Sabtu, 04 Februari 2012

Bahasa Ibu Arsitektur Jawa


DISKURSUS KEARIFAN LOKAL SEBAGAI 
BAHASA IBU ARSITEKTUR JAWA

Oleh
Dr. Titis Srimuda Pitana, S.T., M.Trop.Arch.*

Abstrak
Pengandaian arsitektur sebagai bahasa sama halnya menjadikan arsitektur sebagai teks budaya yang harus dibaca untuk dapat diungkap makna yang dikandungnya. Sementara itu, makna tidak pernah lahir dari teks (objek), tetapi selalu diberikan oleh pembaca (subjek). Makna lahir ketika terjadi hubungan langsung antara pembaca (subjek) dengan teks (objek) melalui kesadarannya. Dalam hal ini, kesadaran subjek memiliki peran dominan atas munculnya makna. Oleh karenanya, persoalan arsitektur bukan hanya berhenti pada persoalan geometris, penciptaan ruang, dan menghuninya, melainkan lebih pada dimensi "kekinian" yang disebut dengan "kemenjadian" (becoming); bukan hanya ada (being), namun juga mengada (beings).
Kebhinekaan makna dalam arsitektur Jawa tidak saja disebabkan oleh kebhinekaan wujud arsitektur yang merupakan sarana komunikasi visual yang pemaknaannya tidak akan pernah berhenti, tetapi juga oleh ruang kesadaran subjek atas ruang-ruang arsitektur (objek) yang merepresentasikan kejadian atau suatu ikatan ingatan kolektif. Kehadiran arsitektur Jawa sebagai simbol telah menjadikannya sebagai objek interpretasi yang melahirkan banyak makna. Sakralitas makna simbolik sebagai ekspresi kearifan lokal Jawa yang diberikan dan diyakini oleh pembuatnya telah mengalami pembongkaran dan pemaknaan ulang oleh berbagai pihak yang bertindak sebagai subjek. Pada titik ini, sakralitas - profanitas dan/atau tradisional - modern menjadi sangat jelas sebagai permainan wacana yang dapat diurai relasi-relasi kuasa dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya.

Kata kunci: diskursus, kearifan lokal, arsitektur Jawa

Gambar 1. Wujud arsitektur Jawa.
1. Pendahuluan
Arsitektur Jawa begitu lazim diposisikan menjadi arsitektur tradisional, karena itu harus berhadapan dengan arsitektur modern, sebagaimana positivisme mengafirmasi kebenaran sebagai ‘paradoksal’. Kebenaran meta narasi ini pada kenyataan telah merebut kesadaran bahwa arsitektur Jawa sebagai produk budaya kuno karena eksistensinya begitu terikat pada masa lalu. Sebaliknya, arsitektur modern karena sifat kebaruannya sehingga selalu sejalan dengan selera manusia yang selalu menghedaki yang serba baru termasuk dalam bidang seni rancang bangun. Apalagi selera itu memang sejalan dengan kodrat manusia yang selalu bergerak maju ke masa depan. Dengan demikian, arsitektur modern berhasil membangun kesadaran baru dan mendominasi kesadaran kearsitekturan Jawa yang tradisional. Akibatnya, hampir seluruh aktivitas kearsitekturan Jawa berorientasi ke dunia Barat, tempat budaya modern berasal. Apabila dominasi kesadaran arsitektur modern ini dibiarkan berkembang semakin dalam di benak manusia Jawa, maka arsitektur Jawa akan mengalami kesulitan mengelola kelangsungan hidupnya.
Nilai-seni intinya bersumber pada nilai-kebaikan; dan nilai-kebaikan sejatinya berasal dari nilai-kebenaran. Patut disadari bahwa kebenaran tidak melulu terdapat pada yang baru, tetapi juga pada yang tradisional, bahkan kebenaran tersebar pada sepanjang pengalaman manusia, bukan hanya ditentukan berdasarkan akal dan rasional. Oleh karena itu, makalah ini ingin mengajak para akademisi dan praktisi yang bergelut dalam bidang seni rancang bangun untuk memberikan porsi dan posisi yang seimbang antara arsitektur Jawa dan arsitektur Modern. Dalam konteks ini dipandang penting dan relevan mengetengahkan perbincangan tentang kesadaran manusia dan diskursus; kebhinekaan makna atas simbolisasi kearifan lokal Jawa; dan  diskursus kearifan lokal sebagai bahasa ibu arsitektur Jawa.

2. Ruang Kesadaran Manusia dan Diskursus
Sebagai makhluk berkesadaran, manusia tahu bahwa ia mengetahui sesuatu tentang sesuatu. Ini dibuktikan dengan kemampuan berpikir dan berkomunikasi yang dimiliki. Berpikir adalah berkata-kata dalam hati sendiri dan berkomunikasi adalah berkata-kata antarsubjek. Mengingat kedua kegiatan ini merupakan tindak tutur dengan menekankan pada penggunaan kata-kata sehingga kegiatan semacam ini tidak dimungkinkan tanpa bahasa. Begitulah dengan bahasa, manusia bisa saling memahami dan mewujudkan pengertian di antara sesamanya. Kesalingpengertian dan pemahaman inilah yang dimaksud dengan kesadaran dan di dalamnya bahasa menjadi alat dan wujud kesadaran itu sendiri. Ketika bahasa diterima menjadi wujud kesadaran kolektif masyarakat manusia, maka manusia sudah menciptakan wacana di dalam dunianya sendiri. Hal ini sejalan dengan pandangan Paul Ricoeur (2002:17) tentang proses pembentukan wacana yang dimulai dari makna suatu benda hingga terbentuknya hubungan antarpredikat. Ditegaskannya, “Satu kata benda mempunyai makna, dan sebagai pelengkap maknanya satu kata kerja mengisyaratkan dimensi waktu. Hanya dengan kesinambungan keduanyalah yang akan mengedepankan suatu ikatan predikat yang dapat disebut sebagai logos atau wacana”).
Istilah “wacana” (discourse, discourse) diperkenalkan oleh Michel Foucault dalam pidato pengukuhan guru besarnya, dan La archeologie da savoir (1968), serta tulisannya tentang kegilaan (Lubis, 2004:147-148). Menurut Foucault (2002:9) diskursus adalah cara menghasilkan pengetahuan beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua aspek ini. Artinya, diskursus merupakan kategori manusia yang diproduksi dan reproduksi dengan berbagai aturan, sistem, dan prosedur yang membuatnya terpisah dari kenormalan. Aturan, sistem, dan prosedur itulah yang disebutnya dengan istilah “tata-wacana”, yaitu keseluruhan wilayah konseptual tempat pengetahuan itu dikonstruksi, dibentuk dan dihasilkan (Lubis, 2004:148). Dengan demikian, studi teks, studi sejarah, budaya, dan klaim-klaim objektivitas termasuk kebenaran harus ditunda karena hal itu telah dipengaruhi oleh aturan-aturan, perbedaan makna, dan strategi-strategi yang sama dengan naratif lainnya. Foucault (2002:143-144) menegaskan bahwa ketika sebuah wacana dilahirkan, maka diskursus sebenarnya sudah dikontrol, diseleksi, diorganisasi, dan didistribusikan kembali menurut kemauan pembuatnya karena wacana tersebut dikonstruksikan berdasarkan tata-aturan (episteme) tertentu. Oleh karena itu, kebenaran memiliki mata rantai dengan sistem kekuasaan.  
Diskursus dalam ilmu dan praktek sosial merupakan jaringan praktek pengetahuan dan kekuasaan. White (Foucault, 2007:xiv) mengatakan bahwa apa yang dilakukan atau dibahas dalam diskursus, seperti yang terjadi dengan yang lain adalah selalu kehendak dan kekuasaan. Oleh karena itu, teori wacana kuasa dan pengetahuan Foucault menolak teori positivisme dan segala teori sosial alternatif yang berbau humanisme, seperti pendekatan Husserlian, Weberian, dan Habermasian. Foucault menyebut metodenya dengan nama genealogi sebagai bentuk penelusuran historis tentang bagaimana terbentuknya/terkonstruksinya berbagai macam pengetahuan, objek-objek pengetahuan, dan wacana ilmiah. Dalam melakukan penelusuran historis, ia tidak menemukan kontinuitas, tetapi diskotinuitas /keretakan (repture) sejarah, episteme, dan wacana (Lubis, 2004:153). Ini berarti bahasa sebagai diskursus, bukan semata-mata mempersoalkan ucapan dan/atau tulisan, tetapi semua pernyataan kultural karena keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks yang mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan tertentu. Sebagaimana bahasa arsitektural yang bukan hanya mempersoalkan garis dan bidang, bahkan bukan hanya mempersoalkan kaidah trinitas Marcus Vitruvius Pollio yang merupakan sintesa antara kekuatan (durability atau firmitas), kegunaan (convinience atau utilitas), dan keindahan (beauty atau venustas), melainkan lebih pada ekspresi kehendak dan kekuasaan yang berada di dalam ruang kesadaran manusia.
Dalam ruang kesadaran manusia, kehendak dan kekuasaan ini adalah refleksi dari hasrat manusia. Manusia dengan hasratnya telah mengembangkan arsitektur menjadi ilmu rancang bangun tidak hanya dibatasi oleh ruang dan gatra (sesuatu yang tampak terwujud) atau garis dan bidang. Akan tetapi, arsitektur telah berkembang menjelajahi ruang kesadaran manusia jauh ke relung-relung keindahan yang kemudian, diposisikan menjadi nilai ideal. Nilai keindahan inilah bahasa manusia yang disampaikan dengan media arsitektur. Malahan Merleau-Ponty mengatakan bahwa berarsitektur adalah berbahasa manusia dengan citra unsur-unsurnya, baik dengan bahan material maupun bentuk dan komposisinya. Begitulah bahasa arsitektur selalu menghadirkan nilai keindahan dengan penuh kejujuran dan kewajaran, sebagaimana diungkapkan oleh Thomas Aquinas, 'pulchrum splendor est veritatis', 'keindahan adalah pancaran kebenaran' (Mangunwijaya, 1992:9-10). Pada saat revolusi arsitektur yang dipelopori oleh pengikut Bauhaus (1919) di Jerman, bahkan keindahan arsitektur dipandang bukan lagi bersifat insidental atau sebagai suplemen terhadap fungsinya. Akan tetapi, keindahan arsitektur identik dengan fungsinya. Malahan pada era posmodern, Charles Jencks dan Venturi memberikan rambu-rambu bahwa keindahan arsitektur yang tertuang dalam bangunan haruslah bersifat komunikatif (Ali, 2004:154-155). Himbauan ini lebih merupakan bentuk kritik atas arsitektur modern yang cenderung hanya merupakan permainan konotasi dan makna).
Dalam konteks ruang kesadaran manusia Jawa, pararel dengan diskursus Foucault adalah kata “pengertian”, seperti dijelaskan oleh Frans Magnis-Suseno (1999:200) bahwa pengertian bagi manusia Jawa dekat dengan "kekuatan batin" (kesakten — pemusatan kekuatan kosmis, pembenaran-diri), sebagaimana terungkap dalam kata “ngelmu”. Ngelmu sekaligus berarti ilmu pengetahuan, pengertian (lebih-lebih dalam arti mistik), dan kekuatan magis misalnya, dalam arti suatu kemampuan khusus untuk pembelaan diri secara fisik. Dalam kata "pengertian" itu terdapat makna perluasan kekuasaan pada manusia sendiri yang bersifat tetap, yaitu manusia yang memiliki rasa-sejati. Kata “pengertian” dapat dipahami sebagai proses pembebasan dari keterikatan dalam bayang-bayang yang sementara dan lahiriah. Pembebasan itu berkaitan dengan satu proses penghalusan dan pembatinan daya persepsi batin. Dengan begitu, pengertian adalah suatu proses perkembangan pada subjek yang mengerti itu sendiri. Pengertian subjek yang mengerti sendiri itu akan mengalami pertumbuhan. Jadi, tekanan terletak pada subjek yang mengerti, bukan pada objek pengertian yang harus diketahui — sebagaimana ajaran etika Sokrates. Orang Jawa dalam ruang kesadarannya memahami pengertian semacam ini sebagai rasa yang secara inderawi dapat diartikan sebagai kepekaan terhadap lingkungan fisik (termasuk ruang arsitektur). Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Magnis-Suseno (1999:199) berikut. 
"Dalam rasa terjadi suatu pertumbuhan atau pendalaman kepribadian. Pengertian semacam itu bukan sesuatu yang lahiriah, kebetulan, kuantitatif, melainkan suatu realitas pada subjek yang mengerti itu sendiri. Subjek diubah dan diperdalam di dalamnya. Maka dari itu suatu pengertian yang lebih benar, jadi suatu rasa yang lebih mendalam, sekaligus berarti juga suatu cara merasa dan bertindak yang baru, yang lebih mendalam dan lebih benar, bahkan suatu sikap baru manusia seluruhnya."
Pararelitas di atas setidak-tidaknya mampu menunjukkan bahwa kearifan lokal yang dikandung dalam arsitektur Jawa sebagai wujud budaya memiliki metafisikanya sendiri yang dibangun atas kesadaran dan diskursus pemilikinya. Dalam hal ini kesadaran masyarakat Jawa dapat dicermati secara mendalam dari alat kesadarannya, yaitu bahasa ibu. Mengingat bahasa ibu merupakan sumber moralitas masyarakat dan sekaligus sebagai pembangun wacana, bahkan sebagai pantulan falsafah hidup, yaitu pedoman hidup dan perilaku hidup. Dalam konteks arsitektur Jawa, bahasa ibu arsitektur adalah kearifan lokal. Inilah yang menjelma dalam dunia sosial-budaya menjadi nilai-nilai. Sistem nilai, baik sebagai pedoman hidup maupun perilaku hidup tidak pernah final karena senantiasa mengalami perkembangan inheren dalam perubahan zaman. Faktanya manusia tidak bisa menjalankan kehidupannya sendiri tanpa terlibat dalam kehidupan sosial berupa kegiatan kemasyarakatan. Malahan dalam kehidupan sosialnya manusia tidak jarang harus membangun toleransi sehingga dimungkinkan terjadinya proses saling menerima dan memberi nilai. Begitulah dalam dunia global manusia Jawa tidak dapat menutup diri dari pengaruh bangsa lain sehingga identitas menjadi begitu penting. Dalam konteks identitas inilah penting dan relevan membangun wacana arsitektur Jawa di tengah-tengah derasnya pengaruh nilai seni. Dengan demikian, pemaknaan arsitektur Jawa seharusnya diwacanakan berdasarkan metafisika yang dimilikinya karena apabila tidak demikian, maka yang terjadi adalah kematian metafisika arsitektur Jawa akibat mengalami kekalahan wacana.
Pentingnya kearifan lokal dalam membangun identitas arsitektur Jawa menurut metafikanya sendiri, juga karena terdapat perbedaan filosofis antara arsitektur Jawa dan arsitektur lainnya. Arsitektur Barat misalnya, begitu lazim dimaknai sebagai “arsitektur perlindungan”, sedangkan arsitektur Jawa sebagai “arsitektur pernaungan”. Perbedaan ini bermula dari cara pandang masyarakat terhadap kosmosnya. Masyarakat Barat cenderung mengekplorasi dan menguasai alam untuk meningkatkan kualitas proses hidup dan kelangsungan kehidupannya. Sementara itu, masyarakat Nusantara lebih mengutamakan hidup seimbang dan selaras dengan kosmosnya untuk mencapai keharmonisan kehidupannya.  

Gambar 2. Wujud arsitektur pernaungan Jawa.
3. Kebhinekaan Makna Atas Simbolisasi Kearifan Lokal Jawa
Sebagai realitas ciptaan, arsitektur Jawa merupakan karya masterpiece, adiluhung, dan sophisticated jika dipandang dari aspek filosofis, kaidah-kaidah keseimbangan antara fungsi dan konstruksi, klimatologi, kepadatan pengguna dan area, komposisi bahan, proporsi, tampilan, garis tegas ornamen, sampai makna warna. Hal ini menunjukkan bahwa arsitektur Jawa menjadi produk kebudayaan yang sarat kearifan lokal, bersifat objektif, dan karenanya teramati. Ini juga sebabnya arsitektur Jawa memiliki kemampuan berkomunikasi melalui tanda grafis (sign) yang melekat padanya. Dalam artian bahwa tanda-tanda grafis (sign) arsitektural yang membangun arsitektur Jawa adalah makna denotatif dan konotatif menurut sandi-sandi (codes). Apabila nilai simbolisme arsitektur Jawa terletak pada caranya menyampaikan makna dari wujud suatu bangunan yang mengandung bobot ekspresi (signifer) dan bobot makna (signified), maka bobot ekspresi yang dimaksudkan tercermin pada perwujudan arsitekturnya. Bobot ekspresi ini meliputi ruang dan permukaannya (facade), sedangkan bobot makna yang dimaksud adalah media yang berisi muatan atau pesan yang hendak disampaikan.
Ini berarti dekonstruksi makna arsitektur Jawa lebih menekankan pada pembongkaran terhadap metaphor atau simbol karena simbol adalah pengantaraan pemahaman terhadap objek untuk menerangkan makna yang terkandung dari sebuah realitas ciptaan. Dalam konteks ini kebudayaan dapat dijadikan kategori-kategori untuk menyortir dan mengklasifikasikan pengalaman. Malahan menurut Spradley (1972:4) sistem kategori dari setiap kebudayaan didasarkan pada simbol-simbol tertentu. Dengan demikian, pengertian kebudayaan sebagai sistem pengetahuan adalah kenyataan bahwa kebudayaan hanya berhubungan dengan hal yang subjektif, sedangkan tindakan sosial serta benda material yang objektif merupakan hasil seperangkat pengetahuan atau kebudayaan. Di sini terdapat pemisahan tegas antara kebudayaan dan hasil kebudayaan. Jadi, apabila arsitektur Jawa adalah realitas ciptaan, maka arsitektur Jawa adalah hasil kebudayaan Jawa yang bersifat objektif teramati. Sementara itu, kebudayaan Jawa merupakan kategori-kategori yang digunakan untuk menyortir dan mengklasifikasikan pengalaman tentang aristektur Jawa yang bersifat subjektif. Oleh karenanya, kebudayaan Jawa adalah jagat makna dan nilai manusia Jawa yang dikomunikasikan melalui simbol. Simbol yang dimaksud dalam hal ini adalah kearifan lokal yang diekspresikan melalui arsitektur Jawa, sedangkan kebudayaan Jawa adalah sistem simbol itu sendiri.
Pada mulanya, simbol merupakan kreasi spontan dari individu yang spesifik berdasarkan pengalaman subjektif-spesifik. Kemudian, mencapai suatu eksistensi objektif pada waktu diterima oleh orang lain selama dalam interaksi sosial. Artinya, hal yang semula subjektif-individual kemudian, menjadi objektif-kolektif mengembangkan realitas yang dimilikinya (Triguna, 2000:24-25). Dengan demikian, keobjektifan kearifan lokal dalam simbol arsitektur Jawa bukanlah sesuatu yang mengada dengan sendirinya. Menginat menurut Triguna (1997:3) simbol bukanlah semata-mata cognitive constructs, tetapi juga bersifat emotive dan cognitive. Sementara itu, universum simbolik sebagai konstruksi kognitif sifatnya teoretis. Ia berasal dari proses refleksi subjektif dan setelah melalui objektivasi sosial melahirkan ikatan eksplisit antara tema-tema penting (significant themes) yang berakar dalam berbagai lembaga. Oleh karenanya, kesamaan simbolik tidak bisa dialami dalam kehidupan sehari-hari, tetapi mengatasi kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, tidaklah mungkin untuk mengajarkan maknanya dengan cara yang langsung seperti yang dapat digunakan untuk mengajarkan makna kehidupan sehari-hari. Akibatnya, terjadi berbagai penafsiran menurut ekternalisasi, objektivasi, dan internalisasi yang dialami seseorang atau sekelompok orang. Jadi, simbol adalah suatu hal atau keadaan yang merupakan pengantaraan pemahaman terhadap objek. Simbol sendiri tidak memiliki kenyataan fisik, tetapi hanya memiliki nilai fungsional. Berdasarkan strukturnya, simbol dapat dikatagorikan menjadi empat, yaitu simbol konstruktif, evaluatif, kognitif, dan ekspresif (Triguna, 2000:7-9). Dalam arsitektur Jawa, simbol kearifan lokal yang melekat adalah sesuatu yang memiliki nilai fungsional dan bersifat hidup. Mengingat pada dasarnya simbol arsitektur Jawa mengandaikan bahwa perwujudan yang terpilih adalah formulasi yang paling baik tentang sesuatu yang relatif tidak populer atau tidak dikenali sebelumnya sebagai simbol, tetapi hal itu diketahui sebagai hal yang ada atau diharapkan ada. 
Gambar 3. Cara manusia berkomunikasi dengan alam melalui bahasa ibunya.
Selama kearifan lokal dalam simbol arsitektur Jawa tetap hidup, berarti simbol tersebut adalah ekspresi tentang suatu hal yang tidak dapat ditandai dengan tanda yang lebih tepat. Ini menunjukkan bahwa simbol hanya hidup selama simbol itu mengandung arti bagi sekelompok besar manusia. Dalam hal ini simbol sebagai sesuatu yang menjadi milik bersama sehingga simbol menjadi sosial yang hidup dan pengaruhnya menghidupkan. Manakala arti telah lahir dari suatu simbol, yaitu ketika diperoleh suatu ekspresi yang dapat merumuskan hal yang  dicari dengan lebih tepat dan lebih baik, maka matilah simbol itu dan simbol hanya mempunyai arti historis. Ini berarti simbol yang hidup dalam arsitektur Jawa mengungkapkan hal-hal yang tidak terkatakan dalam cara yang tidak teratasi sebagaimana kearifan lokal Jawa yang disimbolkan melalui arsitektur Jawa. Hampir seluruh simbol yang terbagi dalam empat kategori tersebut bersifat shared values, yaitu disepakati bersama dan memiliki fungsi integratif untuk mempertahankan pengawasan-pengawasan sosial dan memelihara kebersamaan dalam masyarakat atau sebaliknya sesuatu yang dapat mewujudkan disintegratif. Dalam konteks kebudayaan, pemaknaan simbol arsitektur Jawa terjadi melalui proses semiosis dan canon. Proses semiosis ini adalah suatu proses memadukan entitas yang disebut sebagai representamen dangan entitas yang lain yang disebut objek. Hal ini lazim disebut signifikansi. Oleh karena proses semiosis menghasilkan rangkaian hubungan yang tidak berkesudahan sehingga sebuah interpretan akan menjadi representamen, menjadi interpretan lagi, dan seterusnya, andifinitum. Gerakan yang tidak berujung-pangkal ini oleh Umberto Eco dan Derrida kemudian, dirumuskan menjadi proses semiosis tanpa batas (unlimited semiosis) (Broadbent, 1980:382-383).
Oleh karena itu, kebhinekaan makna simbolik kearifan lokal Jawa dalam arsitektur Jawa tidak saja disebabkan oleh kebhinekaan wujud arsitektur, tetapi juga oleh kesadaran subjek atas ruang-ruang arsitektur (objek) yang merepresentasikan kejadian atau suatu ikatan ingatan kolektif. Kehadiran arsitektur Jawa sebagai simbol telah menjadikannya sebagai objek interpretasi yang melahirkan multimakna. Sakralitas makna simbolik yang diberikan dan diyakini oleh pembuatnya telah mengalami pembongkaran dan pemaknaan ulang oleh berbagai pihak yang bertindak sebagai subjek. Pada titik ini sakralitas-profanitas dan/atau tradisional-modern menjadi begitu jelas menjadi permainan wacana yang dapat diurai dari relasi-relasi kuasa dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya. Ini megandaikan bahwa arsitektur sebagai bahasa sama halnya dengan menjadikan arsitektur sebagai teks budaya yang harus dibaca untuk mengungkap makna yang dikandungnya. Secara leksikal “makna” diartikan sebagai sesuatu pengertian yang diberikan kepada suatu objek. Subjek dan objek adalah term-term yang korelatif atau saling menghubungkan diri satu sama lain. Tanpa subjek, tidak akan ada objek. Sebuah benda menjadi objek karena kearifan subjek yang menaruh perhatian atas benda itu. Makna diberikan kepada objek oleh subjek sesuai dengan cara pandang subjek. Jika tidak demikian, maka objek menjadi tidak bermakna sama sekali (Sumaryono, 1999:30).
Ini sejalan dengan pendapat Gadamer, tokoh hermeneutika filosofis bahwa makna hadir selalu didahului oleh pemahaman subjek terhadap objek. Pemahaman dapat diperoleh, bila subjek memiliki kesadaran terhadap objek. Kegiatan memaknai sesuatu pada dasarnya adalah melakukan interpretasi (Muzir, 2008:98). Interpretasi adalah mencakup pemahaman. Untuk dapat membuat interpretasi, orang lebih dahulu harus mengerti atau memahami. Akan tetapi, keadaan “lebih dahulu mengerti” ini bukan didasarkan atas penentuan waktu, melainkan bersifat alamiah. Mengingat menurut kenyataannya, bila seorang mengerti, ia sebenarnya telah melakukan interpretasi, dan juga sebaliknya. Ada kesertamertaan antara mengerti dan membuat interpretasi. Keduanya bukan dua momen dalam satu proses. Mengerti dan interpretasi menimbulkan lingkaran hermeneutik (Sumaryono, 1999:30-31). Akan tetapi, dalam logika Derridian, jejak (trace) mengacu pada pengertian bekas-bekas terciptanya suatu realitas. "Jejak" adalah dalam pertentangannya dengan konsep "sejarah" (historisisme) karena sejarah dianggap bukanlan suatu realitas yang netral, tetapi sebaliknya, merupakan realitas penafsiran oleh dan sekaligus untuk suatu kepentingan tertentu. Dekonstruksi Derrida mengganti konsep sejarah (historisisme) dengan "silsilah", yaitu sebagai fakta sejarah karena silsilah dianggap terlepas dari unsur penafsiran sekaligus kepentingan. Oleh karena itu, dekonstruksi memandang realitas tidak otonom, tetapi realitas yang memiliki silsilah atau jejak. Dengan kata lain, realitas sebagai teks merupakan relasi antara teks dengan teks lainnya (Lubis, 2004:101-122; Norris, 2003; Ratna, 2005:250-275).
Dengan demikian, kebhinekaan makna atas simbolisasi kearifan lokal Jawa dalam arsitektur Jawa merupakan kelaziman karena setiap subjek yang berkesadaran bisa saja memberikan makna yang berbeda terhadap objek yang sama ataupun berbeda.

4. Diskursus Kearifan Lokal Sebagai Bahasa Ibu Arsitektur Jawa
Kearifan lokal lazim dimaknai sebagai bangun pengetahuan yang bersumber dari nilai-nilai dan potensi lokal yang diwacanakan secara lisan dari generasi ke generasi yang akhirnya disebut kebudayaan tradisional. Namun demikian, harus diakui bahwa kebenaran tidak selalu terdapat pada yang baru (modern), tetapi juga pada yang tradisional, bahkan kebenaran tersebar pada sepanjang pengalaman manusia, terfragmentasi sesuai dengan ruang dan waktu realitas berada, dan bukan hanya ditentukan berdasarkan akal dan rasional. Sebagaimana perwujudan arsitektur Jawa yang secara semiotik dikatakan sebagai sarana komunikasi visual. Ini berarti bahwa arsitektur Jawa memiliki bahasa tersendiri dalam membangun komunikasi yang baik dengan subjek-subjek pemakna di luar dirinya.
Pengandaian perwujudan arsitektur Jawa sebagai bahasa (sarana komunikasi visual) dalam membangun kesadaran kolektif masyarakatnya memerlukan bahasa yang dikuasai dan dipahami oleh masyarakat itu sendiri yang lazim disebut “bahasa ibu”. Apabila kearifan lokal menjadi dasar pengembangan arsitektur Jawa, maka kearifan lokal dapat dianggap sebagai bahasa ibu arsitektur Jawa. Oleh karenanya, arsitektur Jawa secara tekstual dianggap sebagai karya adiluhung budaya Jawa. Fungsi pewadahan dan pernaungan menempatkannya bukan hanya sebagai wujud karya arsitektur yang bersumber pada kearifan lokal, tetapi juga dimaknai sebagai pusat kosmos dan magi budaya Jawa. Dalam hal ini magi budaya adalah nilai-nilai sakral dan simbolisasi tuntunan hidup manusia untuk mencapai keselamatan. Sebaliknya, secara kontekstual arsitektur Jawa dipandang sebagai simbol yang telah menjadikannya sebagai objek interpretasi yang melahirkan multimakna. Sakralitas makna simbolik yang diberikan dan diyakini oleh internal masyarakat Jawa telah mengalami pembongkaran dan pemaknaan ulang oleh berbagai pihak yang bertindak sebagai subjek. Artinya, makna simbolik arsitektur Jawa telah didekonstruksi oleh sejumlah pihak dengan caranya sendiri-sendiri untuk menemukan konstruksinya yang baru. Di titik ini, sakralitas dan profanitas menjadi permainan wacana yang dapat diurai dari relasi-relasi kuasa dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya. Misalnya, Magnis-Suseno (1999:150) menjelaskan bahwa seluruh kebijaksanaan hidup Jawa dapat dirangkum dalam tuntutan dasar untuk selalu menempati tempat yang tepat. Demikian juga epistemologi dengan mengutamakan kategori tempat, agar kehidupan terus berjalan; sistem etika Jawa yang lebih menonjolkan kategori tempat; bahkan apa yang harus dilakukan masing-masing ditentukan oleh tempatnya dalam masyarakat. Konsekuensi dari pandangan ini adalah penerimaan orang Jawa terhadap misteri kehidupan yang selanjutnya disebut dengan kearifan lokal.
Dalam budaya Jawa sikap penerimaan terhadap misteri kehidupan terdapat dalam kosa kata “nrima”, “iklas”, dan “rila”. Kata “nrima” berarti orang dalam keadaan kecewa dan dalam kesulitan apa pun akan bereaksi dengan rasional. Kata ini menuntut kekuatan untuk menerima apa yang tidak dapat dielakkan tanpa membiarkan dirinya dihancurkan oleh reaksinya sendiri. Iklas berarti kesediaan untuk melepaskan individualitas sendiri dan mencocokkan diri ke dalam keselarasan agung alam semesta sebagaimana sudah ditentukan. Rila merupakan kesanggupan untuk melepaskan, sebagai kesediaan untuk melepaskan hak milik, kemampuan-kemampuan, dan hasil-hasil pekerjaan sendiri, bila itulah yang menjadi tuntutan tanggung jawab. Dua kata terakhir ini harus dipahami sebagai keutamaan positif, bukan sebagai menyerah dalam arti negatif, melainkan sebagai tanda penyerahan otonom, sebagai kemampuan melepaskan sepenuh pengertian daripada membiarkan saja sesuatu direbut secara pasif (Magnis-Suseno, 1999:143-144). 
Ini menunjukkan bahwa fenomena tentang minimnya konflik manifes dalam kehidupan sosial orang Jawa disebabkan oleh kemampuan mereka menerima misteri kehidupan. Afirmasi manusia Jawa secara langsung pada misteri kehidupan menyebabkan pengetahuan yang terbentuk secara historis menjadi hal sekunder dalam kehidupan praksis. Kehidupan harus mendominasi pengetahuan yang terbentuk secara historis, bukan sebaliknya pengetahuan mendominasi kehidupan (Copleston, 1974:33). Jika pengetahuan tunduk pada kehidupan, maka pengetahuan itu tidak akan menjadi kandungan untuk mengakumulasikan sejumlah besar informasi, tetapi akan berusaha untuk menyatukan kandungan pengetahuan di dalam sebuah gaya seni (termasuk arsitektur), mendorong bentuk-bentuk asli budaya, sebuah bentuk kehidupan yang sungguh alami, asli, tersatukan dan kreatif serta bersifat produktif. Secara negatif, budaya bukanlah gaya hidup, juga bukan kesatuan artistik harmonis dan pengetahuan historis, melainkan kumpulan campur aduk semua gaya dan sesuatu yang dihayati. Penghayatan semacam ini akan memunculkan apa yang disebut Nietzsche plastic power (kekuatan plastik) pada manusia, masyarakat atau budaya seperti berikut.
"...the deeper the roots of a man’s inner nature, the better will he take the past into himself; and the greatest and most powerful nature would be known by absence of limits for the historical sense to overgrow and work harm. It would assimilate and digest the past, however foreign, and turn it to sap" (Copleston, 1974:35).
Konsekuensi dari pemahaman bahwa kebudayaan Jawa lebih condong pada kehidupan dan karenanya mengakomodasi jiwa-jiwa tangguh, mempunyai sifat plastik dibandingkan dengan pengetahuan. Hal ini dapat dilihat pada pemahaman mengenai ruang dalam pengertian arsitektural, yakni bahwa ruang merepresentasikan kejadian atau suatu ikatan ingatan kolektif. Menurut Umberto Eco, ruang-ruang arsitektural merupakan sarana komunikasi visual yang pemaknaannya tidak akan pernah berhenti. Tidak sekedar ada, tetapi selalu mengada. Ini berarti persoalan arsitektur bukan hanya berhenti pada persoalan geometris, penciptaan ruang, dan menghuninya, melainkan lebih pada dimensi "kekinian" yang dalam istilah Derrida disebut dengan "kemenjadian" (becoming). Bukan hanya ada (being), tetapi juga mengada (beings). Malahan dengan mengikuti logika resepsi Jauss yang memahami sebuah teks atau kejadian meliputi proses mediasi terus-menerus antara kini dan masa lampau, informasi yang diberikan oleh simbol komunikasi visual tersebut menuntut penafsir (subjek) selalu dikondisikan secara historis dan konteks kekiniannya (Cavallaro, 2004:97). Ada dimensi kini dan masa depan yang dalam resepsi Jauss disebut dengan "horizon harapan" yang bersifat kolektif.
Dengan demikian, tidak dapat dipungkuri bahwa arsitektur Jawa dengan kearifan lokalnya adalah realitas ciptaan yang lazimnya dianggap produk kebudayaan masa lalu. Kecanggihan visi budaya kearsitekturan Jawa telah menjadikannya sebagai puncak perwujudan arsitektur tradisional yang membanggakan. Akan tetapi, kebanggaan terhadap karya arsitektur tradisional seperti ini terkadang menjadi sumber malapetaka arsitektur tradisional itu sendiri. Dengan kebanggaan itu, bisa saja tanpa disadari kemudian, masyarakat Jawa membangun sebuah konstruksi mental yang menerima pengetahuan arsitektur tradisional ini sebagai kebenaran. Yang dapat dilakukan terhadap sosok kebenaran, tentu seperti menangani sebuah pusaka, yakni merawat dan menghindarkan pusaka itu dari perubahan. Keajegan selalu diupayakan dan diperjuangkan, bahkan sampai pada pemaknaan simbol yang melekat. Kondisi ini pada akhirnya menjadikan arsitektur Jawa tidak dipandang sebagai simbol yang hidup karena keberadaannya telah dilingkupi dan dimatikan oleh mitos-mitos yang diajegkan.
Oleh karenanya muncul sikap yang salah, bila memandang kebudayaan sebagai sistem pengetahuan kemudian, menempatkan arsitektur Jawa dengan kearifan lokalnya hanya ke dalam wilayah arsitektur tradisional yang dibekukan dalam mitos, tanpa boleh dimaknai sebagai ilmu yang bisa dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman. Ini sejalan dengan usulan Prijotomo (2008:1) yang mengusulkan untuk menyebut arsitektur tradisional di wilayah Jawa sebagai "arsitektur Jawa". Hal ini lebih dimaksudkan sebagai tandingan terhadap munculnya istilah “arsitektur Barat” yang dianggap lebih modern. Dengan kata lain, arsitektur tradisional di wilayah Jawa adalah arsitektur liyan (the other) bagi arsitektur Barat. Menurut Pangarsa (2008:3) dalam kaitannya dengan dunia pendidikan arsitektur dan perkembangan dunia arsitektur yang mengedepankan kearifan lokal, arsitektur Jawa adalah arsitektur masa depan. Artinya, sudah saatnya arsitektur Jawa dilepaskan dari bungkus dan label “arsitektur tradisional” untuk membangun wacana baru sebagai “arsitektur masa depan” yang memiliki bahasa ibu berupa kearifan lokal dan yang sejajar atau bahkan berani bersaing dengan arsitektur Barat. 

5. Simpulan
Berdasarkan paparan di atas dapat ditarik tiga simpulan sebagai berikut.
1)      Ruang kesadaran manusia Jawa yang menempatkan kearifan lokal menjadi bagian penting dalam membangun identitas arsitektur Jawa menjadikan arsitektur Jawa berkembang menurut metafikanya sendiri dan memiliki perbedaan filosofis yang jelas antara arsitektur Jawa dan arsitektur lainnya.
2)      Kebhinekaan makna atas simbolisasi kearifan lokal Jawa dalam arsitektur Jawa merupakan kelaziman karena setiap subjek yang berkesadaran bisa saja memberikan makna yang berbeda terhadap objek yang sama ataupun berbeda.
3)      Diskursus kearifan lokal sebagai bahasa ibu arsitektur Jawa sepatutnya diarahkan kepada upaya membangun ruang kesadaran baru masyarakat Jawa untuk dapat melepaskan arsitektur Jawa dari bungkus dan label “arsitektur tradisional” untuk membangun wacana baru sebagai “arsitektur masa depan” yang sejajar atau bahkan berani bersaing dengan arsitektur Barat

Daftar Pustaka

Ali, Matius. 2004. Estetika: Sebuah Pengantar Filsafat Keindahan dari Yunani Kuno Sampai Zen Buddhisme. Tangerang: Sanggar Luxor.
Broadbent, G., Bunt, R., and Jencks, C. 1980. Sign, Symbols, and Architecture. New York: John Wiley & Sons Ltd.
Cavallaro, Dani. 2004. Teori Kritis dan Teori Budaya. Yogyakarta: Niagara.
Copleston, Frederick. 1975. Friederich Nietzsche: Philosopher of Culture. USA: Harper & Row.
Foucault, Michel. 2007. Order of Thing: Arkeologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
________. 2002. Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Michel Foucault. Yogyakarta: Jalasutra.
Lubis, Akhyar Yusuf.  2004.  Setelah Kebenaran dan Kepastian Dihancurkan Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan: Sebuah Uraian Filsafat Ilmu Pengetahuan Kaum Posmodernis.  Bogor: Akademia.
Magnis-Suseno, F. 1999. Etika Jawa : Sebuah Analisa Fasafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Mangunwijaya, Y.B. 1992. Wastu Citra, Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis, 2nd edn. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Muzir, Inyiak Ridwan. 2008. Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gademer. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Norris, Christopher. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Terj. Inyiak Ridwan Muzir. Jogjakarta: Ar-Ruzz.
Pangarsa, Galih W. 2008. "Membaca Buku Teles dan Buku Garing". Makalah dipresentasikan pada Diskusi Ilmiah Arsitektur UNS, 12 Agustus 2008, di Jurusan Arsitektur UNS.
Prijotomo, J.  2008. "Cerlangtara, Bukan Kearifan Lokal: Catatan Bagi Ke-liya-an Arsitektur Nusantara". Makalah dipresentasikan pada Diskusi Ilmiah Arsitektur UNS, 12 Agustus 2008.
Ratna, Kutha.  2005.  Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 
Ricoeur, Paul. 2002. Filsafat Wacana Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa. Yogyakarta: IRCiSod.
Spradly, James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Triguna, Yudha IBG. 1997. "Mobilitas Kelas, Konflik, dan Penafsiran Kembali: Simbolisme Masyarakat Hindu di Bali" (disertasi). Bandung: Universitas Padjajaran Bandung.
________. 2000. Teori Tentang Simbol. Denpasar: Widya Dharma.






* Staf Pengajar Program Studi Arsitektur, Jurusan Arsitektur, Fak. Teknik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Indonesia. Sekretaris Pusat Studi Javanologi LPPM Universitas Sebelas Maret Surakarta, Indonesia. Alamat e-mail: titis_pitana@yahoo.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar