ARSITEKTUR JOGLO:
EKSPRESI RUANG KESADARAN MANUSIA JAWA, KEARIFAN LOKAL
JAWA, DAN SARANA KOMUNIKASI VISUAL
Gambar 1. Perwujudan arsitektur Joglo. |
Oleh
Dr. Titis
Srimuda Pitana, S.T., M.Trop.Arch.*
Abstrak
Secara sederhana, arsitektur sering diartikan sebagai
ruang
hidup material yang mengekspresikan kesadaran, kehendak, dan kekuasaan manusia. Arsitektur Joglo
merupakan salah satu perwujudan ruang hidup material Jawa yang paling populer. Dalam
ruang kesadaran manusia, kehendak dan kekuasaan adalah refleksi dari hasrat
manusia. Manusia dengan hasratnya telah mengembangkan arsitektur menjadi ilmu
rancang bangun tidak hanya dibatasi oleh ruang dan gatra (sesuatu yang tampak terwujud) atau garis dan bidang. Akan
tetapi, arsitektur telah berkembang menjelajahi ruang kesadaran manusia jauh ke
relung-relung keindahan yang kemudian, diposisikan menjadi nilai ideal.
Kearifan lokal lazim dimaknai sebagai bangun pengetahuan yang
bersumber dari nilai-nilai dan potensi lokal yang diwacanakan secara lisan dari generasi
ke generasi yang akhirnya disebut kebudayaan tradisional. Pengandaian
perwujudan arsitektur Jawa sebagai bahasa (sarana komunikasi visual) dalam
membangun kesadaran kolektif masyarakatnya memerlukan bahasa yang dikuasai dan
dipahami oleh masyarakat itu sendiri yang lazim disebut “bahasa ibu”. Apabila
kearifan lokal menjadi dasar pengembangan arsitektur Jawa, maka kearifan lokal
dapat dianggap sebagai bahasa ibu arsitektur Jawa.
Kata kunci: joglo, kearifan lokal, arsitektur Jawa
1. Pendahuluan
Arsitektur
Joglo merupakan salah satu bentuk arsitektur Jawa yang paling populer dan begitu
lazim diposisikan menjadi arsitektur tradisional, karena itu harus berhadapan
dengan arsitektur modern yang selalu diwacanakan oleh dunia Barat, sebagaimana
positivisme mengafirmasi kebenaran sebagai ‘paradoksal’. Realitas ini pada
kenyataan telah merebut kesadaran bahwa arsitektur Joglo sebagai produk budaya Jawa
eksistensinya sangat terikat pada masa lalu dan tidak mampu mengikuti
perkembangan zaman. Sebaliknya, arsitektur modern karena sifat kebaruannya
sehingga selalu sejalan dengan selera dan kodrat manusia yang selalu menghendaki
yang serba baru dan bergerak ke masa depan termasuk dalam bidang seni rancang
bangun. Dengan demikian, arsitektur modern berhasil membangun kesadaran baru
dan mendominasi kesadaran manusia Jawa dalam berarsitektur dengan terjebak stereo-type ‘tradisional’. Akibatnya,
hampir seluruh aktivitas kearsitekturan Jawa berorientasi ke dunia Barat,
tempat budaya modern berasal. Apabila dominasi kesadaran arsitektur modern ini
dibiarkan berkembang semakin dalam di benak manusia Jawa, maka Joglo sebagai
produk arsitektur Jawa akan mengalami kesulitan mengelola kelangsungan hidupnya
karena dianggap tidak mampu mengembangkan diri dan telah mati sebagai artefak
kebanggaan masa lalu.
Nilai-seni
intinya bersumber pada nilai-kebaikan; dan nilai-kebaikan sejatinya berasal
dari nilai-kebenaran, sebagaimana yang terjadi pada arsitektur. Patut disadari
bahwa kebenaran tidak melulu terdapat pada yang baru, tetapi juga pada yang
tradisional, bahkan kebenaran tersebar pada sepanjang pengalaman manusia, bukan
hanya ditentukan berdasarkan akal dan rasional, sebagaimana manusia modern
menakar kebenaran itu sendiri. Oleh karena itu, makalah ini ingin mengajak para
akademisi dan praktisi yang bergelut dalam bidang seni rancang bangun untuk
memberikan porsi dan posisi yang seimbang antara arsitektur Joglo yang
merupakan produk arsitektur Jawa dan arsitektur Modern yang lazim disematkan
untuk arsitektur Barat. Dalam konteks ini dipandang penting dan relevan
mengetengahkan perbincangan tentang arsitektur Joglo sebagai ekspresi ruang
kesadaran manusia Jawa; arsitektur Joglo sebagai ekspresi kearifan lokal Jawa;
dan arsitektur Joglo sebagai sarana
komunikasi visual.
2. Arsitektur Joglo Sebagai Ekspresi Ruang Kesadaran Manusia
Jawa
Dalam dunia
arsitektur, secara sederhana, ruang sering diartikan sebagai wadah tempat
berlangsungnya suatu kegiatan. Artinya, manusia dalam berkegiatan
(beraktivitas) tidak akan pernah lepas dari keberadaan ruang sebagai wadah
kegiatannya. Persoalannya, seberapa jauh manusia menyadari eksistensi dan
memaknai ruang tersebut dalam kehidupannya agar segala tindakan atau
keputusannya adalah dianggap tepat? Ketepatan suatu tindakan oleh manusia Jawa
sering diungkapkan dalam terminologi bener
iku kudu pener, lire jumbuh klawan
empan papan (benar itu harus tepat, artinya sesuai dengan ruang dan waktu).
Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa kebenaran, bagi manusia Jawa, adalah
sesuatu yang terfragmentasi, yaitu terpenggal-penggal sesuai dengan ruang dan
waktu, sehingga manusia harus tetap menjalin keselarasan dengan ruangnya untuk
selalu mendekatkan pada kebenaran. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran terhadap
ruang menjadi suatu yang sangat penting bagi manusia.
Apabila manusia dianggap sebagai animal
symbolicum, yaitu makhluk seperti binatang yang mampu menciptakan simbol,
seperti yang dikatakan oleh Ernst Cassier (1987:41-42) dalam
bukunya An Essay on Man, dan
ruang diartikan sebagai wadah suatu kegiatan, maka kesadaran manusia terhadap
ruang itu sendiri dalam berkegiatan adalah sebagai dasar munculnya respon
terhadap situasi yang melingkupinya. Artinya, apakah suatu kegiatan manusia
yang terjadi telah sesuai dengan kesadaran pelakunya ataukah tidak adalah
bergantung pada kesadaran pelakunya terhadap keberadaan ruang yang
melingkupinya. Dalam pemahaman manusia Jawa kesesuaian antara kesadaran dan
respon ini diartikan sebagai keselarasan antara wadah dan isi. Begitu
pentingnya keselarasan tersebut seperti tertuang dalam Serat Dewa Ruci yang
merupakan wejangan Dewa Ruci pada Bima, sebagai berikut.
“Kang ingaran urip mono mung jumbuhing badan wadaq lan batine,
pepindhane wadhah lan isine…
Jeneng wadah yen tanpa isi, alah dene arane wadhah, tanpa tanja tan ana
pigunane
semono uga isi tanpa wadhah, yekti
barang mokal…
Tumrap urip kang utama tertamtu ambutuhake wadhah lan isi,
kang utama karo-karone.”
(Kutipan dari salah satu Serat
Dewa Ruci)
Yang disebut hidup adalah
manunggalnya tubuh dan batin (raga dan jiwa),
ibarat wadah dan isinya…
Wadah tanpa isi, adalah sia-sia
disebut wadah,
tidak akan berarti dan berguna.
Demikian juga isi tanpa wadah,
adalah sesuatu yang mustahil…
Untuk hidup yang sempurna
membutuhkan wadah dan isi,
yang utama adalah kedua-duanya.
Subjektifitas dan interpretasi bebas mengenai kutipan Serat Dewa Ruci di
atas mengarahkan tulisan ini untuk menjadikannya sebagai suatu analogi
pandangan manusia Jawa yang archaic
mengenai keberadaan jagad gede
(makrokosmos/jagad raya) dan jagad cilik
(mikrokosmos/diri manusia) yang akhirnya menghasilkan empat asumsi dasar untuk
dijadikan pijakan argumen dalam pembahasan mengenai kesadaran manusia terhadap
ruang hidupnya. Pertama, pandangan
manusia Jawa terhadap kosmosnya adalah merupakan bentuk nilai tetap yang selalu
hadir dalam kehidupannya. Kedua,
norma dan etika hidup manusia Jawa dalam interaksi sosial diatur melalui
prinsip kerukunan, hormat, dan keselarasan. Ketiga,
prinsip kerukunan, hormat, dan kesalaran dalam interaksi sosial tersebut
menjadikan manusia Jawa sangat terbuka dalam menerima suatu perubahan.
Perubahan yang paling banyak terjadi adalah pada sistem nilai, sedangkan untuk
norma yang diwujudkan pada perilaku relatif tidak berubah. Keempat, identitas diri yang terbentuk diungkapkan melalui pikiran
dan perbuatan yang total, berlandasan dan beralasan. Dalam ruang hidup
materialnya, hal tersebut dikomunikasikan secara tidak langsung, tetapi
diungkapkan dengan menggunakan simbol.
Berdasarkan perwujudannya, ruang dapat dikelompokkan menjadi dua macam,
yaitu (1) ruang hidup material, yaitu ruang yang secara visual memiliki
perwujudan fisik, keberadaannya adalah diidentifikasikan dengan adanya
batas-batas fisik yang dimilikinya, teramati secara visual; dan (2) ruang hidup
immaterial, yaitu ruang yang secara visual tidak memiliki perwujudan fisik atau
keberadaannya hanya dapat dirasakan melalui suatu kesadaran manusia karena
tidak memiliki batas-batas yang dapat teramati secara visual.
Dalam
ruang kesadaran manusia, kehendak dan kekuasaan adalah refleksi dari hasrat
manusia. Manusia dengan hasratnya telah mengembangkan arsitektur menjadi ilmu
rancang bangun tidak hanya dibatasi oleh ruang dan gatra (sesuatu yang tampak terwujud) atau garis dan bidang. Akan
tetapi, arsitektur telah berkembang menjelajahi ruang kesadaran manusia jauh ke
relung-relung keindahan yang kemudian, diposisikan menjadi nilai ideal. Nilai
keindahan inilah bahasa manusia yang disampaikan dengan media arsitektur.
Malahan Merleau-Ponty mengatakan bahwa berarsitektur adalah berbahasa manusia
dengan citra unsur-unsurnya, baik dengan bahan material maupun bentuk dan
komposisinya. Begitulah bahasa arsitektur selalu menghadirkan nilai keindahan
dengan penuh kejujuran dan kewajaran, sebagaimana diungkapkan oleh Thomas
Aquinas, 'pulchrum splendor est
veritatis', 'keindahan adalah pancaran kebenaran' (Mangunwijaya,
1992:9-10).
Pada
saat revolusi arsitektur yang dipelopori oleh pengikut Bauhaus (1919) di
Jerman, bahkan keindahan arsitektur dipandang bukan lagi bersifat insidental
atau sebagai suplemen terhadap fungsinya. Akan tetapi, keindahan arsitektur
identik dengan fungsinya. Malahan pada era posmodern, Charles Jencks dan
Venturi memberikan rambu-rambu bahwa keindahan arsitektur yang tertuang dalam
bangunan haruslah bersifat komunikatif (Ali, 2004:154-155).
Himbauan ini lebih merupakan bentuk kritik atas arsitektur modern
yang cenderung hanya merupakan permainan konotasi dan makna).
Dalam
konteks ruang kesadaran manusia Jawa, pararel dengan diskursus Foucault adalah
kata “pengertian”, seperti dijelaskan oleh Frans Magnis-Suseno (1999:200) bahwa
pengertian bagi manusia Jawa dekat dengan "kekuatan batin" (kesakten — pemusatan kekuatan kosmis, pembenaran-diri), sebagaimana
terungkap dalam kata “ngelmu”.
Ngelmu sekaligus berarti ilmu pengetahuan, pengertian (lebih-lebih dalam
arti mistik), dan kekuatan magis misalnya, dalam arti suatu kemampuan khusus
untuk pembelaan diri secara fisik. Dalam kata "pengertian" itu
terdapat makna perluasan kekuasaan pada manusia sendiri yang bersifat tetap,
yaitu manusia yang memiliki rasa-sejati.
Kata “pengertian” dapat dipahami sebagai proses pembebasan dari keterikatan
dalam bayang-bayang yang sementara dan lahiriah. Pembebasan itu berkaitan
dengan satu proses penghalusan dan pembatinan daya persepsi batin. Dengan
begitu, pengertian adalah suatu proses perkembangan pada subjek yang mengerti
itu sendiri. Pengertian subjek yang mengerti sendiri itu akan mengalami
pertumbuhan. Jadi, tekanan terletak pada subjek yang mengerti, bukan pada objek
pengertian yang harus diketahui — sebagaimana ajaran etika Sokrates. Orang Jawa
dalam ruang kesadarannya memahami pengertian semacam ini sebagai rasa yang secara inderawi dapat
diartikan sebagai kepekaan terhadap lingkungan fisik (termasuk ruang
arsitektur).
3. Arsitektur Joglo Sebagai Ekspresi Kearifan Lokal Jawa
Kearifan
lokal lazim dimaknai sebagai bangun
pengetahuan yang bersumber dari nilai-nilai dan potensi lokal yang diwacanakan secara lisan dari generasi
ke generasi yang akhirnya disebut kebudayaan tradisional. Namun demikian, harus
diakui bahwa kebenaran tidak selalu terdapat pada yang baru (modern), tetapi
juga pada yang tradisional, bahkan kebenaran tersebar pada sepanjang pengalaman
manusia, terfragmentasi sesuai dengan ruang dan waktu realitas berada, dan
bukan hanya ditentukan berdasarkan akal dan rasional. Sebagaimana perwujudan
arsitektur Joglo yang secara semiotik dikatakan sebagai sarana komunikasi
visual. Ini berarti bahwa arsitektur Joglo memiliki bahasa tersendiri dalam membangun
komunikasi yang baik dengan subjek-subjek pemakna di luar dirinya.
Tidak
dapat dipungkuri bahwa arsitektur Joglo dengan kearifan lokalnya adalah
realitas ciptaan yang lazimnya dianggap produk kebudayaan masa lalu.
Kecanggihan visi budaya kearsitekturan Jawa telah menjadikannya sebagai puncak
perwujudan arsitektur tradisional yang membanggakan. Akan tetapi, kebanggaan
terhadap karya arsitektur tradisional seperti ini terkadang menjadi sumber
malapetaka arsitektur tradisional itu sendiri. Dengan kebanggaan itu, bisa saja
tanpa disadari kemudian, masyarakat Jawa membangun sebuah konstruksi mental
yang menerima pengetahuan arsitektur tradisional ini sebagai kebenaran. Yang
dapat dilakukan terhadap sosok kebenaran, tentu seperti menangani sebuah
pusaka, yakni merawat dan menghindarkan pusaka itu dari perubahan. Keajegan
selalu diupayakan dan diperjuangkan, bahkan sampai pada pemaknaan simbol yang
melekat. Kondisi ini pada akhirnya menjadikan arsitektur Jawa tidak dipandang
sebagai simbol yang hidup karena keberadaannya telah dilingkupi dan dimatikan
oleh mitos-mitos yang diajegkan.
Oleh
karenanya muncul sikap yang salah, bila memandang kebudayaan sebagai sistem
pengetahuan kemudian, menempatkan arsitektur Jawa dengan kearifan lokalnya
hanya ke dalam wilayah arsitektur tradisional yang dibekukan dalam mitos, tanpa
boleh dimaknai sebagai ilmu yang bisa dikembangkan sesuai dengan tuntutan
zaman. Ini sejalan dengan usulan Prijotomo (2008:1) yang mengusulkan untuk
menyebut arsitektur tradisional di wilayah Jawa sebagai "arsitektur
Jawa". Hal ini lebih dimaksudkan sebagai tandingan terhadap munculnya istilah
“arsitektur Barat” yang dianggap lebih modern. Dengan kata lain, arsitektur
tradisional di wilayah Jawa, termasuk Joglo, adalah arsitektur liyan (the other) bagi arsitektur Barat. Menurut Pangarsa (2008:3) dalam
kaitannya dengan dunia pendidikan arsitektur dan perkembangan dunia arsitektur
yang mengedepankan kearifan lokal, arsitektur Jawa adalah arsitektur masa
depan. Artinya, sudah saatnya arsitektur Jawa dilepaskan dari bungkus dan label
“arsitektur tradisional” untuk membangun wacana baru sebagai “arsitektur masa
depan” yang memiliki bahasa ibu berupa kearifan lokal dan yang sejajar atau
bahkan berani bersaing dengan arsitektur Barat. Sebagai contohnya, manusia
Jawa menyebut tempat tinggalnya dengan istilah omah. Kata omah merupakan
bentukan dari dua kata om, yang
diartikan sebagai angkasa dan bersifat laki-laki (kebapakan), dan mah yang diartikan lemah (tanah) dan bersifat perempuan (keibuan). Sehingga omah (rumah) dimaknai sebagai miniatur
dari jagad manusia yang terdiri Bapa
Angkasa dan Ibu Pertiwi (Pitana,
2001:40). Realitas ini menunjukkan pada kita tentang pemahaman
manusia Jawa mengenai dualitas, yaitu adanya dua unsur yang dikotomis, dua
unsur yang bertolak belakang yang harus selalu diselaraskan. Hal ini merupakan
fenomena wajar dalam budaya Jawa yang memasukkan unsur jender ke dalam sistem
simbol dualitas, lingga dan yoni, bersifat maskulin dan feminim (Muqoffa, 1998:62).
Kesungguhan manusia Jawa dalam menjaga keseimbangan dan keselarasan antara
mikrokosmos dan makrokosmos dalam penentuan ruang hidup materialnya tidak hanya
diwujudkan dalam pemakaian istilah omah
untuk rumah, tetapi lebih pada pemakaian simbol pada hampir seluruh bagian yang
berkaitan dengan rumah itu sendiri, baik pada simbol materi maupun simbol
perilakunya. Simbol materi yang dimaksud di sini adalah untuk hal-hal yang
bersifat fisik dan dapat ditangkap secara inderawi, diantaranya adalah: pola
tata ruang dan tata massa bangunan, pola perwujudan bentuk bangunan, penggunaan
material bangunan, dan desain ornamen-ornamen yang melekat. Sedangkan untuk
simbol perilaku yang dimaksud adalah untuk hal-hal yang berkaitan dengan
tindakan dari manusia Jawa berkaitan dengan pembangunan rumahnya, diantaranya
adalah mengenai ritual-ritual, laku batin, dan gugon tuhon yang menyertai proses pembangunan sebuah rumah.
Misalnya, ritual bedah bumi untuk
pertanda memulainya penggalian tanah untuk pondasi rumah, atau ritual munggah penuwun untuk memulai memasang
balok kayu paling atas dari sebuah atap bangunan.
Kearifan
lokal yang dikandung dalam arsitektur Jawa sebagai wujud budaya memiliki
metafisikanya sendiri yang dibangun atas kesadaran dan diskursus pemiliknya.
Dalam hal ini kesadaran masyarakat Jawa dapat dicermati secara mendalam dari
alat kesadarannya, yaitu bahasa ibu. Mengingat bahasa ibu merupakan sumber
moralitas masyarakat dan sekaligus sebagai pembangun wacana, bahkan sebagai
pantulan falsafah hidup, yaitu pedoman hidup dan perilaku hidup. Dalam konteks
arsitektur Joglo sebagai salah satu bentuk arsitektur Jawa, bahasa ibu
arsitektur adalah kearifan lokal. Inilah yang menjelma dalam dunia
sosial-budaya menjadi nilai-nilai. Sistem nilai, baik sebagai pedoman hidup
maupun perilaku hidup tidak pernah final karena senantiasa mengalami
perkembangan inheren dalam perubahan zaman. Faktanya manusia tidak bisa
menjalankan kehidupannya sendiri tanpa terlibat dalam kehidupan sosial berupa
kegiatan kemasyarakatan. Malahan dalam kehidupan sosialnya manusia tidak jarang
harus membangun toleransi sehingga dimungkinkan terjadinya proses saling menerima
dan memberi nilai. Begitulah dalam dunia global manusia Jawa tidak dapat
menutup diri dari pengaruh bangsa lain sehingga identitas menjadi begitu
penting. Dalam konteks identitas inilah penting dan relevan membangun wacana
arsitektur Jawa di tengah-tengah derasnya pengaruh nilai seni. Dengan demikian,
pemaknaan arsitektur Joglo seharusnya diwacanakan berdasarkan metafisika yang
dimilikinya karena apabila tidak demikian, maka yang terjadi adalah kematian
metafisika arsitektur Joglo akibat mengalami kekalahan wacana.
Pentingnya
kearifan lokal dalam membangun identitas arsitektur Jawa, termasuk Joglo,
menurut metafisikanya sendiri, juga karena terdapat perbedaan filosofis antara
arsitektur Jawa dan arsitektur lainnya. Arsitektur Barat misalnya, begitu lazim
dimaknai sebagai “arsitektur perlindungan”, sedangkan arsitektur Jawa sebagai
“arsitektur pernaungan”. Perbedaan ini bermula dari cara pandang masyarakat
terhadap kosmosnya. Masyarakat Barat cenderung mengekplorasi dan menguasai alam
untuk meningkatkan kualitas proses hidup dan kelangsungan kehidupannya.
Sementara itu, masyarakat Jawa lebih mengutamakan hidup seimbang dan selaras
dengan kosmosnya untuk mencapai keharmonisan kehidupannya.
4. Arsitektur Joglo Sebagai Sarana Komunikasi Visual
Rasionalisasi
arsitektur Joglo sebagai ekspresi komunikasi visual bisa berangkat dari suatu
pemahaman manusia sebagai makhluk berkesadaran, yaitu manusia tahu bahwa ia
mengetahui sesuatu tentang sesuatu. Ini dibuktikan dengan kemampuan berpikir
dan berkomunikasi yang dimiliki. Berpikir adalah berkata-kata dalam hati
sendiri dan berkomunikasi adalah berkata-kata antarsubjek. Mengingat kedua
kegiatan ini merupakan tindak tutur dengan menekankan pada penggunaan kata-kata
sehingga kegiatan semacam ini tidak dimungkinkan tanpa bahasa. Begitulah dengan
bahasa, manusia bisa saling memahami dan mewujudkan pengertian di antara
sesamanya. Kesalingpengertian dan pemahaman inilah yang dimaksud dengan
kesadaran dan di dalamnya bahasa menjadi alat dan wujud kesadaran itu sendiri.
Ketika bahasa diterima menjadi wujud kesadaran kolektif masyarakat manusia,
maka manusia sudah menciptakan wacana di dalam dunianya sendiri. Sebagaimana
arsitektur Joglo yang telah diidentikkan dengan arsitektur Jawa, perwujudannya
merupakan respon manusia Jawa terhadap kebutuhan ruang hidup materialnya yang
didasarkan pada kosmologi Jawa.
Pengandaian
perwujudan arsitektur sebagai bahasa (sarana komunikasi visual) dalam membangun
kesadaran kolektif masyarakatnya memerlukan bahasa yang dikuasai dan dipahami
oleh masyarakat itu sendiri yang lazim disebut “bahasa ibu”. Apabila kearifan
lokal menjadi dasar pengembangan arsitektur Jawa, maka kearifan lokal dapat
dianggap sebagai bahasa ibu arsitektur Jawa. Oleh karenanya, arsitektur Joglo
secara tekstual dianggap sebagai karya adiluhung budaya Jawa. Fungsi pewadahan
dan pernaungan menempatkannya bukan hanya sebagai wujud karya arsitektur Jawa yang
bersumber pada kearifan lokal, tetapi juga dimaknai sebagai pusat kosmos dan
magi budaya Jawa. Dalam hal ini magi budaya adalah nilai-nilai sakral dan
simbolisasi tuntunan hidup manusia untuk mencapai keselamatan. Sebaliknya,
secara kontekstual arsitektur Joglo dipandang sebagai simbol yang telah
menjadikannya sebagai objek interpretasi yang melahirkan multimakna. Sakralitas
makna simbolik yang diberikan dan diyakini oleh internal masyarakat Jawa telah
mengalami pembongkaran dan pemaknaan ulang oleh berbagai pihak yang bertindak
sebagai subjek. Artinya, makna simbolik arsitektur Joglo telah didekonstruksi
oleh sejumlah pihak dengan caranya sendiri-sendiri untuk menemukan
konstruksinya yang baru. Di titik ini, sakralitas dan profanitas menjadi
permainan wacana yang dapat diurai dari relasi-relasi kuasa dan pengetahuan
yang terkandung di dalamnya. Misalnya, Magnis-Suseno (1999:150) menjelaskan
bahwa seluruh kebijaksanaan hidup Jawa dapat dirangkum dalam tuntutan dasar
untuk selalu menempati tempat yang tepat. Demikian juga epistemologi dengan
mengutamakan kategori tempat, agar kehidupan terus berjalan; sistem etika Jawa
yang lebih menonjolkan kategori tempat; bahkan apa yang harus dilakukan
masing-masing ditentukan oleh tempatnya dalam masyarakat. Konsekuensi dari
pandangan ini adalah penerimaan orang Jawa terhadap misteri kehidupan yang
selanjutnya disebut dengan kearifan lokal.
Manusia Jawa
meyakini bahwa antara ”wadah” dengan ”isi” diperlukan adanya keseimbangan,
kesejajaran, bahkan keterpaduan sehingga tercipta ketenteraman batin,
kesejahteraan, dan kemakmuran dalam hidup dan kehidupan. Kesejajaran
antara wadah dan isi tersebut dilambangkan dengan adanya suatu konsep kesatuan
mikrokosmos (manusia) dengan makrokosmos (alam raya) (Nugroho, 1996:
18-20). Konsep kemanunggalan makrokosmos dan mikrokosmos ini
diartikan bahwa manusia telah menjalin hubungan dengan kekuatan di luar
dirinya yang jauh lebih besar sehingga manusia bersangkutan akan terjaga dan
mampu meningkatkan kekuatannya menjadi lebih besar yang pada akhirnya, akan
mampu mendatangkan kesejahteraan, kesuburan, dan hal-hal positif lainnya bagi
hidup dan kehidupan manusia (Ronald, 1993:30). Kepercayaan adanya kekuatan di
luar diri manusia, bukan saja kekuatan yang datang dari Tuhan sang kuasa
mutlak, akan tetapi juga kekuatan-kekuatan supra-natural yang ada di jagad raya
ini. Kepercayaan ini selalu menempatkan manusia sebagai pusat (pancer) yang dikelilingi kekuatan empat
penjuru mata angin (keblat papat)
bersifat tidak bergerak (mantap), akan tetapi menggerakkan (kuasa dinamis).
Kepercayaan Jawa inilah yang akhirnya, melahirkan terminologi papat keblat kalima pancer yang disebut Pajupat (Prijotomo, 1992:29-31).
Sebagai
realitas ciptaan, arsitektur Joglo merupakan karya masterpiece, adiluhung,
dan sophisticated jika dipandang dari
aspek filosofis, kaidah-kaidah keseimbangan antara fungsi dan konstruksi,
klimatologi, kepadatan pengguna dan area, komposisi bahan, proporsi, tampilan,
garis tegas ornamen, sampai makna warna. Hal ini menunjukkan bahwa arsitektur Jawa menjadi produk
kebudayaan yang sarat kearifan lokal, bersifat objektif, dan karenanya
teramati. Ini juga sebabnya arsitektur Jawa memiliki kemampuan berkomunikasi
melalui tanda grafis (sign) yang
melekat padanya. Dalam artian bahwa tanda-tanda grafis (sign) arsitektural yang membangun arsitektur Joglo adalah makna
denotatif dan konotatif menurut sandi-sandi (codes). Apabila nilai simbolisme arsitektur Joglo terletak pada
caranya menyampaikan makna dari wujud suatu bangunan yang mengandung bobot
ekspresi (signifer) dan bobot makna (signified), maka bobot ekspresi yang
dimaksudkan tercermin pada perwujudan arsitekturnya. Bobot ekspresi ini
meliputi ruang dan permukaannya (facade),
sedangkan bobot makna yang dimaksud adalah media yang berisi muatan atau pesan
yang hendak disampaikan.
Konsekuensi
dari pemahaman bahwa kebudayaan Jawa lebih condong pada kehidupan dan karenanya
mengakomodasi jiwa-jiwa tangguh, mempunyai sifat plastik dibandingkan dengan
pengetahuan. Hal ini dapat dilihat pada pemahaman mengenai ruang dalam
pengertian arsitektural, yakni bahwa ruang merepresentasikan kejadian atau
suatu ikatan ingatan kolektif. Menurut Umberto Eco, ruang-ruang arsitektural
merupakan sarana komunikasi visual yang pemaknaannya tidak akan pernah
berhenti. Tidak sekedar ada, tetapi selalu mengada. Ini berarti persoalan
arsitektur bukan hanya berhenti pada persoalan geometris, penciptaan ruang, dan
menghuninya, melainkan lebih pada dimensi "kekinian" yang dalam
istilah Derrida disebut dengan "kemenjadian" (becoming). Bukan hanya ada (being),
tetapi juga mengada (beings). Malahan
dengan mengikuti logika resepsi Jauss yang memahami sebuah teks atau kejadian
meliputi proses mediasi terus-menerus antara kini dan masa lampau, informasi
yang diberikan oleh simbol komunikasi visual tersebut menuntut penafsir
(subjek) selalu dikondisikan secara historis dan konteks kekiniannya
(Cavallaro, 2004:97). Ada dimensi kini dan masa depan yang dalam resepsi Jauss
disebut dengan "horizon harapan" yang bersifat kolektif.
5.
Simpulan
Berdasarkan
paparan di atas dapat ditarik tiga simpulan. Pertama, sebagai ekspresi ruang kesadaran manusia Jawa, arsitektur Joglo
merupakan ekspresi kehendak dan kekuasaan yang merupakan refleksi dari hasrat
manusia Jawa. Manusia Jawa dengan hasratnya telah mengembangkan arsitektur Joglo
menjadi ilmu rancang bangun yang tidak hanya dibatasi oleh ruang dan gatra (sesuatu yang tampak terwujud)
atau garis dan bidang, tetapi arsitektur Joglo telah berkembang menjelajahi
ruang kesadaran manusia jauh ke relung-relung keindahan yang kemudian,
diposisikan menjadi nilai ideal.
Kedua, ruang kesadaran manusia Jawa yang menempatkan kearifan
lokal menjadi bagian penting dalam membangun identitas arsitektur Jawa
menjadikan arsitektur Joglo berkembang menurut metafisikanya sendiri dan
memiliki perbedaan filosofis yang jelas antara arsitektur Joglo dan arsitektur
lainnya.
Ketiga, diskursus kearifan lokal sebagai bahasa ibu arsitektur
Jawa sepatutnya diarahkan kepada upaya membangun ruang kesadaran baru
masyarakat Jawa untuk dapat melepaskan arsitektur Jawa, termasuk arsitektur
Joglo, dari bungkus dan label “arsitektur tradisional” untuk membangun wacana
baru sebagai “arsitektur masa depan” yang sejajar atau bahkan berani bersaing
dengan arsitektur Barat
Daftar
Pustaka
Ali, Matius.
2004. Estetika: Sebuah Pengantar Filsafat
Keindahan dari Yunani Kuno Sampai Zen Buddhisme. Tangerang: Sanggar Luxor.
Broadbent, G.,
Bunt, R., and Jencks, C. 1980. Sign,
Symbols, and Architecture. New York: John Wiley
& Sons Ltd.
Cassirer, Ernst
1987. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei
Tentang Manusia (terjemahan oleh Alois A. Hugroho). Jakarta: Gramedia.
Cavallaro, Dani. 2004. Teori Kritis dan Teori Budaya. Yogyakarta: Niagara.
Copleston, Frederick. 1975. Friederich Nietzsche: Philosopher of Culture.
USA: Harper & Row.
Foucault,
Michel. 2002. Pengetahuan dan Metode:
Karya-karya Penting Michel Foucault. Yogyakarta: Jalasutra.
Foucault,
Michel. 2007. Order of Thing: Arkeologi
Ilmu-ilmu Kemanusiaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lubis, Akhyar
Yusuf. 2004. Setelah
Kebenaran dan Kepastian Dihancurkan Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan:
Sebuah Uraian Filsafat Ilmu Pengetahuan Kaum Posmodernis. Bogor: Akademia.
Magnis-Suseno,
F. 1999. Etika Jawa : Sebuah Analisa
Fasafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Mangunwijaya,
Y.B. 1992. Wastu Citra, Pengantar ke Ilmu
Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis,
2nd edn. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Muqoffa, Mohamad 1998. Aspek Jender Pada Dalem Bangsawan Di Surakarta Dalam Dinamika
Perubahan Sosial (tesis). Bandung: Program Pascacarjana Institut Teknologi Bandung.
Muzir, Inyiak
Ridwan. 2008. Hermeneutika Filosofis
Hans-Georg Gademer. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Norris, Christopher. 2003. Membongkar
Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Terj. Inyiak Ridwan Muzir. Jogjakarta:
Ar-Ruzz.
Nugroho, A.
1996. Menguak Hong Shui Kejawen, 2nd
edn.
Solo: Aneka.
Pangarsa, Galih
W. 2008. "Membaca Buku Teles dan Buku Garing". Makalah
dipresentasikan pada Diskusi Ilmiah Arsitektur UNS, 12 Agustus 2008, di Jurusan
Arsitektur UNS.
Pitana, T.S.
2001. The Javanese Cosmology and Its
Influence on Javanese Architecture (tesis). Australia: James Cook
University.
Prijotomo, J. 2008.
"Cerlangtara, Bukan Kearifan Lokal: Catatan Bagi Ke-liya-an
Arsitektur Nusantara". Makalah dipresentasikan pada Diskusi Ilmiah
Arsitektur UNS, 12 Agustus 2008.
Prijotomo, J. 1992. Ideas and Form of Javanese Arcitecture.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ratna,
Kutha. 2005. Sastra
dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ronald, Arya
1993. Transformasi Nilai-nilai Mistik dan
Simbolik Dalam Ekspresi Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Yogyakarta: Lembaga
Javanologi Panunggalan.
Sumaryono, E.
1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius.
* Staf
Pengajar Program Studi Arsitektur, Jurusan Arsitektur, Fak. Teknik, Universitas
Sebelas Maret Surakarta, Indonesia.
Sekretaris Pusat Studi Javanologi LPPM Universitas Sebelas Maret Surakarta,
Indonesia. Alamat e-mail: titis_pitana@yahoo.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar