bukan hanya mempersoalkan kaidah trinitas Marcus Vitruvius
Pollio yang merupakan sintesa antara kekuatan (durability atau firmitas),
kegunaan (convinience atau utilitas), dan keindahan (beauty atau venustas), melainkan lebih pada ekspresi kehendak dan kekuasaan
yang berada di dalam ruang kesadaran manusia.
Dalam ruang
kesadaran manusia, kehendak dan kekuasaan ini adalah refleksi dari hasrat
manusia. Manusia dengan hasratnya telah mengembangkan arsitektur menjadi ilmu
rancang bangun tidak hanya dibatasi oleh ruang dan gatra (sesuatu yang tampak terwujud) atau garis dan bidang. Akan
tetapi, arsitektur telah berkembang menjelajahi ruang kesadaran manusia jauh ke
relung-relung keindahan yang kemudian, diposisikan menjadi nilai ideal. Nilai
keindahan inilah bahasa manusia yang disampaikan dengan media arsitektur.
Malahan Merleau-Ponty mengatakan bahwa berarsitektur adalah berbahasa manusia
dengan citra unsur-unsurnya, baik dengan bahan material maupun bentuk dan
komposisinya. Begitulah bahasa arsitektur selalu menghadirkan nilai keindahan
dengan penuh kejujuran dan kewajaran, sebagaimana diungkapkan oleh Thomas
Aquinas, 'pulchrum splendor est
veritatis', 'keindahan adalah pancaran kebenaran' (Mangunwijaya,
1992:9-10). Pada saat revolusi arsitektur yang dipelopori oleh pengikut Bauhaus
(1919) di Jerman, bahkan keindahan arsitektur dipandang bukan lagi bersifat
insidental atau sebagai suplemen terhadap fungsinya. Akan tetapi, keindahan
arsitektur identik dengan fungsinya. Malahan pada era posmodern, Charles Jencks
dan Venturi memberikan rambu-rambu bahwa keindahan arsitektur yang tertuang
dalam bangunan haruslah bersifat komunikatif (Ali, 2004:154-155).
Himbauan ini lebih merupakan bentuk kritik atas arsitektur modern
yang cenderung hanya merupakan permainan konotasi dan makna).
Dalam konteks
ruang kesadaran manusia Jawa, pararel dengan diskursus Foucault adalah kata
“pengertian”, seperti dijelaskan oleh Frans Magnis-Suseno (1999:200) bahwa
pengertian bagi manusia Jawa dekat dengan "kekuatan batin" (kesakten — pemusatan kekuatan kosmis, pembenaran-diri), sebagaimana
terungkap dalam kata “ngelmu”.
Ngelmu sekaligus berarti ilmu pengetahuan, pengertian (lebih-lebih dalam
arti mistik), dan kekuatan magis misalnya, dalam arti suatu kemampuan khusus
untuk pembelaan diri secara fisik. Dalam kata "pengertian" itu
terdapat makna perluasan kekuasaan pada manusia sendiri yang bersifat tetap,
yaitu manusia yang memiliki rasa-sejati.
Kata “pengertian” dapat dipahami sebagai proses pembebasan dari keterikatan
dalam bayang-bayang yang sementara dan lahiriah. Pembebasan itu berkaitan
dengan satu proses penghalusan dan pembatinan daya persepsi batin. Dengan
begitu, pengertian adalah suatu proses perkembangan pada subjek yang mengerti
itu sendiri. Pengertian subjek yang mengerti sendiri itu akan mengalami
pertumbuhan. Jadi, tekanan terletak pada subjek yang mengerti, bukan pada objek
pengertian yang harus diketahui — sebagaimana ajaran etika Sokrates. Orang Jawa
dalam ruang kesadarannya memahami pengertian semacam ini sebagai rasa yang secara inderawi dapat
diartikan sebagai kepekaan terhadap lingkungan fisik (termasuk ruang
arsitektur). Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Magnis-Suseno (1999:199)
berikut.
"Dalam rasa terjadi suatu pertumbuhan atau
pendalaman kepribadian. Pengertian semacam itu bukan sesuatu yang lahiriah,
kebetulan, kuantitatif, melainkan suatu realitas pada subjek yang mengerti itu
sendiri. Subjek diubah dan diperdalam di dalamnya. Maka dari itu suatu
pengertian yang lebih benar, jadi suatu rasa yang lebih mendalam, sekaligus
berarti juga suatu cara merasa dan bertindak yang baru, yang lebih mendalam dan
lebih benar, bahkan suatu sikap baru manusia seluruhnya."
Pararelitas di
atas setidak-tidaknya mampu menunjukkan bahwa kearifan lokal yang dikandung
dalam arsitektur Jawa sebagai wujud budaya memiliki metafisikanya sendiri yang
dibangun atas kesadaran dan diskursus pemilikinya. Dalam hal ini kesadaran
masyarakat Jawa dapat dicermati secara mendalam dari alat kesadarannya, yaitu
bahasa ibu. Mengingat bahasa ibu merupakan sumber moralitas masyarakat dan
sekaligus sebagai pembangun wacana, bahkan sebagai pantulan falsafah hidup,
yaitu pedoman hidup dan perilaku hidup. Dalam konteks arsitektur Jawa, bahasa
ibu arsitektur adalah kearifan lokal. Inilah yang menjelma dalam dunia
sosial-budaya menjadi nilai-nilai. Sistem nilai, baik sebagai pedoman hidup
maupun perilaku hidup tidak pernah final karena senantiasa mengalami
perkembangan inheren dalam perubahan zaman. Faktanya manusia tidak bisa
menjalankan kehidupannya sendiri tanpa terlibat dalam kehidupan sosial berupa
kegiatan kemasyarakatan. Malahan dalam kehidupan sosialnya manusia tidak jarang
harus membangun toleransi sehingga dimungkinkan terjadinya proses saling
menerima dan memberi nilai. Begitulah dalam dunia global manusia Jawa tidak
dapat menutup diri dari pengaruh bangsa lain sehingga identitas menjadi begitu
penting. Dalam konteks identitas inilah penting dan relevan membangun wacana arsitektur
Jawa di tengah-tengah derasnya pengaruh nilai seni. Dengan demikian, pemaknaan
arsitektur Jawa seharusnya diwacanakan berdasarkan metafisika yang dimilikinya
karena apabila tidak demikian, maka yang terjadi adalah kematian metafisika
arsitektur Jawa akibat mengalami kekalahan wacana.
Pentingnya
kearifan lokal dalam membangun identitas arsitektur Jawa menurut metafikanya
sendiri, juga karena terdapat perbedaan filosofis antara arsitektur Jawa dan
arsitektur lainnya. Arsitektur Barat misalnya, begitu lazim dimaknai sebagai
“arsitektur perlindungan”, sedangkan arsitektur Jawa sebagai “arsitektur
pernaungan”. Perbedaan ini bermula dari cara pandang masyarakat terhadap
kosmosnya. Masyarakat Barat cenderung mengekplorasi dan menguasai alam untuk
meningkatkan kualitas proses hidup dan kelangsungan kehidupannya. Sementara
itu, masyarakat Nusantara lebih mengutamakan hidup seimbang dan selaras dengan
kosmosnya untuk mencapai keharmonisan kehidupannya.
3.
Kebhinekaan Makna Atas Simbolisasi Kearifan Lokal Jawa
Sebagai
realitas ciptaan, arsitektur Jawa merupakan karya masterpiece, adiluhung,
dan sophisticated jika dipandang dari
aspek filosofis, kaidah-kaidah keseimbangan antara fungsi dan konstruksi,
klimatologi, kepadatan pengguna dan area, komposisi bahan, proporsi, tampilan,
garis tegas ornamen, sampai makna warna. Hal ini menunjukkan bahwa arsitektur Jawa menjadi produk
kebudayaan yang sarat kearifan lokal, bersifat objektif, dan karenanya
teramati. Ini juga sebabnya arsitektur Jawa memiliki kemampuan berkomunikasi
melalui tanda grafis (sign) yang
melekat padanya. Dalam artian bahwa tanda-tanda grafis (sign) arsitektural yang membangun arsitektur Jawa adalah makna
denotatif dan konotatif menurut sandi-sandi (codes). Apabila nilai simbolisme arsitektur Jawa terletak pada
caranya menyampaikan makna dari wujud suatu bangunan yang mengandung bobot
ekspresi (signifer) dan bobot makna (signified), maka bobot ekspresi yang
dimaksudkan tercermin pada perwujudan arsitekturnya. Bobot ekspresi ini
meliputi ruang dan permukaannya (facade),
sedangkan bobot makna yang dimaksud adalah media yang berisi muatan atau pesan
yang hendak disampaikan.
Ini berarti
dekonstruksi makna arsitektur Jawa lebih menekankan pada pembongkaran terhadap metaphor atau simbol karena simbol adalah
pengantaraan pemahaman terhadap objek untuk menerangkan makna yang terkandung
dari sebuah realitas ciptaan. Dalam konteks ini kebudayaan dapat dijadikan
kategori-kategori untuk menyortir dan mengklasifikasikan pengalaman. Malahan
menurut Spradley (1972:4) sistem kategori dari setiap kebudayaan didasarkan
pada simbol-simbol tertentu. Dengan demikian, pengertian kebudayaan sebagai
sistem pengetahuan adalah kenyataan bahwa kebudayaan hanya berhubungan dengan
hal yang subjektif, sedangkan tindakan sosial serta benda material yang
objektif merupakan hasil seperangkat
pengetahuan atau kebudayaan. Di sini terdapat pemisahan tegas antara kebudayaan
dan hasil kebudayaan. Jadi, apabila arsitektur Jawa adalah realitas ciptaan,
maka arsitektur Jawa adalah hasil kebudayaan Jawa yang bersifat objektif
teramati. Sementara itu, kebudayaan Jawa merupakan kategori-kategori yang
digunakan untuk menyortir dan mengklasifikasikan pengalaman tentang aristektur Jawa
yang bersifat subjektif. Oleh karenanya, kebudayaan Jawa adalah jagat makna dan
nilai manusia Jawa yang dikomunikasikan melalui simbol. Simbol yang dimaksud
dalam hal ini adalah kearifan lokal yang diekspresikan melalui arsitektur Jawa,
sedangkan kebudayaan Jawa adalah sistem simbol itu sendiri.
Pada mulanya, simbol merupakan kreasi spontan dari individu yang spesifik
berdasarkan pengalaman subjektif-spesifik. Kemudian, mencapai
suatu eksistensi objektif pada waktu diterima oleh orang lain selama dalam
interaksi sosial. Artinya, hal yang semula subjektif-individual kemudian,
menjadi objektif-kolektif mengembangkan realitas yang dimilikinya (Triguna,
2000:24-25). Dengan demikian,
keobjektifan kearifan lokal dalam simbol arsitektur Jawa bukanlah sesuatu yang
mengada dengan sendirinya. Menginat menurut
Triguna (1997:3) simbol
bukanlah semata-mata cognitive constructs, tetapi juga bersifat emotive dan cognitive. Sementara itu, universum simbolik sebagai konstruksi
kognitif sifatnya teoretis. Ia berasal dari proses refleksi subjektif dan
setelah melalui objektivasi sosial melahirkan ikatan eksplisit antara tema-tema
penting (significant themes) yang
berakar dalam berbagai lembaga. Oleh karenanya, kesamaan simbolik tidak bisa
dialami dalam kehidupan sehari-hari, tetapi mengatasi kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, tidaklah mungkin untuk mengajarkan maknanya dengan cara yang
langsung seperti yang dapat digunakan untuk mengajarkan makna kehidupan
sehari-hari. Akibatnya, terjadi berbagai penafsiran menurut ekternalisasi,
objektivasi, dan internalisasi yang dialami seseorang atau sekelompok orang.
Jadi, simbol adalah suatu hal atau keadaan yang merupakan pengantaraan
pemahaman terhadap objek. Simbol sendiri tidak memiliki kenyataan fisik, tetapi
hanya memiliki nilai fungsional. Berdasarkan strukturnya, simbol dapat
dikatagorikan menjadi empat, yaitu simbol konstruktif, evaluatif, kognitif, dan
ekspresif (Triguna, 2000:7-9). Dalam arsitektur Jawa, simbol kearifan lokal
yang melekat adalah sesuatu yang memiliki nilai fungsional dan bersifat hidup.
Mengingat pada dasarnya simbol arsitektur Jawa
mengandaikan bahwa perwujudan yang terpilih adalah formulasi yang paling baik
tentang sesuatu yang relatif tidak populer atau tidak dikenali sebelumnya
sebagai simbol, tetapi hal itu diketahui sebagai hal yang ada atau diharapkan
ada.
Gambar 3. Cara manusia berkomunikasi dengan alam melalui bahasa ibunya. |
Selama kearifan lokal dalam simbol arsitektur Jawa tetap hidup, berarti
simbol tersebut adalah ekspresi tentang suatu hal yang tidak dapat ditandai
dengan tanda yang lebih tepat. Ini menunjukkan bahwa simbol hanya hidup selama
simbol itu mengandung arti bagi sekelompok besar manusia. Dalam hal ini simbol
sebagai sesuatu yang menjadi milik bersama sehingga simbol menjadi sosial yang
hidup dan pengaruhnya menghidupkan. Manakala arti telah lahir dari suatu
simbol, yaitu ketika diperoleh suatu ekspresi yang dapat merumuskan hal
yang dicari dengan lebih tepat dan lebih
baik, maka matilah simbol itu dan simbol hanya mempunyai arti historis. Ini
berarti simbol yang hidup dalam arsitektur Jawa mengungkapkan hal-hal yang
tidak terkatakan dalam cara yang tidak teratasi sebagaimana kearifan lokal Jawa
yang disimbolkan melalui arsitektur Jawa. Hampir seluruh simbol
yang terbagi dalam empat kategori tersebut bersifat shared values, yaitu disepakati bersama dan memiliki fungsi
integratif untuk mempertahankan pengawasan-pengawasan sosial dan memelihara
kebersamaan dalam masyarakat atau sebaliknya sesuatu yang dapat mewujudkan
disintegratif. Dalam konteks
kebudayaan, pemaknaan simbol arsitektur Jawa terjadi melalui proses semiosis dan canon. Proses semiosis ini adalah suatu proses memadukan entitas
yang disebut sebagai representamen dangan entitas yang lain yang disebut objek.
Hal ini lazim disebut signifikansi. Oleh karena proses semiosis menghasilkan
rangkaian hubungan yang tidak berkesudahan sehingga sebuah interpretan akan menjadi
representamen, menjadi interpretan lagi, dan seterusnya, andifinitum. Gerakan yang tidak berujung-pangkal ini oleh Umberto
Eco dan Derrida kemudian, dirumuskan menjadi proses semiosis tanpa batas (unlimited semiosis) (Broadbent,
1980:382-383).
Oleh karena
itu, kebhinekaan makna simbolik kearifan lokal Jawa dalam arsitektur Jawa tidak
saja disebabkan oleh kebhinekaan wujud arsitektur, tetapi juga oleh kesadaran subjek
atas ruang-ruang arsitektur (objek) yang merepresentasikan kejadian atau suatu
ikatan ingatan kolektif. Kehadiran arsitektur Jawa sebagai simbol telah
menjadikannya sebagai objek interpretasi yang melahirkan multimakna. Sakralitas
makna simbolik yang diberikan dan diyakini oleh pembuatnya telah mengalami
pembongkaran dan pemaknaan ulang oleh berbagai pihak yang bertindak sebagai
subjek. Pada titik ini sakralitas-profanitas dan/atau tradisional-modern
menjadi begitu jelas menjadi permainan wacana yang dapat diurai dari
relasi-relasi kuasa dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya. Ini megandaikan
bahwa arsitektur sebagai bahasa sama halnya dengan menjadikan arsitektur
sebagai teks budaya yang harus dibaca untuk mengungkap makna yang dikandungnya.
Secara leksikal “makna” diartikan sebagai sesuatu pengertian yang diberikan
kepada suatu objek. Subjek dan objek adalah term-term yang korelatif atau
saling menghubungkan diri satu sama lain. Tanpa subjek, tidak akan ada objek.
Sebuah benda menjadi objek karena kearifan subjek yang menaruh perhatian atas
benda itu. Makna diberikan kepada objek oleh subjek sesuai dengan cara pandang
subjek. Jika tidak demikian, maka objek menjadi tidak bermakna sama sekali
(Sumaryono, 1999:30).
Ini sejalan
dengan pendapat Gadamer, tokoh hermeneutika filosofis bahwa makna hadir selalu
didahului oleh pemahaman subjek terhadap objek. Pemahaman dapat diperoleh, bila
subjek memiliki kesadaran terhadap objek. Kegiatan memaknai sesuatu pada
dasarnya adalah melakukan interpretasi (Muzir, 2008:98). Interpretasi adalah
mencakup pemahaman. Untuk dapat membuat interpretasi, orang lebih dahulu harus
mengerti atau memahami. Akan tetapi, keadaan “lebih dahulu mengerti” ini bukan
didasarkan atas penentuan waktu, melainkan bersifat alamiah. Mengingat menurut
kenyataannya, bila seorang mengerti, ia sebenarnya telah melakukan interpretasi,
dan juga sebaliknya. Ada kesertamertaan antara mengerti dan membuat
interpretasi. Keduanya bukan dua momen dalam satu proses. Mengerti dan
interpretasi menimbulkan lingkaran hermeneutik (Sumaryono, 1999:30-31). Akan
tetapi, dalam logika Derridian, jejak (trace)
mengacu pada pengertian bekas-bekas terciptanya suatu realitas.
"Jejak" adalah dalam pertentangannya dengan konsep
"sejarah" (historisisme)
karena sejarah dianggap bukanlan suatu realitas yang netral, tetapi sebaliknya,
merupakan realitas penafsiran oleh dan sekaligus untuk suatu kepentingan
tertentu. Dekonstruksi Derrida mengganti konsep sejarah (historisisme) dengan "silsilah", yaitu sebagai fakta
sejarah karena silsilah dianggap terlepas dari unsur penafsiran sekaligus
kepentingan. Oleh karena itu, dekonstruksi memandang realitas tidak otonom,
tetapi realitas yang memiliki silsilah atau jejak. Dengan kata lain, realitas
sebagai teks merupakan relasi antara teks dengan teks lainnya (Lubis,
2004:101-122; Norris, 2003; Ratna, 2005:250-275).
Dengan demikian,
kebhinekaan makna atas simbolisasi kearifan lokal Jawa dalam arsitektur Jawa
merupakan kelaziman karena setiap subjek yang berkesadaran bisa saja memberikan
makna yang berbeda terhadap objek yang sama ataupun berbeda.
4.
Diskursus Kearifan Lokal Sebagai Bahasa Ibu Arsitektur Jawa
Kearifan lokal lazim dimaknai sebagai bangun pengetahuan yang
bersumber dari nilai-nilai dan potensi lokal yang diwacanakan secara lisan dari generasi
ke generasi yang akhirnya disebut kebudayaan tradisional. Namun demikian, harus
diakui bahwa kebenaran tidak selalu terdapat pada yang baru (modern), tetapi
juga pada yang tradisional, bahkan kebenaran tersebar pada sepanjang pengalaman
manusia, terfragmentasi sesuai dengan ruang dan waktu realitas berada, dan bukan
hanya ditentukan berdasarkan akal dan rasional. Sebagaimana perwujudan
arsitektur Jawa yang secara semiotik dikatakan sebagai sarana komunikasi
visual. Ini berarti bahwa arsitektur Jawa memiliki bahasa tersendiri dalam
membangun komunikasi yang baik dengan subjek-subjek pemakna di luar dirinya.
Pengandaian
perwujudan arsitektur Jawa sebagai bahasa (sarana komunikasi visual) dalam
membangun kesadaran kolektif masyarakatnya memerlukan bahasa yang dikuasai dan
dipahami oleh masyarakat itu sendiri yang lazim disebut “bahasa ibu”. Apabila
kearifan lokal menjadi dasar pengembangan arsitektur Jawa, maka kearifan lokal
dapat dianggap sebagai bahasa ibu arsitektur Jawa. Oleh karenanya, arsitektur Jawa
secara tekstual dianggap sebagai karya adiluhung budaya Jawa. Fungsi pewadahan
dan pernaungan menempatkannya bukan hanya sebagai wujud karya arsitektur yang
bersumber pada kearifan lokal, tetapi juga dimaknai sebagai pusat kosmos dan
magi budaya Jawa. Dalam hal ini magi budaya adalah nilai-nilai sakral dan
simbolisasi tuntunan hidup manusia untuk mencapai keselamatan. Sebaliknya,
secara kontekstual arsitektur Jawa dipandang sebagai simbol yang telah
menjadikannya sebagai objek interpretasi yang melahirkan multimakna. Sakralitas
makna simbolik yang diberikan dan diyakini oleh internal masyarakat Jawa telah
mengalami pembongkaran dan pemaknaan ulang oleh berbagai pihak yang bertindak
sebagai subjek. Artinya, makna simbolik arsitektur Jawa telah didekonstruksi
oleh sejumlah pihak dengan caranya sendiri-sendiri untuk menemukan konstruksinya
yang baru. Di titik ini, sakralitas dan profanitas menjadi permainan wacana
yang dapat diurai dari relasi-relasi kuasa dan pengetahuan yang terkandung di
dalamnya. Misalnya, Magnis-Suseno (1999:150) menjelaskan bahwa seluruh
kebijaksanaan hidup Jawa dapat dirangkum dalam tuntutan dasar untuk selalu
menempati tempat yang tepat. Demikian juga epistemologi dengan mengutamakan
kategori tempat, agar kehidupan terus berjalan; sistem etika Jawa yang lebih
menonjolkan kategori tempat; bahkan apa yang harus dilakukan masing-masing
ditentukan oleh tempatnya dalam masyarakat. Konsekuensi dari pandangan ini
adalah penerimaan orang Jawa terhadap misteri kehidupan yang selanjutnya
disebut dengan kearifan lokal.
Dalam budaya
Jawa sikap penerimaan terhadap misteri kehidupan terdapat dalam kosa kata “nrima”,
“iklas”, dan “rila”. Kata “nrima” berarti orang dalam
keadaan kecewa dan dalam kesulitan apa pun akan bereaksi dengan rasional. Kata
ini menuntut kekuatan untuk menerima apa yang tidak dapat dielakkan tanpa
membiarkan dirinya dihancurkan oleh reaksinya sendiri. Iklas berarti
kesediaan untuk melepaskan individualitas sendiri dan mencocokkan diri ke dalam
keselarasan agung alam semesta sebagaimana sudah ditentukan. Rila
merupakan kesanggupan untuk melepaskan, sebagai kesediaan untuk melepaskan hak
milik, kemampuan-kemampuan, dan hasil-hasil pekerjaan sendiri, bila itulah yang
menjadi tuntutan tanggung jawab. Dua kata terakhir ini harus dipahami sebagai
keutamaan positif, bukan sebagai menyerah dalam arti negatif, melainkan sebagai
tanda penyerahan otonom, sebagai kemampuan melepaskan sepenuh pengertian
daripada membiarkan saja sesuatu direbut secara pasif (Magnis-Suseno,
1999:143-144).
Ini menunjukkan
bahwa fenomena tentang minimnya konflik manifes dalam kehidupan sosial orang
Jawa disebabkan oleh kemampuan mereka menerima misteri kehidupan. Afirmasi
manusia Jawa secara langsung pada misteri kehidupan menyebabkan pengetahuan
yang terbentuk secara historis menjadi hal sekunder dalam kehidupan praksis.
Kehidupan harus mendominasi pengetahuan yang terbentuk secara historis, bukan
sebaliknya pengetahuan mendominasi kehidupan (Copleston, 1974:33). Jika
pengetahuan tunduk pada kehidupan, maka pengetahuan itu tidak akan menjadi
kandungan untuk mengakumulasikan sejumlah besar informasi, tetapi akan berusaha
untuk menyatukan kandungan pengetahuan di dalam sebuah gaya seni (termasuk arsitektur), mendorong bentuk-bentuk asli
budaya, sebuah bentuk kehidupan yang sungguh alami, asli, tersatukan dan
kreatif serta bersifat produktif. Secara negatif, budaya bukanlah gaya hidup,
juga bukan kesatuan artistik harmonis dan pengetahuan historis, melainkan
kumpulan campur aduk semua gaya dan sesuatu yang dihayati. Penghayatan semacam
ini akan memunculkan apa yang disebut Nietzsche plastic power (kekuatan plastik) pada manusia, masyarakat atau
budaya seperti berikut.
"...the
deeper the roots of a man’s inner nature, the better will he take the past into
himself; and the greatest and most powerful nature would be known by absence of
limits for the historical sense to overgrow and work harm. It would assimilate
and digest the past, however foreign, and turn it to sap" (Copleston, 1974:35).
Konsekuensi
dari pemahaman bahwa kebudayaan Jawa lebih condong pada kehidupan dan karenanya
mengakomodasi jiwa-jiwa tangguh, mempunyai sifat plastik dibandingkan dengan
pengetahuan. Hal ini dapat dilihat pada pemahaman mengenai ruang dalam
pengertian arsitektural, yakni bahwa ruang merepresentasikan kejadian atau
suatu ikatan ingatan kolektif. Menurut Umberto Eco, ruang-ruang arsitektural
merupakan sarana komunikasi visual yang pemaknaannya tidak akan pernah
berhenti. Tidak sekedar ada, tetapi selalu mengada. Ini berarti persoalan
arsitektur bukan hanya berhenti pada persoalan geometris, penciptaan ruang, dan
menghuninya, melainkan lebih pada dimensi "kekinian" yang dalam
istilah Derrida disebut dengan "kemenjadian" (becoming). Bukan hanya ada (being),
tetapi juga mengada (beings). Malahan
dengan mengikuti logika resepsi Jauss yang memahami sebuah teks atau kejadian
meliputi proses mediasi terus-menerus antara kini dan masa lampau, informasi
yang diberikan oleh simbol komunikasi visual tersebut menuntut penafsir
(subjek) selalu dikondisikan secara historis dan konteks kekiniannya
(Cavallaro, 2004:97). Ada dimensi kini dan masa depan yang dalam resepsi Jauss
disebut dengan "horizon harapan" yang bersifat kolektif.
Dengan
demikian, tidak dapat dipungkuri bahwa arsitektur Jawa dengan kearifan lokalnya
adalah realitas ciptaan yang lazimnya dianggap produk kebudayaan masa lalu.
Kecanggihan visi budaya kearsitekturan Jawa telah menjadikannya sebagai puncak
perwujudan arsitektur tradisional yang membanggakan. Akan tetapi, kebanggaan
terhadap karya arsitektur tradisional seperti ini terkadang menjadi sumber
malapetaka arsitektur tradisional itu sendiri. Dengan kebanggaan itu, bisa saja
tanpa disadari kemudian, masyarakat Jawa membangun sebuah konstruksi mental
yang menerima pengetahuan arsitektur tradisional ini sebagai kebenaran. Yang
dapat dilakukan terhadap sosok kebenaran, tentu seperti menangani sebuah
pusaka, yakni merawat dan menghindarkan pusaka itu dari perubahan. Keajegan
selalu diupayakan dan diperjuangkan, bahkan sampai pada pemaknaan simbol yang
melekat. Kondisi ini pada akhirnya menjadikan arsitektur Jawa tidak dipandang
sebagai simbol yang hidup karena keberadaannya telah dilingkupi dan dimatikan
oleh mitos-mitos yang diajegkan.
Oleh karenanya
muncul sikap yang salah, bila memandang kebudayaan sebagai sistem pengetahuan
kemudian, menempatkan arsitektur Jawa dengan kearifan lokalnya hanya ke dalam
wilayah arsitektur tradisional yang dibekukan dalam mitos, tanpa boleh dimaknai
sebagai ilmu yang bisa dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman. Ini sejalan
dengan usulan Prijotomo (2008:1) yang mengusulkan untuk menyebut arsitektur
tradisional di wilayah Jawa sebagai "arsitektur Jawa". Hal ini lebih
dimaksudkan sebagai tandingan terhadap munculnya istilah “arsitektur Barat”
yang dianggap lebih modern. Dengan kata lain, arsitektur tradisional di wilayah
Jawa adalah arsitektur liyan (the other) bagi arsitektur Barat.
Menurut Pangarsa (2008:3) dalam kaitannya dengan dunia pendidikan arsitektur
dan perkembangan dunia arsitektur yang mengedepankan kearifan lokal, arsitektur
Jawa adalah arsitektur masa depan. Artinya, sudah saatnya arsitektur Jawa
dilepaskan dari bungkus dan label “arsitektur tradisional” untuk membangun
wacana baru sebagai “arsitektur masa depan” yang memiliki bahasa ibu berupa
kearifan lokal dan yang sejajar atau bahkan berani bersaing dengan arsitektur
Barat.
5. Simpulan
Berdasarkan
paparan di atas dapat ditarik tiga simpulan sebagai berikut.
1)
Ruang kesadaran manusia Jawa yang menempatkan kearifan
lokal menjadi bagian penting dalam membangun identitas arsitektur Jawa
menjadikan arsitektur Jawa berkembang menurut metafikanya sendiri dan memiliki
perbedaan filosofis yang jelas antara arsitektur Jawa dan arsitektur lainnya.
2)
Kebhinekaan makna atas simbolisasi kearifan lokal Jawa
dalam arsitektur Jawa merupakan kelaziman karena setiap subjek yang
berkesadaran bisa saja memberikan makna yang berbeda terhadap objek yang sama
ataupun berbeda.
3)
Diskursus kearifan lokal sebagai bahasa ibu arsitektur
Jawa sepatutnya diarahkan kepada upaya membangun ruang kesadaran baru
masyarakat Jawa untuk dapat melepaskan arsitektur Jawa dari bungkus dan label
“arsitektur tradisional” untuk membangun wacana baru sebagai “arsitektur masa
depan” yang sejajar atau bahkan berani bersaing dengan arsitektur Barat
Daftar
Pustaka
Ali, Matius.
2004. Estetika: Sebuah Pengantar Filsafat
Keindahan dari Yunani Kuno Sampai Zen Buddhisme. Tangerang: Sanggar Luxor.
Broadbent, G.,
Bunt, R., and Jencks, C. 1980. Sign,
Symbols, and Architecture. New York: John Wiley
& Sons Ltd.
Cavallaro, Dani. 2004. Teori Kritis dan Teori Budaya. Yogyakarta: Niagara.
Copleston, Frederick. 1975. Friederich Nietzsche: Philosopher of Culture.
USA: Harper & Row.
Foucault,
Michel. 2007. Order of Thing: Arkeologi
Ilmu-ilmu Kemanusiaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
________. 2002.
Pengetahuan dan Metode: Karya-karya
Penting Michel Foucault. Yogyakarta: Jalasutra.
Lubis, Akhyar
Yusuf. 2004. Setelah
Kebenaran dan Kepastian Dihancurkan Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan:
Sebuah Uraian Filsafat Ilmu Pengetahuan Kaum Posmodernis. Bogor: Akademia.
Magnis-Suseno,
F. 1999. Etika Jawa : Sebuah Analisa
Fasafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Mangunwijaya,
Y.B. 1992. Wastu Citra, Pengantar ke Ilmu
Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis,
2nd edn. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Muzir, Inyiak
Ridwan. 2008. Hermeneutika Filosofis
Hans-Georg Gademer. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Norris, Christopher. 2003. Membongkar
Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Terj. Inyiak Ridwan Muzir. Jogjakarta:
Ar-Ruzz.
Pangarsa, Galih
W. 2008. "Membaca Buku Teles dan Buku Garing". Makalah
dipresentasikan pada Diskusi Ilmiah Arsitektur UNS, 12 Agustus 2008, di Jurusan
Arsitektur UNS.
Prijotomo, J. 2008.
"Cerlangtara, Bukan Kearifan Lokal: Catatan Bagi Ke-liya-an
Arsitektur Nusantara". Makalah dipresentasikan pada Diskusi Ilmiah
Arsitektur UNS, 12 Agustus 2008.
Ratna,
Kutha. 2005. Sastra
dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ricoeur, Paul.
2002. Filsafat Wacana Membelah Makna
dalam Anatomi Bahasa. Yogyakarta: IRCiSod.
Spradly, James
P. 2007. Metode Etnografi.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sumaryono, E.
1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius.
Triguna, Yudha
IBG. 1997. "Mobilitas Kelas, Konflik, dan Penafsiran Kembali: Simbolisme
Masyarakat Hindu di Bali" (disertasi). Bandung: Universitas Padjajaran
Bandung.
________. 2000.
Teori Tentang Simbol. Denpasar: Widya
Dharma.
* Staf
Pengajar Program Studi Arsitektur, Jurusan Arsitektur, Fak. Teknik, Universitas
Sebelas Maret Surakarta, Indonesia.
Sekretaris Pusat Studi Javanologi LPPM Universitas Sebelas Maret Surakarta,
Indonesia. Alamat e-mail: titis_pitana@yahoo.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar