Jumat, 20 April 2012

DALEM KEPANGERANAN


DALEM KEPANGERANAN
KERATON KASUNANAN SURAKARTA
Oleh: Dr. Titis S. Pitana, S.T., M.Trop.Arch.





Sebelum menginjak pembahasan tentang dalem kepangeranan, dirasa perlu untuk lebih dulu menengok pengertian dan siapa-siapa yang sebenarnya disebut sebagai seorang Pangeran. Terlepas dari terminologi kepangkatan yang ada di dalam struktur kepangkatan Karaton Surakarta (dalam tatanan adat kehidupan masyarakat Jawa), konotasi pemahaman yang melekat mengenai seorang Pangeran, yaitu putra atau menantu Sinuhun (Raja). Sementara itu, di dalam sruktur adat istiadat karaton, Pangeran adalah merupakan terminologi kepangkatan di dalam Karaton Jawa yang mempunyai kriteria graduasi dan stratifikasi berderajad tinggi.  Kriteria pertama pada umumnya, Pangeran adalah Putra Sinuhun (Raja) yang sudah dewasa dan dianggap sudah memiliki kapasitas dan kemampuan yang memadai berdasarkan penilaian prerogatif Sinuhun (Raja). 
Seorang Putera Raja, sebelum dewasa dan mendapat sebutan sebagai Pangeran, lazimnya diberi gelar GRM (Gusti Raden Mas). Setelah melalui penilaian yang dilakukan oleh Sinuhun (Raja), seorang putra Sinuhun bisa diangkat menjadi Pangeran dengan sebutan GPH (Gusti Pangèran Haryo).
Untuk tatanan adat kehidupan Karaton Surakarta Hadiningrat, gelar atau pangkat pangeran memiliki beberapa tataran pangkat lain yang pemberian dan pengangkatannya merupakan wewenang sepenuhnya Raja, misalnya: KGPH singkatan dari Kanjeng Gusti Pangeran Haryo; KGPHA singkatan dari Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati (pada masa tahta PB. XII sampai saat ini belum ada yang diangkat menjadi Adipati Anom semacam Putra Mahkota yang secara formal dan otomatis akan menggantikan Tahta Sinuhun bila sewaktu-waktu Sinuhun mangkat); KPH singkatan dari Kanjeng Pengeran Haryo; dan KP singkatan dari Kanjeng Pangeran.
Dari keterangan di atas dapat dilihat bahwa terminologi predikat atau sebutan Pangèran tersebut tidak selalu berarti predikat (Kekancingan) yang diberikan hanya kepada Putra Sinuhun, tetapi juga kepada para Sesepuh atau Pemuka Karaton, terutama yang masih memiliki hubungan darah sentana yang dekat dengan Tahta Sinuhun.
Untuk pembahasan Dalem Kepangeranan, akan lebih difokuskan pada Dalem-dalem Kepangeranan yang dibangun sekitar masa ketahtaan SISK PB. IX hingga SISK PB. X.  Hal ini dikarenakan, meskipun  pada masa pemerintahan Raja-raja sebelumnya sudah terdapat bangunan megah dan luas yang disebut Dalem Kepangeranan, akan tetapi type produk Dalem Kepangeranan yang paling banyak dikenali dan lebih jelas terlihat karakter konsepnya, yaitu dalem-dalem Kepangeranan yang dibangun pada masa PB IX dan PB X. Hal tersebut dikarenakan pada masa sebelumnya (PB XI dan PB XII), meski upaya pelestarian diperjuangkan semaksimal mungkin, tetapi karena pada masa itu situasi dan kondisi khususnya bagi Karaton Surakarta sedang mengalami masa yang serba sulit, sehingga banyak Dalem Kepangeranan yang sudah rata dengan tanah dan menjadi lahan tidur, ataupun sudah berpindah tangan yang kemudian berubah bentuk dan fungsi menjadi sebuah hotel.
Adapun Dalem Kepangèranan yang masih dikenal masyarakat Surakarta sampai sekarang ini,  yakni sebagai berikut.
1.        Dalem MANGKUBUMEN yang terletak di bagian dalam Beteng Baluwarti sebelah Barat Cempuri Karaton.
2.        Dalem POERWODININGRATAN yang terletak di bagian dalam Beteng Baluwarti sebelah Barat Laut Cempuri Karaton.
3.   Dalem SURYOHAMIJAYAN yang terletak di bagian dalam Beteng Baluwarti sebelah Utara Cempuri Karaton. 
4.   Dalem BROTODININGRATAN yang terletak di bagian dalam Beteng Baluwarti sebelah Barat-Daya Cempuri Karaton, tepatnya di ujung pertigaan antara Kanjengan Mangkubumen dan gerbang butulan kulon (lawang gapit kulon).

5.       Dalem MLOYOKUSUMAN yang terletak di bagian dalam Beteng Baluwarti sebelah Timur-Laut Cempuri Karaton (sekarang lokasinya masuk di dalam kampung Mloyosuman). 

6.    Dalem SURYANINGRATAN yang terletak di bagian dalam Beteng Baluwarti sebelah Timur Cempuri Karaton (sekarang lokasinya masuk di dalam kampung Mloyosuman).
7.    Dalem NOTONEGARAN yang terletak di bagian dalam Beteng Baluwarti sebelah Tenggara Cempuri Karaton (sekarang lokasinya masuk di dalam kampung Tamtaman).
8.    Dalem COKRONEGARAN yang terletak di bagian dalam Beteng Baluwarti sebelah Selatan Cempuri Karaton.
9.     Dalem NGABEYAN yang terletak di bagian dalam Beteng Baluwarti sebelah Selatan Cempuri Karaton. Dalem Kepengeranan ini sekarang menjadi milik BROBOSUTEDJO, dan telah mengalami renovasi pada tahun 1986.

10.    Dalem SOMABRATAN yang terletak di bagian luar Beteng Baluwarti sebelah Selatan Cempuri Karaton, sebelah Timur Alun-alun kidul (sekarang masuk dalam kawasan Kelurahan Gajahan).
11.    Dalem JAYASUMAN yang terletak di bagian luar Beteng Baluwarti sebelah selatan Cempuri Karaton, sebelah Timur Alun-alun kidul (sekarang masuk dalam kawasan Kelurahan Gajahan).
12.    Dalem HADIWIJAYAN yang terletak di bagian luar Beteng Baluwarti sebelah Barat Cempuri Karaton (sekarang masuk dalam kawasan Kelurahan Gajahan).
13.    Dalem SURYABRATAN yang terletak di bagian luar Beteng Baluwarti sebelah Selatan Cempuri Karaton, sebelah Barat-Daya Alun-alun kidul (sudah rata tanah karena beralih kepemilikannya ke PT. PATRA JASA-PERTAMINA dan direncanakan akan dibangun menjadi sebuah hotel (sekarang masuk dalam kawasan Kelurahan Danukusuman).
14.    Dalem WURYANINGRATAN yang terletak di bagian luar Beteng Baluwarti di lokasi arah Barat Karaton, di tengah kota Sala. Sekarang berada di Jalan Slamet Riyadi yang dulunya disebut Groote Postweg (sekarang pemiliknya sudah ganti PT.DANARHADI, dan dijadikan Museum Batik, fisik bentuk bangunan relatif dilestarikan).
15.    Dalem KUSUMOYUDAN yang terletak di bagian luar Beteng Baluwarti dilokasi arah Utara Karaton, ditengah kota Sala. Sekarang berada di dalam kawasan kampung Sumoyudan, dan dibangun kembali menjadi Hotel Sahid Kusuma (sebagian bangunannya relatif dilestarikan dan sebagian sudah terlalu modern).
       Dengan mengacu pada bentuk dan tampilan bangunan Dalem-dalem Kepangeranan yang tersebut di atas, secara arsitektural bangunan-bangunan tersebut memiliki suatu konsep dasar yang sama, yaitu konsep arsitektur Jawa. Keunikan arsitektur Jawa yang memiliki integralitas aspek-aspek filosofis, ekologi alami bahan bangunan, klimatologi, numerology (petung), modul ukuran, bahkan managemen site dan stratifikasi ketinggian bangunan dalam suatu kawasan, menjadikan bentuk-bentuk arsitektur sebagai bentuk yang sarat dengan makna-makna mistis dan simbolis.

Konsep arsitektur Jawa sesungguhnya adalah suatu konsep arsitektur yang berdimensi ganda, yaitu vertical metafisik, dan horizontal alam-insani-hayati, atau dengan istilah lain, arsitektur jawa merupakan refleksi dari dua konsep kejawen, sangkan paraning dumadi dan manunggaling kawulo gusti.
Kembali ke Dalem Kepangeranan, karena predikat Pangeran merupakan personifikasi yang memiliki martabat atau stratifikasi sosial dan kekerabatan yang tinggi, yaitu dekat dengan lingkaran kekuasaan Raja, sehingga Dalem Kepangeranan harus disesuaikan dengan rujukan angger-angger atau tatanan yang termaktub dalam Pranatan Yasa Wewangunan, yang disebut SERAT KALANG, dimana di dalamnya memiliki rujukan pranatan yang sangat akurat dan komplek, bahkan stratifikasi sosial seperti Pangeran atau kaum bangsawan yang dalam arsitektur Jawa memiliki stratifikasi aplikasi yang ditunjukkan di dalam bentuk atap.
Pada dasarnya bentuk atap arsitektur Jawa dapat dikelompokkan ke dalam lima bentuk baku yang merupakan bentuk pengembangan dari bentuk dasar, atap tajug atau masjid. Kelima bentuk baku tersebut yakni sebagai berikut.

1)      Atap Tajug atau Masjid
2)      Atap Joglo atau Tajug Loro
3)      Atap Limasan
4)      Atap kampung
5)      Atap Panggang-pe

Dilihat dari bentuk fisik dan pola tata ruang dan tata site dari Dalem Kepangeran, secara sederhana filosofi dan skala dasarnya memiliki kesamaan dengan konsep arsitektur Jawa (Arsitektur Suluk) yang digunakan oleh Karaton Surakarta. Hal tersebut terbukti dengan terdapatnya bagian-bagian seperti: pola pagar keliling, kori (gerbang) masuk, topengan, emperan, pendopo, pringgitan, ruang nDalem, penyekat patangaring yang juga terdapat lambang petanen, senthong tengah (krobongan), senthong kiwo, dan senthong tengen, gadri kiwo dan tengen, serta gandhok kiwo dan tengen. Hal ini merupakan refleksi pola tata site-plan bangunan inti Karaton serta Dhatuloyo, namun dalam skala yang lebih kecil dan lebih sederhana.

Kamis, 09 Februari 2012

GALAU 02


KALAU HANYA
(Untuk Peserta Yudisium 124) 

Kalau kami hanya bisa bermimpi
Kalau kami hanya bisa mengenang
Biarlah mimpi dan kenangan itu hadir dan memperkaya bathin ini
Biarlah semua balada yang pernah ada menjadi bagian hidup ini
Kami akan cukup bahagia memilikinya

Kalau kami hanya bisa memimpikan kalian
Kalau kami hanya bisa memandang kalian
Ijinkanlah semua itu tetap kami lakukan
Ijinkanlah semua itu ada dan mengisi rongga bathin yang hilang
Kami akan cukup bangga mendapatkannya
Kendati kami tidak akan mampu mewujudkannya
Walau kebahagian itu pernah ada saat kita bersama memilikinya
Namun ketika hadir keinginan untuk dapat memiliki kalian selamanya
Harus kami biarkan keinginan itu berlalu
Berganti dengan mimpi-mimpi pelaga hati semata

Kalau kami hanya bisa memendam segenap rasa selama bersama
Kalau kami harus selalu berpura-pura selama bersama
Akan kami jalani semua itu dengan kebesaran jiwa
Walau harus kami penjarakan segenap raga di balik jiwa yang meronta
Karena keduanya tidak harus pergi bersama
Dan keduanya bukan dari zat yang sama

Kalau kami hanya bisa hadir dalam jiwa kalian di kemudian hari
Kalau kami hanya bisa merasakan getaran dari sorot mata kalian saat ini
Akan kami terima semua ini dengan rasa syukur dan bangga
Terlebih ketika kami tahu
Betapa kalian juga hadirkan kami dalam jiwa kebersamaan

Kalau kenyataan ini harus kita terima
Kalau kepura-puraan selama ini harus kita jalani

Akan kami terima dan syukuri dengan bangga

Walau ketulusan rasa saat ini telah terpidana
Dalam bentuk perpisahan demi langkah manusia

Kalau mata ini hanya bisa memandang
Kalau bathin ini tak mampu lagi bisa bicara
Yakinkanlah…..bahwa kasih kami selalu ada sejak awal mula
Bersama ...
hingga saat ini...
saat kalian hadapi jalan bebas terbentang... yang sesaat kemudian
kalian harus tentukan pilihan.
Ijinkan...kami selalu bangga atas keberhasilan kalian.


Kentingan, 17 Januari 2012

GALAU 01


SEBENTUK RASA YANG TAK TERUCAP


Aku datang  hari ini………………..
Jangan pandang aku sebagai teroris dan sebangsanya
Aku bukan akan mengganggu…….
……………rindu yang membawaku pulang………..
untuk sekedar bercerita tentang satu…..dua kata…………..
Aku ingin katakan bahwa hari ini aku rasakan pelukan alam
penuh cinta……………tanpa curiga………
Aku ingin katakan bahwa hari ini aku rasakan belaian alam
penuh kasih……………tanpa kecemburuan………
Aku ingin katakan bahwa hari ini aku temukan kesadaran
dalam hidup ……..tanpa sandiwara dan fatamurgana……….
Aku ingin katakan bahwa hari ini aku temukan kenyataan
dalam cinta………….tanpa janji………….
Kenyataan……….alam akan lebih jujur dalam bercinta
Walau kita telah menelanjangi dan menyetubuhinya
Tak perlu kita berjanji, kemudian mengkhianatinya
Tak perlu kita menuntut janji, kemudian lari dari padanya

Aku datang lagi hari ini……..
Jangan lihat aku sebagai penagih janji!
Aku ingin tanyakan mengapa engkau bukan sebagai alam?
Penuh cinta…..
Penuh kasih……..dalam kenyataan
Kendati engkau bukan alam yang bisa ditelanjangi dan disetubuhi tanpa cinta dan kasih…………..
Aku datang untuk sebuah janji……………
Bukan menuntut janji!
Janji pada diri sendiri, Tuhan, dan alam…………..
Karena ketiganya tak dapat aku bohongi.

Katakanlah aku sedang mimpi
Katakanlah aku mulai gila
…………..TIDAK……………
aku bisa dapatkan segalanya…………itu pasti………
Yah….itu pasti……………….
Karena aku tahu
Jiwa…………dan raga…………..tidak harus selalu bersama
Dan aku tahu…….keduanya bukan dari zat yang sama

Katakanlah, dirimu akan lari
Katakanlah dirimu akan pergi
……..dan aku yakin……………kau tak akan mampu…………
karena kau hanya membawa lari dan pergi ragamu…………bukan jiwamu………..
karena aku ada padanya………dan aku memilikinya
dan aku akan selalu hadir dalam ingatanmu, matamu
dan terus marasuk dalam jiwamu…………..

Aku tahu…….aku tak ‘kan mampu memiliki ragamu
Kendati aku mencintaimu
Aku tahu………aku tak ‘kan mampu bercinta dan meniduri ragamu……
Tapi aku tahu………aku akan selalu hadir dan kau hadirkan dalam
mimpi-mimpimu…….juga ingatanmu………
karena aku ada dalam jiwamu dan engkau ada dalam jiwaku.

Biarkan raga kita saling pergi dan lari
Biarkan raga kita saling mencari cinta
Tapi bukan untuk jiwa kita………..
Karena keberadaannya telah terpidana sebuah janji…..
dalam perjalanan hidup yang tak pernah kita mengerti
Satu hal yang aku mengerti dan aku ingin katakan padamu
…………….aku mencintaimu, tapi aku tak memiliki ragamu…………….

Dari bathin yang pengecut

Sabtu, 04 Februari 2012

Kematian Metafisika Keraton


DEKONSTRUKSI MAKNA DAN KEMATIAN METAFISIKA
ARSITEKTUR KERATON SURAKARTA


Titis S. Pitana
e-mail: titis_pitana@yahoo.com

ABSTRAK

Paper ini merupakan hasil kajian yang berjudul "Dekonstruksi Makna Simbolik Arsitektur Keraton Surakarta". Penelitian ini tidak ditujukan untuk memahami arsitektur Keraton Surakarta sebagai sebuah perwujudan fisik dari ilmu rancang bangun. Dalam kajian ini arsitektur Keraton Surakarta merupakan objek material dari sebuah kajian mengenai dekonstruksi pemaknaan simbol yang mengambil fokus kajian pada tiga masalah, yaitu (1) sebab terjadinya dekonstruksi makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta; (2) proses terjadinya dekonstruksi tersebut; dan (3) implikasi dari dekonstruksi tersebut terhadap kehidupan sosial-budaya keraton dan masyarakat Surakarta.

Kata kunci: dekonstruksi, simbol, arsitektur, Keraton Surakarta

Gambar 1. Kori Brojonolo Lor Kareton Surakarta.


PENDAHULUAN
Ketika roh orang Jawa telah ditelan arus perjalanan waktu (sejarah),  kebudayaan bukanlah ”keyakinan” sebagaimana yang dipahami oleh para pembela budaya (para ahli). Alasan simbolik keraton sebagai upaya menggali makna kebaruan dan kekinian, adalah ”keyakinan” bukan jalan damai untuk memahami budaya pada masa kini. ”Keyakinan” sebagai puncak pemikiran selama ini belum terjangkau oleh akal-rasional dalam tradisi ilmiah, baik positivis maupun interpretatif. Selain itu, ”keyakinan” dalam kajian mistis ketimuran lebih dimaknai sebagai wacana (diskursus) batin daripada dipahami sebagai pemikiran dalam wujud gagasan yang dapat diterima oleh akal dan diterapkan dalam praktik sosial-budaya. Dari dimensi inilah kajian tentang dekontruksi makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta diarahkan untuk melampaui paradoks kebenaran rasionalisme-realisme dan kritisisme hingga intuisionisme untuk sampai kepada apa yang disebut sebagai epistemologi dalam dunia ilmu khususnya dalam khazanah kajian budaya. 
Secara fisik, arsitektur Keraton Surakarta dapat dianggap sebagai karya adiluhung budaya Jawa yang memiliki simbol-simbol yang mengandung makna pesan-pesan dan nasihat bagi generasi berikutnya. Namun, pesan dan nasihat yang tersembunyi di balik simbol-simbol tersebut tidak akan memiliki makna, apabila simbol-simbol tersebut tidak dipahami atau dimengerti. Simbol yang hidup dalam Keraton Surakarta adalah ekspresi suatu hal yang tidak dapat ditandai dengan perwujudan fisik saja. Oleh karena itu, makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta harus tetap dicari sesuai dengan ruang dan waktu si pemakna. Dengan kata lain, interpretasi terhadap simbol yang melingkupi arsitektur Keraton Surakarta tidak akan pernah berhenti atau akan terus-menerus mengalami dekonstruksi. Terlebih lagi, apabila suatu simbol harus dimaknai oleh generasi yang berbeda dan pada ruang dan waktu yang berbeda dari simbol tersebut dibuat. Dengan demikian, dalam memaknai simbol yang terdapat pada pola tata bangunan dan elemen-elemennya perlu dipahami latar belakang sejarah dan proses pembangunannya.
Dekonstruksi dalam pemaknaan simbol yang berkelanjutan haruslah dipandang sebagai suatu proses yang tidak pernah berhenti sehingga makna yang hadir selalu bersifat becoming (menjadi) dan terfragmentasi oleh ruang dan waktu si pemakna. Walaupun sejarah telah berupaya menyusun periodisasi aktivitas manusia sejak beribu-ribu tahun yang lalu, tetapi sebagaimana pandangan totalitas terhadap kehidupan bahwa pada dasarnya dalam sejarah manusia tidak pernah terdapat keterpisahan secara mutlak antara pemikiran, tindakan, ruang, dan waktu sebagai sebuah momen. Demikian juga tidak mudah ditemukan keterpisahan mutlak antara pemikiran dan hasil-hasilnya dalam ruang-ruang kehidupan yang tidak terikat pada waktu secara kontekstual, sebagaimana manusia tidak pernah terpisah dari kebudayaan dan kehidupan sosialnya.
Penelitian ini tidak ditujukan untuk memahami arsitektur Keraton Surakarta sebagai sebuah perwujudan fisik dari ilmu rancang bangun. Dalam kajian ini arsitektur Keraton Surakarta merupakan objek material dari sebuah kajian mengenai dekonstruksi pemaknaan simbol yang mengambil fokus kajian pada tiga masalah, yaitu (1) sebab terjadinya dekonstruksi makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta; (2) proses terjadinya dekonstruksi tersebut; dan (3) implikasi dari dekonstruksi tersebut terhadap kehidupan sosial-budaya keraton dan masyarakat Surakarta.
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konstruksi dan dekonstruksi budaya Jawa yang berakar pada Keraton Surakarta dengan kearifan-kearifan lokalnya yang tercermin dalam arsitektur Keraton Surakarta. Pada gilirannya menemukan dan menjelaskan rekonstruksi budaya tersebut dalam rangka memperkaya budaya nasional sebagai bagian dari kerja keilmuan dalam upaya mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Secara khusus, penelitian ini memiliki tiga tujuan: (1) untuk mengetahui dan memahami kejelasan sebab terjadinya dekonstruksi makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta; (2) untuk mengetahui dan memahami kejelasan proses terjadinya dekonstruksi makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta; dan (3) untuk mengetahui dan memahami kejelasan implikasi dekonstruksi tersebut terhadap kehidupan sosial budaya keraton dan masyarakat Surakarta.
Penelitian ini memiliki dua manfaat. Pertama, secara teoretis, Penelitian ini diharapkan bermanfaat memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang kajian arsitektur dan kajian budaya. Di samping itu, penelitian ini juga menambah dan melengkapi kajian-kajian terdahulu tentang arsitektur Jawa dan arsitektur Nusantara. Selanjutnya, bagi kalangan akademisi dapat digunakan acuan untuk melihat ruang-ruang kosong yang mungkin ditinggalkan oleh penelitian ini. Kedua, secara praktis, Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan memperluas cara pandang masyarakat terhadap kearifan lokal yang dimiliki budaya lokalnya di tengah pengaruh dunia global. Selain itu, hasil penelitian ini dapat digunakan oleh para pengambil kebijakan publik berkaitan dengan kehidupan sosial-budaya.  

PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian bidang ilmu Kajian Budaya dengan menggunakan metode kualitatif dan teknik analisis data secara deskriptif kualitatif dan interpretatif yang menggunakan pendekatan hermeneutik. Secara umum penelitian yang menggunakan analisis kualitatif didefinisikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata dan/atau ungkapan-ungkapan, termasuk di dalamnya tindakan-tindakan yang dapat diamati dengan menekankan pengembangan konsep dan pemahaman pola yang ada pada data; memperhatikan setting dan orang secara holistik sehingga bukan sebagai variabel-variabel terpisah; cenderung bersifat humanistik; pemahaman makna yang menjadi dasar tindakan partisipan; memahami keadaan dalam lingkup yang terbatas; dan lebih merupakan seni kerajinan dengan mengutamakan kemahiran dan keikutsertaan perasaan (Bungin, 2003:147).
Di dalam penelitian ini teori dekonstruksi Derrida diposisikan sebagai teori utama untuk menjawab ketiga rumusan masalah penelitian yang dalam penggunaanya dibantu dengan tiga teori yang lain yang digunakan secara eklektik, yakni (1) teori wacana kuasa dan pengetahuan Foucault; (2) teori semiotika komunikasi visual Eco; dan (3) teori resepsi Jauss.
Dekonstruksi makna simbolik Keraton Surakarta bukan sesuatu yang terjadi begitu saja, melainkan suatu wujud penolakan atas logosentrisme yang telah dibangun berdasarkan metafisika keraton itu sendiri. Dalam hal ini juga dapat dikatakan bahwa dekonstruksi yang terjadi atas makna simbolik Keraton Surakarta merupakan kejadian yang disebabkan oleh kematian metafisika Keraton Surakarta. "Kematian" di sini boleh jadi karena sengaja dibunuh oleh pihak di luar pencipta logosentrisme makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta atau kematian dengan sendirinya akibat pengingkaran metafisika tersebut oleh pihak Keraton Surakarta sendiri atas logosentrisme yang telah dibangunnya.
Kematian metafisika Keraton Surakarta yang merupakan akumulasi dari adanya penolakan atau pengingkaran metafisika itu didorong oleh tiga aspek, yakni (1) aspek perubahan status dan peran Keraton Surakarta, yaitu mulai dari dijadikan boneka kekuasaan Kompeni pada masa kolonial hingga hilangnya status swa-praja dan menjadi benda cagar budaya pada masa republik; (2) aspek Keraton Surakarta dalam konstilasi global, yaitu adanya tekanan rasionalitas modern atas moralitas keraton yang menjadikan Keraton Surakarta sebagai korban kapitalisme dan alat komodifikasi kepariwisataan, sehingga keraton tidak memiliki ruang tersisa untuk dapat mengartikulasikan dirinya sendiri; dan (3) aspek perebutan tahta dan kekuasaan, yaitu munculnya raja kembar akibat perebutan tahta Keraton Surakarta yang mengingkari metafisika kehadiran keraton sebagai pusat kosmos dan panutan budaya Jawa.
Menurut logika berfikir Derridian bahwa pemaknaan simbol arsitektur Keraton Surakarta merupakan proses yang terjadi terus-menerus. Wujud arsitektural merupakan sarana komunikasi visual yang menurut Umberto Eco bahwa dalam pemaknaan simbol seperti ini akan terjadi proses semiosis dan canon, yaitu suatu proses memadukan entitas yang disebut sebagai representamen dangan entitas yang lain yang disebut objek. Proses ini menghasilkan rangkaian hubungan yang tidak berkesudahan. Gerakan yang tidak berujung-pangkal ini oleh Eco dan Derrida dirumuskan menjadi proses semiosis tanpa batas (unlimited semiosis) (Broadbent, 1980:382-383).
Proses ini kemudian digunakan untuk mengetahui dan memahami jejak-jejak dekonstruksi makna simbolik Arsitektur Keraton Surakarta yang yang kejelasannya dapat diketahui dan dipahami melalui tiga proses berikut. Pertama, dekonstruksi makna simbolik "pola tata ruang dan bangunan" yang terjadi melalui tiga proses, yakni (1) dari makna ajaran hidup menjadi warisan budaya; (2) dari makna sakral menjadi profan; dan (3) dari makna simbol birokrasi pemerintahan feodal menjadi tatanan rumah tangga. Kedua, dekonstruksi makna simbolik "perwujudan Arsitektur Keraton Surakarta" yang terjadi melalui empat proses, yakni (1) bentuk bangunan: dari simbol kemegahan menjadi simbol keprihatinan; (2) bangunan penghubung: dari simbol kesadaran ruang menjadi simbol komunikasi; (3) bangunanan pembatas: dari simbol pertahanan kesakralan menjadi batas wilayah; dan (4) ragam hias: dari pesan moral menjadi hiasan bangunan. Ketiga, dekonstruksi makna simbolik "raja dan Keraton Surakarta" yang terjadi melalui tiga proses, yakni (a) Raja Jawa: dari simbol raja-dewa menjadi pengemban budaya Jawa; (b) Keraton Surakarta: dari simbol pusat kosmis menjadi daya tarik wisata; dan (c) lambang Keraton Surakarta: dari simbol kemanunggalan kosmos menjadi aksesori yang diperdagangkan.
Kematian metafisika Keraton Surakarta merupakan penyebab terjadinya dikonstruksi makna simbolik Arsitektur Keraton Surakarta yang telah diperjelas dengan uraian jejak-jejak dekonstruksinya mendatangkan implikasi terhadap kehidupan sosial-budaya Keraton Surakarta dan masyarakat Surakarta. Implikasi yang dimaksud, yakni sebagai berikut. Pertama, terhadap lembaga sosial keraton dan masyarakat Surakarta yang dapat diidentifikasi dari dua fakta sosial, yakni (1) Keraton Surakarta menjadi bagian dari pemerintahan kelurahan; dan (2) komunitas Keraton Surakarta menjadi bagian masyarakat Surakarta. Kedua, terhadap pranata sosial masyarakat Surakarta yang dapat diidentifikasi dari dua fakta sosial, yakni (1) Keraton Surakarta menjadi afinitas kultural masyarakat; dan (2) Keraton Surakarta menjadi lembaga legitimasi bangsawan modern. Ketiga, terhadap sistem kekrabatan dan proses pembentukan nilai yang dapat diidentifikasi dari dua fakta sosial, yakni (1) komunitas Keraton Surakarta menjadi bangsawan ajur-ajer; dan (2) perjuangan Keraton Surakarta menjadi panutan budaya Jawa. Keempat, terhadap ruang kesadaran baru yang dibangun oleh pihak Keraton Surakarta dalam menyikapi segala perubahan akibat modernisme global.
Gambar 2. Pagelaran Keraton Surakarta.

TEMUAN
Pertama, terdapat tiga pihak yang bertindak sebagai subjek yang melakukan dekonstruksi atas makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta, yakni sebagai berikut.
(1)   Penguasa, yang berdasarkan catatan sejarahnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kekuasaan kolonial pada masa penjajahan dan kekuasaan negara pada masa republik. Dalam hal ini, baik kekuasaan kolonial maupun negara merupakan pihak pemegang kunci logosentrisme kapitalis yang membunuh metafisika Keraton Surakarta dan menggantinya dengan rasionalitas modernisme.
(2)   Komunitas Keraton Surakarta, yaitu pihak internal keraton yang dengan kesadarannya atau tidak dengan kesadarannya melakukan isolasi metafisika (kosmologi) Keraton Surakarta dengan menjadikan sakralitas keraton sebagai parodi budaya. Malahan, keterbatasan dimensi material yang lebih bersumber pada masalah ekonomi memiliki korelasi terhadap dimensi kognitif komunitas Keraton Surakarta untuk membiarkan ruang-ruang arsitektural Keraton Surakarta menjadi ruang-ruang kosong tak terawat yang berakibat pada pengingkaran metafisika keraton itu sendiri.
(3)   Masyarakat atau orang-orang di luar Keraton Surakarta yang memiliki respon tubuh spontan atas ruang-ruang kosong arsitektural Keraton Surakarta. Ruang yang selalu dimaknai sebagai wadah kegiatan (representasi kejadian) dipandang perlu untuk selalu diisi dan dimanfaatkan dengan cara yang cenderung mengabaikan metafisika Keraton Surakarta melalui budaya improvisasinya.
Kedua, dalam menjalankan fungsi sebagai institusi kebudayaan (pengemban budaya Jawa), Keraton Surakarta memiliki tiga hambatan pokok, yakni sebagai berikut.
(1)   Hambatan ekonomi, yaitu keterbatasan kemampuan finansial keraton untuk membiayai diri sendiri.
(2)   Hambatan psikologis, yaitu beban psikologis yang ditanggung Keraton Surakarta akibat tidak lagi mempunyai otoritas politik.
(3)   Hambatan sosial, yaitu adanya takdir sejarah yang membuat Keraton Surakarta menjadi pihak yang sering diposisikan, dicurigai, dan dituduh sebagai penganut feodalisme yang bertentangan dengan demokrasi yang dianut Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Gambar 3. Sitihinggil Keraton Surakarta.

SIMPULAN
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan dapat dikemukakan tiga simpulan. Pertama, dekonstruksi yang terjadi atas makna simbolik Keraton Surakarta merupakan kejadian yang disebabkan oleh kematian metafisika Keraton Surakarta yang merupakan akumulasi dari adanya penolakan dan/atau pengingkaran metafisika itu sendiri. Kedua, jejak-jejak dekonstruksi makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta yang terjadi adalah proses dekonstruksi itu sendiri yang terjadi pada tiga dekonstruksi makna simbol, yaitu (1) dekonstruksi makna simbolik "pola tata ruang dan bangunan"; (2) dekonstruksi makna simbolik "perwujudan arsitektur Keraton Surakarta"; dan (3) dekonstruksi makna simbolik "raja dan Keraton Surakarta". Ketiga, dekonstruksi makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta memiliki empat implikasi terhadap kehidupan sosial budaya keraton dan masyarakat Surakarta, yaitu (1) lembaga sosial keraton dan masyarakat Surakarta; (2) pranata sosial masyarakat Surakarta; (3) sistem kekrabatan dan proses pembentukan nilai; dan (4) pembentukan ruang kesadaran baru yang dibangun oleh pihak Keraton Surakarta dalam menyikapi segala perubahan akibat modernisme global.

Daftar Pustaka
Behrend, E.T. 1982. Kraton and Cosmos in Traditional Java. Madison: University of Wiscosin.
Broadbent, G., Bunt, R., and Jencks, C. 1980. Sign, Symbols, and Architecture. New York: John Wiley & Sons Ltd.
Bungin, Burhan. 2006. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Faisal, Sanapiah 2005. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Grenz. Stanley J. 2001. A Primer On Postmodernism Pengantar untuk Memahami Postmodernisme. Terj. Wilson Suwanto. Yogyakarta: Yayasan Andi.
Ibrahim, Julianto 2008. Kraton Surakarta dan Gerakan Anti Swapraja. Jogjakarta: Malioboro Press.
Larson, Goerge D. 1990. Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912 – 1942 (terjemahan oleh: Lapian, A.B.). Yogyakarta: Gajah Mada Press.
Marsudi 2001. "Nilai Arsitektur Pada Simbolisme Keraton Kasunanan Surakarta" (tesis). Semarang: Progam Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Santosa, Imam 2006. "Kajian Estetika dan Unsur Pembentuknya pada Keraton Surakarta" (disertasi). Bandung: Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung.
Setiadi, B., dkk. 2000. Raja di Alam Republik: Karaton Surakarta dan Paku Buwono XII. Jakarta: Bina Rena Pariwara.
Soeratman, Darsiti 1989. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta, 1830 – 1939. Yogyakarta: Taman Siswa.
Supariadi 1998. "Surakarta Masa Pemerintahan Sunan Paku Buwana IV 1788- 1820: Priyayi dan Kiai Pada Masa Transisi Kolonial" (tesis). Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada.