PERMAINAN
WACANA DI BALIK PENGGUNAAN BAHASA INGGRIS
Oleh:
Abstrak
Manusia adalah makhluk berkesadaran. Kesalingpengertian dan pemahaman yang dimiliki manusia
dalam menjalani hidup dan kehidupannya adalah yang dimaksud dengan kesadaran
dan di dalamnya bahasa menjadi alat dan wujud kesadaran itu sendiri. Ketika
bahasa diterima menjadi wujud kesadaran kolektif masyarakat manusia, maka
manusia sudah menciptakan wacana di dalam dunianya sendiri. Bahasa sebagai alat
dan wujud kesadaran suatu bangsa memiliki metafisikanya sendiri yang dibangun
atas kesadaran dan diskursus pemilikinya. Kekuasaan dapat dibangun melalui
permainan wacana, sebagaimana menyebut bahasa Inggris sebagai the world’s language dan bahasa lainnya sebagai
bahasa lokal. Multikulturalisme yang tercermin melalui perbedaan cara
penggunaan bahasa Inggris merupakan kelaziman. Oleh karena itu, pemaknaan
penggunaan bahasa Inggris di Nusantara seharusnya diwacanakan berdasarkan
metafisika yang dimiliki masyarakat Nusantara karena apabila tidak demikian,
maka yang terjadi adalah kematian metafisika bahasa-bahasa ibu di Nusantara
akibat mengalami kekalahan wacana.
Kata
kunci: diskursus, multikulturalisme, bahasa ibu, kesadaran
Bahasa dan Wacana
Manusia adalah
makhluk berkesadaran. Manusia tahu bahwa ia mengetahui sesuatu tentang sesuatu.
Ini sebabnya manusia memiliki kemampuan berpikir dan berkomunikasi. Berpikir adalah
berkata-kata dalam hati sendiri dan berkomunikasi adalah berkata-kata
antarsubjek. Mengingat kedua kegiatan ini merupakan tindak tutur dengan
menekankan pada penggunaan kata-kata sehingga kegiatan semacam ini tidak
dimungkinkan tanpa bahasa. Begitulah dengan bahasa, manusia bisa saling
memahami dan mewujudkan pengertian di antara sesamanya. Kesalingpengertian dan
pemahaman inilah yang dimaksud dengan kesadaran dan di dalamnya bahasa menjadi
alat dan wujud kesadaran itu sendiri. Ketika bahasa diterima menjadi wujud
kesadaran kolektif masyarakat manusia, maka manusia sudah menciptakan wacana di
dalam dunianya sendiri. Hal ini sejalan dengan pandangan Paul Ricoeur (2002:17)
tentang proses pembentukan wacana yang dimulai dari makna suatu benda hingga
terbentuknya hubungan antarpredikat. Ditegaskannya, “Satu kata benda mempunyai
makna, dan sebagai pelengkap maknanya satu kata kerja mengisyaratkan dimensi
waktu. Hanya dengan kesinambungan keduanyalah yang akan mengedepankan suatu
ikatan predikat yang dapat disebut sebagai logos
atau wacana”.
Istilah
“wacana” (discourse, discourse)
diperkenalkan oleh Michel Foucault dalam pidato pengukuhan guru besarnya, dan La archeologie da savoir (1968), serta
tulisannya tentang kegilaan (Lubis, 2004:147-148). Menurut Foucault (2002:9)
diskursus adalah cara menghasilkan pengetahuan beserta praktik sosial yang
menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan di
balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan di
antara semua aspek ini. Artinya, diskursus merupakan kategori manusia yang
diproduksi dan reproduksi dengan berbagai aturan, sistem, dan prosedur yang
membuatnya terpisah dari kenormalan. Aturan,
sistem, dan prosedur itulah yang disebutnya dengan istilah “tata-wacana”, yaitu
keseluruhan wilayah konseptual tempat pengetahuan itu dikonstruksi, dibentuk
dan dihasilkan (Lubis, 2004:148). Dengan demikian, studi teks, studi sejarah,
budaya, dan klaim-klaim objektivitas termasuk kebenaran harus ditunda karena
hal itu telah dipengaruhi oleh aturan-aturan, perbedaan makna, dan
strategi-strategi yang sama dengan naratif lainnya. Foucault (2002:143-144)
menegaskan bahwa ketika sebuah wacana dilahirkan, maka diskursus sebenarnya
sudah dikontrol, diseleksi, diorganisasi, dan didistribusikan kembali menurut
kemauan pembuatnya karena wacana tersebut dikonstruksikan berdasarkan tata-aturan
(episteme) tertentu. Oleh karena itu, kebenaran memiliki mata rantai dengan
sistem kekuasaan.
Diskursus dalam
ilmu dan praktek sosial merupakan jaringan praktek pengetahuan dan kekuasaan. White (Foucault, 2007:xiv) mengatakan bahwa apa yang
dilakukan atau dibahas dalam diskursus, seperti yang terjadi dengan yang lain
adalah selalu kehendak dan kekuasaan. Oleh karena itu, teori wacana kuasa dan
pengetahuan Foucault menolak teori positivisme dan segala teori sosial
alternatif yang berbau humanisme, seperti pendekatan Husserlian, Weberian, dan
Habermasian. Foucault menyebut metodenya dengan nama genealogi sebagai bentuk
penelusuran historis tentang bagaimana terbentuknya/terkonstruksinya berbagai
macam pengetahuan, objek-objek pengetahuan, dan wacana ilmiah. Dalam melakukan
penelusuran historis, ia tidak menemukan kontinuitas, tetapi diskotinuitas
/keretakan (repture) sejarah, episteme, dan wacana (Lubis, 2004:153).
Ini berarti bahasa sebagai diskursus, bukan semata-mata mempersoalkan ucapan
dan/atau tulisan, tetapi semua pernyataan kultural karena keseluruhan
pernyataan tersebut adalah teks yang mengandung nilai-nilai, prasyarat,
ideologi, kebenaran, dan tujuan tertentu.
Pararel dengan
diskursus Foucault adalah kata “pengertian” dalam budaya Jawa, seperti
dijelaskan oleh Frans Magnis-Suseno (1999:200) bahwa pengertian bagi manusia
Jawa dekat dengan "kekuatan batin" (kesakten — pemusatan
kekuatan kosmis, pembenaran-diri), sebagaimana terungkap dalam kata “ngelmu”. Ngelmu sekaligus berarti
ilmu pengetahuan, pengertian (lebih-lebih dalam arti mistik), dan kekuatan
magis misalnya, dalam arti suatu kemampuan khusus untuk pembelaan diri secara
fisik. Dalam kata "pengertian" itu terdapat makna perluasan kekuasaan
pada manusia sendiri yang bersifat tetap, yaitu manusia yang memiliki rasa-sejati. Kata “pengertian” dapat
dipahami sebagai proses pembebasan dari keterikatan dalam bayang-bayang yang
sementara dan lahiriah. Pembebasan itu berkaitan dengan satu proses penghalusan
dan pembatinan daya persepsi batin. Dengan begitu, pengertian adalah suatu
proses perkembangan pada subjek yang mengerti itu sendiri. Pengertian subjek
yang mengerti sendiri itu akan mengalami pertumbuhan. Jadi, tekanan terletak
pada subjek yang mengerti, bukan pada objek pengertian yang harus diketahui —
sebagaimana ajaran etika Sokrates. Orang Jawa memahami pengertian semacam ini
sebagai rasa yang secara inderawi
dapat diartikan sebagai kepekaan terhadap lingkungan fisik. Hal ini sebagaimana
diungkapkan oleh Magnis-Suseno (1999:199) berikut.
"Dalam rasa terjadi suatu
pertumbuhan atau pendalaman kepribadian. Pengertian semacam itu bukan sesuatu
yang lahiriah, kebetulan, kuantitatif, melainkan suatu realitas pada subjek
yang mengerti itu sendiri. Subjek diubah dan diperdalam di dalamnya. Maka dari
itu suatu pengertian yang lebih benar, jadi suatu rasa yang lebih mendalam,
sekaligus berarti juga suatu cara merasa dan bertindak yang baru, yang lebih
mendalam dan lebih benar, bahkan suatu sikap baru manusia seluruhnya."
Pararelitas di atas
setidak-tidaknya mampu menunjukkan bahwa bahasa sebagai alat dan wujud kesadaran
suatu bangsa memiliki metafisikanya sendiri yang dibangun atas kesadaran dan
diskursus pemilikinya. Sebagaimana bangsa-bangsa yang ada di Nusantara menyebut
bahasa aslinya sebagai “bahasa ibu”, yaitu bahasa yang mengandung nilai-nilai
moralitas. Nilai-nilai yang membentuk karakter suatu bangsa yang diajarkan
sejak manusia memiliki suatu kesadaran. Sebagaimana ibu
mengajarkan nilai-nilai moralitas pada anaknya.
Bahasa
Ibu Dalam Permainan Wacana Bahasa Inggris
Kehendak dan
kekuasaan yang dimaksud di atas adalah refleksi
dari hasrat manusia. Manusia dengan hasratnya telah mengembangkan penggunaan
bahasa menjadi alat untuk membangun wacana yang menjajah ruang kesadaran
manusia. Sebagaimana sebutan the world’s
language yang dilekatkan pada bahasa Inggris merupakan permainan nyata
dalam mendekonstruksi bahasa-bahasa lain di muka bumi ini untuk berada pada
posisi termarginal. Masyarakat pendukung suatu bahasa menjadi pararel terhadap
kelas-kelas bahasa yang tanpa sadar dibangun melalui permainan wacana. Kesadaran
manusia dibawa kepada perasaan malu dan rendah diri apabila tidak bisa
menggunakan bahasa Inggris dalam berkomunikasi. Manusia dihadapkan pada kondisi
tidak ada pilihan untuk memiliki kesempatan mencari pekerjaan dan menempuh
pendidikan yang tinggi karena hampir setiap peluang yang tersedia mensyaratkan
penguasaan bahasa Inggris pada level tertentu. Apabila tidak dapat mengikuti
tuntutan keadaan ini maka mereka menjadi kelompok manusia yang berada di kelas
bawah dan teralinasi. Ini membuktikan bahwa kekuasaan dapat dibangun melalui
permainan wacana. Sebagaimana menyebut bahasa Inggris sebagai the world’s language dan bahasa lainnya
sebagai bahasa lokal.
Pararel dengan
permainan wacana dalam penggunaan bahasa di atas adalah kondisi pada zaman
kolonial di Indonesia. Bangsa penjajah dengan kekuatan dan kekuasaannya mampu
mengeksploitasi bangsa jajahannya. Kekuasaan dibangun melalui kekerasan dengan
menggunakan tentara dan senjata. Bangsa pribumi diposisikan pada kelas di bawah
bangsa penjajah. Bagi masyarakat pribumi yang ingin hidup dan kehidupannya
lebih sejahtera dan memiliki kelas yang lebih tinggi harus mau mengikuti aturan
dari bangsa penjajah. Bagi yang tidak mau mengikuti aturan penjajah harus rela
menderita dan semakin tergilas.
Pararelitas di atas
setidak-tidaknya mampu menunjukkan bahwa kekuasaan bisa dibangun melalui
perluasan bahasa. Namun demikian, tidak dapat dimungkuri bahasa lokal di
Nusantara memiliki metafisikanya sendiri yang dibangun atas kesadaran dan
diskursus pemilikinya. Dalam hal ini kesadaran masyarakat Nusantara dapat
dicermati secara mendalam dari alat kesadarannya, yaitu bahasa ibu. Mengingat
bahasa ibu merupakan sumber moralitas masyarakat dan sekaligus sebagai
pembangun wacana, bahkan sebagai pantulan falsafah hidup, yaitu pedoman hidup
dan perilaku hidup. Inilah yang menjelma dalam dunia sosial-budaya menjadi
nilai-nilai. Sitem nilai, baik sebagai pedoman hidup maupun perilaku hidup
tidak pernah final karena senantiasa mengalami perkembangan inheren dalam
perubahan zaman. Faktanya manusia tidak bisa menjalankan kehidupannya sendiri
tanpa terlibat dalam kehidupan sosial berupa kegiatan kemasyarakatan. Malahan
dalam kehidupan sosialnya manusia tidak jarang harus membangun toleransi
sehingga dimungkinkan terjadinya proses saling menerima dan memberi nilai.
Begitulah dalam dunia global manusia nusantara tidak dapat menutup diri dari
pengaruh bangsa lain sehingga identitas menjadi begitu penting. Dalam konteks
identitas inilah penting dan relevan membangun wacana melalui bahasa di
tengah-tengah derasnya pengaruh nilai global yang serba standart yang
menempatkan manusia sebagai makhluk malang. Dengan demikian, pemaknaan penggunaan
bahasa Inggris di Nusantara seharusnya diwacanakan berdasarkan metafisika yang
dimiliki masyarakat Nusantara karena apabila tidak demikian, maka yang terjadi adalah
kematian metafisika bahasa-bahasa ibu di Nusantara akibat mengalami kekalahan
wacana.
Hal ini menunjukkan
pentingnya membangun identitas pengguna bahasa menurut metafikanya sendiri,
juga karena terdapat perbedaan filosofis antara kesadaran masing-masing pengguna. Ini sejalan dengan
pendapat Gadamer, tokoh hermeneutika filosofis bahwa makna hadir selalu
didahului oleh pemahaman subjek terhadap objek. Pemahaman dapat diperoleh, bila
subjek memiliki kesadaran terhadap objek. Kegiatan memaknai sesuatu pada
dasarnya adalah melakukan interpretasi (Muzir, 2008:98). Interpretasi adalah
mencakup pemahaman. Untuk dapat membuat interpretasi, orang lebih dahulu harus
mengerti atau memahami. Akan tetapi, keadaan “lebih dahulu mengerti” ini bukan
didasarkan atas penentuan waktu, melainkan bersifat alamiah. Mengingat menurut
kenyataannya, bila seorang mengerti, ia sebenarnya telah melakukan
interpretasi, dan juga sebaliknya. Ada kesertamertaan antara mengerti dan
membuat interpretasi. Keduanya bukan dua momen dalam satu proses. Mengerti dan
interpretasi menimbulkan lingkaran hermeneutik (Sumaryono, 1999:30-31). Akan
tetapi, dalam logika Derridian, jejak (trace)
mengacu pada pengertian bekas-bekas terciptanya suatu realitas.
"Jejak" adalah dalam pertentangannya dengan konsep
"sejarah" (historisisme)
karena sejarah dianggap bukanlan suatu realitas yang netral, tetapi sebaliknya,
merupakan realitas penafsiran oleh dan sekaligus untuk suatu kepentingan
tertentu. Dekonstruksi Derrida mengganti konsep sejarah (historisisme) dengan "silsilah", yaitu sebagai fakta
sejarah karena silsilah dianggap terlepas dari unsur penafsiran sekaligus
kepentingan. Oleh karena itu, dekonstruksi memandang realitas tidak otonom,
tetapi realitas yang memiliki silsilah atau jejak. Dengan kata lain, realitas
sebagai teks merupakan relasi antara teks dengan teks lainnya (Lubis,
2004:101-122; Norris, 2003; Ratna, 2005:250-275). Dengan demikian, multikulturalisme
yang tercermin melalui perbedaan cara penggunaan bahasa Inggris merupakan
kelaziman karena setiap subjek yang berkesadaran bisa saja memberikan makna
yang berbeda terhadap objek yang sama ataupun berbeda.
Di titik ini, moralitas
bahasa ibu di Nusantara menjadi permainan wacana yang dapat diurai dari
relasi-relasi kuasa dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya. Misalnya,
Magnis-Suseno (1999:150) menjelaskan bahwa seluruh kebijaksanaan hidup Jawa
dapat dirangkum dalam tuntutan dasar untuk selalu menempati tempat yang tepat.
Demikian juga epistemologi dengan mengutamakan kategori tempat, agar kehidupan
terus berjalan; sistem etika Jawa yang lebih menonjolkan kategori tempat;
bahkan apa yang harus dilakukan masing-masing ditentukan oleh tempatnya dalam
masyarakat. Konsekuensi dari pandangan ini adalah penerimaan orang Jawa
terhadap misteri kehidupan.
Dalam budaya Jawa
sikap penerimaan terhadap misteri kehidupan terdapat dalam kosa kata “nrima”,
“iklas”, dan “rila” yang
sangat sulit dicarai pandanan kata dalam bahasa Inggris. Kata “nrima”
berarti orang dalam keadaan kecewa dan dalam kesulitan apa pun akan bereaksi
dengan rasional. Kata ini menuntut kekuatan untuk menerima apa yang tidak dapat
dielakkan tanpa membiarkan dirinya dihancurkan oleh reaksinya sendiri. Iklas
berarti kesediaan untuk melepaskan individualitas sendiri dan mencocokkan diri
ke dalam keselarasan agung alam semesta sebagaimana sudah ditentukan. Rila
merupakan kesanggupan untuk melepaskan, sebagai kesediaan untuk melepaskan hak
milik, kemampuan-kemampuan, dan hasil-hasil pekerjaan sendiri, bila itulah yang
menjadi tuntutan tanggung jawab. Dua kata terakhir ini harus dipahami sebagai
keutamaan positif, bukan sebagai menyerah dalam arti negatif, melainkan sebagai
tanda penyerahan otonom, sebagai kemampuan melepaskan sepenuh pengertian
daripada membiarkan saja sesuatu direbut secara pasif (Magnis-Suseno,
1999:143-144).
Ini menunjukkan
bahwa fenomena tentang minimnya konflik manifes dalam kehidupan sosial orang
Jawa disebabkan oleh kemampuan mereka menerima misteri kehidupan. Afirmasi
manusia Jawa secara langsung pada misteri kehidupan menyebabkan pengetahuan
yang terbentuk secara historis menjadi hal sekunder dalam kehidupan praksis.
Kehidupan harus mendominasi pengetahuan yang terbentuk secara historis, bukan
sebaliknya pengetahuan mendominasi kehidupan (Copleston, 1974:33). Jika
pengetahuan tunduk pada kehidupan, maka pengetahuan itu tidak akan menjadi
kandungan untuk mengakumulasikan sejumlah besar informasi, tetapi akan berusaha
untuk menyatukan kandungan pengetahuan di dalam sebuah gaya seni (termasuk bahasa), mendorong bentuk-bentuk asli
budaya, sebuah bentuk kehidupan yang sungguh alami, asli, tersatukan dan
kreatif serta bersifat produktif. Secara negatif, bahasa dan budaya bukanlah
gaya hidup, juga bukan kesatuan artistik harmonis dan pengetahuan historis,
melainkan kumpulan campur aduk semua gaya dan sesuatu yang dihayati.
Penghayatan semacam ini akan memunculkan apa yang disebut Nietzsche plastic power (kekuatan plastik) pada
manusia, masyarakat atau budaya seperti berikut.
"...the deeper the roots of a man’s
inner nature, the better will he take the past into himself; and the greatest
and most powerful nature would be known by absence of limits for the historical
sense to overgrow and work harm. It would assimilate and digest the past,
however foreign, and turn it to sap" (Copleston,
1974:35).
Dengan demikian,
tidak dapat dipungkuri bahwa multikulturalisme adalah realitas kebudayaan. Kecanggihan visi dan permainan wacana bahasa
Inggris sebagai world’s language
telah menjadikannya sebagai puncak perwujudan kekuasaan yang membanggakan bagi
pemiliknya. Akan tetapi, kebanggaan terhadap penggunaan bahasa seperti ini bagi
yang bukan native speaker terkadang menjadi
sumber malapetaka bahasa ibu mereka sendiri. Dengan kebanggaan itu, bisa saja
tanpa disadari kemudian, masyarakat Nusantara membangun sebuah konstruksi
mental yang menerima pengetahuan di luar kesadarannya sebagai kebenaran. Apabila
hal ini terjadi maka bukan tidak mungkin dari waktu ke waktu bahasa-bahasa lain
selain bahasa Inggris akan punah dan kesadaran manusia di bumi akan dibangun
sesuai dengan standart kesadaran bahasa Inggris. Artinya, kemajemukan
bangsa-bangsa di dunia pun akan berubah menjadi bangsa yang berkesadaran
tunggal di bawah kesadaran dan pemilik world’s
language. Sebagaimana hampir punahnya bangsa Indian di Benua Amerika dan
Aborigin di Australia sebagai bangsa pribumi.
Daftar Pustaka
Copleston, Frederick. 1975. Friederich Nietzsche: Philosopher of Culture.
USA: Harper & Row.
Foucault, Michel. 2007. Order of Thing: Arkeologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
________. 2002. Pengetahuan
dan Metode: Karya-karya Penting Michel Foucault. Yogyakarta: Jalasutra.
Lubis, Akhyar Yusuf.
2004. Setelah Kebenaran dan Kepastian Dihancurkan Masih Adakah Tempat
Berpijak Bagi Ilmuwan: Sebuah Uraian Filsafat Ilmu Pengetahuan Kaum
Posmodernis. Bogor: Akademia.
Magnis-Suseno, F. 1999. Etika Jawa : Sebuah Analisa Fasafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Muzir, Inyiak Ridwan. 2008. Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gademer. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media.
Norris, Christopher. 2003. Membongkar
Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Terj. Inyiak Ridwan Muzir. Jogjakarta:
Ar-Ruzz.
Ratna, Kutha.
2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ricoeur, Paul. 2002. Filsafat
Wacana Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa. Yogyakarta: IRCiSod.
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik,
Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar