Sabtu, 04 Februari 2012

Menggugat Bahasa Internasional


PERMAINAN WACANA DI BALIK PENGGUNAAN BAHASA INGGRIS

Oleh:
Dr. Titis Srimuda Pitana, S.T., M.Trop.Arch.*

Abstrak
Manusia adalah makhluk berkesadaran. Kesalingpengertian dan pemahaman yang dimiliki manusia dalam menjalani hidup dan kehidupannya adalah yang dimaksud dengan kesadaran dan di dalamnya bahasa menjadi alat dan wujud kesadaran itu sendiri. Ketika bahasa diterima menjadi wujud kesadaran kolektif masyarakat manusia, maka manusia sudah menciptakan wacana di dalam dunianya sendiri. Bahasa sebagai alat dan wujud kesadaran suatu bangsa memiliki metafisikanya sendiri yang dibangun atas kesadaran dan diskursus pemilikinya. Kekuasaan dapat dibangun melalui permainan wacana, sebagaimana menyebut bahasa Inggris sebagai the world’s language dan bahasa lainnya sebagai bahasa lokal. Multikulturalisme yang tercermin melalui perbedaan cara penggunaan bahasa Inggris merupakan kelaziman. Oleh karena itu, pemaknaan penggunaan bahasa Inggris di Nusantara seharusnya diwacanakan berdasarkan metafisika yang dimiliki masyarakat Nusantara karena apabila tidak demikian, maka yang terjadi adalah kematian metafisika bahasa-bahasa ibu di Nusantara akibat mengalami kekalahan wacana.

Kata kunci: diskursus, multikulturalisme, bahasa ibu, kesadaran

Bahasa dan Wacana
Manusia adalah makhluk berkesadaran. Manusia tahu bahwa ia mengetahui sesuatu tentang sesuatu. Ini sebabnya manusia memiliki kemampuan berpikir dan berkomunikasi. Berpikir adalah berkata-kata dalam hati sendiri dan berkomunikasi adalah berkata-kata antarsubjek. Mengingat kedua kegiatan ini merupakan tindak tutur dengan menekankan pada penggunaan kata-kata sehingga kegiatan semacam ini tidak dimungkinkan tanpa bahasa. Begitulah dengan bahasa, manusia bisa saling memahami dan mewujudkan pengertian di antara sesamanya. Kesalingpengertian dan pemahaman inilah yang dimaksud dengan kesadaran dan di dalamnya bahasa menjadi alat dan wujud kesadaran itu sendiri. Ketika bahasa diterima menjadi wujud kesadaran kolektif masyarakat manusia, maka manusia sudah menciptakan wacana di dalam dunianya sendiri. Hal ini sejalan dengan pandangan Paul Ricoeur (2002:17) tentang proses pembentukan wacana yang dimulai dari makna suatu benda hingga terbentuknya hubungan antarpredikat. Ditegaskannya, “Satu kata benda mempunyai makna, dan sebagai pelengkap maknanya satu kata kerja mengisyaratkan dimensi waktu. Hanya dengan kesinambungan keduanyalah yang akan mengedepankan suatu ikatan predikat yang dapat disebut sebagai logos atau wacana”.
Istilah “wacana” (discourse, discourse) diperkenalkan oleh Michel Foucault dalam pidato pengukuhan guru besarnya, dan La archeologie da savoir (1968), serta tulisannya tentang kegilaan (Lubis, 2004:147-148). Menurut Foucault (2002:9) diskursus adalah cara menghasilkan pengetahuan beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua aspek ini. Artinya, diskursus merupakan kategori manusia yang diproduksi dan reproduksi dengan berbagai aturan, sistem, dan prosedur yang membuatnya terpisah dari kenormalan. Aturan, sistem, dan prosedur itulah yang disebutnya dengan istilah “tata-wacana”, yaitu keseluruhan wilayah konseptual tempat pengetahuan itu dikonstruksi, dibentuk dan dihasilkan (Lubis, 2004:148). Dengan demikian, studi teks, studi sejarah, budaya, dan klaim-klaim objektivitas termasuk kebenaran harus ditunda karena hal itu telah dipengaruhi oleh aturan-aturan, perbedaan makna, dan strategi-strategi yang sama dengan naratif lainnya. Foucault (2002:143-144) menegaskan bahwa ketika sebuah wacana dilahirkan, maka diskursus sebenarnya sudah dikontrol, diseleksi, diorganisasi, dan didistribusikan kembali menurut kemauan pembuatnya karena wacana tersebut dikonstruksikan berdasarkan tata-aturan (episteme) tertentu. Oleh karena itu, kebenaran memiliki mata rantai dengan sistem kekuasaan.
Diskursus dalam ilmu dan praktek sosial merupakan jaringan praktek pengetahuan dan kekuasaan. White (Foucault, 2007:xiv) mengatakan bahwa apa yang dilakukan atau dibahas dalam diskursus, seperti yang terjadi dengan yang lain adalah selalu kehendak dan kekuasaan. Oleh karena itu, teori wacana kuasa dan pengetahuan Foucault menolak teori positivisme dan segala teori sosial alternatif yang berbau humanisme, seperti pendekatan Husserlian, Weberian, dan Habermasian. Foucault menyebut metodenya dengan nama genealogi sebagai bentuk penelusuran historis tentang bagaimana terbentuknya/terkonstruksinya berbagai macam pengetahuan, objek-objek pengetahuan, dan wacana ilmiah. Dalam melakukan penelusuran historis, ia tidak menemukan kontinuitas, tetapi diskotinuitas /keretakan (repture) sejarah, episteme, dan wacana (Lubis, 2004:153). Ini berarti bahasa sebagai diskursus, bukan semata-mata mempersoalkan ucapan dan/atau tulisan, tetapi semua pernyataan kultural karena keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks yang mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan tertentu.
Pararel dengan diskursus Foucault adalah kata “pengertian” dalam budaya Jawa, seperti dijelaskan oleh Frans Magnis-Suseno (1999:200) bahwa pengertian bagi manusia Jawa dekat dengan "kekuatan batin" (kesakten — pemusatan kekuatan kosmis, pembenaran-diri), sebagaimana terungkap dalam kata “ngelmu”. Ngelmu sekaligus berarti ilmu pengetahuan, pengertian (lebih-lebih dalam arti mistik), dan kekuatan magis misalnya, dalam arti suatu kemampuan khusus untuk pembelaan diri secara fisik. Dalam kata "pengertian" itu terdapat makna perluasan kekuasaan pada manusia sendiri yang bersifat tetap, yaitu manusia yang memiliki rasa-sejati. Kata “pengertian” dapat dipahami sebagai proses pembebasan dari keterikatan dalam bayang-bayang yang sementara dan lahiriah. Pembebasan itu berkaitan dengan satu proses penghalusan dan pembatinan daya persepsi batin. Dengan begitu, pengertian adalah suatu proses perkembangan pada subjek yang mengerti itu sendiri. Pengertian subjek yang mengerti sendiri itu akan mengalami pertumbuhan. Jadi, tekanan terletak pada subjek yang mengerti, bukan pada objek pengertian yang harus diketahui — sebagaimana ajaran etika Sokrates. Orang Jawa memahami pengertian semacam ini sebagai rasa yang secara inderawi dapat diartikan sebagai kepekaan terhadap lingkungan fisik. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Magnis-Suseno (1999:199) berikut. 
"Dalam rasa terjadi suatu pertumbuhan atau pendalaman kepribadian. Pengertian semacam itu bukan sesuatu yang lahiriah, kebetulan, kuantitatif, melainkan suatu realitas pada subjek yang mengerti itu sendiri. Subjek diubah dan diperdalam di dalamnya. Maka dari itu suatu pengertian yang lebih benar, jadi suatu rasa yang lebih mendalam, sekaligus berarti juga suatu cara merasa dan bertindak yang baru, yang lebih mendalam dan lebih benar, bahkan suatu sikap baru manusia seluruhnya."
Pararelitas di atas setidak-tidaknya mampu menunjukkan bahwa bahasa sebagai alat dan wujud kesadaran suatu bangsa memiliki metafisikanya sendiri yang dibangun atas kesadaran dan diskursus pemilikinya. Sebagaimana bangsa-bangsa yang ada di Nusantara menyebut bahasa aslinya sebagai “bahasa ibu”, yaitu bahasa yang mengandung nilai-nilai moralitas. Nilai-nilai yang membentuk karakter suatu bangsa yang diajarkan sejak manusia memiliki suatu kesadaran. Sebagaimana ibu mengajarkan nilai-nilai moralitas pada anaknya.


Bahasa Ibu Dalam Permainan Wacana Bahasa Inggris
Kehendak dan kekuasaan yang dimaksud di atas adalah refleksi dari hasrat manusia. Manusia dengan hasratnya telah mengembangkan penggunaan bahasa menjadi alat untuk membangun wacana yang menjajah ruang kesadaran manusia. Sebagaimana sebutan the world’s language yang dilekatkan pada bahasa Inggris merupakan permainan nyata dalam mendekonstruksi bahasa-bahasa lain di muka bumi ini untuk berada pada posisi termarginal. Masyarakat pendukung suatu bahasa menjadi pararel terhadap kelas-kelas bahasa yang tanpa sadar dibangun melalui permainan wacana. Kesadaran manusia dibawa kepada perasaan malu dan rendah diri apabila tidak bisa menggunakan bahasa Inggris dalam berkomunikasi. Manusia dihadapkan pada kondisi tidak ada pilihan untuk memiliki kesempatan mencari pekerjaan dan menempuh pendidikan yang tinggi karena hampir setiap peluang yang tersedia mensyaratkan penguasaan bahasa Inggris pada level tertentu. Apabila tidak dapat mengikuti tuntutan keadaan ini maka mereka menjadi kelompok manusia yang berada di kelas bawah dan teralinasi. Ini membuktikan bahwa kekuasaan dapat dibangun melalui permainan wacana. Sebagaimana menyebut bahasa Inggris sebagai the world’s language dan bahasa lainnya sebagai bahasa lokal.
Pararel dengan permainan wacana dalam penggunaan bahasa di atas adalah kondisi pada zaman kolonial di Indonesia. Bangsa penjajah dengan kekuatan dan kekuasaannya mampu mengeksploitasi bangsa jajahannya. Kekuasaan dibangun melalui kekerasan dengan menggunakan tentara dan senjata. Bangsa pribumi diposisikan pada kelas di bawah bangsa penjajah. Bagi masyarakat pribumi yang ingin hidup dan kehidupannya lebih sejahtera dan memiliki kelas yang lebih tinggi harus mau mengikuti aturan dari bangsa penjajah. Bagi yang tidak mau mengikuti aturan penjajah harus rela menderita dan semakin tergilas.         
Pararelitas di atas setidak-tidaknya mampu menunjukkan bahwa kekuasaan bisa dibangun melalui perluasan bahasa. Namun demikian, tidak dapat dimungkuri bahasa lokal di Nusantara memiliki metafisikanya sendiri yang dibangun atas kesadaran dan diskursus pemilikinya. Dalam hal ini kesadaran masyarakat Nusantara dapat dicermati secara mendalam dari alat kesadarannya, yaitu bahasa ibu. Mengingat bahasa ibu merupakan sumber moralitas masyarakat dan sekaligus sebagai pembangun wacana, bahkan sebagai pantulan falsafah hidup, yaitu pedoman hidup dan perilaku hidup. Inilah yang menjelma dalam dunia sosial-budaya menjadi nilai-nilai. Sitem nilai, baik sebagai pedoman hidup maupun perilaku hidup tidak pernah final karena senantiasa mengalami perkembangan inheren dalam perubahan zaman. Faktanya manusia tidak bisa menjalankan kehidupannya sendiri tanpa terlibat dalam kehidupan sosial berupa kegiatan kemasyarakatan. Malahan dalam kehidupan sosialnya manusia tidak jarang harus membangun toleransi sehingga dimungkinkan terjadinya proses saling menerima dan memberi nilai. Begitulah dalam dunia global manusia nusantara tidak dapat menutup diri dari pengaruh bangsa lain sehingga identitas menjadi begitu penting. Dalam konteks identitas inilah penting dan relevan membangun wacana melalui bahasa di tengah-tengah derasnya pengaruh nilai global yang serba standart yang menempatkan manusia sebagai makhluk malang. Dengan demikian, pemaknaan penggunaan bahasa Inggris di Nusantara seharusnya diwacanakan berdasarkan metafisika yang dimiliki masyarakat Nusantara karena apabila tidak demikian, maka yang terjadi adalah kematian metafisika bahasa-bahasa ibu di Nusantara akibat mengalami kekalahan wacana.
Hal ini menunjukkan pentingnya membangun identitas pengguna bahasa menurut metafikanya sendiri, juga karena terdapat perbedaan filosofis antara kesadaran  masing-masing pengguna. Ini sejalan dengan pendapat Gadamer, tokoh hermeneutika filosofis bahwa makna hadir selalu didahului oleh pemahaman subjek terhadap objek. Pemahaman dapat diperoleh, bila subjek memiliki kesadaran terhadap objek. Kegiatan memaknai sesuatu pada dasarnya adalah melakukan interpretasi (Muzir, 2008:98). Interpretasi adalah mencakup pemahaman. Untuk dapat membuat interpretasi, orang lebih dahulu harus mengerti atau memahami. Akan tetapi, keadaan “lebih dahulu mengerti” ini bukan didasarkan atas penentuan waktu, melainkan bersifat alamiah. Mengingat menurut kenyataannya, bila seorang mengerti, ia sebenarnya telah melakukan interpretasi, dan juga sebaliknya. Ada kesertamertaan antara mengerti dan membuat interpretasi. Keduanya bukan dua momen dalam satu proses. Mengerti dan interpretasi menimbulkan lingkaran hermeneutik (Sumaryono, 1999:30-31). Akan tetapi, dalam logika Derridian, jejak (trace) mengacu pada pengertian bekas-bekas terciptanya suatu realitas. "Jejak" adalah dalam pertentangannya dengan konsep "sejarah" (historisisme) karena sejarah dianggap bukanlan suatu realitas yang netral, tetapi sebaliknya, merupakan realitas penafsiran oleh dan sekaligus untuk suatu kepentingan tertentu. Dekonstruksi Derrida mengganti konsep sejarah (historisisme) dengan "silsilah", yaitu sebagai fakta sejarah karena silsilah dianggap terlepas dari unsur penafsiran sekaligus kepentingan. Oleh karena itu, dekonstruksi memandang realitas tidak otonom, tetapi realitas yang memiliki silsilah atau jejak. Dengan kata lain, realitas sebagai teks merupakan relasi antara teks dengan teks lainnya (Lubis, 2004:101-122; Norris, 2003; Ratna, 2005:250-275). Dengan demikian, multikulturalisme yang tercermin melalui perbedaan cara penggunaan bahasa Inggris merupakan kelaziman karena setiap subjek yang berkesadaran bisa saja memberikan makna yang berbeda terhadap objek yang sama ataupun berbeda.
Di titik ini, moralitas bahasa ibu di Nusantara menjadi permainan wacana yang dapat diurai dari relasi-relasi kuasa dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya. Misalnya, Magnis-Suseno (1999:150) menjelaskan bahwa seluruh kebijaksanaan hidup Jawa dapat dirangkum dalam tuntutan dasar untuk selalu menempati tempat yang tepat. Demikian juga epistemologi dengan mengutamakan kategori tempat, agar kehidupan terus berjalan; sistem etika Jawa yang lebih menonjolkan kategori tempat; bahkan apa yang harus dilakukan masing-masing ditentukan oleh tempatnya dalam masyarakat. Konsekuensi dari pandangan ini adalah penerimaan orang Jawa terhadap misteri kehidupan.
Dalam budaya Jawa sikap penerimaan terhadap misteri kehidupan terdapat dalam kosa kata “nrima”, “iklas”, dan “rila” yang sangat sulit dicarai pandanan kata dalam bahasa Inggris. Kata “nrima” berarti orang dalam keadaan kecewa dan dalam kesulitan apa pun akan bereaksi dengan rasional. Kata ini menuntut kekuatan untuk menerima apa yang tidak dapat dielakkan tanpa membiarkan dirinya dihancurkan oleh reaksinya sendiri. Iklas berarti kesediaan untuk melepaskan individualitas sendiri dan mencocokkan diri ke dalam keselarasan agung alam semesta sebagaimana sudah ditentukan. Rila merupakan kesanggupan untuk melepaskan, sebagai kesediaan untuk melepaskan hak milik, kemampuan-kemampuan, dan hasil-hasil pekerjaan sendiri, bila itulah yang menjadi tuntutan tanggung jawab. Dua kata terakhir ini harus dipahami sebagai keutamaan positif, bukan sebagai menyerah dalam arti negatif, melainkan sebagai tanda penyerahan otonom, sebagai kemampuan melepaskan sepenuh pengertian daripada membiarkan saja sesuatu direbut secara pasif (Magnis-Suseno, 1999:143-144). 
Ini menunjukkan bahwa fenomena tentang minimnya konflik manifes dalam kehidupan sosial orang Jawa disebabkan oleh kemampuan mereka menerima misteri kehidupan. Afirmasi manusia Jawa secara langsung pada misteri kehidupan menyebabkan pengetahuan yang terbentuk secara historis menjadi hal sekunder dalam kehidupan praksis. Kehidupan harus mendominasi pengetahuan yang terbentuk secara historis, bukan sebaliknya pengetahuan mendominasi kehidupan (Copleston, 1974:33). Jika pengetahuan tunduk pada kehidupan, maka pengetahuan itu tidak akan menjadi kandungan untuk mengakumulasikan sejumlah besar informasi, tetapi akan berusaha untuk menyatukan kandungan pengetahuan di dalam sebuah gaya seni (termasuk bahasa), mendorong bentuk-bentuk asli budaya, sebuah bentuk kehidupan yang sungguh alami, asli, tersatukan dan kreatif serta bersifat produktif. Secara negatif, bahasa dan budaya bukanlah gaya hidup, juga bukan kesatuan artistik harmonis dan pengetahuan historis, melainkan kumpulan campur aduk semua gaya dan sesuatu yang dihayati. Penghayatan semacam ini akan memunculkan apa yang disebut Nietzsche plastic power (kekuatan plastik) pada manusia, masyarakat atau budaya seperti berikut.
"...the deeper the roots of a man’s inner nature, the better will he take the past into himself; and the greatest and most powerful nature would be known by absence of limits for the historical sense to overgrow and work harm. It would assimilate and digest the past, however foreign, and turn it to sap" (Copleston, 1974:35).
Dengan demikian, tidak dapat dipungkuri bahwa multikulturalisme adalah realitas kebudayaan. Kecanggihan visi dan permainan wacana bahasa Inggris sebagai world’s language telah menjadikannya sebagai puncak perwujudan kekuasaan yang membanggakan bagi pemiliknya. Akan tetapi, kebanggaan terhadap penggunaan bahasa seperti ini bagi yang bukan native speaker terkadang menjadi sumber malapetaka bahasa ibu mereka sendiri. Dengan kebanggaan itu, bisa saja tanpa disadari kemudian, masyarakat Nusantara membangun sebuah konstruksi mental yang menerima pengetahuan di luar kesadarannya sebagai kebenaran. Apabila hal ini terjadi maka bukan tidak mungkin dari waktu ke waktu bahasa-bahasa lain selain bahasa Inggris akan punah dan kesadaran manusia di bumi akan dibangun sesuai dengan standart kesadaran bahasa Inggris. Artinya, kemajemukan bangsa-bangsa di dunia pun akan berubah menjadi bangsa yang berkesadaran tunggal di bawah kesadaran dan pemilik world’s language. Sebagaimana hampir punahnya bangsa Indian di Benua Amerika dan Aborigin di Australia sebagai bangsa pribumi.

Daftar Pustaka
Copleston, Frederick. 1975. Friederich Nietzsche: Philosopher of Culture. USA: Harper & Row.
Foucault, Michel. 2007. Order of Thing: Arkeologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
________. 2002. Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Michel Foucault. Yogyakarta: Jalasutra.
Lubis, Akhyar Yusuf.  2004.  Setelah Kebenaran dan Kepastian Dihancurkan Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan: Sebuah Uraian Filsafat Ilmu Pengetahuan Kaum Posmodernis.  Bogor: Akademia.
Magnis-Suseno, F. 1999. Etika Jawa : Sebuah Analisa Fasafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Muzir, Inyiak Ridwan. 2008. Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gademer. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Norris, Christopher. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Terj. Inyiak Ridwan Muzir. Jogjakarta: Ar-Ruzz.
Ratna, Kutha.  2005.  Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 
Ricoeur, Paul. 2002. Filsafat Wacana Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa. Yogyakarta: IRCiSod.
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.



* Dosen Program Studi S1 Arsitektur dan Program Studi S2 Kajian Budaya, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Email: titis_pitana@yahoo.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar