Sabtu, 04 Februari 2012

Estetika Arsitektur


Estetika Arsitektur:
Keindahan Bentuk dan Ruang

Oleh:
Titis S. Pitana[*]

Abstract: The idea of Javanese home (omah), as a form of traditional architecture that reflects Javanese culture, will be used in this paper as a standpoint to understand the symbolic reproduction of Javanese architecture. Javanese people regard cosmology as an underlying value that always empower their life so that any changes in it may manifest only in its forms, but not in its basic values. Norms and ethics in their social interaction are positioned in the principles of togetherness, respect, and harmony. The employment of these principles in social interactions has made Javanese people open to deal with any changes. Their self-identity is expressed totally through mind and rational action. In their material life space, the identity is communicated indirectly, i.e. through certain symbols.  Arguments in the following discussion are meant eventually to propose an implication that, concerning the Javanese traditional architecture, particularly Javanese people’s home or life space, any interaction with outer influential forces demands that traditional, generic values and norms be negotiated continuously and experience a reproduction.

Keywords: Javanese architecture, aesthetic, Javanese tradisional house


A.    Pendahuluan

“Tubuh adalah kendaraan kehadiran kita di dunia. Untuk makhluk yang hidup, memiliki tubuh berarti bergumul di dalam suatu lingkungan tertentu, berhadapan dengan hal-hal tertentu dan melibatkan diri dengannya tanpa henti…………Tubuh dalam arti mulia adalah ruang yang mengungkapkan diri” (A. Merleau – Ponty)

Kutipan di atas merupakan ungkapan yang disampaikan oleh filsuf Perancis, A. Merlue – Ponty, yang berusaha memaknai arti sejati tubuh manusia (Mangunwijaya, 1992: 4). Ungkapan tersebut sengaja dikutip sebagai dasar argumen untuk pembahasan estetika arsitektur sebagai filsafat keindahan bentuk dan ruang. Sebagai pendekatan dalam penulisan ini, teori arsitektur yang mengikuti mashab architecture as art and craft and technology adalah yang paling tepat digunakan, di samping juga menggabungkan pendekatan tersebut dengan semiotika visual communications in architecture. Mashab architecture as art and craft and technology pada awalnya dipelopori oleh John Ruskin dan William Moris dari Inggris pada awal abad 19. Mashab tersebut menjadi embrio dari mashab arsitektur modern yang salah satu gerakannya diwujudkan melalui slogan form follow function yang dipelopori oleh Louis Sullivans dan slogan form and function are one yang dipelopori oleh Frank Lloyd Wright (Lang, 1987: 4), yaitu rancangan bentuk arsitektur yang mengikuti fungsi dan sebagai filosofi perancangan arsitekturnya merefleksi semangat zamannya.
Keindahan arsitektur yang diwujudkan ke dalam bentuk dan ruang dengan susunannya merupakan dimensi yang sangat berbeda dengan keindahan sebuah lukisan yang dihasilkan oleh seorang pelukis. Oleh karena bentuk dan ruang merupakan wadah dari suatu kegiatan maka penciptaannya tidak dapat hanya disandarkan pada kemampuan intuisi saja, seperti halnya penciptaan sebuah lukisan. Sebagai suatu pendapat, pernyataan ini dapat diperjelas dengan argumen-argumen yang mendasarinya. Pertama, arsitektur sebagai ilmu dan seni tentang rancang bangun adalah ilmu yang mempelajari suatu wadah kegiatan yang direncanakan dan dibuat dengan sentuhan-sentuhan keindahan. Untuk menghindari kerancuan pemahaman antara arsitektur sebagai seni dan sebagai ilmu pengetahuan tulisan ini mencoba bersandar pada pendapat Cornelis van de Ven yang mengungkapkan bahwa ada suatu hal yang sama-sama dimiliki oleh arsitektur dan ilmu pengetahuan, yaitu keduanya mengikuti logika batin (van de Ven, 1995:287). Ungkapan tersebut nampaknya dapat dimaknai sebagai berikut. Apabila arsitektur mengikuti logika batin maka karya arsitektur harus sistematis dan rasional sehingga secara konseptual proses penciptaan karya arsitektur harus dapat diikuti dan dapat dipertanggungjawabkan hasilnya.  
Kedua, bentuk arsitektur merupakan sarana komunikasi visual dari suatu bangunan, di mana permainan bentuk yang semakin menajam digunakan untuk mendapatkan sesuatu yang indah. Oleh karena itu tak dapat diragukan lagi bahwa tujuan arsitektur secara umum dapat dikatakan sama dengan tujuan seni visual, yaitu keindahan (Sutedjo, 1982: 1-7). Oleh karena nilai arsitektur adalah nilai-nilai yang terkandung dalam bentuk dan ruang dengan susunannya sehingga nilai arsitektur bisa dilihat dari unsur bentuk dan ruang secara menyeluruh. Dengan kata lain, gubahan organisasi dan unsur bentuk dan ruang akan menentukan bahwa posisi arsitektur dapat meninggikan nilai suatu karya, memperoleh tanggapan, dan mengungkapkan suatu makna. Oleh karenanya penyajian unsur-unsur bentuk dan ruang adalah sebagai sarana untuk memecahkan suatu masalah sebagai tanggapan atas kondisi-kondisi dari fungsi, tujuan, dan ruang lingkupnya, yakni secara arsitektural dan sesuai dengan semangat zamannya.
Ketiga, dalam estetika arsitektur posmodern keindahan arsitektur yang tertuang dalam bangunan haruslah bersifat komunikatif dan bukan hanya merupakan permainan konotasi dan makna, seperti yang terdapat pada estetika arsitektur modern (Ali, 2004: 154-155). Mitos-mitos tentang keindahan masa lalu (baca: klasik ataupun tradisional) didekonstruksi untuk mendapatkan pemahaman baru dan menemukan nilai-nilai baru di balik mitos tersebut. Oleh karena era mitos ini dianggap hanya sebagai konsep yang sangat abstrak sehingga sulit dipahami. Pemahaman baru atas nilai-nilai yang lahir dari proses dekonstruksi kemudian, dioperasikan kembali dengan pendekatan dan cara baru yang pada akhirnya melahirkan idiom-idiom estetik yang cenderung dekonstruktif.
Berangkat dari asumsi di atas tulisan ini mencoba memaparkan secara umum tentang estetika arsitektur yang merupakan filsafat keindahan bentuk dan ruang. Mengingat arsitektur sebagai ilmu dan seni maka pemaparan tulisan ini, selain diarahkan pada pembahasan arsitektur sebagai ilmu dan seni rancang bangun, juga diarahkan pada pembahasan tentang konsep keindahan arsitektur tradisional hingga posmodern, dan munculnya idiom-idiom estetik pada era posmodern.

B.     Arsitektur Sebagai Ilmu dan Seni Rancang Bangun

Sebagai ilmu rancang bangun, arsitektur berusaha menciptakan suatu sistem pewadahan (ruang) dari suatu kegiatan. Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa dalam upaya pemenuhan suatu wadah (ruang) terhadap kegiatan, wadah yang tercipta haruslah dapat memiliki bentuk dan fungsi sesuai dengan tuntutan dari yang diwadahi, dalam hal ini kegiatan. Hal ini sesuai dengan slogan Louis Sullivans yang berbunyi form follow function (bentuk mengikuti fungsi).
Untuk dapat mewujudkan slogan tersebut di atas ada beberapa tahapan berfikir konsep yang harus dilalui. Pertama, arsitektur sebagai bentuk sistem pewadahan kegiatan harus mengidentifikasikan jenis dan pelaku kegiatan yang akan diwadahi. Sebagai contoh, arsitektur rumah tinggal, sebagai suatu fungsi rumah tinggal, bangunan tersebut harus seoptimal mungkin mampu mewadahi segala kegiatan penghuninya.  Beberapa jenis kegiatan yang harus terwadahi diantaranya adalah: mulai dari kegiatan-kegiatan pokok seperti tidur, makan, atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan metabolisme manusia, dan juga kegiatan sosial pendukung termasuk menerima tamu, serta kegiatan-kegiatan sebagai penyalur hobi dari penghuninya, misalnya berkebun, memelihara burung, main musik, dan lain sebagainya.
Kedua, setelah semua kegiatan dalam suatu wadah dapat teridentifikasikan, tahap selanjutnya adalah mengenali karakter dari masing-masing kegiatan. Karakter ini dapat dibuat menjadi kelompok-kelompok kagiatan berdasarkan tingkat privatisasi, yaitu: kegiatan private, semi-private, dan public; dan intensitas suatu kegiatan, yaitu: kegiatan yang sering dikerjakan secara berulang-ulang, kegiatan yang dikerjakan sesekali waktu, dan kegiatan insidental. Sebagai contoh, mandi adalah kegiatan yang memiliki karakter private dan dilakukan secara berulang-ulang. 
Ketiga, setiap kegiatan yang akan diwadahi diharapkan dapat berlangsung sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pelakunya. Untuk dapat mendekati pemenuhan keinginan terhadap kelangsungan suatu kegiatan, terdapat beberapa syarat yang tentunya harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut dapat beberapa kebutuhan terhadap alat, suasana kegiatan, kebutuhan terhadap sistem pencahayaan dan penghawaan, serta kebutuhan terhadap ruang (tempat) terjadinya suatu kegiatan.
Arsitektur sebagai seni tentunya tidak hanya dibatasi pada ruang dan gatra (sesuatu yang tampak terwujud), atau garis dan bidang, tetapi lebih pada hal-hal yang menyangkut nilai-nilai keindahan. Menurut Merleau-Ponty berarsitektur adalah berbahasa manusia, dengan citra unsur-unsurnya, baik dengan bahan material maupun dengan bentuk serta komposisinya. Salah satu pengenal kemuliaan bahasa, juga bahasa arsitektur adalah kejujurannya, kewajarannya, atau seperti yang dinasihatkan oleh ahli pikir Thomas Aquinas: ‘Pulchrum splendor est veritatis’ (keindahan adalah pancaran kebenaran) (Mangunwijaya, 1992: 9-10). Pada saat revolusi arsitektur yang dimulai oleh pengikut Bauhaus (1919) di Jerman, keindahan arsitektur dipandang bukan lagi bersifat insidental atau sebagai suplemen terhadap fungsinya, tetapi perkembangan lebih lanjut keindahan arsitektur telah menjadi atau identik dengan fungsinya, bahkan pada era posmodern sekarang ini keindahan arsitektur yang tertuang dalam bangunan haruslah bersifat komunikatif. Pendapat tersebut merupakan bentuk kritik atas arsitektur modern oleh Charles Jencks dan Venturi. Pada intinya kedua tokoh tersebut berpendapat bahwa karya arsitektur haruslah kontekstual dan komunikatif, karena mereka beranggapan bahwa pada masa arsitektur modern bangunan-bangunan yang ada hanyalah merupakan permainan konotasi dan makna (Ali, 2004: 154-155).

C.    Estetika Arsitektur: dari Tradisional hingga Posmodern

Adalah suatu kewajaran bahwa setiap manusia menghendaki keindahan daripada setiap bangunan yang mereka jumpai karena titik pangkal keindahan dan pengalaman estetis terletak pada pengamatan inderawi. Selanjutnya, keindahan dalam kehidupan sehari-hari dipakai sehubungan dengan yang dapat dilihat, didengar, dan keindahan itu dapat dikelompokkan menjadi visual arts dan auditory arts (Sutrisno, 1993: 17-18). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa keindahan arsitektur termasuk ke dalam kelompok visual arts. Namun, menerangkan suatu bangunan itu indah adalah sesulit menciptakan keindahan itu dalam suatu bangunan karena pengertian indah dan buruk tidak selalu sama. Pada tahap primer (tradisional/ klasik) orang berpikir dan bercita rasa dalam alam penghayatan kosmis dan mistis, atau agama, bukan hal-hal yang estetis, karena estetis diartikan sebagai penilaian sifat yang dianggap indah dari segi kenikmatan. Sebagai contoh, di Bali meru-meru dibangun di dalam pura-pura bukan karena alasan meru itu indah dan dapat menyedapkan pemandangan atau dengan alasan estetis, tetapi meru dibangun dengan bentuk seperti itu lebih karena tuntutan agama (Mangunwijaya, 1992: 51-52).
Ini berarti keindahan tergantung pada bentuk dan ruang, karena itu keindahan arsitektur adalah keindahan yang terkandung dalam susunan elemen bentuk dan elemen ruang. Elemen-elemen tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan dalam arsitektur, seperti halnya tubuh manusia yang terdiri atas organ-organ tubuh yang tidak dapat berdiri dan bekerja sendiri-sendiri. Apabila tidak hidup atau tidak memiliki roh maka tubuh manusia hanyalah mayat atau seonggok tulang dan daging. Analogi tersebut mengarahkan pemikiran pada suatu pemahaman bahwa arsitektur yang tersusun dari materi fisik yang nampak dan bersifat kebendaan (baca: bentuk dan ruang) haruslah juga hidup dan memiliki roh, karena itu keindahan arsitektur dapat dianggap sebagai roh dari suatu bangunan.
   Penjelasan di atas nampaknya menempatkan keindahan, bukan hanya sesuatu yang digunakan untuk memenuhi hasrat kesenangan dan keinginan manusia secara indrawi. Akan tetapi lebih pada sesuatu yang bersifat metafisik dan rasional. Pemikiran tersebut sejalan dengan pandangan seorang filsuf dan teolog Abad Pertengahan Eropa kelahiran Italia, Thomas Aquinas, yang menempatkan estetika sebagai cabang dari teologi dan keindahan dianggap bukan sebagai nilai yang independen, melainkan lebih sebagai percikan kebenaran dari kesempurnaan Ilahi, bahkan keindahan haruslah memenuhi unsur subyektif dan obyektif. Subyektif, artinya dapat menyenangkan si subyek atau pengamat, dan obyektif, berarti ada kriteria sempurna, proposional, dan cemerlang (Ali 2004: 28-31).
Pada awalnya arsitektur lahir untuk menjawab satu kebutuhan pokok manusia berupa papan atau tempat tinggal. Perkembangan selanjutnya, papan yang merupakan bangunan dan disebut rumah tersebut tidak lagi dimaknai sebagai suatu bangunan benda mati, tetapi lebih merupakan sesuatu yang selalu dinapasi oleh manusia, bahkan rumah dianggap suatu bangunan yang harus punya jiwa (Mangunwijaya, 1992: 25). Pada bangunan rumah tinggal keindahan arsitektur lebih sebagai upaya untuk memberikan napas dan jiwa dari suatu bangunan. Implementasi keindahan arsitektur tersebut akhirnya menjadikan suatu bangunan arsitektur yang terdiri atas susunan bentuk dan ruang menjadi simbol kosmologis, dasar orientasi diri, dan cermin sikap hidup (Mangunwijaya, 1992: 51-115). Di Jawa misalnya, orang menyebut rumah dengan omah, kata omah adalah bentukan dari dua kata om, yang berarti angkasa, dan mah yang berarti lemah (tanah) atau ibu pertiwi. Dengan demikian omah bisa dimaknai sebagai miniatur dari jagad manusia yang terdiri atas Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi (Pitana, 2001: 40).
 Tidak hanya di Jawa, hampir dapat dipastikan di seluruh arsitektur nusantara bahwa keindahan arsitektur tradisional rumah tinggal sangat sarat dengan simbol-simbol. Karakter simbol-simbol itu sendiri dalam konteks kebudayaan menurut Muhadjirin (1996), yang dikutip oleh Marsudi (2001:25) diklasifikasikan menjadi 4, yaitu (1) simbol konstruktif, simbol-simbol bersifat metafisik yang penggunaannya berkaitan dengan hal-hal religius dan kepercayaan terhadap sang pencipta; (2) simbol kognitif, simbol-simbol yang bersifat logik dan penerapannya banyak ditemui pada simbol-simbol yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan; (3) simbol etika, simbol-simbol yang berkaitan dengan nilai-nilai, norma, atau aturan-aturan, seperti kesopanan, kewajaran dalam masyarakat; dan (4) simbol ekspresif, simbol-simbol yang berkaitan dengan nilai-nilai estetis.
Dalam arsitektur umumnya, simbol merupakan cara untuk menyampaikan makna dari suatu bentuk, baik sebagai makna kesan, peran, ataupun pesan yang dibungkus dengan keindahan yang dikandungnya. Bentuk simbol itu sendiri merupakan ciptaan yang teraba (tangible), yang berbentuk dua dimensi ataupun tiga dimensi yang bersumber dari bentuk tak teraba (intangible), yang berasal dari falsafah, sejarah, religi, budaya, dan suatu pola organisasi (Ardhiati, 2005: 39). Broadbent mengelompokkan sistem simbol menjadi tiga, yaitu (1) sintactic adalah sistem simbol yang tidak memperhatikan hubungan realitasnya atau dengan kata lain, simbol hanya mengacu pada hubungan antartanda untuk mencapai keserasian tanpa menyinggung realitasnya; (2) semantic, adalah sistem simbol yang mengacu pada hubungan antara tanda dan simbol dalam realitasnya; dan (3) pragmatic adalah sistem simbol yang ditekankan pada pengaruh yang ditimbulkan oleh penggunaan simbol itu sendiri, di mana pengaruh tersebut biasanya menyangkut faktor sosiologi dan psikologi. Selain membagi sistem simbol, Brodbent mengidentifaksikan makna simbol dalam ekspresi arsitektur menjadi tiga, yaitu (1) simbol yang mengatakan peran dari ekspresi tampak; (2) simbol metafora, baik metafora langsung ataupun metafora tidak langsung; dan (3) simbol sebagai unsur pengenal (Brodbent, 1980).
Sejak revolusi arsitektur 1919 di Jerman, keindahan arsitektur telah menjadi atau identik dengan fungsinya, yang kemudian pada era posmodern sekarang ini, keindahan arsitektur haruslah bersifat komunikatif, penggunaan simbol dalam ekspresi arsitektur semakin bervariasi dan berkembang sangat pesat, bahkan cenderung lebih bebas. Kecenderungan ini tentunya tidak dapat lepas dari kuatnya pengaruh budaya pada zamannya. Identifikasi perkembangan keindahan dalam ekspresi arsitektur dari era tradisional hingga posmodern dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

 Tabel: Pembabakan Kebudayaan dan Perkembangan Estetika Arsitektur
No.
Ciri-ciri
Tradisional
Modern
Posmodern
A.
MAKRO
(non-Arsitektural)


1.
Hubungan Sosial
kolektif (keluarga besar)
kelompok kecil (keluarga inti)
individual
2.
Komunikasi
budaya tutur (baca: dari mulut-ke mulut)
cetak, tulis, audio-visual
hi-tech, cyber
3.
Perekonomian
pertanian untuk pemenuhan kebutuhan pokok
produksi untuk pemenuhan kebutuhan pasar
globalisasi
4.
Teknologi
pertanian
mesin produksi
informatika
B.
MIKRO
(Arsitektural)


1.
Tampilan dan Ukuran Keindahan
kebersamaan (pakem)
efesien, fungsional, universal
bebas, individual
2.
Dasar Berpikir
Small is beatiful
Big is beatiful
Small within big is beatiful
3.
Mashab (konsep dasar berfikir)
Form follow meaning.
Penandaan makna ideologis.
Form follow function.
Penandaan makna fungsional.
Form follow fun.
Penandaan makna ironis.
4.
Orientasi Ciptaan Kreatifitas
religius, kosmis
masyarakat, general
kontekstual, individualis
5.
Teknologi Bahan
alam, manual
industri, mesin
sintetis, hi-tech
6.
Skala Orientasi Keindahan
lokal
global
kontekstual


     
























D. Estetika Arsitektur Posmodern dan Idiom Estetik 
Arsitektur sebagai bagian dari reintegrasi budaya secara perlahan melalui proses asimilasi dan adaptasi mengalami suatu evolusi dari tradisional menjadi modern hingga posmodern (Sulistyawati 2005). Diskursus posmodern ditandai oleh peralihan-peralihan besar serta titik balik dalam tatanan objek, pengaturan dan penggunaan ruang, bentuk, kekuasaan, serta kondisi kehidupan yang diciptakan (Piliang, Y.A. 2003:117-120). Semangat posmodernisme hampir selalu berangkat dari konflik dan kritiknya terhadap modernisme. Semangat ini cenderung menolak segala generalisasi dan narasi besar (politik, ekonomi, kultural). Gerakan ini ditandai dengan penolakan atas klaim-klaim universalitas, rasionalitas, dan homogenitasnya yang menjadi semangat dan selalu dirayakan modernisme. Semangat gerakan ini juga diarahkan demi menghargai narasi-narasi kecil (little narratives) yang selama ini dirasakan sebagai korban dari modernisme. Narasi kecil yang dimaksudkan adalah permainan-permainan bahasa (language game) yang bersifat heterogen di dalam institusi-institusi yang plural, dan yang mengacu pada aturan-aturan main lokal yang unik, dalam rangka menghargai perbedaan (difference), keunikan-keunikan lokal (local genius), yang selama ini terpinggirkan (the marginal), dan toleransi pada incomensurability.
Kecenderungan semangat posmodernisme dalam bidang estetika Piliang, Y.A. (2003) secara eksplisit berpendapat bahwa peralihan dari modernisme menuju posmodernisme telah membuka sebuah ruang perdebatan luas dan sekaligus menciptakan satu situasi dilematis. Pada satu ekstrim muncul pesimisme tentang kemampuan seni menghasilkan sesuatu yang baru sehingga seni berkembang dengan semangat asal berbeda (berbeda tidak selalu berarti baru). Seni lalu mengalihkan wajahnya pada masa lalu melalui kecenderungan  pastiche, parodi atau kitsch. Pada titik ekstrem yang lain, seniman bekerja dengan spirit yang seakan tanpa batas dengan mendobrak segala batas: seni/kitsch, realitas/fantasi, keindahan/keburukan. Posmodernisme menjadikan setiap batas dan tapal batas itu menjadi lebih lentur, supel, fleksibel, dan dinamis yang memungkinkan interaksi, persinggungan atau percampuran di antara segmen-segmen yang ada.
Dalam estetika arsitektur posmodern munculnya suatu langgam, yang merupakan perwujudan dari estetika arsitektur, lebih mengarah pada kepentingan komersial yang dilandasi oleh perbedaan status simbol, yang mengekspresikan gaya hidup untuk mengidentifikasikan diri dengan irama dan siklus perubahan produksi yang pada akhirnya melahirkan idiom-idiom estetika posmodern yang cenderung dekonstruktif. Setidaknya terdapat 5 idiom estetika arsitektur posmodern yang dapat diidentifikasikan, yaitu pastiche, parody, kitsch, camp, dan skizofrenia (Sulistyawati 2005).
Pastiche adalah sebuah idiom estetik yang memiliki konotasi negatif karena karya-karya yang dihasilkan dianggap tidak hanya sarat pinjaman, akan tetapi juga sangat miskin kreatifitas dan orisinilitas. Oleh karenanya keberadaannya sangat miskin semangat kebebasan dan sangat tergantung pada kebudayaan masa lalu, serta idiom-idiom estetik yang pernah ada sebelumnya.   
Parody, berbeda dengan pastiche, idiom estetik ini bertujuan mengekspresikan ketidakpuasan terhadap karya masa lalu atau bentuk yang dirujuk sehingga terkesan sarat dengan sindirin atau membuat lelucon dari suatu gagasan idea desain. Keberadaannya lebih sebagai bentuk oposisi atas karya-karya yang lain. Dalam arsitektur idea desain yang digunakan cenderung tampak absurd karena yang menjadi sasaran ekspresi ketidakpuasannya, bukan saja karya arsitek tertentu, tetapi juga menyangkut ikonik gaya yang terkandung dalam suatu karya.



Bangunan Cymbalista Synagogne and Jewish Heritage Centre di Tel-aviv Israel ini adalah menggunakan idiom pastiche, karena idea desain yang digunakan mengambil begitu saja bentuk jembangan (gerabah tradisional) tanpa ada kreatifitas modifikasi untuk mengarah pada suatu karya arsitektural.

Sumber gambar: Phaidon (2004:78)




Bangunan Burraworrin Residence di Negara Bagian Timur Australia ini adalah menggunakan idiom pastiche, karena idea desain yang digunakan mengambil begitu saja bentuk perahu tradisional tanpa ada kreatifitas modifikasi untuk mengarah pada suatu karya arsitektural.

Sumber gambar: Phaidon (2004:59)
Gambar 1. Contoh karya arsitektur yang menggunakan idiom pastiche.



Bangunan Federation Squere di Negara Bagian Timur Australia ini adalah menggunakan idiom parody, karena kesan yang dimunculkan adalah bentuk perlawanan pada keteraturan dan kemapanan idiom-idiom estetik masa sebelumnya.

Sumber gambar: Phaidon (2004:53)

Gambar 2. Contoh karya arsitektur yang menggunakan idiom parody.
Kitsch, prinsip yang dipakai untuk menghasilkan “efek yang segera” (immediate effect) yang sangat diperlukan dalam mekanisme kebudayaan massa sehingga sering ditafsirkan sebagai seni selera rendah. Penafsiran ini disebakan karena sangat ketergantungannya pada objek, konsep, atau kriteria yang bersifat eksternal, seperti seni tinggi, mitos, tokoh, dan sebagainya. Dengan demikian karya-karyanya terkesan menganggap umum objek langka dan sekaligus mempopulerkan nilai-nilai kebudayaan dari objek tersebut. Idiom estetik ini memberi tempat bagi berbagai bentuk reproduksi (reproduction) dan ‘daur ulang’ (recycling) melalui rekontekstualisasi dan reinterpretasi. Karya-karyanya terkesan mengarah pada perayaan prinsip peniruan, mimesis, copy, simulasi, ikonisasi, yang ditolak oleh wacana estetik modernisme.









Bangunan ING Group Headquarters di Amsterdam Belanda ini adalah menggunakan idiom kitsch, karena objek yang digunakan adalah binatang, sesuatu yang langka digunakan sebagai idea desain arsitektural.

Sumber gambar: Phaidon (2004:333)
Gambar 3. Contoh karya arsitektur yang menggunakan idiom kitsch.

Camp, adalah karya yang menekankan komposisi keindahan yang berlebih, baik melalui tampilan dekorasi ataupun tekstur dan gaya sensualitas yang cenderung mengorbankan isi. Walaupun sebagai idiom estetik memiliki semangat kebaruan, keindahan, dan keotentikan, namun karya-karya arsitektural yang menggunakan idiom ini terkesan sangat artifisial dan distorsif. 
Skizofrenia, adalah satu bentuk idiom estetik akibat ketakberaturan atau persimpangsiuran penanda, gaya, dan ungkapan dalam satu karya. Dengan demikian karya-karya yang dihasilkan cenderung memiliki makna kontradiktif, ambiguity, dan samar-samar. Dalam bidang arsitektur karya-karya yang menggunakan idiom estetik skizofrenia ini, justru menampilkan adanya kekacauan struktur psikis akibat terputusnya rantai pertandaan (signification chain). Dalam hal ini bentuk sebagai petanda tidak memiliki keterkaitan dengan satu makna (petanda) dengan cara yang pasti sehingga cenderung menghasilkan kesimpangsiuran makna.


Bangunan Jean-Marie Tjibaou Cultural Centre di New Zealand ini adalah menggunakan idiom camp, karena tampilan yang sarat nuansa kebaruan, tetapi hanya menekankan sensualitas keindahan berlebih dengan menampilkan distorsi cangkang binatang laut.

Sumber gambar: Phaidon (2004:68)
Gambar 4. Contoh karya arsitektur yang menggunakan idiom camp.





Bangunan Niagara Galleries di Australia ini adalah menggunakan idiom skizofrenia, karena gaya yang ditampilkan cenderung simpang siur dan terlihat tidak ada hubungan antar elemen.

Sumber gambar: Phaidon (2004:53)



Bangunan National Museum di Australia ini adalah menggunakan idiom skizofrenia, karena gaya yang ditampilkan cenderung simpang siur dan terlihat tidak ada hubungan antar elemen.

Sumber gambar: Phaidon (2004:53)
Gambar 5. Contoh karya arsitektur yang menggunakan idiom skizofrenia.

E.     Penutup

Keindahan arsitektur yang terungkap melalui bentuk dan ruang dengan susunannya merupakan nilai estetis inderawi yang terbentuk melalui logika batin yang memiliki percikan kesempurnaan dan kebenaran Ilahi. Implementasi keindahan arsitektur pada suatu bangunan menjadikan bangunan tersebut cenderung menjadi simbol kosmologis, dasar orientasi diri, dan cermin sikap hidup manusia.
Karya arsitektur sebagai produk kebudayaan tidak dapat lepas dari semangat zamannya. Sebagai produk suatu kebudayaan dan sebagai jejak-jejak teraba (tangible) kebudayaan, karya arsitektur merupakan bukti suatu peradaban manusia mengenai keindahan bentuk dan ruang hidup material manusia. Dengan demikian, setiap jejak tangible arsitektur yang mewakili zamannya (tradisional/klasik, modern, dan posmodern) sedapat mungkin diproduksi untuk mampu mengkomunikasikan semangat dan pesan dari zamannya.   
Bangunan sebagai wujud karya arsitektur merupakan sarana komunikasi visual bagi subjek (pengamat) untuk menangkap keindahan dan citra yang dipancarkan. Oleh karenanya, tingkat keindahan dan citra yang dimiliki suatu bangunan yang tertuang dalam simbol-simbol pada setiap elemen bangunan dapat dianggap sebagai jiwa dari sebuah karya arsitektur. Sebagai objek yang berjiwa dan sebagai sarana komunikasi visual karya arsitektur haruslah memiliki tiga hal, yaitu pertama, harus memiliki keindahan peran, atau juga bisa dikatakan sebagai ketepatan fungsi, baik fungsi dari bangunan itu sendiri secara internal maupun peran bangunan tersebut di dalam lingkungannya; kedua, harus memiliki keindahan kesan, yaitu mampu memberikan pengalaman estetis dan cita rasa positif bagi yang melihatnya; dan ketiga, harus memiliki keindahan pesan, yang artinya dari tampilan bentuk yang dapat ditangkap secara inderawi bangunan tersebut mampu menyampaikan pesan-pesan keindahan melalui simbol-simbol yang tertuang dalam setiap elemen bangunannya.


Daftar Pustaka

Ali, Matius 2004. Estetika: Sebuah Pengantar Filsafat Keindahan dari Yunani Kuno Sampai Zen Buddhisme. Sanggar Luxor, Tangerang.

Ardhiati, Yuke 2005. Bung Karno Sang Arsitek: Kajian Artistik Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota, Interior, Simbol, Mode Busana dan Teks Pidato 1926 – 1945. Komunitas Bambu, Jakarta.

Broadbent, G. at.al. 1980. Sign, Symbols, and Architecture. John Wiley & Sons Ltd., New York.

Clarke, Paul Walker 1977, dalam Diani, Marco and Ingraham, Catherine (eds) 1989. Restructuring Architectural Theory.  Northwestern University Press, Illinois.

Lang, Jon 1987. Creating Architectural Theory: The Role of the Behavioral Sciences in Environmental Design. Van Nostrand Reinhold Company, New York.

Mangunwijaya, Yusuf B. 1992. Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-dendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Marsudi 2001 Nilai Arsitektur Pada Simbolisme Keraton Kasunanan Surakarta, (thesis). Progam Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang.

Phaidon 2004. The Phaidon Atlas of Contemporary World Architecture (Comprehensive Edition). Phaidon Press Limited, London.

Pitana, T.S. 2001. The Javanese Cosmology and Its Influence on Javanese Architecture (thesis). James Cook University, Australia.

Piliang, Y.A. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Jalasutra, Yogyakarta.

Sulistyawati 2005. Arsitektur Posmodern di Kawasan Pariwisata Kuta (makalah Seminar Nasional: Arsitektur, Lingkungan dan Pariwisata Menuju Pembangunan Berkelanjutan). 10 September 2005, The Royal Pita Maha, Bali.

Sutedjo, Suwondo B. 1982. Peran, Kesan, dan Pesan Bentuk-bentuk Arsitektur. Djambatan, Jakarta.

Sutrisno, Mudji dan Verhaak, Christ 1993. Estetika Filsafat Keindahan. Kanisius, Yogyakarta.

Van de Ven, Cornelis 1995. Ruang Dalam Arsitektur. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.


[*] Staff Pengajar dan Pengelola Laboratorium Arsitektur Jawa, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar