Sabtu, 04 Februari 2012

Arsitektur Jawa Yang Hidup


REPRODUKSI SIMBOLIK ARSITEKTUR TRADISIONAL JAWA:
MEMAHAMI RUANG HIDUP MATERIAL MANUSIA JAWA

Oleh:
Titis S. Pitana[*]

Abstract: The idea of Javanese home (omah), as a form of traditional architecture that reflects Javanese culture, will be used in this paper as a standpoint to understand the symbolic reproduction of Javanese architecture. Javanese people regard cosmology as an underlying value that always empower their life so that any changes in it may manifest only in its forms, but not in its basic values. Norms and ethics in their social interaction are positioned in the principles of togetherness, respect, and harmony. The employment of these principles in social interactions has made Javanese people open to deal with any changes. Their self-identity is expressed totally through mind and rational action. In their material life space, the identity is communicated indirectly, i.e. through certain symbols.  Arguments in the following discussion are meant eventually to propose an implication that, concerning the Javanese traditional architecture, particularly Javanese people’s home or life space, any interaction with outer influential forces demands that traditional, generic values and norms be negotiated continuously and experience a reproduction.

Keywords: reproduksi simbolik, arsitektur tradisional Jawa, ruang hidup material


Pendahuluan
“Kang ingaran urip mono mung jumbuhing badan wadaq lan batine,
pepindhane wadhah lan isine…
Jeneng wadah yen tanpa isi, alah dene arane wadhah, tanpa tanja tan ana pigunane
semono uga isi tanpa wadhah,  yekti barang mokal…
Tumrap urip kang utama tertamtu ambutuhake wadhah lan isi,
kang utama karo-karone.”
(Kutipan dari salah satu Serat Dewa Ruci)

Yang disebut hidup adalah manunggalnya tubuh dan batin (raga dan jiwa),
ibarat wadah dan isinya…
Wadah tanpa isi, adalah sia-sia disebut wadah,
tidak akan berarti dan berguna.
Demikian juga isi tanpa wadah, adalah sesuatu yang mustahil…
Untuk hidup yang sempurna membutuhkan wadah dan isi,
yang utama adalah kedua-duanya.

jumbuhing badan wadaq lan batine

Kutipan di atas sengaja penulis tempatkan pada awal makalah ini dengan harapan dapat merupakan dasar pemahaman terhadap cara pandang manusia Jawa dalam menjalani dan menuju kesempurnaan hidupnya di dunia. Subjektifitas dan interpretasi bebas penulis mengenai kutipan naskah sastra di atas mengarahkan penulis untuk menjadikannya sebagai suatu analogi pandangan manusia Jawa mengenai rumah sebagai miniatur kosmos atau jagadnya, yang oleh Frick (1997) disebut sebagai ruang hidup material.
Shelter atau tempat berlindung adalah embrio dari munculnya ilmu bangunan (arsitektur) untuk memenuhi kebutuhan manusia akan tempat tinggal atau rumah. Pada awalnya manusia dengan nalurinya mampu membuat suatu bangunan asal berdiri dan dapat digunakan sebagai tempat berlindung dari cuaca dan binatang buas. Tetapi apakah itu termasuk karya arsitektur? Jawabnya tentu bukan. Karena kalau itu arsitektur, manusia tidak ada bedanya dengan ular yang memilih semak-semak sebagai tempat berlindungnya, tikus sawah yang menggali lubang sebagai tempat tinggalnya, atau burung Manyar yang dengan kemampuan menganyamnya mampu membuat sarang yang sangat indah dan kuat sebagai tempat tinggalnya. Kebutuhan shelter atau tempat berlindung bagi manusia berkembang menjadi kebutuhan akan tempat tinggal, yang selanjutnya disebut dengan rumah. Dari sinilah arsitektur atau secara sederhana disebut dengan ilmu bangunan dibutuhkan, yang selanjutnya rumah tidak hanya sebagai bangunan tempat berlindung dan tinggal, tetapi juga memiliki unsur-unsur yang membuat bangunan rumah lebih memiliki makna, atau Mangunwijaya (1992:6) menyebutnya dengan istilah “lebih dari asal-berguna”. Sejalan dengan pendapat ini Rapoport (1969:129) mencantumkan salah satu dari empat hal yang harus dipenuhi agar bangunan rumah dikatakan baik adalah harus memiliki fungsi sosial dan budaya.
Rumah manusia Jawa, yang biasa disebut dengan omah, pada awalnya merupakan bentuk dari karya arsitektur tradisional Jawa, yang dari perwujudannya akan dapat ditangkap dimensi guna dan citra. Pemunculan dimensi citra dalam suatu karya arsitektur, menurut Mangunwijaya (1992) adalah upaya menjadikan manusia sebagai makhuk yang berbudaya, sehingga karya arsitektur dapat dikatakan sebagai cermin suatu kebudayaan. Pemahaman arsitektur sebagai cermin kebudayaan ini akhirnya penulis jadikan sebagai pijakan argumen dalam pembahasan empat persoalan penting mengenai reproduksi simbolik arsitektur Jawa ini. Pertama, manusia Jawa dapat digolongkan sebagai masyarakat archaic yang menempatkan kosmologi sebagai sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya. Pandangan manusia Jawa terhadap kosmosnya adalah merupakan bentuk nilai tetap yang selalu hadir dalam kehidupannya, kendati pengaruh Hindu, Budha, Islam dan lainnya sempat memberikan warna, akan tetapi perubahan yang ada hanyalah pada perwujudannya saja, tidak pada bentuk kaidah atau norma yang ada. Kedua, norma dan etika hidup manusia Jawa dalam interaksi sosial diatur melalui prinsip kerukunan, hormat, dan keselarasan. Realitas ini menjadikan manusia Jawa sangat menghargai adanya perbedaan, bahkan perbedaan jenjang yang ada dalam masyarakat dimaknai sebagai perbedaan peran dan tanggung jawab. Dalam hubungannya dengan interaksi sosial ini, konstruksi sosial dari masyarakat Jawa terbentuk dan mempengaruhi sikap hidup yang diekspresikan dalam ruang hidup materialnya. Ketiga, prinsip kerukunan, hormat, dan kesalaran dalam interaksi sosial tersebut menjadikan manusia Jawa sangat terbuka dalam menerima suatu perubahan. Perubahan yang paling banyak terjadi adalah pada sistem nilai, sedangkan untuk norma yang diwujudkan pada perilaku relatif tidak berubah. Keempat, identitas diri yang terbentuk diungkapkan melalui pikiran dan perbuatan yang total, berlandasan dan beralasan. Dalam ruang hidup materialnya, hal tersebut dikomunikasikan secara tidak langsung, tetapi diungkapkan dengan menggunakan simbol. Berbagai bentuk simbol diekspresikan dalam rumah tradisional Jawa, mulai dari konsep tata ruang hingga elemen fisik bangunannya. Hal tersebut dimaksudkan agar karya arsitektur tersebut dapat merupakan ungkapan orientasi diri dan refleksi sikap hidupnya. Selanjutnya, pesan yang yang terkandung di dalamnya dapat diapresiasikan secara bebas oleh siapa saja dan kapan saja, tanpa perlu diterima sekaligus.

Kosmologi Jawa: Pendekatan Konsep Bentuk dan Ruang Arsitektur Jawa
Manusia Jawa menyebut tempat tinggalnya dengan istilah omah. Kata omah merupakan bentukan dari dua kata om, yang diartikan sebagai angkasa dan bersifat laki-laki (kebapakan), dan mah yang diartikan lemah (tanah) dan bersifat perempuan (keibuan). Sehingga omah (rumah) dimaknai sebagai miniatur dari jagad manusia yang terdiri Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi (Pitana 2001:40). Realitas ini menunjukkan pada kita tentang pemahaman dan sikap manusia Jawa terhadap jagadnya yang oleh Frick (1997:83) dijelaskan bahwa makrokosmos manusia Jawa adalah lingkungan alam, sedangkan mikrokosmosnya adalah arsitektur sebagai ruang tempat hidup yang merupakan gambaran makrokosmos yang tak terhingga.
Kosmologi Jawa adalah sebuah konsep tentang kehidupan mistis manusia Jawa yang dipadukan dengan kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan supranatural di luar dirinya, baik kekuatan dari alam maupun Tuhannya (Lombard 1996). Lebih detail, kosmologi Jawa dapat dimaknai sebagai konsep-konsep yang dimiliki manusia Jawa tentang kepercayaan, mitos, norma, dan pandangan hidup, yang di dalamnya terdapat keyakinan adanya jagad alit (mikrokosmos) dan jagad gede (makrokosmos). Kedua jagad tersebut merupakan kekuatan yang mempengaruhi segala sisi kehidupan manusia Jawa. Dengan kata lain, bahwa kehidupan manusia Jawa sangat dipengaruhi oleh kekuatan yang muncul dari dirinya sendiri (jagad alitnya) dan dari luar dirinya atau lingkungan alam sekitarnya (jadag gedenya) (Nugroho 1996:18-20, Magnis-Suseno 1996:82-135; Mulder 1996:34-35; Dojosantosa 1989:5-6).
Berangkat dari keyakinan diri sebagai pusat yang dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan yang ada disekelilingnya, manusia jawa dalam kehidupannya selalu berusaha menjaga keseimbangan dan keharmonian jagadnya, yang meliputi jagad alit dan jagad gede (Herusatoto 1991). Sehingga perwujudan dari konsep bentuk rumah Jawa merupakan refleksi dari lingkungan alamnya yang sangat dipengaruhi oleh geometric, yang sepenuhnya dikuasai oleh kekuatan dari dalam diri sendiri; dan pengaruh geofisik, yang sangat tergantung pada kekuatan alam lingkungannya. Kemanunggalan mikrokosmos dan makrokosmos ini diartikan bahwa manusia telah menjalin hubungan dengan kekuatan di luar dirinya yang jauh lebih besar, dan diharapkan akan senantiasa terjaga dan mampu meningkatkan kekuatan dirinya.
Kesungguhan manusia Jawa dalam menjaga keseimbangan dan keselarasan antara mikrokosmos dan makrokosmos dalam penentuan ruang hidup materialnya tidak hanya diwujudkan dalam pemakaian istilah omah untuk rumah, tetapi lebih pada pemakaian simbol pada hampir seluruh bagian yang berkaitan dengan rumah itu sendiri, baik pada simbol materi maupun simbol perilakunya. Simbol materi yang dimaksud di sini adalah untuk hal-hal yang bersifat fisik dan dapat ditangkap secara inderawi, diantaranya adalah: pola tata ruang dan tata massa bangunan, pola perwujudan bentuk bangunan, penggunaan material bangunan, dan desain ornamen-ornamen yang melekat. Sedangkan untuk simbol perilaku yang dimaksud adalah untuk hal-hal yang berkaitan dengan tindakan dari manusia Jawa berkaitan dengan pembangunan rumahnya, diantaranya adalah mengenai ritual-ritual, laku batin, dan gugon tuhon yang menyertai proses pembangunan sebuah rumah. Misalnya, ritual bedah bumi untuk pertanda memulainya penggalian tanah untuk pondasi rumah, atau ritual munggah penuwun untuk memulai memasang balok kayu paling atas dari sebuah atap bangunan.
Bagian fisik dari perwujudan rumah tradisional Jawa yang paling mudah diidentifikasi adalah perwujudan bentuk atap. Berbeda dengan bangunan-bangunan tradisional lainnya di Nusantara yang biasanya mengambil filosofi bentuk sebuah perahu, atap bangunan tradisional Jawa mengambil filosofi bentuk dari sebuah gunung. Pada awalnya filosofi bentuk gunung tersebut diwujudkan dalam bentuk atap dengan diberi nama atap Tajug. Pada perkembangannya, atap Tajug mengalami pengembangan menjadi atap Joglo (tajug loro = penggabungan dua tajug) dan penyederhanaan menjadi atap Limasan dan Kampung (Prijotomo 1995; Ismunandar 1986). Di sini tidak akan dibahas panjang lebar mengenai jenis atau tipe-tipe dari atap tersebut, karena informasi mengenai hal tersebut sudah banyak dibahas dalam beberapa pustaka mengenai arsitektur tradisional Jawa. Tetapi bahasan pada tulisan ini lebih diarahkan pada kosmologi Jawa yang menjiwai konsep bentuk rumah tradisional Jawa.
Dalam sistem struktur bangunan tradisional Jawa, struktur atap ditopang dan diikat oleh saka (kolom atau tiang), yang kemudian diteruskan ke pondasi bangunan yang berbentuk umpak (pondasi setempat yang terbuat dari batu berbentuk trapesium). Kolom utama penyangga atap bangunan adalah saka guru, yang berjumlah 4 buah. Jumlah dari saka guru ini adalah merupakan simbol adanya pengaruh kekuatan yang berasal dari empat penjuru mata angin, atau biasa disebut konsep Pajupat. Dalam konsep ini, manusia dianggap berada di tengah perpotongan arah mata angin, tempat yang dianggap mengandung getaran magis yang amat tinggi. Tempat ini selanjutnya disebut sebagai pancer atau manunggaling  keblat papat.
Dalam kehidupan manusia Jawa gunung sering dipakai sebagai idea bentuk yang dituangkan dalam berbagai simbol, khusunya untuk simbol-simbol yang berkenaan dengan sesuatu yang sakral. Hal ini karena adanya pengaruh kuat keyakinan bahwa gunung atau tempat yang tinggi adalah tempat yang dianggap suci dan tempat tinggal para Dewa. Selain dituangkan dalam perwujudan bentuk atap, mitos gunung ini melahirkan konsep punden berundak dalam arsitektur tradisional Jawa, yaitu suatu konsep ruang yang menganggap ruang yang lebih tinggi adalah ruang yang lebih sakral (Pitana 2001:143-146; Pitana 2002).  

Konstruksi Sosial: Tahapan Penyucian dan Pembentukan Ruang Hidup Material
Kesadaran keberadaan manusia Jawa sebagai makhluk pribadi dan sosial dapat dilihat dari moral etika hidup kesehariannya. Dengan moral etika ini manusia Jawa sangat menghargai adanya perbedaan. Perbedaan jenjang kedudukan yang ada dalam masyarakat dimaknai sebagai perbedaan peran dan tanggung jawab. Bahkan kesadaran akan perbedaan ini meruapakan salah satu bentuk cara manusia Jawa dalam menciptakan keseimbangan dan keselarasan hidupnya.  Mereka mengenal adanya tiga moral etika sebagai pengatur kehidupan sosialnya dengan tidak mengabaikan keberadaannya sebagai makhluk pribadi. Pertama, moral etika yang digunakan dalam kelompok terkecil, yaitu lingkup keluarga. Moral etika ini disebut dengan moral etika keluarga. Kedua, moral etika antar keluarga, yaitu moral etika yang digunakan dalam kehidupan kelompok yang lebih besar atau antar keluarga. Ketiga, moral etika yang digunakan dalam lingkup masyarakat luas. Pada praktek kesehariannya, manusia Jawa lebih megutamakan moral etika yang lebih luas, atau dalam arti lain manusia Jawa lebih mengutamakan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi atau kelompok yang lebih kecil (Herusatoto 1991; Magnis-Suseno 1996).
Tingkatan jenjang atau perbedaan status sosial masyarakat Jawa dalam kehidupan keseharian dapat dilihat dari penggunaan bahasanya. Bahasa Jawa secara tajam membedakan antara ngoko (kasar) dengan kromo (halus). Ngoko yaitu bahasa yang digunakan oleh rakyat biasa atau bahasa yang dipakai oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda, atau orang yang memiliki status sosial lebih tinggi ke yang lebih rendah. Sedangkan, kromo adalah bahasa orang bangsawan atau bahasa yang digunakan oleh rakyat jelata kepada bangsawan atau orang yang lebih muda ke yang lebih tua. Diantara ngoko dan kromo ada bahasa madya yang lebih berfungsi sebagai bahasa perhubungan atau bahasa yang biasa dipakai oleh para bangsawan kepada rakyat biasa (Pitana 2001:27; Moedjanto 1993:53-94).
Bagi manusia Jawa rumah merupakan ungkapan hakikat penghayatan terhadap kehidupan. Apabila pengaturan pengunaan bahasa pada pengaturan hirarki antara para bangsawan dan rakyat di atas merupakan penentuan ruang hirarki strata sosial bagi kehidupan manusia Jawa, maka dapat dipahami bahwa arsitektur tradisional Jawa merupakan penentuan ruang hidup material manusia Jawa. Penggunaan sekat dan dinding pembatas pada rumah tidak dimaknai sebagai pembatas dengan alam, tetapi lebih merupakan penegasan terhadap ketentuan moral etika. Secara arsitektural, pola tata ruang yang ada pada bangunan rumah tradisional Jawa dapat jelas diidentifikasikan tahapan penyucian atau tingkat kesakralan ruangnya. Secara visual, semakin tertutup suatu ruang, semakin tinggi tingkat kesakralannya.
Dalam hirarki pola tata ruang hidup material, struktur ruang rumah Jawa dengan halaman tertutup (pagar), terdiri dari bangunan induk dan bangunan tambahan. Pagar disini lebih dimaknai sebagai penciptaan batas moral etika yang tetap memungkinkan terjadinya interaksi dengan dunia luar yang lebih luas. Dalam konteks tahapan penyucian, seperti halnya mitos gunung sebagai tempat suci, puncak gunung adalah berada di tempat yang tertinggi dan dikelilingi tempat yang lebih rendah, pada rumah tradisional Jawa tempat yang paling suci adalah memiliki lantai paling tinggi dibanding ruang-ruang lainnya, dan posisi ruang tersebut sudah pasti ada pada bangunan induk atau bangunan inti yang dikelilingi dengan bangunan tambahan dan ruang-ruang lainnya. Bangunan inti rumah Jawa secara berurutan terdiri dari pendopo dan pringgitan, dalem agung, dapur dan pekiwanPendopo dan pringgitan di sini merupakan bangunan profan yang berada di bagian depan, dan berfungsi sebagai bagian penerima. Dalem agung adalah sebagai bangunan private yang sakral. Sedangkan dapur dan pekiwan adalah bagian pelayanan yang bersifat profane.  
Penggunaan sumbu kosmis yang merupakan penerapan konsep pajupat dalam penentuan orientasi bangunan juga dipengaruhi oleh kesadaran terhadap tingkatan suatu jenjang kehidupan di masyarakat. Sebagai contoh, seperti yang dipaparkan oleh Frick (1997:84) bahwa rumah tradisional Jawa pada umunya menggunakan orientasi terhadap sumbu kosmis dari arah Utara – Selatan, yaitu tempat yang diyakini sebagai tempat tinggal penguasa Laut Selatan dan Dewi pelindung kerajaan Mataram. Sedangkan orientasi terhadap sumbu kosmis Barat – Timur adalah tabu bagi rakyat biasa, karena arah Timur adalah dianggap sudah menjadi bagian Karaton Mataram, selain juga arah Timur diyakini sebagai tempat tinggal Dewa Yamadipati (Dewa pencabut nyawa).
Perwujudan bentuk atap rumah tradisional Jawa sangat ditentukan oleh kesadaran akan moral etika kemasyarakatan yang belaku. Dalam kaitan dengan tahap penyucian, perwujudan atap bangunan tradisional Jawa dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, atap yang biasa digunakan oleh rakyat biasa. Bentuk atap ini adalah bentuk-bentuk sederhana, seperti atap kampung dan limasan. Kedua, atap yang biasa digunakan untuk kaum bangsawan adalah atap joglo dan pengembangannya. Ketiga, atap tajug dan pengembangannya, yaitu atap yang tabu apabila digunakan untuk banguan rumah tinggal, dan hanya cocok untuk bangunan-bangunan sakral seperti masjid atau kuil (Frick 1997:133).

Dekonstruksi Mitos Penyucian dan Pembentukan Ruang
Perubahan yang terjadi secara meluas dalam masyarakat bukan saja menjelaskan bagaimana interaksi masyarakat dengan berbagai faktor yang menentukan penataan sosial secara meluas (Abdullah 2006:143). Perubahan pemahaman terhadap suatu mitos dalam suatu masyarakat harus dilihat dalam konteks perubahan global yang terjadi dan memiliki pengaruh dalam penataan sosial hingga ke tingkat yang paling kecil. Hal ini juga disebabkan oleh globalisasi yang membutuhkan respon yang tepat karena ia memaksa adanya strategi yang tepat. Respon dan strategi ini adalah merupakan bagian dari proses sikap hidup manusia.
Sikap hidup manusia merupakan aktualisai dari penghayatan terhadap kehidupannya. Bagi manusia Jawa, rumah sebagai ruang hidup material merupakan ungkapan hakikat penghayatan tersebut. Proses terbentuknya suatu respon dan strategi dalam menyikapi perubahan sebagai akibat globalisasi telah menjadikan batas-batas sosial budaya masyarakat Jawa semakin luas dan kabur, perubahan karakter komunitas semakin mencolok, ikatan-ikatan tradisional semakin melemah karena otonomi individu-individu semakin kuat, dan nilai-nilai tradisional yang merupakan acuan kebudayaan generik harus didekonstruksikan dan tawar-menawar terhadap nilai-nilai yang berlaku menjadikan setiap individu dalam suatu masyarakat memiliki banyak pilihan dalam menentukan sikap hidupnya. Pada akhirnya mitos penyucian dalam pembentukan ruang hidup material pun tidak lagi menjadi acuan baku yang secara tradisi menyertai perwujudannya dalam bentuk rumah manusia Jawa (Abdullah 2007).
Negosiasi nilai yang terjadi akibat interaksi dengan dunia global yang ada membawa nilai-nilai tradisional budaya Jawa masuk ke dalam kebudayaan diferensial. Strata sosial yang pada awalnya menjadi batas-batas konstruksi sosial masyarakat Jawa menjadi kabur dengan semakin menonjolnya identitas diri dari masing-masing individu. Status sosial sebagai bangsawan atau rakyat biasa bukan lagi dilihat sebagai takdir yang harus diterima apa adanya, melainkan menjadi sebuah pilihan yang harus diperjuangkan. Kompleksitas realitas ini didorong dengan globalisasi yang tak dapat dihindari dan pasar yang telah berubah menjadi kekuatan dominan dalam pembentukan nilai dan tatanan sosial (Abdullah 2006:143). Terdapat dua kompleksitas realitas yang berkaitan dengan penentuan ruang hidup material manusia Jawa. Pertama, kompleksitas realitas ekternal yang menempatkan dominasi pasar sebagai kekuatan pembentuk nilai dan tatanan sosial. Perkembangan suatu wilayah hunian yang begitu cepat akibat peran pengembang dan bisnis property menjadikan manusia lebih menyukai tinggal di daerah yang memiliki kelengkapan dan kemudahan fasilitas. Akibatnya suatu wilayah hunian strategis menjadi incaran dan lahan hunian yang tersedia semakin menipis. Sehingga nilai dan norma tradisi dalam pembangunan rumah tinggal manusia Jawa dinegosiasikan menjadi sesuatu yang minimalis. Mitos penyucian dan pembentukan ruang hidup material manusia Jawa, yang pada awalnya sangat ditentukan oleh prinsip moral etika, telah disederhanakan oleh prinsip-prinsip komunikasi yang padat dan canggih. Kedua, kompleksitas realitas internal yang dimiliki dan terdapat pada masing-masing individu manusia Jawa itu sendiri. Kemampuan ekonomi masing-masing individu dan lunturnya kepercayaan mistis telah menjadikan nilai-nilai yang berhubungan dengan arsitektur tradisional Jawa seperti primbon, kawruh kalang, ataupun gugon tuhon menjadi tidak popular karena semua itu dianggap tidak ekonomis dan tidak rasional.

Subjektivitas: Arsitektur sebagai Simbol Orientasi Diri dan Refleksi Sikap Hidup Manusia Jawa
Kalau kuatnya pengaruh globalisasi dipercaya mampu menggeser nilai dan norma etika tradisional budaya Jawa yang ada, bukan berarti nilai dan norma tersebut telah tergantikan secara total. Secara generik nilai dan norma tersebut melekat dan diwariskan dari generasi ke generasi dan akan tetap ada kendati telah mengalami negosiasi akibat adanya interaksi. Minimalisasi konsep arsitektural pada penciptaan ruang hidup material akibat pengaruh ekternal bukanlah sesuatu yang begitu saja terjadi. Semua itu telah melalui proses tawar-menawar dan mendatangkan respon cerdas dengan menggunakan strategi tepat dalam menentukan sikap hidup manusia Jawa. Dalam kasus perencanaan dan pembangunan suatu kawasan perumahan di Jawa, seorang arsitek tidak lagi menggunakan orientasi sumbu kosmis Utara – Selatan karena dianggap akan membatasi kreativitas desain dan tidak optimalnya pola tata ruang kawasan hunian. Nampak jelas dominasi pasar telah nampak di sini. Akan tetapi, di sisi lain arsitek sedapat mungkin menghindari munculnya desain kawasan yang menempatkan suatu bangunan rumah pada posisi tusuk sate, karena pada kenyataannya rumah tersebut akan dihindari oleh calon pembeli karena diyakini akan mendatangkan sial bagi penghuninya.
Mitos pamali (tabu) pada rumah tusuk sate (rumah yang berada pada tepat menghadap arah frontal jalan pada suatu pertigaan) yang bagi masyarakat Jawa dianggap mendatangkan sial bagi penghuninya adalah suatu mitos yang hidup bukan tanpa suatu alasan. Sejalan dengan cara manusia Jawa dalam merangkai ilmu pengetahuan, mitos pada dasarnya produk dari perbendaharaan ilmu pengetahuan manusia Jawa yang didapat dari kepekaan dan kemampuannya dalam melakukan pengamatan terhadap semua kejadian dan keberadaan lingkungannya, pengungkapan dan pengenalan masalah, serta pemecahan masalah maupun penerapan hasilnya. Posisi rumah tusuk sate secara nalar sederhana memiliki tiga potensi masalah. Pertama, masalah keamanan karena ancaman lalu lintas. Kedua, masalah kenyamanan, terutama dari masalah kebisingan dan pengaruh cahaya kendaraan pada malam hari. Ketiga, masalah kesehatan yang disebabkan banyaknya debu dan kerasnya tiupan angin yang menerpa langsung pada bangunan rumah, sehingga apabila bangunan rumah tidak memiliki sistem sirkulasi penghawaan alami yang baik akan menyebabkan gangguan kesehatan bagi penghuninya.   Contoh lahirnya mitos ini terangkai dalam suatu proses panjang lahirnya suatu ilmu pengetahuan yang dalam dunia kejawen dikenal sebagai ilmu nitik, sedangkan dalam ilmu modern dianggap sebagai mitos.
Sejalan dengan bertambahnya kemampuan ekonomi dari keluarga-keluarga Jawa yang telah menempati sebuah rumah di suatu kawasan hunian modern, mereka secara bertahap mencoba mengadakan suatu perubahan wujud dari fisik bangunan rumah tinggalnya. Desain rumah dari pengembang yang mereka tempati sedikit demi sedikit akan mereka sesuaikan dengan nilai dan norma budaya yang secara generik mereka warisi. Dimulai dari pola tata ruang yang sedapat mungkin mereka manfaatkan demi kedekatan pada nilai dan norma yang mereka miliki, tampilan fisik juga tidak akan luput dari keinginan untuk menyesuaikannya. Proses munculnya respon dan strategi inilah menunjukkan adanya reproduksi simbolik budaya, dalam hal ini arsitektur tradisional Jawa.
Secara tradisional penentuan tahap penyucian dan pembentukan ruang hidup material diwujudkan dengan massa bangunan dan batas-batas ruang yang jelas. Sakral dan profan dibedakan dengan bagian bangunan yang terpisah. Strata sosial menentukan perwujudan bangunan rumah tinggal yang diwakili dengan tipe atap. Orientasi bangunan rumah tinggal rakyat biasa menggunakan sumbu kosmis Utara –Selatan dan tidak boleh sama dengan sumbu kosmis yang digunakan oleh karaton Barat – Timur. Apabila semua yang tersebut itu diangap sebagai mitos Jawa, dapat dipastikan nilai dan norma yang terkandung di dalamnya tidak akan hilang, tetapi mengalami penawaran dan pergeseran dalam pengungkapan bentuk simbol. Penawaran dan pergeseran dalam pengungkapan yang dimaksud adalah penyederhanaan perwujudan.
Dari sudut pandang struktural Koentjaraningrat (1994) memaparkan gambaran detail kebudayaan Jawa sebagai kebudayaan yang memiliki ciri ingin selalu mempertahankan keasliannya. Pengaruh kebudayaan lain yang sesuai dan dapat diterima hanya sebagai pengkayaan. Hal ini dapat dilihat dari sejarah kebudayaan Jawa itu sendiri. Filsafat hidup atau pandangan hidup manusia Jawa yang dikenal dengan ngelmu kejawen (ngelmu kasampurnan atau ngelmu kebatinan Jawa) adalah filsafat hidup yang berinti pada mistik Jawa yang banyak dipengaruhi oleh mistik Hindu, Budha, Islam, Kristen, dan lain-lain.
Untuk memahami ruang hidup material manusia Jawa sebagai simbol orientasi diri dan refleksi sikap hidupnya sudut pandang struktural tersebut perlu mendapat pendekatan subjektif dengan didasari pada beberapa asumsi. Pertama, kehidupan pribadi manusia Jawa sarat dengan simbol. Mereka selalu berpegang pada cipta (rasio), rasa (perasaan), dan karsa (kehendak) dalam usaha melaksanakan karya (pekerjaan), sehingga tidak pernah tergesa-gesa dalam membuat suatu keputusan. Hal ini terjadi pada perwujudan bentuk dalam menuangkan idea yang dapat menyentuh dan merangsang rasa perasaan terdalam. Pesan dan ajaran falsafah hidupnya menentukan orientasi diri dan sikap hidupnya yang terungkap dalam wujud lambang atau sinamuning samudono. Orang lain dipaksa untuk mempelajari dan mengupasnya lebih dahulu dengan penuh rasa perasaan yang dalam, sehingga dapat mengungkap inti sari pesan dan ajaran tersebut. Meskipun ungkapan simbolnya tidak mudah dimengerti (karena ungkapan simbolnya selalu bersentuhan dengan mistik), semua karya dipertanggungjawabkan tidak hanya sebatas kenyataan duniawi saja, tetapi sampai kepada kekuatan yang tak nampak ialah Tuhan Sang Kuasa Mutlak, sehinga ungkapan yang muncul lebih banyak ke arah dunia religius. Karenanya segala tindakannya merupakan sesuatu yang berlandasan dan beralasan. Kedua, kehidupan sosial manusia Jawa merupakan cermin kerukunan yang saling menghargai dan menghormati sesama, sehingga adanya perbedaan jenjang dimaknainya sebagai adanya perbedaan peran dan tanggung jawab. Ketiga, ruang hidup manusia Jawa yang terukur dan nyata. Pola bentuk ruang ini mengikuti pola prilaku kehidupan dan keadaan alamnya. Rumah sebagai ruang hidup materialnya dianggap sebagai miniatur kosmosnya yang memiliki unsur-unsur batas yang nyata dengan suasananya, yang terbentuk karena pertimbangan pandangan yang menyatakan rumah adalah sebagai status kemantaban rumah tangga, dan kerukunan yang menjadikan bangunan rumah keluarga Jawa selalu dipersiapkan tidak hanya terbatas pada kepentingan keluarga inti saja.

Penutup
Usaha perencanaan dan perancangan arsitektur dalam upayanya menciptakan ruang hidup material bagi manusia tidak dapat lepas dari nilai dan norma yang berlaku dalam budayanya. Secara khusus bagi manusia Jawa, yang ciri kebudayaannya ingin selalu mempertahankan keasliannya, menempatkan pengaruh kebudayaan lain yang sesuai dan dapat diterima hanya sebagai pengkayaan. Dalam kaitannya dengan arsitektur tradisional Jawa, khususnya pada bangunan rumah atau ruang hidup material manusia Jawa, pengaruh adanya interaksi dengan lingkungan luar menjadikan nilai dan norma tradisi yang bersifat generik telah dinegosiasikan secara terus-menerus dan mengalami suatu reproduksi.
Sebagai akhir dari makalah ini, penulis merasa perlu menyampaikan suatu saran khususnya bagi pekerjaan perencanaan dan perancangan suatu kawasan hunian bagi masyarakat Jawa. Bagi perencana ataupun arsitek dalam upaya menciptakan suatu kawasan hunian bagi masyarakat Jawa sebaiknya memperhatikan ketiga asumsi yang penulis paparkan di atas. Selanjutnya dalam perwujudan desain rumah yang dihasilkan faktor fleksibilitas dan ekspansibilitas bangunan adalah merupakan dua hal penting. Faktor fleksibilitas yang dimaksud adalah kemudahan untuk mengalami suatu perubahan sejalan dengan kemampuan dan keinginan penghuni. Sedangkan faktor ekspansibilitas yang dimaksudkan adalah masih adanya kemungkinan mengalami suatu pengembangan sesuai dengan kemampuan, keinginan, dan tuntutan keadaan yang dimiliki oleh penghuninya. Adanya kedua falktor ini dimaksudkan untuk dapat menyelaraskan dengan tiga asumsi yang telah penulis paparkan di atas. 

Daftar Pustaka

Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_____________, 2007. Reproduksi Kebudayaan. Materi Kuliah disampaikan pada S3 Kajian Budaya Universitas Udayana, Tanggal 17 Februari 2007.

Dojosantosa 1989. Unsur Religius Dalam Sastra Jawa . Aneka Ilmu, Semarang.

Frick, H. 1997. Pola Struktur dan Teknik Bangunan di Indonesia. Penerbit Kanisius, Yogyakarta and Soegijapranoto University Press, Semarang.

Herusatoto, B. 1991. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Hanindita, Yogyakarta.

Ismunandar, R.K. 1986. Joglo: Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Dahara Prize, Semarang.

Koentjaraningrat 1994. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Lombard, D. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya - The Third Part: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Magnis-Suseno, F. 1996. Etika Jawa : Sebuah Analisa Fasafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Mangunwijaya, Yusuf B. 1992. Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-dendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis.  Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Moedjanto, G. 1993. The Concept of Power in Javanese Culture. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Mulder, N. 1996. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, 7th edn, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Nugroho, A. 1996. Menguak Hong Shui Kejawen, 2nd ednAneka, Solo.

Pitana, T.S. 2001. The Javanese Cosmology and Its Influence on Javanese Architecture (thesis). Australia: James Cook University.

Pitana, T.S. 2002. Sacred Places in Java: The Concept of Site Selection in Javanese Architecture. Architectural Science Review, Vol.45.1/March 2002. University of Sydney, Australia.

Prijotomo, J. 1995. Petungan: Sistem Ukuran Dalam Arsitektur Jawa. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Rapoport, Amos 1969. House Form and Culture. Englewood Cliffs,N.J., Prentice-Hall, Inc.



[*] Staff Pengajar dan Pengelola Laboratorium Arsitektur Jawa, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar