Estetika Arsitektur:
Keindahan Bentuk dan Ruang
Oleh:
Titis S. Pitana[*]
Abstract: The idea of Javanese home
(omah), as a form of traditional
architecture that reflects Javanese culture, will be used in this paper as a
standpoint to understand the symbolic reproduction of Javanese architecture.
Javanese people regard cosmology as an underlying value that always empower
their life so that any changes in it may manifest only in its forms, but not in
its basic values. Norms and ethics in their social interaction are positioned
in the principles of togetherness, respect, and harmony. The employment of
these principles in social interactions has made Javanese people open to deal
with any changes. Their self-identity is expressed totally through mind and
rational action. In their material life space, the identity is communicated
indirectly, i.e. through certain symbols.
Arguments in the following discussion are meant eventually to propose an
implication that, concerning the Javanese traditional architecture, particularly
Javanese people’s home or life space, any interaction with outer influential
forces demands that traditional, generic values and norms be negotiated
continuously and experience a reproduction.
Keywords: Javanese architecture, aesthetic, Javanese tradisional house
A. Pendahuluan
“Tubuh
adalah kendaraan kehadiran kita di dunia. Untuk makhluk yang hidup,
memiliki tubuh berarti bergumul di dalam suatu lingkungan tertentu, berhadapan
dengan hal-hal tertentu dan melibatkan diri dengannya tanpa henti…………Tubuh
dalam arti mulia adalah ruang yang mengungkapkan diri” (A. Merleau – Ponty)
Kutipan di atas merupakan ungkapan yang disampaikan oleh
filsuf Perancis, A. Merlue – Ponty, yang berusaha memaknai arti sejati tubuh
manusia (Mangunwijaya, 1992: 4). Ungkapan tersebut sengaja dikutip sebagai dasar argumen untuk pembahasan
estetika arsitektur sebagai filsafat keindahan bentuk dan ruang. Sebagai
pendekatan dalam penulisan ini, teori arsitektur yang mengikuti mashab architecture as art and craft and technology
adalah yang paling tepat digunakan, di samping juga menggabungkan pendekatan
tersebut dengan semiotika visual
communications in architecture. Mashab architecture as art and craft and technology
pada awalnya dipelopori oleh John Ruskin dan William Moris dari Inggris pada
awal abad 19. Mashab tersebut menjadi embrio dari mashab arsitektur modern yang
salah satu gerakannya diwujudkan melalui slogan form follow function yang dipelopori oleh Louis Sullivans dan
slogan form and function are one yang
dipelopori oleh Frank Lloyd Wright (Lang, 1987: 4), yaitu rancangan bentuk
arsitektur yang mengikuti fungsi dan sebagai filosofi perancangan arsitekturnya
merefleksi semangat zamannya.
Keindahan arsitektur yang diwujudkan ke dalam bentuk dan
ruang dengan susunannya merupakan dimensi yang sangat berbeda dengan keindahan
sebuah lukisan yang dihasilkan oleh seorang pelukis. Oleh karena bentuk dan ruang merupakan wadah dari
suatu kegiatan maka penciptaannya tidak dapat hanya disandarkan pada kemampuan
intuisi saja, seperti halnya penciptaan sebuah lukisan. Sebagai suatu pendapat,
pernyataan ini dapat diperjelas dengan argumen-argumen yang mendasarinya. Pertama, arsitektur sebagai ilmu dan
seni tentang rancang bangun adalah ilmu yang mempelajari suatu wadah kegiatan yang
direncanakan dan dibuat dengan sentuhan-sentuhan keindahan. Untuk menghindari
kerancuan pemahaman antara arsitektur sebagai seni dan sebagai ilmu pengetahuan
tulisan ini mencoba bersandar pada pendapat Cornelis van de Ven yang
mengungkapkan bahwa ada suatu hal yang sama-sama dimiliki oleh arsitektur dan
ilmu pengetahuan, yaitu keduanya mengikuti logika batin (van de Ven, 1995:287). Ungkapan tersebut nampaknya dapat dimaknai
sebagai berikut. Apabila arsitektur mengikuti logika batin maka karya
arsitektur harus sistematis dan rasional sehingga secara konseptual proses penciptaan
karya arsitektur harus dapat diikuti dan dapat dipertanggungjawabkan
hasilnya.
Kedua, bentuk
arsitektur merupakan sarana komunikasi visual dari suatu bangunan, di mana
permainan bentuk yang semakin menajam digunakan untuk mendapatkan sesuatu yang
indah. Oleh karena itu tak dapat diragukan lagi bahwa tujuan arsitektur secara
umum dapat dikatakan sama dengan tujuan seni visual, yaitu keindahan (Sutedjo,
1982: 1-7). Oleh karena nilai arsitektur adalah nilai-nilai yang terkandung
dalam bentuk dan ruang dengan susunannya sehingga nilai arsitektur bisa dilihat
dari unsur bentuk dan ruang secara menyeluruh. Dengan kata lain, gubahan
organisasi dan unsur bentuk dan ruang akan menentukan bahwa posisi arsitektur
dapat meninggikan nilai suatu karya, memperoleh tanggapan, dan mengungkapkan
suatu makna. Oleh karenanya penyajian unsur-unsur bentuk dan ruang adalah
sebagai sarana untuk memecahkan suatu masalah sebagai tanggapan atas
kondisi-kondisi dari fungsi, tujuan, dan ruang lingkupnya, yakni secara
arsitektural dan sesuai dengan semangat zamannya.
Ketiga, dalam estetika
arsitektur posmodern keindahan arsitektur yang tertuang dalam bangunan haruslah
bersifat komunikatif dan bukan hanya merupakan permainan konotasi dan makna,
seperti yang terdapat pada estetika arsitektur modern (Ali, 2004: 154-155). Mitos-mitos
tentang keindahan masa lalu (baca: klasik ataupun tradisional) didekonstruksi
untuk mendapatkan pemahaman baru dan menemukan nilai-nilai baru di balik mitos
tersebut. Oleh karena era mitos ini dianggap hanya sebagai konsep yang sangat
abstrak sehingga sulit dipahami. Pemahaman baru atas nilai-nilai yang lahir
dari proses dekonstruksi kemudian, dioperasikan kembali dengan pendekatan dan
cara baru yang pada akhirnya melahirkan idiom-idiom estetik yang cenderung
dekonstruktif.
Berangkat dari asumsi di atas tulisan
ini mencoba memaparkan secara umum tentang estetika arsitektur yang merupakan
filsafat keindahan bentuk dan ruang. Mengingat arsitektur sebagai ilmu dan seni
maka pemaparan tulisan ini, selain diarahkan pada pembahasan arsitektur sebagai
ilmu dan seni rancang bangun, juga diarahkan pada pembahasan tentang konsep
keindahan arsitektur tradisional hingga posmodern, dan munculnya idiom-idiom estetik
pada era posmodern.
B.
Arsitektur Sebagai Ilmu dan Seni Rancang
Bangun
Sebagai ilmu rancang bangun,
arsitektur berusaha menciptakan suatu sistem pewadahan (ruang) dari suatu
kegiatan. Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa dalam upaya pemenuhan suatu
wadah (ruang) terhadap kegiatan, wadah yang tercipta haruslah dapat memiliki
bentuk dan fungsi sesuai dengan tuntutan dari yang diwadahi, dalam hal ini
kegiatan. Hal ini sesuai dengan slogan Louis Sullivans yang berbunyi form follow function (bentuk mengikuti
fungsi).
Untuk dapat mewujudkan slogan
tersebut di atas ada beberapa tahapan berfikir konsep yang harus dilalui. Pertama, arsitektur sebagai bentuk
sistem pewadahan kegiatan harus mengidentifikasikan jenis dan pelaku kegiatan
yang akan diwadahi. Sebagai contoh, arsitektur rumah tinggal, sebagai suatu
fungsi rumah tinggal, bangunan tersebut harus seoptimal mungkin mampu mewadahi
segala kegiatan penghuninya. Beberapa
jenis kegiatan yang harus terwadahi diantaranya adalah: mulai dari
kegiatan-kegiatan pokok seperti tidur, makan, atau kegiatan-kegiatan yang
berkaitan dengan metabolisme manusia, dan juga kegiatan sosial pendukung
termasuk menerima tamu, serta kegiatan-kegiatan sebagai penyalur hobi dari
penghuninya, misalnya berkebun, memelihara burung, main musik, dan lain
sebagainya.
Kedua, setelah semua
kegiatan dalam suatu wadah dapat teridentifikasikan, tahap selanjutnya adalah
mengenali karakter dari masing-masing kegiatan. Karakter ini dapat dibuat
menjadi kelompok-kelompok kagiatan berdasarkan tingkat privatisasi, yaitu:
kegiatan private, semi-private, dan public; dan intensitas suatu kegiatan, yaitu: kegiatan yang sering
dikerjakan secara berulang-ulang, kegiatan yang dikerjakan sesekali waktu, dan
kegiatan insidental. Sebagai contoh, mandi adalah kegiatan yang memiliki
karakter private dan dilakukan secara berulang-ulang.
Ketiga, setiap
kegiatan yang akan diwadahi diharapkan dapat berlangsung sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh pelakunya. Untuk dapat mendekati pemenuhan keinginan terhadap
kelangsungan suatu kegiatan, terdapat beberapa syarat yang tentunya harus
dipenuhi. Syarat-syarat tersebut dapat beberapa kebutuhan terhadap alat,
suasana kegiatan, kebutuhan terhadap sistem pencahayaan dan penghawaan, serta
kebutuhan terhadap ruang (tempat) terjadinya suatu kegiatan.
Arsitektur sebagai seni
tentunya tidak hanya dibatasi pada ruang dan gatra (sesuatu yang tampak
terwujud), atau garis dan bidang, tetapi lebih pada hal-hal yang menyangkut
nilai-nilai keindahan. Menurut Merleau-Ponty berarsitektur adalah berbahasa manusia, dengan citra
unsur-unsurnya, baik dengan bahan material maupun dengan bentuk serta
komposisinya. Salah satu pengenal kemuliaan bahasa, juga bahasa arsitektur
adalah kejujurannya, kewajarannya, atau seperti yang dinasihatkan oleh ahli
pikir Thomas Aquinas: ‘Pulchrum splendor
est veritatis’ (keindahan adalah pancaran kebenaran) (Mangunwijaya, 1992:
9-10). Pada saat revolusi arsitektur yang dimulai oleh pengikut Bauhaus (1919)
di Jerman, keindahan arsitektur dipandang
bukan lagi bersifat insidental atau sebagai suplemen terhadap fungsinya,
tetapi perkembangan lebih lanjut keindahan
arsitektur telah menjadi atau identik dengan fungsinya, bahkan pada era posmodern
sekarang ini keindahan arsitektur yang tertuang dalam bangunan haruslah
bersifat komunikatif. Pendapat tersebut merupakan bentuk kritik atas arsitektur
modern oleh Charles Jencks dan Venturi. Pada intinya kedua tokoh tersebut
berpendapat bahwa karya arsitektur haruslah kontekstual dan komunikatif, karena
mereka beranggapan bahwa pada masa arsitektur modern bangunan-bangunan yang ada
hanyalah merupakan permainan konotasi dan makna (Ali, 2004: 154-155).
C.
Estetika Arsitektur: dari Tradisional
hingga Posmodern
Adalah suatu kewajaran bahwa setiap
manusia menghendaki keindahan daripada setiap bangunan yang mereka jumpai karena
titik pangkal keindahan dan pengalaman estetis terletak pada pengamatan
inderawi. Selanjutnya, keindahan dalam kehidupan sehari-hari dipakai sehubungan
dengan yang dapat dilihat, didengar, dan keindahan itu dapat dikelompokkan
menjadi visual arts dan auditory arts (Sutrisno, 1993: 17-18). Dalam
hal ini dapat dikatakan bahwa keindahan arsitektur termasuk ke dalam kelompok visual arts. Namun, menerangkan suatu
bangunan itu indah adalah sesulit menciptakan keindahan itu dalam suatu
bangunan karena pengertian indah dan buruk tidak selalu sama. Pada tahap primer
(tradisional/ klasik) orang berpikir dan bercita rasa dalam alam penghayatan
kosmis dan mistis, atau agama, bukan hal-hal yang estetis, karena estetis diartikan
sebagai penilaian sifat yang dianggap indah dari segi kenikmatan. Sebagai
contoh, di Bali meru-meru dibangun di
dalam pura-pura bukan karena alasan meru itu indah dan dapat menyedapkan
pemandangan atau dengan alasan estetis, tetapi meru dibangun dengan bentuk seperti itu lebih karena tuntutan agama
(Mangunwijaya, 1992: 51-52).
Ini berarti keindahan
tergantung pada bentuk dan ruang, karena itu keindahan arsitektur adalah
keindahan yang terkandung dalam susunan elemen bentuk dan elemen ruang.
Elemen-elemen tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisah-pisahkan dalam arsitektur, seperti halnya tubuh manusia yang terdiri atas
organ-organ tubuh yang tidak dapat berdiri dan bekerja sendiri-sendiri. Apabila
tidak hidup atau tidak memiliki roh maka tubuh manusia hanyalah mayat atau seonggok
tulang dan daging. Analogi tersebut mengarahkan pemikiran pada suatu pemahaman
bahwa arsitektur yang tersusun dari materi fisik yang nampak dan bersifat
kebendaan (baca: bentuk dan ruang) haruslah juga hidup dan memiliki roh, karena
itu keindahan arsitektur dapat dianggap sebagai roh dari suatu bangunan.
Penjelasan di atas nampaknya menempatkan
keindahan, bukan hanya sesuatu yang digunakan untuk memenuhi hasrat kesenangan
dan keinginan manusia secara indrawi. Akan tetapi lebih pada sesuatu yang
bersifat metafisik dan rasional. Pemikiran tersebut sejalan dengan pandangan
seorang filsuf dan teolog Abad Pertengahan Eropa kelahiran Italia, Thomas
Aquinas, yang menempatkan estetika sebagai cabang dari teologi dan keindahan
dianggap bukan sebagai nilai yang independen, melainkan lebih sebagai percikan
kebenaran dari kesempurnaan Ilahi, bahkan keindahan haruslah memenuhi unsur
subyektif dan obyektif. Subyektif, artinya dapat menyenangkan si subyek atau
pengamat, dan obyektif, berarti ada kriteria sempurna, proposional, dan
cemerlang (Ali 2004: 28-31).
Pada awalnya arsitektur lahir
untuk menjawab satu kebutuhan pokok manusia berupa papan atau tempat tinggal.
Perkembangan selanjutnya, papan yang merupakan bangunan dan disebut rumah
tersebut tidak lagi dimaknai sebagai suatu bangunan benda mati, tetapi lebih
merupakan sesuatu yang selalu dinapasi oleh manusia, bahkan rumah dianggap
suatu bangunan yang harus punya jiwa (Mangunwijaya, 1992: 25). Pada bangunan
rumah tinggal keindahan arsitektur lebih sebagai upaya untuk memberikan napas
dan jiwa dari suatu bangunan. Implementasi keindahan arsitektur tersebut
akhirnya menjadikan suatu bangunan arsitektur yang terdiri atas susunan bentuk
dan ruang menjadi simbol kosmologis, dasar orientasi diri, dan cermin sikap
hidup (Mangunwijaya, 1992: 51-115). Di Jawa misalnya, orang menyebut rumah
dengan omah, kata omah adalah bentukan dari dua kata om, yang berarti angkasa, dan mah yang berarti lemah (tanah) atau ibu pertiwi. Dengan demikian omah bisa dimaknai sebagai miniatur dari
jagad manusia yang terdiri atas Bapa
Angkasa dan Ibu Pertiwi (Pitana,
2001: 40).
Tidak hanya di Jawa, hampir dapat dipastikan
di seluruh arsitektur nusantara bahwa keindahan arsitektur tradisional rumah
tinggal sangat sarat dengan simbol-simbol. Karakter simbol-simbol itu sendiri
dalam konteks kebudayaan menurut Muhadjirin (1996), yang dikutip oleh Marsudi
(2001:25) diklasifikasikan menjadi 4, yaitu (1) simbol konstruktif, simbol-simbol
bersifat metafisik yang penggunaannya berkaitan dengan hal-hal religius dan
kepercayaan terhadap sang pencipta; (2) simbol kognitif, simbol-simbol yang
bersifat logik dan penerapannya banyak ditemui pada simbol-simbol yang
berkaitan dengan ilmu pengetahuan; (3) simbol etika, simbol-simbol yang
berkaitan dengan nilai-nilai, norma, atau aturan-aturan, seperti kesopanan,
kewajaran dalam masyarakat; dan (4) simbol ekspresif, simbol-simbol yang
berkaitan dengan nilai-nilai estetis.
Dalam arsitektur umumnya, simbol
merupakan cara untuk menyampaikan makna dari suatu bentuk, baik sebagai makna
kesan, peran, ataupun pesan yang dibungkus dengan keindahan yang dikandungnya.
Bentuk simbol itu sendiri merupakan ciptaan yang teraba (tangible), yang berbentuk dua dimensi ataupun tiga dimensi yang bersumber
dari bentuk tak teraba (intangible),
yang berasal dari falsafah, sejarah, religi, budaya, dan suatu pola organisasi
(Ardhiati, 2005: 39). Broadbent mengelompokkan sistem simbol menjadi tiga,
yaitu (1) sintactic adalah sistem
simbol yang tidak memperhatikan hubungan realitasnya atau dengan kata lain,
simbol hanya mengacu pada hubungan antartanda untuk mencapai keserasian tanpa
menyinggung realitasnya; (2) semantic,
adalah sistem simbol yang mengacu pada hubungan antara tanda dan simbol dalam
realitasnya; dan (3) pragmatic adalah
sistem simbol yang ditekankan pada pengaruh yang ditimbulkan oleh penggunaan
simbol itu sendiri, di mana pengaruh tersebut biasanya menyangkut faktor
sosiologi dan psikologi. Selain membagi sistem simbol, Brodbent mengidentifaksikan
makna simbol dalam ekspresi arsitektur menjadi tiga, yaitu (1) simbol yang
mengatakan peran dari ekspresi tampak; (2) simbol metafora, baik metafora
langsung ataupun metafora tidak langsung; dan (3) simbol sebagai unsur pengenal
(Brodbent, 1980).
Sejak revolusi arsitektur 1919
di Jerman, keindahan arsitektur telah
menjadi atau identik dengan fungsinya, yang kemudian pada era posmodern
sekarang ini, keindahan arsitektur
haruslah bersifat komunikatif, penggunaan simbol dalam ekspresi arsitektur
semakin bervariasi dan berkembang sangat pesat, bahkan cenderung lebih bebas. Kecenderungan
ini tentunya tidak dapat lepas dari kuatnya pengaruh budaya pada zamannya. Identifikasi
perkembangan keindahan dalam ekspresi arsitektur dari era tradisional hingga
posmodern dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel: Pembabakan
Kebudayaan dan Perkembangan Estetika Arsitektur
No.
|
Ciri-ciri
|
Tradisional
|
Modern
|
Posmodern
|
A.
|
MAKRO
|
(non-Arsitektural)
|
||
1.
|
Hubungan
Sosial
|
kolektif
(keluarga besar)
|
kelompok
kecil (keluarga inti)
|
individual
|
2.
|
Komunikasi
|
budaya tutur (baca: dari mulut-ke mulut)
|
cetak, tulis, audio-visual
|
hi-tech, cyber
|
3.
|
Perekonomian
|
pertanian
untuk pemenuhan kebutuhan pokok
|
produksi untuk pemenuhan kebutuhan pasar
|
globalisasi
|
4.
|
Teknologi
|
pertanian
|
mesin produksi
|
informatika
|
B.
|
MIKRO
|
(Arsitektural)
|
||
1.
|
Tampilan dan Ukuran Keindahan
|
kebersamaan (pakem)
|
efesien, fungsional, universal
|
bebas, individual
|
2.
|
Dasar Berpikir
|
Small is beatiful
|
Big is beatiful
|
Small within big is beatiful
|
3.
|
Mashab
(konsep dasar berfikir)
|
Form follow meaning.
Penandaan
makna ideologis.
|
Form follow function.
Penandaan
makna fungsional.
|
Form follow fun.
Penandaan
makna ironis.
|
4.
|
Orientasi
Ciptaan Kreatifitas
|
religius,
kosmis
|
masyarakat,
general
|
kontekstual,
individualis
|
5.
|
Teknologi Bahan
|
alam, manual
|
industri, mesin
|
sintetis, hi-tech
|
6.
|
Skala Orientasi Keindahan
|
lokal
|
global
|
kontekstual
|
D. Estetika Arsitektur Posmodern dan Idiom Estetik
Arsitektur sebagai bagian dari
reintegrasi budaya secara perlahan melalui proses asimilasi dan adaptasi
mengalami suatu evolusi dari tradisional menjadi modern hingga posmodern (Sulistyawati
2005). Diskursus posmodern ditandai oleh peralihan-peralihan besar serta titik
balik dalam tatanan objek, pengaturan dan penggunaan ruang, bentuk, kekuasaan,
serta kondisi kehidupan yang diciptakan (Piliang, Y.A. 2003:117-120). Semangat posmodernisme
hampir selalu berangkat dari konflik dan kritiknya terhadap modernisme.
Semangat ini cenderung
menolak segala generalisasi dan narasi besar (politik, ekonomi, kultural).
Gerakan ini ditandai dengan penolakan atas klaim-klaim universalitas,
rasionalitas, dan homogenitasnya yang menjadi semangat dan selalu dirayakan
modernisme. Semangat gerakan ini juga diarahkan demi menghargai narasi-narasi
kecil (little narratives) yang selama ini dirasakan sebagai korban dari
modernisme. Narasi kecil yang
dimaksudkan adalah permainan-permainan bahasa (language game) yang
bersifat heterogen di dalam institusi-institusi yang plural, dan yang mengacu pada
aturan-aturan main lokal yang unik, dalam rangka menghargai perbedaan (difference),
keunikan-keunikan lokal (local genius), yang selama ini terpinggirkan (the
marginal), dan toleransi pada incomensurability.
Kecenderungan semangat
posmodernisme dalam bidang estetika Piliang, Y.A. (2003) secara eksplisit
berpendapat bahwa peralihan dari modernisme menuju posmodernisme telah membuka
sebuah ruang perdebatan luas dan sekaligus menciptakan satu situasi dilematis.
Pada satu ekstrim muncul pesimisme tentang kemampuan seni menghasilkan sesuatu
yang baru sehingga seni berkembang dengan semangat asal berbeda (berbeda
tidak selalu berarti baru). Seni lalu mengalihkan wajahnya pada masa
lalu melalui kecenderungan pastiche,
parodi atau kitsch. Pada titik
ekstrem yang lain, seniman bekerja dengan spirit yang seakan tanpa batas dengan
mendobrak segala batas: seni/kitsch, realitas/fantasi,
keindahan/keburukan. Posmodernisme menjadikan setiap batas dan tapal batas itu
menjadi lebih lentur, supel, fleksibel, dan dinamis yang memungkinkan
interaksi, persinggungan atau percampuran di antara segmen-segmen yang ada.
Dalam estetika arsitektur
posmodern munculnya suatu langgam, yang merupakan perwujudan dari estetika
arsitektur, lebih mengarah pada kepentingan komersial yang dilandasi oleh
perbedaan status simbol, yang mengekspresikan gaya hidup untuk
mengidentifikasikan diri dengan irama dan siklus perubahan produksi yang pada
akhirnya melahirkan idiom-idiom estetika posmodern yang cenderung
dekonstruktif. Setidaknya terdapat 5 idiom estetika arsitektur posmodern yang
dapat diidentifikasikan, yaitu pastiche,
parody, kitsch, camp, dan skizofrenia
(Sulistyawati 2005).
Pastiche adalah
sebuah idiom estetik yang memiliki konotasi negatif karena karya-karya yang
dihasilkan dianggap tidak hanya sarat pinjaman, akan tetapi juga sangat miskin
kreatifitas dan orisinilitas. Oleh karenanya keberadaannya sangat miskin
semangat kebebasan dan sangat tergantung pada kebudayaan masa lalu, serta
idiom-idiom estetik yang pernah ada sebelumnya.
Parody, berbeda
dengan pastiche, idiom estetik ini bertujuan
mengekspresikan ketidakpuasan terhadap karya masa lalu atau bentuk yang dirujuk
sehingga terkesan sarat dengan sindirin atau membuat lelucon dari suatu gagasan
idea desain. Keberadaannya lebih sebagai bentuk oposisi atas karya-karya yang
lain. Dalam arsitektur idea desain yang digunakan cenderung tampak absurd
karena yang menjadi sasaran ekspresi ketidakpuasannya, bukan saja karya arsitek
tertentu, tetapi juga menyangkut ikonik gaya yang terkandung dalam suatu karya.
Bangunan Cymbalista
Synagogne and Jewish Heritage Centre di Tel-aviv Israel ini adalah
menggunakan idiom pastiche, karena
idea desain yang digunakan mengambil begitu saja bentuk jembangan (gerabah
tradisional) tanpa ada kreatifitas modifikasi untuk mengarah pada suatu karya
arsitektural.
Sumber gambar: Phaidon
(2004:78)
|
|
Bangunan Burraworrin
Residence di Negara Bagian Timur Australia ini adalah menggunakan
idiom pastiche, karena idea desain
yang digunakan mengambil begitu saja bentuk perahu tradisional tanpa ada
kreatifitas modifikasi untuk mengarah pada suatu karya arsitektural.
Sumber gambar: Phaidon (2004:59)
|
Gambar 1. Contoh
karya arsitektur yang menggunakan idiom pastiche.
Bangunan Federation
Squere di Negara Bagian Timur Australia ini adalah menggunakan idiom parody, karena kesan yang dimunculkan
adalah bentuk perlawanan pada keteraturan dan kemapanan idiom-idiom estetik
masa sebelumnya.
Sumber gambar: Phaidon
(2004:53)
|
Gambar 2. Contoh
karya arsitektur yang menggunakan idiom parody.
Kitsch, prinsip yang dipakai untuk menghasilkan “efek
yang segera” (immediate effect) yang sangat diperlukan dalam mekanisme
kebudayaan massa sehingga sering ditafsirkan sebagai seni selera rendah.
Penafsiran ini disebakan karena sangat ketergantungannya pada objek, konsep,
atau kriteria yang bersifat eksternal, seperti seni tinggi, mitos, tokoh, dan
sebagainya. Dengan demikian karya-karyanya terkesan menganggap umum objek
langka dan sekaligus mempopulerkan nilai-nilai kebudayaan dari objek tersebut. Idiom
estetik ini memberi tempat bagi berbagai bentuk reproduksi (reproduction) dan ‘daur ulang’ (recycling) melalui rekontekstualisasi
dan reinterpretasi. Karya-karyanya terkesan mengarah pada perayaan prinsip
peniruan, mimesis, copy, simulasi, ikonisasi, yang ditolak oleh wacana
estetik modernisme.
Bangunan ING
Group Headquarters di Amsterdam Belanda ini adalah menggunakan idiom kitsch, karena objek yang digunakan
adalah binatang, sesuatu yang langka digunakan sebagai idea desain
arsitektural.
Sumber gambar: Phaidon
(2004:333)
|
Gambar 3. Contoh
karya arsitektur yang menggunakan idiom kitsch.
Camp, adalah karya yang menekankan komposisi
keindahan yang berlebih, baik melalui tampilan dekorasi ataupun tekstur dan
gaya sensualitas yang cenderung mengorbankan isi. Walaupun sebagai idiom
estetik memiliki semangat kebaruan, keindahan, dan keotentikan, namun
karya-karya arsitektural yang menggunakan idiom ini terkesan sangat artifisial
dan distorsif.
Skizofrenia, adalah satu bentuk idiom estetik akibat ketakberaturan
atau persimpangsiuran penanda, gaya, dan ungkapan dalam satu karya. Dengan
demikian karya-karya yang dihasilkan cenderung memiliki makna kontradiktif, ambiguity, dan samar-samar. Dalam bidang
arsitektur karya-karya yang menggunakan idiom estetik skizofrenia ini, justru menampilkan adanya kekacauan struktur
psikis akibat terputusnya rantai pertandaan (signification chain). Dalam
hal ini bentuk sebagai petanda tidak memiliki keterkaitan dengan satu makna (petanda)
dengan cara yang pasti sehingga cenderung menghasilkan kesimpangsiuran makna.
Bangunan Jean-Marie
Tjibaou Cultural Centre di New Zealand ini adalah menggunakan idiom camp, karena tampilan yang sarat
nuansa kebaruan, tetapi hanya menekankan sensualitas keindahan berlebih
dengan menampilkan distorsi cangkang binatang laut.
Sumber gambar: Phaidon
(2004:68)
|
Gambar 4. Contoh
karya arsitektur yang menggunakan idiom camp.
Bangunan Niagara
Galleries di Australia ini adalah menggunakan idiom skizofrenia, karena gaya yang ditampilkan cenderung simpang siur
dan terlihat tidak ada hubungan antar elemen.
Sumber gambar: Phaidon
(2004:53)
|
|
Bangunan National
Museum di Australia ini adalah menggunakan idiom skizofrenia, karena gaya yang ditampilkan cenderung simpang siur
dan terlihat tidak ada hubungan antar elemen.
Sumber gambar: Phaidon
(2004:53)
|
Gambar 5. Contoh
karya arsitektur yang menggunakan idiom skizofrenia.
E.
Penutup
Keindahan arsitektur yang
terungkap melalui bentuk dan ruang dengan susunannya merupakan nilai estetis
inderawi yang terbentuk melalui logika batin yang memiliki percikan
kesempurnaan dan kebenaran Ilahi. Implementasi keindahan arsitektur pada suatu
bangunan menjadikan bangunan tersebut cenderung menjadi simbol kosmologis,
dasar orientasi diri, dan cermin sikap hidup manusia.
Karya arsitektur sebagai
produk kebudayaan tidak dapat lepas dari semangat zamannya. Sebagai produk
suatu kebudayaan dan sebagai jejak-jejak teraba (tangible) kebudayaan, karya arsitektur merupakan bukti suatu
peradaban manusia mengenai keindahan bentuk dan ruang hidup material manusia. Dengan
demikian, setiap jejak tangible arsitektur
yang mewakili zamannya (tradisional/klasik, modern, dan posmodern) sedapat
mungkin diproduksi untuk mampu mengkomunikasikan semangat dan pesan dari zamannya.
Bangunan sebagai wujud karya
arsitektur merupakan sarana komunikasi visual bagi subjek (pengamat) untuk
menangkap keindahan dan citra yang dipancarkan. Oleh karenanya, tingkat
keindahan dan citra yang dimiliki suatu bangunan yang tertuang dalam
simbol-simbol pada setiap elemen bangunan dapat dianggap sebagai jiwa dari sebuah
karya arsitektur. Sebagai objek yang berjiwa dan sebagai sarana komunikasi
visual karya arsitektur haruslah memiliki tiga hal, yaitu pertama, harus memiliki keindahan peran, atau juga bisa dikatakan
sebagai ketepatan fungsi, baik fungsi dari bangunan itu sendiri secara internal
maupun peran bangunan tersebut di dalam lingkungannya; kedua, harus memiliki keindahan kesan, yaitu mampu memberikan
pengalaman estetis dan cita rasa positif bagi yang melihatnya; dan ketiga, harus memiliki keindahan pesan,
yang artinya dari tampilan bentuk yang dapat ditangkap secara inderawi bangunan
tersebut mampu menyampaikan pesan-pesan keindahan melalui simbol-simbol yang
tertuang dalam setiap elemen bangunannya.
Daftar Pustaka
Ali, Matius 2004. Estetika: Sebuah Pengantar Filsafat
Keindahan dari Yunani Kuno Sampai Zen Buddhisme. Sanggar Luxor, Tangerang.
Ardhiati, Yuke 2005. Bung Karno Sang Arsitek: Kajian Artistik
Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota, Interior, Simbol, Mode Busana dan Teks
Pidato 1926 – 1945. Komunitas Bambu, Jakarta.
Broadbent, G. at.al. 1980. Sign, Symbols, and Architecture. John Wiley & Sons Ltd., New York.
Clarke, Paul Walker 1977, dalam Diani, Marco and Ingraham,
Catherine (eds) 1989. Restructuring
Architectural Theory. Northwestern
University Press, Illinois.
Lang, Jon 1987. Creating
Architectural Theory: The Role of the Behavioral Sciences in Environmental
Design. Van Nostrand Reinhold Company, New York.
Mangunwijaya, Yusuf B. 1992. Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-dendi
Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Marsudi 2001 Nilai Arsitektur Pada Simbolisme Keraton
Kasunanan Surakarta, (thesis). Progam Pascasarjana
Universitas Diponegoro, Semarang.
Phaidon 2004. The
Phaidon Atlas of Contemporary World Architecture (Comprehensive Edition).
Phaidon Press Limited, London.
Pitana, T.S. 2001. The Javanese Cosmology and Its Influence on Javanese Architecture
(thesis). James Cook University,
Australia.
Piliang, Y.A. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas
Matinya Makna. Jalasutra, Yogyakarta.
Sulistyawati 2005. Arsitektur Posmodern di Kawasan Pariwisata
Kuta (makalah Seminar Nasional: Arsitektur, Lingkungan dan Pariwisata
Menuju Pembangunan Berkelanjutan). 10 September 2005, The Royal Pita Maha,
Bali.
Sutedjo, Suwondo B. 1982. Peran, Kesan, dan Pesan Bentuk-bentuk Arsitektur. Djambatan,
Jakarta.
Sutrisno, Mudji dan
Verhaak, Christ 1993. Estetika Filsafat
Keindahan. Kanisius, Yogyakarta.
Van de Ven, Cornelis 1995. Ruang Dalam Arsitektur. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
[*] Staff Pengajar dan Pengelola Laboratorium Arsitektur Jawa, Jurusan
Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar