Sabtu, 04 Februari 2012

Kematian Metafisika Keraton


DEKONSTRUKSI MAKNA DAN KEMATIAN METAFISIKA
ARSITEKTUR KERATON SURAKARTA


Titis S. Pitana
e-mail: titis_pitana@yahoo.com

ABSTRAK

Paper ini merupakan hasil kajian yang berjudul "Dekonstruksi Makna Simbolik Arsitektur Keraton Surakarta". Penelitian ini tidak ditujukan untuk memahami arsitektur Keraton Surakarta sebagai sebuah perwujudan fisik dari ilmu rancang bangun. Dalam kajian ini arsitektur Keraton Surakarta merupakan objek material dari sebuah kajian mengenai dekonstruksi pemaknaan simbol yang mengambil fokus kajian pada tiga masalah, yaitu (1) sebab terjadinya dekonstruksi makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta; (2) proses terjadinya dekonstruksi tersebut; dan (3) implikasi dari dekonstruksi tersebut terhadap kehidupan sosial-budaya keraton dan masyarakat Surakarta.

Kata kunci: dekonstruksi, simbol, arsitektur, Keraton Surakarta

Gambar 1. Kori Brojonolo Lor Kareton Surakarta.


PENDAHULUAN
Ketika roh orang Jawa telah ditelan arus perjalanan waktu (sejarah),  kebudayaan bukanlah ”keyakinan” sebagaimana yang dipahami oleh para pembela budaya (para ahli). Alasan simbolik keraton sebagai upaya menggali makna kebaruan dan kekinian, adalah ”keyakinan” bukan jalan damai untuk memahami budaya pada masa kini. ”Keyakinan” sebagai puncak pemikiran selama ini belum terjangkau oleh akal-rasional dalam tradisi ilmiah, baik positivis maupun interpretatif. Selain itu, ”keyakinan” dalam kajian mistis ketimuran lebih dimaknai sebagai wacana (diskursus) batin daripada dipahami sebagai pemikiran dalam wujud gagasan yang dapat diterima oleh akal dan diterapkan dalam praktik sosial-budaya. Dari dimensi inilah kajian tentang dekontruksi makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta diarahkan untuk melampaui paradoks kebenaran rasionalisme-realisme dan kritisisme hingga intuisionisme untuk sampai kepada apa yang disebut sebagai epistemologi dalam dunia ilmu khususnya dalam khazanah kajian budaya. 
Secara fisik, arsitektur Keraton Surakarta dapat dianggap sebagai karya adiluhung budaya Jawa yang memiliki simbol-simbol yang mengandung makna pesan-pesan dan nasihat bagi generasi berikutnya. Namun, pesan dan nasihat yang tersembunyi di balik simbol-simbol tersebut tidak akan memiliki makna, apabila simbol-simbol tersebut tidak dipahami atau dimengerti. Simbol yang hidup dalam Keraton Surakarta adalah ekspresi suatu hal yang tidak dapat ditandai dengan perwujudan fisik saja. Oleh karena itu, makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta harus tetap dicari sesuai dengan ruang dan waktu si pemakna. Dengan kata lain, interpretasi terhadap simbol yang melingkupi arsitektur Keraton Surakarta tidak akan pernah berhenti atau akan terus-menerus mengalami dekonstruksi. Terlebih lagi, apabila suatu simbol harus dimaknai oleh generasi yang berbeda dan pada ruang dan waktu yang berbeda dari simbol tersebut dibuat. Dengan demikian, dalam memaknai simbol yang terdapat pada pola tata bangunan dan elemen-elemennya perlu dipahami latar belakang sejarah dan proses pembangunannya.
Dekonstruksi dalam pemaknaan simbol yang berkelanjutan haruslah dipandang sebagai suatu proses yang tidak pernah berhenti sehingga makna yang hadir selalu bersifat becoming (menjadi) dan terfragmentasi oleh ruang dan waktu si pemakna. Walaupun sejarah telah berupaya menyusun periodisasi aktivitas manusia sejak beribu-ribu tahun yang lalu, tetapi sebagaimana pandangan totalitas terhadap kehidupan bahwa pada dasarnya dalam sejarah manusia tidak pernah terdapat keterpisahan secara mutlak antara pemikiran, tindakan, ruang, dan waktu sebagai sebuah momen. Demikian juga tidak mudah ditemukan keterpisahan mutlak antara pemikiran dan hasil-hasilnya dalam ruang-ruang kehidupan yang tidak terikat pada waktu secara kontekstual, sebagaimana manusia tidak pernah terpisah dari kebudayaan dan kehidupan sosialnya.
Penelitian ini tidak ditujukan untuk memahami arsitektur Keraton Surakarta sebagai sebuah perwujudan fisik dari ilmu rancang bangun. Dalam kajian ini arsitektur Keraton Surakarta merupakan objek material dari sebuah kajian mengenai dekonstruksi pemaknaan simbol yang mengambil fokus kajian pada tiga masalah, yaitu (1) sebab terjadinya dekonstruksi makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta; (2) proses terjadinya dekonstruksi tersebut; dan (3) implikasi dari dekonstruksi tersebut terhadap kehidupan sosial-budaya keraton dan masyarakat Surakarta.
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konstruksi dan dekonstruksi budaya Jawa yang berakar pada Keraton Surakarta dengan kearifan-kearifan lokalnya yang tercermin dalam arsitektur Keraton Surakarta. Pada gilirannya menemukan dan menjelaskan rekonstruksi budaya tersebut dalam rangka memperkaya budaya nasional sebagai bagian dari kerja keilmuan dalam upaya mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Secara khusus, penelitian ini memiliki tiga tujuan: (1) untuk mengetahui dan memahami kejelasan sebab terjadinya dekonstruksi makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta; (2) untuk mengetahui dan memahami kejelasan proses terjadinya dekonstruksi makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta; dan (3) untuk mengetahui dan memahami kejelasan implikasi dekonstruksi tersebut terhadap kehidupan sosial budaya keraton dan masyarakat Surakarta.
Penelitian ini memiliki dua manfaat. Pertama, secara teoretis, Penelitian ini diharapkan bermanfaat memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang kajian arsitektur dan kajian budaya. Di samping itu, penelitian ini juga menambah dan melengkapi kajian-kajian terdahulu tentang arsitektur Jawa dan arsitektur Nusantara. Selanjutnya, bagi kalangan akademisi dapat digunakan acuan untuk melihat ruang-ruang kosong yang mungkin ditinggalkan oleh penelitian ini. Kedua, secara praktis, Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan memperluas cara pandang masyarakat terhadap kearifan lokal yang dimiliki budaya lokalnya di tengah pengaruh dunia global. Selain itu, hasil penelitian ini dapat digunakan oleh para pengambil kebijakan publik berkaitan dengan kehidupan sosial-budaya.  

PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian bidang ilmu Kajian Budaya dengan menggunakan metode kualitatif dan teknik analisis data secara deskriptif kualitatif dan interpretatif yang menggunakan pendekatan hermeneutik. Secara umum penelitian yang menggunakan analisis kualitatif didefinisikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata dan/atau ungkapan-ungkapan, termasuk di dalamnya tindakan-tindakan yang dapat diamati dengan menekankan pengembangan konsep dan pemahaman pola yang ada pada data; memperhatikan setting dan orang secara holistik sehingga bukan sebagai variabel-variabel terpisah; cenderung bersifat humanistik; pemahaman makna yang menjadi dasar tindakan partisipan; memahami keadaan dalam lingkup yang terbatas; dan lebih merupakan seni kerajinan dengan mengutamakan kemahiran dan keikutsertaan perasaan (Bungin, 2003:147).
Di dalam penelitian ini teori dekonstruksi Derrida diposisikan sebagai teori utama untuk menjawab ketiga rumusan masalah penelitian yang dalam penggunaanya dibantu dengan tiga teori yang lain yang digunakan secara eklektik, yakni (1) teori wacana kuasa dan pengetahuan Foucault; (2) teori semiotika komunikasi visual Eco; dan (3) teori resepsi Jauss.
Dekonstruksi makna simbolik Keraton Surakarta bukan sesuatu yang terjadi begitu saja, melainkan suatu wujud penolakan atas logosentrisme yang telah dibangun berdasarkan metafisika keraton itu sendiri. Dalam hal ini juga dapat dikatakan bahwa dekonstruksi yang terjadi atas makna simbolik Keraton Surakarta merupakan kejadian yang disebabkan oleh kematian metafisika Keraton Surakarta. "Kematian" di sini boleh jadi karena sengaja dibunuh oleh pihak di luar pencipta logosentrisme makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta atau kematian dengan sendirinya akibat pengingkaran metafisika tersebut oleh pihak Keraton Surakarta sendiri atas logosentrisme yang telah dibangunnya.
Kematian metafisika Keraton Surakarta yang merupakan akumulasi dari adanya penolakan atau pengingkaran metafisika itu didorong oleh tiga aspek, yakni (1) aspek perubahan status dan peran Keraton Surakarta, yaitu mulai dari dijadikan boneka kekuasaan Kompeni pada masa kolonial hingga hilangnya status swa-praja dan menjadi benda cagar budaya pada masa republik; (2) aspek Keraton Surakarta dalam konstilasi global, yaitu adanya tekanan rasionalitas modern atas moralitas keraton yang menjadikan Keraton Surakarta sebagai korban kapitalisme dan alat komodifikasi kepariwisataan, sehingga keraton tidak memiliki ruang tersisa untuk dapat mengartikulasikan dirinya sendiri; dan (3) aspek perebutan tahta dan kekuasaan, yaitu munculnya raja kembar akibat perebutan tahta Keraton Surakarta yang mengingkari metafisika kehadiran keraton sebagai pusat kosmos dan panutan budaya Jawa.
Menurut logika berfikir Derridian bahwa pemaknaan simbol arsitektur Keraton Surakarta merupakan proses yang terjadi terus-menerus. Wujud arsitektural merupakan sarana komunikasi visual yang menurut Umberto Eco bahwa dalam pemaknaan simbol seperti ini akan terjadi proses semiosis dan canon, yaitu suatu proses memadukan entitas yang disebut sebagai representamen dangan entitas yang lain yang disebut objek. Proses ini menghasilkan rangkaian hubungan yang tidak berkesudahan. Gerakan yang tidak berujung-pangkal ini oleh Eco dan Derrida dirumuskan menjadi proses semiosis tanpa batas (unlimited semiosis) (Broadbent, 1980:382-383).
Proses ini kemudian digunakan untuk mengetahui dan memahami jejak-jejak dekonstruksi makna simbolik Arsitektur Keraton Surakarta yang yang kejelasannya dapat diketahui dan dipahami melalui tiga proses berikut. Pertama, dekonstruksi makna simbolik "pola tata ruang dan bangunan" yang terjadi melalui tiga proses, yakni (1) dari makna ajaran hidup menjadi warisan budaya; (2) dari makna sakral menjadi profan; dan (3) dari makna simbol birokrasi pemerintahan feodal menjadi tatanan rumah tangga. Kedua, dekonstruksi makna simbolik "perwujudan Arsitektur Keraton Surakarta" yang terjadi melalui empat proses, yakni (1) bentuk bangunan: dari simbol kemegahan menjadi simbol keprihatinan; (2) bangunan penghubung: dari simbol kesadaran ruang menjadi simbol komunikasi; (3) bangunanan pembatas: dari simbol pertahanan kesakralan menjadi batas wilayah; dan (4) ragam hias: dari pesan moral menjadi hiasan bangunan. Ketiga, dekonstruksi makna simbolik "raja dan Keraton Surakarta" yang terjadi melalui tiga proses, yakni (a) Raja Jawa: dari simbol raja-dewa menjadi pengemban budaya Jawa; (b) Keraton Surakarta: dari simbol pusat kosmis menjadi daya tarik wisata; dan (c) lambang Keraton Surakarta: dari simbol kemanunggalan kosmos menjadi aksesori yang diperdagangkan.
Kematian metafisika Keraton Surakarta merupakan penyebab terjadinya dikonstruksi makna simbolik Arsitektur Keraton Surakarta yang telah diperjelas dengan uraian jejak-jejak dekonstruksinya mendatangkan implikasi terhadap kehidupan sosial-budaya Keraton Surakarta dan masyarakat Surakarta. Implikasi yang dimaksud, yakni sebagai berikut. Pertama, terhadap lembaga sosial keraton dan masyarakat Surakarta yang dapat diidentifikasi dari dua fakta sosial, yakni (1) Keraton Surakarta menjadi bagian dari pemerintahan kelurahan; dan (2) komunitas Keraton Surakarta menjadi bagian masyarakat Surakarta. Kedua, terhadap pranata sosial masyarakat Surakarta yang dapat diidentifikasi dari dua fakta sosial, yakni (1) Keraton Surakarta menjadi afinitas kultural masyarakat; dan (2) Keraton Surakarta menjadi lembaga legitimasi bangsawan modern. Ketiga, terhadap sistem kekrabatan dan proses pembentukan nilai yang dapat diidentifikasi dari dua fakta sosial, yakni (1) komunitas Keraton Surakarta menjadi bangsawan ajur-ajer; dan (2) perjuangan Keraton Surakarta menjadi panutan budaya Jawa. Keempat, terhadap ruang kesadaran baru yang dibangun oleh pihak Keraton Surakarta dalam menyikapi segala perubahan akibat modernisme global.
Gambar 2. Pagelaran Keraton Surakarta.

TEMUAN
Pertama, terdapat tiga pihak yang bertindak sebagai subjek yang melakukan dekonstruksi atas makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta, yakni sebagai berikut.
(1)   Penguasa, yang berdasarkan catatan sejarahnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kekuasaan kolonial pada masa penjajahan dan kekuasaan negara pada masa republik. Dalam hal ini, baik kekuasaan kolonial maupun negara merupakan pihak pemegang kunci logosentrisme kapitalis yang membunuh metafisika Keraton Surakarta dan menggantinya dengan rasionalitas modernisme.
(2)   Komunitas Keraton Surakarta, yaitu pihak internal keraton yang dengan kesadarannya atau tidak dengan kesadarannya melakukan isolasi metafisika (kosmologi) Keraton Surakarta dengan menjadikan sakralitas keraton sebagai parodi budaya. Malahan, keterbatasan dimensi material yang lebih bersumber pada masalah ekonomi memiliki korelasi terhadap dimensi kognitif komunitas Keraton Surakarta untuk membiarkan ruang-ruang arsitektural Keraton Surakarta menjadi ruang-ruang kosong tak terawat yang berakibat pada pengingkaran metafisika keraton itu sendiri.
(3)   Masyarakat atau orang-orang di luar Keraton Surakarta yang memiliki respon tubuh spontan atas ruang-ruang kosong arsitektural Keraton Surakarta. Ruang yang selalu dimaknai sebagai wadah kegiatan (representasi kejadian) dipandang perlu untuk selalu diisi dan dimanfaatkan dengan cara yang cenderung mengabaikan metafisika Keraton Surakarta melalui budaya improvisasinya.
Kedua, dalam menjalankan fungsi sebagai institusi kebudayaan (pengemban budaya Jawa), Keraton Surakarta memiliki tiga hambatan pokok, yakni sebagai berikut.
(1)   Hambatan ekonomi, yaitu keterbatasan kemampuan finansial keraton untuk membiayai diri sendiri.
(2)   Hambatan psikologis, yaitu beban psikologis yang ditanggung Keraton Surakarta akibat tidak lagi mempunyai otoritas politik.
(3)   Hambatan sosial, yaitu adanya takdir sejarah yang membuat Keraton Surakarta menjadi pihak yang sering diposisikan, dicurigai, dan dituduh sebagai penganut feodalisme yang bertentangan dengan demokrasi yang dianut Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Gambar 3. Sitihinggil Keraton Surakarta.

SIMPULAN
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan dapat dikemukakan tiga simpulan. Pertama, dekonstruksi yang terjadi atas makna simbolik Keraton Surakarta merupakan kejadian yang disebabkan oleh kematian metafisika Keraton Surakarta yang merupakan akumulasi dari adanya penolakan dan/atau pengingkaran metafisika itu sendiri. Kedua, jejak-jejak dekonstruksi makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta yang terjadi adalah proses dekonstruksi itu sendiri yang terjadi pada tiga dekonstruksi makna simbol, yaitu (1) dekonstruksi makna simbolik "pola tata ruang dan bangunan"; (2) dekonstruksi makna simbolik "perwujudan arsitektur Keraton Surakarta"; dan (3) dekonstruksi makna simbolik "raja dan Keraton Surakarta". Ketiga, dekonstruksi makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta memiliki empat implikasi terhadap kehidupan sosial budaya keraton dan masyarakat Surakarta, yaitu (1) lembaga sosial keraton dan masyarakat Surakarta; (2) pranata sosial masyarakat Surakarta; (3) sistem kekrabatan dan proses pembentukan nilai; dan (4) pembentukan ruang kesadaran baru yang dibangun oleh pihak Keraton Surakarta dalam menyikapi segala perubahan akibat modernisme global.

Daftar Pustaka
Behrend, E.T. 1982. Kraton and Cosmos in Traditional Java. Madison: University of Wiscosin.
Broadbent, G., Bunt, R., and Jencks, C. 1980. Sign, Symbols, and Architecture. New York: John Wiley & Sons Ltd.
Bungin, Burhan. 2006. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Faisal, Sanapiah 2005. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Grenz. Stanley J. 2001. A Primer On Postmodernism Pengantar untuk Memahami Postmodernisme. Terj. Wilson Suwanto. Yogyakarta: Yayasan Andi.
Ibrahim, Julianto 2008. Kraton Surakarta dan Gerakan Anti Swapraja. Jogjakarta: Malioboro Press.
Larson, Goerge D. 1990. Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912 – 1942 (terjemahan oleh: Lapian, A.B.). Yogyakarta: Gajah Mada Press.
Marsudi 2001. "Nilai Arsitektur Pada Simbolisme Keraton Kasunanan Surakarta" (tesis). Semarang: Progam Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Santosa, Imam 2006. "Kajian Estetika dan Unsur Pembentuknya pada Keraton Surakarta" (disertasi). Bandung: Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung.
Setiadi, B., dkk. 2000. Raja di Alam Republik: Karaton Surakarta dan Paku Buwono XII. Jakarta: Bina Rena Pariwara.
Soeratman, Darsiti 1989. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta, 1830 – 1939. Yogyakarta: Taman Siswa.
Supariadi 1998. "Surakarta Masa Pemerintahan Sunan Paku Buwana IV 1788- 1820: Priyayi dan Kiai Pada Masa Transisi Kolonial" (tesis). Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada.


1 komentar:

  1. ada sedikit pendapat ini pak titis, kalau pikiran saya ya pak, sebuah simbol yang diciptakan oleh seseorang yang punya tingkat intelektual tertentu, sampai kapanpun tak akan dimengerti seutuhnya oleh orang2 yang memiliki tingkatan intelektual dibawah si pembuat simbol. jadi untuk bisa memahami seutuhnya makna dari sebuah simbol, paling tidak seseorang harus punya pemahaman dan tingkat intelektual yang minimal sama dengan si pembuat simbol.

    ketika sebuah simbol dibuat untuk menyimpan atau menggambarkan sebuah makna tertentu, seiring berjalannya waktu, makna yang disimpan dalam sebuah simbol tersebut berubah karena tidak ada lagi seseorang yang tau betul atau pemiliki pemahaman dan intelektual atau pola pikir yang dapat mengikuti yang dimiliki si pembuat simbol. dan lebih parahnya lagi, yang tersisa dari sebuah simbol hanya makna dari sisi mistis saja tanpa ada makna dari sisi keilmuan yang awalnya digambarkan dengan suatu simbol tertentu tersebut.

    di sisi lain, muncul sebuah pertanyaan pak, bisakah untuk membuat sebuah simbol yang dapat dimengerti oleh semua kalangan? apakah bisa atau tidak bisa seperti pikiran saya diatas.

    BalasHapus