REPRODUKSI SIMBOLIK ARSITEKTUR
TRADISIONAL JAWA:
MEMAHAMI RUANG HIDUP MATERIAL MANUSIA JAWA
Oleh:
Titis
S. Pitana[*]
Abstract: The idea of Javanese home
(omah), as a form of traditional
architecture that reflects Javanese culture, will be used in this paper as a
standpoint to understand the symbolic reproduction of Javanese architecture.
Javanese people regard cosmology as an underlying value that always empower
their life so that any changes in it may manifest only in its forms, but not in
its basic values. Norms and ethics in their social interaction are positioned
in the principles of togetherness, respect, and harmony. The employment of
these principles in social interactions has made Javanese people open to deal
with any changes. Their self-identity is expressed totally through mind and
rational action. In their material life space, the identity is communicated
indirectly, i.e. through certain symbols.
Arguments in the following discussion are meant eventually to propose an
implication that, concerning the Javanese traditional architecture,
particularly Javanese people’s home or life space, any interaction with outer
influential forces demands that traditional, generic values and norms be
negotiated continuously and experience a reproduction.
Keywords: reproduksi simbolik, arsitektur tradisional Jawa,
ruang hidup material
Pendahuluan
“Kang ingaran urip mono mung
jumbuhing badan wadaq lan batine,
pepindhane wadhah lan isine…
Jeneng wadah yen tanpa isi,
alah dene arane wadhah, tanpa tanja tan ana pigunane
semono uga isi tanpa
wadhah, yekti barang mokal…
Tumrap urip kang utama
tertamtu ambutuhake wadhah lan isi,
kang utama karo-karone.”
(Kutipan dari salah satu Serat Dewa Ruci)
Yang disebut hidup adalah manunggalnya tubuh dan batin (raga dan jiwa),
ibarat wadah dan isinya…
Wadah tanpa isi, adalah sia-sia disebut wadah,
tidak akan berarti dan berguna.
Demikian juga isi tanpa wadah, adalah sesuatu yang mustahil…
Untuk hidup yang sempurna membutuhkan wadah dan isi,
yang utama adalah kedua-duanya.
jumbuhing badan wadaq lan batine |
Kutipan di atas sengaja
penulis tempatkan pada awal makalah ini dengan harapan dapat merupakan dasar
pemahaman terhadap cara pandang manusia Jawa dalam menjalani dan menuju
kesempurnaan hidupnya di dunia. Subjektifitas dan interpretasi bebas penulis
mengenai kutipan naskah sastra di atas mengarahkan penulis untuk menjadikannya
sebagai suatu analogi pandangan manusia Jawa mengenai rumah sebagai miniatur
kosmos atau jagadnya, yang oleh Frick (1997) disebut sebagai ruang hidup material.
Shelter atau tempat
berlindung adalah embrio dari munculnya ilmu bangunan (arsitektur) untuk
memenuhi kebutuhan manusia akan tempat tinggal atau rumah. Pada awalnya manusia
dengan nalurinya mampu membuat suatu bangunan asal berdiri dan dapat digunakan
sebagai tempat berlindung dari cuaca dan binatang buas. Tetapi apakah itu
termasuk karya arsitektur? Jawabnya tentu bukan. Karena kalau itu arsitektur,
manusia tidak ada bedanya dengan ular yang memilih semak-semak sebagai tempat
berlindungnya, tikus sawah yang menggali lubang sebagai tempat tinggalnya, atau
burung Manyar yang dengan kemampuan menganyamnya mampu membuat sarang yang
sangat indah dan kuat sebagai tempat tinggalnya. Kebutuhan shelter atau tempat berlindung bagi manusia berkembang menjadi
kebutuhan akan tempat tinggal, yang selanjutnya disebut dengan rumah. Dari
sinilah arsitektur atau secara sederhana disebut dengan ilmu bangunan
dibutuhkan, yang selanjutnya rumah tidak hanya sebagai bangunan tempat
berlindung dan tinggal, tetapi juga memiliki unsur-unsur yang membuat bangunan
rumah lebih memiliki makna, atau Mangunwijaya (1992:6) menyebutnya dengan
istilah “lebih dari asal-berguna”. Sejalan dengan pendapat ini Rapoport
(1969:129) mencantumkan salah satu dari empat hal yang harus dipenuhi agar
bangunan rumah dikatakan baik adalah harus memiliki fungsi sosial dan budaya.
Rumah manusia Jawa, yang biasa
disebut dengan omah, pada awalnya
merupakan bentuk dari karya arsitektur tradisional Jawa, yang dari
perwujudannya akan dapat ditangkap dimensi guna
dan citra. Pemunculan dimensi citra
dalam suatu karya arsitektur, menurut Mangunwijaya (1992) adalah upaya
menjadikan manusia sebagai makhuk yang berbudaya, sehingga karya arsitektur
dapat dikatakan sebagai cermin suatu kebudayaan. Pemahaman arsitektur sebagai
cermin kebudayaan ini akhirnya penulis jadikan sebagai pijakan argumen dalam
pembahasan empat persoalan penting mengenai reproduksi simbolik arsitektur Jawa
ini. Pertama, manusia Jawa dapat
digolongkan sebagai masyarakat archaic
yang menempatkan kosmologi sebagai sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya.
Pandangan manusia Jawa terhadap kosmosnya adalah merupakan bentuk nilai tetap
yang selalu hadir dalam kehidupannya, kendati pengaruh Hindu, Budha, Islam dan
lainnya sempat memberikan warna, akan tetapi perubahan yang ada hanyalah pada
perwujudannya saja, tidak pada bentuk kaidah atau norma yang ada. Kedua, norma dan etika hidup manusia
Jawa dalam interaksi sosial diatur melalui prinsip kerukunan, hormat, dan
keselarasan. Realitas ini menjadikan manusia Jawa sangat menghargai adanya
perbedaan, bahkan perbedaan jenjang yang ada dalam masyarakat dimaknai sebagai
perbedaan peran dan tanggung jawab. Dalam hubungannya dengan interaksi sosial
ini, konstruksi sosial dari masyarakat Jawa terbentuk dan mempengaruhi sikap
hidup yang diekspresikan dalam ruang hidup materialnya. Ketiga, prinsip kerukunan, hormat, dan kesalaran dalam interaksi
sosial tersebut menjadikan manusia Jawa sangat terbuka dalam menerima suatu
perubahan. Perubahan yang paling banyak terjadi adalah pada sistem nilai, sedangkan
untuk norma yang diwujudkan pada perilaku relatif tidak berubah. Keempat, identitas diri yang terbentuk
diungkapkan melalui pikiran dan perbuatan yang total, berlandasan dan
beralasan. Dalam ruang hidup materialnya, hal tersebut dikomunikasikan secara
tidak langsung, tetapi diungkapkan dengan menggunakan simbol. Berbagai bentuk
simbol diekspresikan dalam rumah tradisional Jawa, mulai dari konsep tata ruang
hingga elemen fisik bangunannya. Hal tersebut dimaksudkan agar karya arsitektur
tersebut dapat merupakan ungkapan orientasi diri dan refleksi sikap hidupnya.
Selanjutnya, pesan yang yang terkandung di dalamnya dapat diapresiasikan secara
bebas oleh siapa saja dan kapan saja, tanpa perlu diterima sekaligus.
Kosmologi Jawa: Pendekatan Konsep Bentuk dan Ruang Arsitektur Jawa
Manusia Jawa menyebut tempat
tinggalnya dengan istilah omah. Kata omah merupakan bentukan dari dua kata om, yang diartikan sebagai angkasa dan
bersifat laki-laki (kebapakan), dan mah yang
diartikan lemah (tanah) dan bersifat
perempuan (keibuan). Sehingga omah
(rumah) dimaknai sebagai miniatur dari jagad manusia yang terdiri Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi (Pitana 2001:40). Realitas ini menunjukkan pada kita
tentang pemahaman dan sikap manusia Jawa terhadap jagadnya yang oleh Frick (1997:83)
dijelaskan bahwa makrokosmos manusia Jawa adalah lingkungan alam, sedangkan
mikrokosmosnya adalah arsitektur sebagai ruang tempat hidup yang merupakan
gambaran makrokosmos yang tak terhingga.
Kosmologi Jawa adalah sebuah
konsep tentang kehidupan mistis manusia Jawa yang dipadukan dengan kepercayaan
terhadap kekuatan-kekuatan supranatural di luar dirinya, baik kekuatan dari
alam maupun Tuhannya (Lombard 1996). Lebih detail, kosmologi Jawa dapat
dimaknai sebagai konsep-konsep yang dimiliki manusia Jawa tentang kepercayaan,
mitos, norma, dan pandangan hidup, yang di dalamnya terdapat keyakinan adanya jagad alit (mikrokosmos) dan jagad gede (makrokosmos). Kedua jagad
tersebut merupakan kekuatan yang mempengaruhi segala sisi kehidupan manusia
Jawa. Dengan kata lain, bahwa kehidupan manusia Jawa sangat dipengaruhi oleh
kekuatan yang muncul dari dirinya sendiri (jagad
alitnya) dan dari luar dirinya atau lingkungan alam sekitarnya (jadag gedenya) (Nugroho 1996:18-20,
Magnis-Suseno 1996:82-135; Mulder 1996:34-35; Dojosantosa 1989:5-6).
Berangkat dari keyakinan diri
sebagai pusat yang dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan yang ada disekelilingnya,
manusia jawa dalam kehidupannya selalu berusaha menjaga keseimbangan dan
keharmonian jagadnya, yang meliputi jagad alit dan jagad gede (Herusatoto 1991). Sehingga perwujudan dari konsep
bentuk rumah Jawa merupakan refleksi dari lingkungan alamnya yang sangat
dipengaruhi oleh geometric, yang
sepenuhnya dikuasai oleh kekuatan dari dalam diri sendiri; dan pengaruh
geofisik, yang sangat tergantung pada kekuatan alam lingkungannya.
Kemanunggalan mikrokosmos dan makrokosmos ini diartikan bahwa manusia telah
menjalin hubungan dengan kekuatan di luar dirinya yang jauh lebih besar, dan
diharapkan akan senantiasa terjaga dan mampu meningkatkan kekuatan dirinya.
Kesungguhan manusia Jawa dalam
menjaga keseimbangan dan keselarasan antara mikrokosmos dan makrokosmos dalam
penentuan ruang hidup materialnya tidak hanya diwujudkan dalam pemakaian
istilah omah untuk rumah, tetapi
lebih pada pemakaian simbol pada hampir seluruh bagian yang berkaitan dengan
rumah itu sendiri, baik pada simbol materi maupun simbol perilakunya. Simbol
materi yang dimaksud di sini adalah untuk hal-hal yang bersifat fisik dan dapat
ditangkap secara inderawi, diantaranya adalah: pola tata ruang dan tata massa
bangunan, pola perwujudan bentuk bangunan, penggunaan material bangunan, dan
desain ornamen-ornamen yang melekat. Sedangkan untuk simbol perilaku yang
dimaksud adalah untuk hal-hal yang berkaitan dengan tindakan dari manusia Jawa
berkaitan dengan pembangunan rumahnya, diantaranya adalah mengenai
ritual-ritual, laku batin, dan gugon
tuhon yang menyertai proses pembangunan sebuah rumah. Misalnya, ritual bedah bumi untuk pertanda memulainya
penggalian tanah untuk pondasi rumah, atau ritual munggah penuwun untuk memulai memasang balok kayu paling atas dari
sebuah atap bangunan.
Bagian fisik dari perwujudan
rumah tradisional Jawa yang paling mudah diidentifikasi adalah perwujudan
bentuk atap. Berbeda dengan bangunan-bangunan tradisional lainnya di Nusantara
yang biasanya mengambil filosofi bentuk sebuah perahu, atap bangunan
tradisional Jawa mengambil filosofi bentuk dari sebuah gunung. Pada awalnya
filosofi bentuk gunung tersebut diwujudkan dalam bentuk atap dengan diberi nama
atap Tajug. Pada perkembangannya,
atap Tajug mengalami pengembangan
menjadi atap Joglo (tajug loro = penggabungan dua tajug) dan
penyederhanaan menjadi atap Limasan dan Kampung (Prijotomo 1995; Ismunandar
1986). Di sini tidak akan dibahas panjang lebar mengenai jenis atau tipe-tipe
dari atap tersebut, karena informasi mengenai hal tersebut sudah banyak dibahas
dalam beberapa pustaka mengenai arsitektur tradisional Jawa. Tetapi bahasan
pada tulisan ini lebih diarahkan pada kosmologi Jawa yang menjiwai konsep
bentuk rumah tradisional Jawa.
Dalam sistem struktur bangunan
tradisional Jawa, struktur atap ditopang dan diikat oleh saka (kolom atau tiang), yang kemudian diteruskan ke pondasi
bangunan yang berbentuk umpak (pondasi
setempat yang terbuat dari batu berbentuk trapesium). Kolom utama penyangga
atap bangunan adalah saka guru, yang
berjumlah 4 buah. Jumlah dari saka guru
ini adalah merupakan simbol adanya pengaruh kekuatan yang berasal dari empat
penjuru mata angin, atau biasa disebut konsep Pajupat. Dalam konsep ini, manusia dianggap berada di tengah
perpotongan arah mata angin, tempat yang dianggap mengandung getaran magis yang
amat tinggi. Tempat ini selanjutnya disebut sebagai pancer atau manunggaling keblat
papat.
Dalam kehidupan manusia Jawa gunung
sering dipakai sebagai idea bentuk yang dituangkan dalam berbagai simbol,
khusunya untuk simbol-simbol yang berkenaan dengan sesuatu yang sakral. Hal ini
karena adanya pengaruh kuat keyakinan bahwa gunung atau tempat yang tinggi
adalah tempat yang dianggap suci dan tempat tinggal para Dewa. Selain
dituangkan dalam perwujudan bentuk atap, mitos gunung ini melahirkan konsep punden berundak dalam arsitektur
tradisional Jawa, yaitu suatu konsep ruang yang menganggap ruang yang lebih
tinggi adalah ruang yang lebih sakral (Pitana 2001:143-146; Pitana 2002).
Konstruksi Sosial: Tahapan Penyucian dan Pembentukan Ruang Hidup Material
Kesadaran keberadaan manusia
Jawa sebagai makhluk pribadi dan sosial dapat dilihat dari moral etika hidup
kesehariannya. Dengan moral etika ini manusia Jawa sangat menghargai adanya
perbedaan. Perbedaan jenjang kedudukan yang ada dalam masyarakat dimaknai
sebagai perbedaan peran dan tanggung jawab. Bahkan kesadaran akan perbedaan ini
meruapakan salah satu bentuk cara manusia Jawa dalam menciptakan keseimbangan
dan keselarasan hidupnya. Mereka
mengenal adanya tiga moral etika sebagai pengatur kehidupan sosialnya dengan
tidak mengabaikan keberadaannya sebagai makhluk pribadi. Pertama, moral etika yang digunakan dalam kelompok terkecil, yaitu
lingkup keluarga. Moral etika ini disebut dengan moral etika keluarga. Kedua, moral etika antar keluarga, yaitu
moral etika yang digunakan dalam kehidupan kelompok yang lebih besar atau antar
keluarga. Ketiga, moral etika yang
digunakan dalam lingkup masyarakat luas. Pada praktek kesehariannya, manusia
Jawa lebih megutamakan moral etika yang lebih luas, atau dalam arti lain
manusia Jawa lebih mengutamakan kepentingan bersama dari pada kepentingan
pribadi atau kelompok yang lebih kecil (Herusatoto 1991; Magnis-Suseno 1996).
Tingkatan jenjang atau
perbedaan status sosial masyarakat Jawa dalam kehidupan keseharian dapat
dilihat dari penggunaan bahasanya. Bahasa Jawa secara tajam membedakan antara ngoko (kasar) dengan kromo (halus). Ngoko yaitu bahasa yang digunakan oleh rakyat biasa atau bahasa
yang dipakai oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda, atau orang yang
memiliki status sosial lebih tinggi ke yang lebih rendah. Sedangkan, kromo adalah bahasa orang bangsawan atau
bahasa yang digunakan oleh rakyat jelata kepada bangsawan atau orang yang lebih
muda ke yang lebih tua. Diantara ngoko dan
kromo ada bahasa madya yang lebih berfungsi sebagai bahasa perhubungan atau bahasa
yang biasa dipakai oleh para bangsawan kepada rakyat biasa (Pitana 2001:27;
Moedjanto 1993:53-94).
Bagi manusia Jawa rumah
merupakan ungkapan hakikat penghayatan terhadap kehidupan. Apabila pengaturan
pengunaan bahasa pada pengaturan hirarki antara para bangsawan dan rakyat di
atas merupakan penentuan ruang hirarki strata sosial bagi kehidupan manusia
Jawa, maka dapat dipahami bahwa arsitektur tradisional Jawa merupakan penentuan
ruang hidup material manusia Jawa. Penggunaan sekat dan dinding pembatas pada
rumah tidak dimaknai sebagai pembatas dengan alam, tetapi lebih merupakan
penegasan terhadap ketentuan moral etika. Secara arsitektural, pola tata ruang
yang ada pada bangunan rumah tradisional Jawa dapat jelas diidentifikasikan
tahapan penyucian atau tingkat kesakralan ruangnya. Secara visual, semakin
tertutup suatu ruang, semakin tinggi tingkat kesakralannya.
Dalam hirarki pola tata ruang
hidup material, struktur ruang rumah Jawa dengan halaman tertutup (pagar),
terdiri dari bangunan induk dan bangunan tambahan. Pagar disini lebih dimaknai
sebagai penciptaan batas moral etika yang tetap memungkinkan terjadinya
interaksi dengan dunia luar yang lebih luas. Dalam konteks tahapan penyucian,
seperti halnya mitos gunung sebagai tempat suci, puncak gunung adalah berada di
tempat yang tertinggi dan dikelilingi tempat yang lebih rendah, pada rumah
tradisional Jawa tempat yang paling suci adalah memiliki lantai paling tinggi
dibanding ruang-ruang lainnya, dan posisi ruang tersebut sudah pasti ada pada
bangunan induk atau bangunan inti yang dikelilingi dengan bangunan tambahan dan
ruang-ruang lainnya. Bangunan inti rumah Jawa secara berurutan terdiri dari pendopo dan pringgitan, dalem agung, dapur dan pekiwan. Pendopo
dan pringgitan di sini merupakan
bangunan profan yang berada di bagian depan, dan berfungsi sebagai bagian
penerima. Dalem agung adalah sebagai
bangunan private yang sakral.
Sedangkan dapur dan pekiwan adalah bagian pelayanan yang
bersifat profane.
Penggunaan sumbu kosmis yang
merupakan penerapan konsep pajupat dalam penentuan orientasi bangunan juga
dipengaruhi oleh kesadaran terhadap tingkatan suatu jenjang kehidupan di
masyarakat. Sebagai contoh, seperti yang dipaparkan oleh Frick (1997:84) bahwa
rumah tradisional Jawa pada umunya menggunakan orientasi terhadap sumbu kosmis
dari arah Utara – Selatan, yaitu tempat yang diyakini sebagai tempat tinggal
penguasa Laut Selatan dan Dewi pelindung kerajaan Mataram. Sedangkan orientasi
terhadap sumbu kosmis Barat – Timur adalah tabu bagi rakyat biasa, karena arah
Timur adalah dianggap sudah menjadi bagian Karaton Mataram, selain juga arah
Timur diyakini sebagai tempat tinggal Dewa
Yamadipati (Dewa pencabut nyawa).
Perwujudan bentuk atap rumah
tradisional Jawa sangat ditentukan oleh kesadaran akan moral etika
kemasyarakatan yang belaku. Dalam kaitan dengan tahap penyucian, perwujudan
atap bangunan tradisional Jawa dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, atap yang biasa digunakan oleh
rakyat biasa. Bentuk atap ini adalah bentuk-bentuk sederhana, seperti atap kampung dan limasan. Kedua, atap yang
biasa digunakan untuk kaum bangsawan adalah atap joglo dan pengembangannya. Ketiga,
atap tajug dan pengembangannya, yaitu
atap yang tabu apabila digunakan untuk banguan rumah tinggal, dan hanya cocok
untuk bangunan-bangunan sakral seperti masjid atau kuil (Frick 1997:133).
Dekonstruksi Mitos Penyucian dan Pembentukan Ruang
Perubahan yang terjadi secara
meluas dalam masyarakat bukan saja menjelaskan bagaimana interaksi masyarakat
dengan berbagai faktor yang menentukan penataan sosial secara meluas (Abdullah
2006:143). Perubahan pemahaman terhadap suatu mitos dalam suatu masyarakat
harus dilihat dalam konteks perubahan global yang terjadi dan memiliki pengaruh
dalam penataan sosial hingga ke tingkat yang paling kecil. Hal ini juga
disebabkan oleh globalisasi yang membutuhkan respon yang tepat karena ia
memaksa adanya strategi yang tepat. Respon dan strategi ini adalah merupakan
bagian dari proses sikap hidup manusia.
Sikap hidup manusia merupakan
aktualisai dari penghayatan terhadap kehidupannya. Bagi manusia Jawa, rumah
sebagai ruang hidup material merupakan ungkapan hakikat penghayatan tersebut.
Proses terbentuknya suatu respon dan strategi dalam menyikapi perubahan sebagai
akibat globalisasi telah menjadikan batas-batas sosial budaya masyarakat Jawa
semakin luas dan kabur, perubahan karakter komunitas semakin mencolok,
ikatan-ikatan tradisional semakin melemah karena otonomi individu-individu
semakin kuat, dan nilai-nilai tradisional yang merupakan acuan kebudayaan
generik harus didekonstruksikan dan tawar-menawar terhadap nilai-nilai yang
berlaku menjadikan setiap individu dalam suatu masyarakat memiliki banyak
pilihan dalam menentukan sikap hidupnya. Pada akhirnya mitos penyucian dalam
pembentukan ruang hidup material pun tidak lagi menjadi acuan baku yang secara
tradisi menyertai perwujudannya dalam bentuk rumah manusia Jawa (Abdullah
2007).
Negosiasi nilai yang terjadi
akibat interaksi dengan dunia global yang ada membawa nilai-nilai tradisional
budaya Jawa masuk ke dalam kebudayaan diferensial. Strata sosial yang pada
awalnya menjadi batas-batas konstruksi sosial masyarakat Jawa menjadi kabur
dengan semakin menonjolnya identitas diri dari masing-masing individu. Status
sosial sebagai bangsawan atau rakyat biasa bukan lagi dilihat sebagai takdir
yang harus diterima apa adanya, melainkan menjadi sebuah pilihan yang harus
diperjuangkan. Kompleksitas realitas ini didorong dengan globalisasi yang tak
dapat dihindari dan pasar yang telah berubah menjadi kekuatan dominan dalam
pembentukan nilai dan tatanan sosial (Abdullah 2006:143). Terdapat dua
kompleksitas realitas yang berkaitan dengan penentuan ruang hidup material
manusia Jawa. Pertama, kompleksitas
realitas ekternal yang menempatkan dominasi pasar sebagai kekuatan pembentuk
nilai dan tatanan sosial. Perkembangan suatu wilayah hunian yang begitu cepat
akibat peran pengembang dan bisnis property menjadikan manusia lebih menyukai
tinggal di daerah yang memiliki kelengkapan dan kemudahan fasilitas. Akibatnya
suatu wilayah hunian strategis menjadi incaran dan lahan hunian yang tersedia
semakin menipis. Sehingga nilai dan norma tradisi dalam pembangunan rumah
tinggal manusia Jawa dinegosiasikan menjadi sesuatu yang minimalis. Mitos
penyucian dan pembentukan ruang hidup material manusia Jawa, yang pada awalnya
sangat ditentukan oleh prinsip moral etika, telah disederhanakan oleh
prinsip-prinsip komunikasi yang padat dan canggih. Kedua, kompleksitas realitas internal yang dimiliki dan terdapat
pada masing-masing individu manusia Jawa itu sendiri. Kemampuan ekonomi
masing-masing individu dan lunturnya kepercayaan mistis telah menjadikan
nilai-nilai yang berhubungan dengan arsitektur tradisional Jawa seperti primbon, kawruh kalang, ataupun gugon tuhon menjadi tidak popular karena
semua itu dianggap tidak ekonomis dan tidak rasional.
Subjektivitas: Arsitektur sebagai Simbol Orientasi Diri dan Refleksi Sikap
Hidup Manusia Jawa
Kalau kuatnya pengaruh
globalisasi dipercaya mampu menggeser nilai dan norma etika tradisional budaya
Jawa yang ada, bukan berarti nilai dan norma tersebut telah tergantikan secara
total. Secara generik nilai dan norma tersebut melekat dan diwariskan dari
generasi ke generasi dan akan tetap ada kendati telah mengalami negosiasi
akibat adanya interaksi. Minimalisasi konsep arsitektural pada penciptaan ruang
hidup material akibat pengaruh ekternal bukanlah sesuatu yang begitu saja
terjadi. Semua itu telah melalui proses tawar-menawar dan mendatangkan respon
cerdas dengan menggunakan strategi tepat dalam menentukan sikap hidup manusia
Jawa. Dalam kasus perencanaan dan pembangunan suatu kawasan perumahan di Jawa,
seorang arsitek tidak lagi menggunakan orientasi sumbu kosmis Utara – Selatan
karena dianggap akan membatasi kreativitas desain dan tidak optimalnya pola
tata ruang kawasan hunian. Nampak jelas dominasi pasar telah nampak di sini.
Akan tetapi, di sisi lain arsitek sedapat mungkin menghindari munculnya desain
kawasan yang menempatkan suatu bangunan rumah pada posisi tusuk sate, karena pada kenyataannya rumah tersebut akan dihindari
oleh calon pembeli karena diyakini akan mendatangkan sial bagi penghuninya.
Mitos pamali (tabu) pada rumah tusuk
sate (rumah yang berada pada tepat menghadap arah frontal jalan pada suatu
pertigaan) yang bagi masyarakat Jawa dianggap mendatangkan sial bagi
penghuninya adalah suatu mitos yang hidup bukan tanpa suatu alasan. Sejalan
dengan cara manusia Jawa dalam merangkai ilmu pengetahuan, mitos pada dasarnya
produk dari perbendaharaan ilmu pengetahuan manusia Jawa yang didapat dari
kepekaan dan kemampuannya dalam melakukan pengamatan terhadap semua kejadian
dan keberadaan lingkungannya, pengungkapan dan pengenalan masalah, serta
pemecahan masalah maupun penerapan hasilnya. Posisi rumah tusuk sate secara nalar sederhana memiliki tiga potensi masalah. Pertama, masalah keamanan karena ancaman
lalu lintas. Kedua, masalah
kenyamanan, terutama dari masalah kebisingan dan pengaruh cahaya kendaraan pada
malam hari. Ketiga, masalah kesehatan
yang disebabkan banyaknya debu dan kerasnya tiupan angin yang menerpa langsung
pada bangunan rumah, sehingga apabila bangunan rumah tidak memiliki sistem
sirkulasi penghawaan alami yang baik akan menyebabkan gangguan kesehatan bagi
penghuninya. Contoh lahirnya mitos ini
terangkai dalam suatu proses panjang lahirnya suatu ilmu pengetahuan yang dalam
dunia kejawen dikenal sebagai ilmu nitik, sedangkan dalam ilmu modern
dianggap sebagai mitos.
Sejalan dengan bertambahnya
kemampuan ekonomi dari keluarga-keluarga Jawa yang telah menempati sebuah rumah
di suatu kawasan hunian modern, mereka secara bertahap mencoba mengadakan suatu
perubahan wujud dari fisik bangunan rumah tinggalnya. Desain rumah dari
pengembang yang mereka tempati sedikit demi sedikit akan mereka sesuaikan
dengan nilai dan norma budaya yang secara generik mereka warisi. Dimulai dari
pola tata ruang yang sedapat mungkin mereka manfaatkan demi kedekatan pada
nilai dan norma yang mereka miliki, tampilan fisik juga tidak akan luput dari
keinginan untuk menyesuaikannya. Proses munculnya respon dan strategi inilah
menunjukkan adanya reproduksi simbolik budaya, dalam hal ini arsitektur
tradisional Jawa.
Secara tradisional penentuan
tahap penyucian dan pembentukan ruang hidup material diwujudkan dengan massa
bangunan dan batas-batas ruang yang jelas. Sakral dan profan dibedakan dengan
bagian bangunan yang terpisah. Strata sosial menentukan perwujudan bangunan
rumah tinggal yang diwakili dengan tipe atap. Orientasi bangunan rumah tinggal
rakyat biasa menggunakan sumbu kosmis Utara –Selatan dan tidak boleh sama
dengan sumbu kosmis yang digunakan oleh karaton Barat – Timur. Apabila semua
yang tersebut itu diangap sebagai mitos Jawa, dapat dipastikan nilai dan norma
yang terkandung di dalamnya tidak akan hilang, tetapi mengalami penawaran dan
pergeseran dalam pengungkapan bentuk simbol. Penawaran dan pergeseran dalam
pengungkapan yang dimaksud adalah penyederhanaan perwujudan.
Dari sudut pandang struktural
Koentjaraningrat (1994) memaparkan gambaran detail kebudayaan Jawa sebagai
kebudayaan yang memiliki ciri ingin selalu mempertahankan keasliannya. Pengaruh
kebudayaan lain yang sesuai dan dapat diterima hanya sebagai pengkayaan. Hal
ini dapat dilihat dari sejarah kebudayaan Jawa itu sendiri. Filsafat hidup atau
pandangan hidup manusia Jawa yang dikenal dengan ngelmu kejawen (ngelmu kasampurnan atau ngelmu kebatinan Jawa) adalah filsafat hidup yang berinti pada
mistik Jawa yang banyak dipengaruhi oleh mistik Hindu, Budha, Islam, Kristen,
dan lain-lain.
Untuk memahami ruang hidup
material manusia Jawa sebagai simbol orientasi diri dan refleksi sikap hidupnya
sudut pandang struktural tersebut perlu mendapat pendekatan subjektif dengan
didasari pada beberapa asumsi. Pertama,
kehidupan pribadi manusia Jawa sarat dengan simbol. Mereka selalu berpegang
pada cipta (rasio), rasa (perasaan), dan karsa (kehendak) dalam usaha
melaksanakan karya (pekerjaan),
sehingga tidak pernah tergesa-gesa dalam membuat suatu keputusan. Hal ini
terjadi pada perwujudan bentuk dalam menuangkan idea yang dapat menyentuh dan
merangsang rasa perasaan terdalam. Pesan dan ajaran falsafah hidupnya
menentukan orientasi diri dan sikap hidupnya yang terungkap dalam wujud lambang
atau sinamuning samudono. Orang lain
dipaksa untuk mempelajari dan mengupasnya lebih dahulu dengan penuh rasa
perasaan yang dalam, sehingga dapat mengungkap inti sari pesan dan ajaran
tersebut. Meskipun ungkapan simbolnya tidak mudah dimengerti (karena ungkapan
simbolnya selalu bersentuhan dengan mistik), semua karya dipertanggungjawabkan
tidak hanya sebatas kenyataan duniawi saja, tetapi sampai kepada kekuatan yang
tak nampak ialah Tuhan Sang Kuasa Mutlak, sehinga ungkapan yang muncul lebih
banyak ke arah dunia religius. Karenanya segala tindakannya merupakan sesuatu
yang berlandasan dan beralasan. Kedua,
kehidupan sosial manusia Jawa merupakan cermin kerukunan yang saling menghargai
dan menghormati sesama, sehingga adanya perbedaan jenjang dimaknainya sebagai
adanya perbedaan peran dan tanggung jawab. Ketiga,
ruang hidup manusia Jawa yang terukur dan nyata. Pola bentuk ruang ini
mengikuti pola prilaku kehidupan dan keadaan alamnya. Rumah sebagai ruang hidup
materialnya dianggap sebagai miniatur kosmosnya yang memiliki unsur-unsur batas
yang nyata dengan suasananya, yang terbentuk karena pertimbangan pandangan yang
menyatakan rumah adalah sebagai status kemantaban rumah tangga, dan kerukunan
yang menjadikan bangunan rumah keluarga Jawa selalu dipersiapkan tidak hanya
terbatas pada kepentingan keluarga inti saja.
Penutup
Usaha perencanaan dan
perancangan arsitektur dalam upayanya menciptakan ruang hidup material bagi
manusia tidak dapat lepas dari nilai dan norma yang berlaku dalam budayanya.
Secara khusus bagi manusia Jawa, yang ciri kebudayaannya ingin selalu
mempertahankan keasliannya, menempatkan pengaruh kebudayaan lain yang sesuai
dan dapat diterima hanya sebagai pengkayaan. Dalam kaitannya dengan arsitektur
tradisional Jawa, khususnya pada bangunan rumah atau ruang hidup material
manusia Jawa, pengaruh adanya interaksi dengan lingkungan luar menjadikan nilai
dan norma tradisi yang bersifat generik telah dinegosiasikan secara
terus-menerus dan mengalami suatu reproduksi.
Sebagai akhir dari makalah
ini, penulis merasa perlu menyampaikan suatu saran khususnya bagi pekerjaan
perencanaan dan perancangan suatu kawasan hunian bagi masyarakat Jawa. Bagi
perencana ataupun arsitek dalam upaya menciptakan suatu kawasan hunian bagi
masyarakat Jawa sebaiknya memperhatikan ketiga asumsi yang penulis paparkan di
atas. Selanjutnya dalam perwujudan desain rumah yang dihasilkan faktor
fleksibilitas dan ekspansibilitas bangunan adalah merupakan dua hal penting. Faktor
fleksibilitas yang dimaksud adalah kemudahan untuk mengalami suatu perubahan
sejalan dengan kemampuan dan keinginan penghuni. Sedangkan faktor
ekspansibilitas yang dimaksudkan adalah masih adanya kemungkinan mengalami
suatu pengembangan sesuai dengan kemampuan, keinginan, dan tuntutan keadaan
yang dimiliki oleh penghuninya. Adanya kedua falktor ini dimaksudkan untuk
dapat menyelaraskan dengan tiga asumsi yang telah penulis paparkan di
atas.
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_____________, 2007. Reproduksi Kebudayaan. Materi Kuliah
disampaikan pada S3 Kajian Budaya Universitas Udayana, Tanggal 17 Februari
2007.
Dojosantosa 1989. Unsur Religius Dalam Sastra Jawa . Aneka
Ilmu, Semarang.
Frick, H. 1997. Pola Struktur dan Teknik Bangunan di
Indonesia. Penerbit Kanisius, Yogyakarta
and Soegijapranoto
University Press, Semarang.
Herusatoto, B. 1991. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Hanindita,
Yogyakarta.
Ismunandar, R.K. 1986. Joglo: Arsitektur Rumah Tradisional Jawa.
Dahara Prize, Semarang.
Koentjaraningrat 1994. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Lombard, D. 1996. Nusa
Jawa: Silang Budaya - The Third Part: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris.
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Magnis-Suseno, F. 1996. Etika Jawa : Sebuah Analisa Fasafi Tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Mangunwijaya, Yusuf B. 1992. Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-dendi
Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis.
Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Moedjanto, G. 1993. The Concept of Power in Javanese Culture. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Mulder, N. 1996.
Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, 7th edn, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta.
Nugroho, A. 1996. Menguak Hong Shui Kejawen, 2nd
edn,
Aneka, Solo.
Pitana, T.S. 2001. The Javanese Cosmology and Its Influence on Javanese Architecture
(thesis). Australia:
James Cook University.
Pitana, T.S. 2002.
Sacred Places in Java: The Concept of Site Selection in Javanese Architecture.
Architectural Science Review, Vol.45.1/March 2002. University of Sydney, Australia.
Prijotomo, J. 1995. Petungan: Sistem Ukuran
Dalam Arsitektur Jawa. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Rapoport, Amos 1969. House Form and Culture. Englewood Cliffs,N.J.,
Prentice-Hall, Inc.
[*] Staff Pengajar dan Pengelola Laboratorium
Arsitektur Jawa, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar